Minggu, 01 Januari 2012

Cerita Anak : Tekad yang Membara


 


TEKAD YANG MEMBARA
Kamiluddin SM Azis


            “Ah....” desah Danu sambil mengusap matanya yang hampir berair. Dilipatnya kembali lembaran kertas yang baru diterimanya dari pak pos tadi pagi. Ia duduk di antara kumpulan batu besar di taman belakang kelasnya. Sesekali ia menarik nafas panjang demi menenangkan dirinya yang nyaris putus asa.
            “Koq pangeranku bermuram durja,” ledek Neni yang tiba-tiba muncul.
            Danu sedikit kaget. Diengoknya temannya yang memang suka bercanda itu, lalu tersenyum seolah-olah ia tidak sedang bersedih.
            “Ada apa, Dan?” tanya Neni seraya mendekati Danu. “Mau?” lanjutnya menawarkan kacang yang dibawanya.
            Danu merogoh plastik yang berisi kacang itu dan mengambil beberapa butir.
            “Naskahku dikembalikan lagi,” suara Danu yang parau menjawab teka-teki Neni.
            “Coba kulihat,” pinta Neni. Lalu dibacanya naskah Danu setelah Danu menyodorkannya.
            “Ceritamu cukup menarik. Tidak monoton. Tulisanmu pun rapi dan jelas terbaca,” komentar Neni usai membaca cerita yang Danu buat. “Tapi mengapa dikembalikan, ya?” lanjut Neni turut peduli.
            “Aku tak tahu. Sudah 4 naskah cerita anak-anak yang aku kirimkan, tak satupun yang dimuat,” keluh Danu.
            “Tapi ceritamu bagus. Jadi kupikir Kamu punya bakat yang hebat untuk menjadi pengarang. Percayalah, kalau Kamu terus berusaha dan tidak mudah putus asa, Kamu pasti akan berhasil.” Kata-kata Neni itu membuat semangat Danu bangkit kembali.
            “Kalau Kamu nggak keberatan, akan kupinjamkan mesin tik kakakku. Ya, barangkali saja redaksi tak mau menerima naskah yang ditulis tangan,” lanjut Neni menawarkan jasa.
            “Wah, senang sekali. Tapi apa kakakmu akan mengijinkannya?” Danu gembira walau sedikit ragu apakah kakak Neni akan membolehkannya meminjam mesin tik miliknya. Terlepas dari itu ia berharap sekali.
            “Akan kucoba. Yang jelas aku tak ingin Pangeranku cemberut lagi,” Neni tersenyum sambil melemparkan plastic bekas kacang ke bak sampah. Isinya telah habis.


*


            Danu masih menulis ketika sore itu Neni dating ke rumahnya membawakan mesin tik yang dijanjikan. Ia tidak sendirian, tetapi ditemani Kak Della, teman kakaknya.
            “Terima kasih, Nen. Kau adalah temanku yang paling baik,” ucap Danu setelah Neni dan Kak Della dipersilakannya duduk.
            “Nggak apa-apa, demi teman aku senang melakukannya. Oya, ini naskah-naskahmu yang kemarin aku pinjam. Semuanya menarik,” Neni menyodorkan naskah-naskah itu sambil tak lepas tersenyum. Danu menerimanya dengan senang.
            “Bukan hanya aku yang membacanya, Dan. Ibu dan dan kakakku juga membacanya. Mereka pun memuji gayamu bercerita. Eh, Kak Della juga. Iya kan, Kak?” lanjut Neni.
            “Iya. Dulu Kakak tak menulis cerita sebagus itu. Dek Danu punya bakat yang lebih baik daripada Kakak. Apalagi kalau rajin berlatih,” timpal kak della.
            “Kak Della dulu penulis?” Tanya Danu.
            “Iya. Kakak sudah banyak makan garam ketika seusia Kamu, hingga Kakak tahu bagaimana cerita yang bagus dan bagaimana pula cerita yang kurang bagus untuk dimuat di mass-media.”
            “Tapi cerita saya tak sebagus yang Kakak nilai. Buktinya belum satupun pernah dimuat,” Danu menyanggah tak mengerti.
            “Ya… banyak factor yang menyebabkan naskah seseorang belum bias dimuat padahal kelihatannya menarik untuk dibaca. Misalkan saja karena missi media massa yang kita tuju tidak sesuai dengan missi cerita yang kita buat. Atau redaksi tertentu tak mau menerima naskah yang dilutis tangan walauun rapi dan jelas terbaca. Mungkin mereka tak mau repot mengeditnya,” jelas Kak Della.
            “Tapi dengan mesin tik yang kakakku pinjamkan ini, aku yakin naskah-naskahmu pasti dimuat dan Kamu akan menjadi pengarang yang hebat,” tambah Neni menyemangati.
            “Terima kasih, Nen. Tapi ngomong-ngomong apa mesin tik ini tidak dipakainya?”
            “Tidak. Sebulan ini kakakku akan tour ke Bali bersama teman-temannya. Jadi sebulan ini pula Kamu boleh memakainya,” Neni membuat Danu semakin bersemangat mewujudkan harapannya.


*


            Hari itu hari Senin. Sepulang sekolah Danu mampir ke kantor pos untuk mengirimkan dua naskah cerita anak-anak yang telah dibuatnya selama 4 hari. Keduanya dalam amplop terpisah karena ditujukan untuk dua mass-media mingguan yang berbeda.
            Sambil menempelkan prangko di sudut kanan atas amplop, ia berdoa mudah-mudahan kali ini naskahnya berhasil dimuat.        
            Atas saran Neni dan Kak Della, Danu harus terus menulis sambil menunggu berita pemuatan naskahnya. Maka seperti tak kehabisan ide dan semangat ia terus menulis dan mengirimkannya ke mass-media lain.
            Sebulan sudah Danu bekerja keras demi memanfaatkan bakat dan kemauannya yang keras untuk menjadi penulis.
            “Danu... “ panggil seseorang sambil menghampiri Dani di tempat biasa ia mencari ide untuk menulis, taman belakang kelasnya.
            “Oh Kau, Nen” balas Danu setelah ia tahu Nenilah yang memanggilnya.
            Neni menghampiri Danu, “Selamat ya!” tiba-tiba ia mengajak Danu bersalaman.
            “Selamat untuk apa?” Danu tak mengerti.
            “Nih, ceritamu dimuat,” teriak Neni kegirangan sambil menyodorkan surat kabar mingguan yang dibelinya tadi pagi.
            Danu nyaris tak bias berkata apa-apa. Matanya berair. Ia gembira sekali.
            “Selamat ya!” ulang Neni.
            “Terima kasih,” balas Danu.
            “Apa rencanamu setelah ini. Maksudku setelah nanti Kamu terima honornya?” tanya Neni.
            “Aku akan mengganti pita mesin tik kakakmu yang sudah tidak jelas... dan mentraktirmu.”
            “Ala.. nggak usah deh, Dan.”
            “Nggak usah enggak?”
            “Idih tahu aja... deh nih anak!” Mereka berdua tertawa, meluapkan kegembiraan yang menjadi langkah awal keberhasilan Danu.
            Beberapa minggu setelah Danu menerima honor dari redaksi, ia mendapat kabar gembira lagi. Ceritanya yang lain dimuat pula. Jadi 3 dari 5 buah naskah yang dikirimkannya berhasil dimuat.
            Sejak saat itu ia semakin rajin menulis. Tak sedikit dari karanganny yang berhasil dimuat. Honornya ditabungkan untuk membeli mesin tik.
 
*
 
Cerita Anak ‘Tekad yang Membara’ merupakan salah satu hasil karya penulis yang pernah dimuat di Harian Sinar Pagi tgl 15 Oktober 1993, saat penulis masih duduk di bangku kelas 2 SMU. Saat ini penulis bekerja sebagai accounting di sebuah perusahaan swasta nasional sambil tetap giat menulis cerita anak, cerpen remaja, novel dan buku-buku literatur. Penulis juga mengelola sebuah Taman Bacaan di komplek Perumahan Margaasih Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar