Selasa, 31 Januari 2012

LELAH YANG INDAH




LELAH YANG INDAH


Mendung menggelayut. Awan pekat yang menggantung perlahan luruh menjadi rintik hujan yang membasahi tanah merah ini. Satu persatu orang-orang meninggalkan pemakanan. Meninggalkan aku dengan segala kepedihan dan rasa kehilangan yang amat. Mas Hasan, suamiku telah berpulang di saat aku masih membutuhkannya  sebagai tiang tempat aku bergantung dan bersandar dalam hidup ini. Namanya kini telah terukir abadi di atas batu nisan, tempat peristirahatan terakhirnya..
            Tinggalah aku dengan dua orang anak : Rahmi, yang pertama masih duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan Yana, anakku yang kedua masih berumur empat tahun. Mas Hasan telah memilihkan Rahmi sekolah terbaik yang mampu kami jangkau dengan penghasilannya yang pas-pasan.  Aku sendiri berusaha membantu menambah penghasilan keluarga dengan berjualan makanan buatanku sendiri. Mengurus dua orang  anak yang masih memerlukan perhatian extra membuat gerak langkahku sedikit terbatas. Karenanya aku belum bisa melakukan banyak hal untuk membantu keuangan keluarga.
            Sejak Ayah - panggilan sayang untuk suamiku, meninggal, praktis akulah yang harus mengurus segalanya sendiri. Mulai dari menyediakan kebutuhan sandang, pangan, biaya sekolah, bahkan termasuk  keamanan dan kenyamanan hidup anak-anak. Apalagi aku dan suamiku sudah lama menetap di kota tempat suamiku bekerja, sedangkan keluarga besarku berada jauh di kota yang berbeda. Begitupun dengan keluarga dari pihak suami yang bahkan berada di luar pulau. Aku harus benar-benar bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari keluarga, baik dari pihak bapaknya anak-anak maupun dari pihakku sendiri.
            Hari-hari di minggu pertama Ayah tidak ada, rasanya jiwa ini benar-benar sepi dan merana. Apalagi kalau anak-anak masih sering menanyakan kapan ayah mereka pulang. Meskipun mereka sendiri tahu dan bahkan ikut mengantarkan jenazah ayah mereka, tetapi hati kecil mereka ragu apakah ayah mereka benar-benar telah tiada. Kerinduan yang sangat menyakitkan.
            “Tabah ya, Mi,”  aku mengelus kepala Rahmi, sambil memeluk Yana.
            Rahmi menggenggam tanganku, mencoba memberi  kekuatan melalui jemarinya yang mungil. Yana merengek dan aku mempererat dekapanku sehingga ia menjadi lebih tenang. Ternyata badannya hangat. Sepertinya ia demam. Seketika dadaku bergemuruh. Biasanya Mas Hasan akan panik bila mendapati badan Yana seperti ini. Dan dengan sigap ia akan menggendongnya setelah memberi Yana obat penurun panas.
            “Besok Rahmi aja yang antar gorengan itu ke kantor Ayah, ya , Bu?” Rahmi memang pintar dan sangat pengertian. Ia juga mandiri dan tidak cengeng. Pantas kalau ia selalu juara kelas dan mendapatkan beasiswa dari sekolah. Bahkan dari kantor Ayahnya pun  Rahmi sudah dua tahun berturut-turut ini mendapatkan bantuan dana pendidikan karena prestasinya itu. Program peduli dari kantor suamiku memang diperuntukkan  membantu biaya pendidikan anak-anak karyawan yang berprestasi, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Rahmi menjadi salah satu diantaranya.
            Keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya Rahmi menggantikanku mengantarkan makanan untuk dijual di koperasi kantor tempat ayahnya bekerja.  Pagi sebelum berangkat sekolah ia mampir dan menitipkan satu box gorengan di pos keamanan kantor, dan sorenya Rahmi datang lagi  untuk mengambil setoran hasil penjualan hari itu. Begitu Ia lakukan selama beberapa hari sampai suatu waktu Rahmi pulang lagi dengan membawa makanan dagangannya.
            “Koperasinya sudah tutup, Bu. Kata Pak Satpam sudah tidak akan dibuka lagi,” Rahmi menunduk, menutupi kesedihan yang kemudian juga menggelayut di dadaku. Kantor Ayahnya Rahmi  adalah lahan tetap untuk aku menjual penganan buatanku. Kalau koperasi itu tutup, lantas bagaimana dengan usahaku ini. Mungkin aku harus mulai berpikir untuk menawarkannya ke warung-warung atau mungkin aku sendiri yang harus menjajakannya berkeliling supaya keuntungan penjualan bisa lebih besar.  Mencari pekerjaan lain terasa lebih sulit. Tapi aku juga akan mencobanya semampuku.
            Keesokan harinya aku pun menambah extra waktu kerjaku. Kalau biasanya aku bangun jam empat untuk menggoreng penganan yang akan dijual, lalu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, maka sekarang aku harus bangun lebih pagi lagi supaya bisa mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian, perabot, menyetrika, membersihkan rumah dan memperispkan sarapan Rahmi lebih awal pula. Setelah selesai menggoreng kue-kue, aku siap berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjajakan kue-kue buatanku itu. Aku memang harus bisa mengatur waktu supaya sekolah Rahmi pun tidak terganggu karena harus mengantar jemput kue seperti ke kantor suamiku waktu itu.
            Waktu berjalan terasa sangat lambat.  Ternyata perjuangan menjadi seorang single parent tidak semudah yang aku bayangkan.  Lika-liku yang terasa amat pedih, menakutkan dan membuat aku salalu berpikir kenapa Tuhan tega merenggut suamiku lebih dulu. Tetapi aku yakin, ketika kita menjalaninya dengan cinta yang tulus untuk anak-anak kita, maka Tuhan selalu akan memberikan jalan. Jalan yang mudah dilalui dan jalan yang akan memberikan ketentraman batin ini.
            Aku menatap wajah anak-anakku lekat-lekat. Ada gurat wajah Mas Hasan di sana.  Dagunya, lengkung bibir dan senyumnya, kelopak matanya, mengisyaratkan ketegaran hidup. Mas Hasan memang seorang suami yang tegar. Ia kerapkali mendapat perlakuan kurang baik dari atasan dan teman-teman kerjanya, karena jabatan rendahnya yang hanya sebagai sopir kantor. Tetapi Mas Hasan tidak pernah mengeluh dan menganggap itu semua sebagai bagian dari resiko pekerjaan yang harus ditanggungnya.
            Kecintaannya terhadap pekerjaan itu pulalah yang telah merenggut  nyawanya akibat kecelakaan itu. Truk yang ia kemudikan bertabrakan dengan truk lain saat suamiku dalam perjalanan menuju kantornya setelah membawa barang-barang penting dari kantor pusat.  Hanya perlu satu hari saja untuk bisa menemani sisa hidupnya sebelum ajal benar-benar menjemputnya. Senyum terakhirnya begitu tulus, membuat aku pasrah dan ikhlas menerima semua cobaan ini.
            “Bu, Ayah kan sopir. Hampir setiap waktu berada di jalan. Pasti resikonya gede loh, Bu,” celoteh Mas Hasan, semalam sebelum kejadian nahas itu menimpanya.
            “Iya, Ibu tahu. Makanya Ayah hati-hati, ya. Banyak berdoa. Jangan ngebut dan jangan banyak pikiran kosong,” pesanku disambut candaan Mas Hasan.
            “Mikirin apa sih Bu? Palingan juga mikirin Ibu sama anak-anak,” Mas Hasan melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu mengecup kepala bagian belakangku. Kedamaian sekaligus keresahan menyelimuti hatiku kala itu. Aku tidak memiliki firasat khusus, karena perbincangan seperti ini sering kami bahas hanya untuk saling mengingatkan dan mendoakan.
            “Kalau Ayah kenapa-kenapa, jaga anak-anak dengan baik ya, Bu,” celoteh Mas Hasan . Aku tidak menjawab dan menganggapnya sebagai angin lalu.
            Rupanya itulah wasiat terakhir dari suamiku : Menjaga dan merawat anak-anak dengan baik.

--o0O0o-

Rinai kembali luruh. Aku menatap foto keluarga kami. Aku, Mas Hasan dan dua anak kami sedang bercengkrama penuh kebahagiaan. Kini kenangan itu hanya bisa aku simpan dalam memori indah kami. Kini aku harus berani menatap masa depan. Masa depan untuk anak-anakku, meski tanpa kehadiran suamiku lagi.
            Aku masih sibuk mempersiapkan adonan penganan untuk dijual besok waktu handphoneku berbunyi. Rahmi memberikan handphone peninggalan ayahnya itu. Ternyata telepon dari Mas Bayu, kakakku dari luar kota. Ia menanyakan kabarku dan kedua ponakannya. Ia juga menawariku untuk tinggal di rumahnya bersama keluarganya. Ini adalah penawarannya yang kesekian kali setalah aku berkali-kali pula menolaknya dengan lembut. Bukan aku tidak mau menerima bantuan karena aku sudah mampu menghidupi keluargaku, tetapi aku tidak mau menjadi beban bahkan benalu di keluarga Mas Bayu yang aku tahu sendiri juga belum terlalu mapan. Niat baik dan perhatiannya sudah sangat membuatku senang dan bersyukur.
            “Cobalah untuk lebih realistis, Ti. Anak-anakmu memerlukan biaya hidup yang tidak sedikit. Kamu pun masih tinggal di rumah kontrakan. Bagaimana nasib mereka kelak?” Mas Bayu berusaha merubah pendirianku.
            “Aku masih bisa bekerja dengan membuat dan menjual kue-kue , juga menjadi tukang cuci-seterika, Mas. Ya, gajinya memang tidak seberapa, tapi aku tidak perlu meninggalkan anak-anak karena semua pekerjaan itu aku bawa ke rumah,” ucapku mencoba menenangkan pikiran Mas Bayu yang khawatir terhadap nasib kami.
            “Nastiti, dari dulu kamu memang keras kepala. Ya sudah, bagaimana baiknya kamu saja. Tapi ingat, kalau kamu perlu apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku. Kamu masih punya kakak yang bisa kamu mintai pertolongan,” Mas Bayu akhirnya menyerah. Tapi aku senang karena ia menunjukkan sikap penuh tanggung jawab terhadap adiknya yang sedang menghadapi kesulitan ini.
            Dari awal aku bertekad bahwa aku harus bisa mandiri. Menjadi ibu sekaligus ayah memang bukan perkara mudah, tetapi aku harus sanggup berdiri di atas kakiku selama aku mampu. Dan aku masih sanggup menangani semua permasalahan hidupku sendiri tanpa melibatkan saudara-saudaraku dan orang lain. Aku akan berusaha membesarkan anak-anakku sampai mereka berhasil dengan keringat dan usahaku sendiri. Aku yakin, aku pasti mampu.
            “Kenapa kita tidak ikut keluarga Uwak Yu saja Bu?” tanya Rahmi sambil mengerjakan tugas sekolahnya. Uwak Yu adalah panggilan akrab anak-anakku untuk Mas Bayu.
            Aku menatap Rahmi yang kehilangan masa bahagia bersama ayahnya. Bahkan ia pun harus merelakan waku bermainnya untuk membantu aku membuat kue-kue dan berjualan. “Rahmi, akan lebih baik bagi kita untuk tetap berusaha semampu kita, tanpa mengharap belas kasihan orang lain,” jawabku.
            “Tapi Kan Uwak Yu bukan orang lain, Bu,” ucap Rahmi lagi. Lalu ia mulai membereskan buku-bukunya, dan menghampiriku untuk membantu pekerjaanku.
            “Iya, Uwak kamu itu memang bukan orang lain, tapi Uwak juga kan punya keluarga sendiri yang harus diurus. Kalau kita tinggal di sana, bisa-bisa malah membuat Uwak kamu tambah repot,” jawabku lagi,
            Rahmi mengangguk penuh pengertian. Aku tahu, Rahmi pasti senang bisa bermain dengan sepupu-sepupunya, anak-anak Mas Bayu yang seumuran dengannya. Banyak mainan yang bisa ia mainkan di sana, sementara di rumah ini, tidak ada satupun mainan yang Rahmi miliki selain boneka kelinci hadiah ulang tahun dari ayahnya beberapa tahun yang lalu. Aku kadang miris juga jika mengingat hal itu. Rahmi dan Yana memang bukan anak-anak yang selalu terpenuhi kebutuhan masa kanak-kanaknya. Waktu Mas Hasan masih ada, sesekali kami memang pernah rekreasi ke kebun binatang, atau ke arena bermain anak-anak. Tetapi sekarang, aku harus berpikir dua kali jika ingin melakukan hal itu. Aku benar-benar harus mengetatkan ikat pinggang demi kelangsungan hidup kami yang masih panjang.
            Aku kembali mengalihkan perhatianku pada pekerjaan membuat kue. Adonan kue ini baru akan aku buat menjelang subuh nanti, karena aku tidak memiliki lemari pendingin yang bisa menyimpan adonan lebih lama. Sejak aku berjualan keliling, penghasilanku lumayan bertambah. Itu karena aku tidak perlu membagi keuntungan jualan dengan penjual lain jika aku menitipkan dagangan padanya. Tetapi menitipkan dagangan di beberapa warung masih aku jalani pula. Aku bersyukur Tuhan mempermudah jalanku.         
            Aku mulai bisa menabung untuk keperluan yang tidak terduga seperti biaya berobat kalau anak-anakku sakit, amplop kondangan, dan aku pun menyisihkan sedikit untuk sumbangan ke yayasan atau panti asuhan. Aku berharap dengan membantu meskipun hanya sedikit bisa meringankan beban orang lain. Keuntungan hasil jualan yang paling pokok aku pakai untuk biaya sehari-hari, bayar kontrakan, biaya sekolah Rahmi. Dan sekali lagi, aku sangat bersyukur Tuhan memberikanku kesehatan dan kekuatan untuk menjalani semuanya.
           
--o0O0o-

Setahun telah berlalu. Aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa pendamping. Bagiku keberadaan anak-anak membuat Mas Hasan terasa selalu ada di sampingku. Aku kadang berpikir Mas Hasan hanya sedang pergi tugas ke luar kota. Lucu memang, tapi hanya dengan pikiran itu aku masih mendapat kekuatan dan keberanian untuk menghadapi hari esok.
            Saat malam tiba aku sempatkan melakukan sholat malam dan berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, berikanlah kebahagiaan untuk suamiku di alam sana. Dan berikanlah aku kesehatan dan umur panjang agar bisa merawat anak-anak titipan-Mu sampai dewasa dan berhasil.  Berikan mereka kebahagiaan dan jauhkan kami dari segala malapetaka… amin..” Doa yang sangat sederhana, tetapi itulah harapanku. Harapan satu-satunya yang selalu aku perjuangkan.
            Tuhan telah menentukan garis hidup seseorang: mau menjadi perempuan tegar, atau perempuan yang selalu meratapi nasib; merasa Tuhan tidak adil, atau menganggap ini sebagai ujian yang kelak setelah kita sabar menjalaninya akan berbuah manis, sebuah kebahagiaan. Tuhan telah memberikan jalan untuk mencapai kebahagiaan itu. Tuhan telah mempermudah semua langkah ketika kita benar-benar bisa menerimanya dengan ikhlas. Tuhan telah menjadikan aku seorang single parent yang tiada lelah berjuang untuk kebahagiaan anak-anakku. Terima kasih Tuhan atas semua yang Kau percayakan padaku.
            Terima kasih suamiku karena selama hidupmu, engkau  selalu memberikan cinta dan mengajariku bagaimana cinta itu bisa merubah lelah menjadi indah, dan sakit menjadi spirit. Hidup adalah jalan untuk menikmati dan mencapai bahagia. Dan kematian pun menjadi jalan untuk menikmati semua yang sudah kita beri selama hidup.

--o0O0o-

Biodata Singkat :
Nama saya Kamiluddin Azis, biasa disapa Kang Aming. Lama tidak menulis karena kesibukan saya bekerja sebagai seorang akunting di sebuah perusahaan swasta nasional, membuat saya merasa  banyak waktu yang terbuang. Karenanya di akhir tahun 2011 saya kembali bermain dengan keyboard computer tua saya untuk membuat banyak karya. Belum banyak yang dipublish, tetapi di tahun 2012 ini saya akan melesat bak meteor.

Minggu, 29 Januari 2012

JANJI ANNISA : #3 Sebuah Mimpi Aneh

3
SEBUAH MIMPI ANEH
           
 
Keringat bercucuran di kening Anissa. Napasnya hampir habis. Ia berlari dengan kaki terpincang-pincang. Tak peduli darah terus merembes dari luka di telapak kakinya. Anissa terus berlari. Hanya ada satu dalam pikirannya, jangan sampai binatang itu menerkam dan memakannya.
            Gua itu... ia harus segera sampai ke gua itu.
            Setelah sepakat untuk menunda ekspedisi ke gua bersama teman-temannya tadi sore, Anissa awalnya mengikuti langkah keempat temannya menuruni bukit. Tetapi ketika hendak menyeberangi sungai ia sendiri membelokkan arah langkahnya ke jalan setapak lain yang penuh semak belukar. Ia sendirian menyusuri jalan itu dengan satu keinginan untuk bisa mencapai gua itu. Anissa penasaran sekali dengan cerita seputar gua itu. Cerita yang menyeramkan, juga cerita lain yang menyenangkan.
            Siang pun berganti senja. Anissa masih belum juga mendekati gua itu. Ternyata jalan yang dilalui tidak semudah yang ia bayangkan. Selain licin dan banyak semak berduri, Anissa juga harus melompati aliran sungai kecil dan bibir jurang yang curam. Sesekali ia tergelincir dan hampir terjatuh ke dalam jurang. Tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau sampai ia jatuh ke sana.
            Anissa hanya ingin membuktikan bahwa dalam keadaan terluka pun ia bisa berhasil menuju gua itu. Ini akan menjadi kebanggaan tersendiri buat Anissa ketika teman-temannya pulang karena takut kemalaman, ia sendirian yang bisa mencapai gua itu.
            Tapi di tengah jalan, ketika Anissa menyeret kaki kirinya yang terluka, sepasang mata hijau menyala menatapnya dari kejauhan. Tidak terlalu jauh sebenarnya, apalagi dengan sekali lompat siempunya mata api itu bisa kapan saja berdiri di depan Anissa. Anissa mendengar dengkuran halus seperti suara kambing qurban yang pasrah menghadapi kematiannya.
Bulu kuduk Anissa tiba-tiba berdiri. Membayangkan darah mengucur di belahan leher binatang qurban membuat Anissa merinding sekaligus mual. Tetapi apa yang dihadapinya kali ini tidak nampak di depan matanya. Hanya sebuah suara, dan gerakan-gerakan dedaunan tersibak sesuatu. Mungkin angin, tapi mungkin juga yang lain.
Semakin Anissa mempercepat langkahnya suara itu semakin terdengar jelas. Dengkuran itu malah semakin membuat Anissa yakin sesuatu yang hidup tengah mengikutinya. Seekor binatang mungkin sedang mengincarnya. Harimau kah? Atau seekor beruang yang besar. Mungkinkah ada kingkong di bukit ini?
Dugaan Anissa ternyata benar, seekor harimau dengan ekor yang tebal dengan awas menatapnya. Mungkin ia mencium bau amis darah Anissa. Menyadari hal itu Anissa mulai berlari. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalannya ia sikut. Anissa berhasil memungut sebatang ranting yang kuat sehingga dengan ranting itu ia bisa membabat rumput liar dan cabang pohon kecil yang menghalangi pandangannya.
Tapi langkah binatang itu lebih cepat dari perhitungannya. Anissa nyaris diterkam kalau saja ia tidak tergelincir dan jatuh ke dalam jurang.
Anissa berteriak sekeras-kerasnya, sehingga ibu yang menungguinya sedari tadi terlonjak kaget.
“Istighfar, Nis…. Istighfar…” ibu berbisik ke kuping Anissa.
“Coba ganti kompresnya, Bu,” saran ayah.
Ridwan datang membawa air dingin dalam baskom kecil dengan handuk bersih di dalamnya. Ridwan juga menemani ibu menunggu Anissa adiknya, kalau-kalau ia dibutuhkan untuk mengambilkan sesuatu yang diperlukan.
Ibu mengganti handuk kompresan di kening Anissa dengan handuk dingin yang baru. Ia kelihatan cemas sekali.
“Apa kata dokter, Bu?” bisik ayah.
“Mungkin karena luka di kakinya yang banyak mengeluarkan darah. Untung tadi dokter menyuntikkan obat anti tetanus, kalau tidak ibu tidak tahu lukanya akan separah apa.” Jawab ibu sambil menyeka air yang menetes di matanya.
Ridwan menggenggam tangan ibu. “Biar Ridwan yang jagain Nissa ya, Bu. Ibu istirahat saja.”
“Kenapa Anissa masih membandel ya, Bu,” keluh ayah. Sedikit kecewa dengan tingkah Anissa sekaligus bingung mesti bagaimana menasehati anak perempuannya yang satu itu. Ayah tidak mau terlalu keras pada Anissa, tetapi dampaknya malah seperti ini.
“Ibu juga tidak tahu. Kata teman-temannya mereka tidak pernah memaksa Anissa untuk ikut. Tapi Anissa sendiri yang bersikeras. Malah mereka bilang kita sudah mengizinkan Anissa.”
“Ayah tidak tahu kalau Anissa mau pergi ke bukit itu.” desah ayah tidak habis pikir kenapa bisa-bisanya Anissa berbohong seperti itu, padahal tidak ada yang memberi contoh perbuatan tidak baik itu di keluarganya.
“Sudahlah, Yah. Yang penting Anissa tidak kenapa-napa,” hibur ibu.
“Kakinya luka dan bisa terkena tetanus, dan sekarang ia panas dan mengigau, ibu bilang ia tidak kenapa-napa?” ayah berusaha menahan emosinya. Emosi sedih sekaligus khawatir.
Ibu mulai menangis. Ia tidak bisa membayangkan kejadian yang lebih buruk yang mungkin menimpa anaknya. Anissa masih kecil, tapi kelakuannya sudah membuat ibu ketakutan setengah mati. Ya Allah, sembuhkanlah anak hamba, doa ibu.
            Ayah pun meninggalkan ibu untuk menunaikan sholat sunnat supaya Anissa lekas sembuh.
*
            Hari Senin Anissa terpaksa tidak berangkat sekolah. Kakinya masih sakit, dan kepalanya terasa pusing. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Apakah ia benar terpisah dari teman-temanya dan melanjutkan ekspedisi seorang diri? Apakah benar ia dikejar harimau ketika hendak menuju gua itu? Apakah benar ia terjatuh ke dalam jurang dan selamat dari kejaran binatang buas itu?
            Apakah semua itu hanya mimpi? Sebuah mimpi aneh yang terjadi karena Anissa terlalu lelah bermain, atau dikarenakan luka di kakinya yang menyebabkan badannya panas? Apakah mimpi itu memiliki makna tertentu? Apakah ini balasan untuk Anak yang pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya, dan bahkan berbohong atas nama mereka? Anissa terlalu pusing untuk memikirkan semua itu.
Yang jelas, teman-teman Anissa pun ikut merasa bersalah. Andrian, Doni, Edo dan Mayang berkali-kali berkunjung ke rumah Anissa untuk melihat kondisi temannya itu. Tetapi ibu meminta mereka untuk kembali lagi nanti kalau Anissa sudah membaik.
“Memangnya kalian pergi ke mana sih?” Tanya Ridwan pada Doni dan teman-temannya.
Doni tidak menjawab. Yang lain pun tidak berani angkat bicara. Mereka merasa malu atas kejadian ini.
“Kalian tahu, Anissa itu masih kecil, sangat berbahaya pergi ke tempat asing tanpa didampingi orang dewasa. Dan kalian juga masih anak-anak kan?” lanjut Ridwan. Gaya bicara Ridwan sudah bukan seperti anak kelas enam SD lagi.
“Dan Kamu Andrian, Kamu kan anak paling besar diantara kawan-kawanmu itu. Semestinya memberi contoh yang baik dan menjaga mereka, bukan malah mengajak mereka bermain yang tidak-tidak. Lebih baik belajar, bukankah sebentar lagi kita ujian nasional?” Ridwan berusaha menahan emosi supaya tidak tampak marah di depan teman-teman Anissa.
“Tapi semua ini juga salahku. Aku tidak bisa menjaga adikku dengan baik. Aku tidak bisa menjadi teman bermain yang menyenangkan. Sedangkan dengan kalian sepertinya Anissa merasa senang dan bebas.” Setitik air mata menetes di pipi Ridwan. Untuk apa ia merasa malu menangis di depan Andrian dan teman-teman Anissa. Ridwan hanya ingin mereka tahu kalau Ridwan juga menyayangi Anissa.
Diam-diam Andrian merasa malu dengan kedewasaan Ridwan. Ia pun sama sudah kelas enam, tapi ia masih merasa seperti anak-anak yang tidak berpikir terlalu jauh dalam melakukan sesuatu.
Sejenak suasana tampak sepi. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kami pergi ke bukit di desa sebelah,” akhirnya Mayang memecah keheningan itu.
Ridwan menarik napas, benar juga, pikirnya. Ia memang sudah menduga waktu melihat luka di kaki Anissa. Ia jadi teringat waktu mengikuti pelantikan anggota PMR di sekolahnya. Pelantikan itu diadakan di bukit batu itu. Salah seorang anggota PMR yang dilantik terluka waktu menyeberangi sungai besar. Kakinya tergores ranting patah runcing yang hanyut di sungai. Lukanya menganga dan cukup parah. Ia bahkan tidak bisa masuk sekolah lebih dari tiga hari.
Bukit itu bisa dibilang masih asli. Hutannya lebat dengan tumbuhan-tumbuhan tua yang langka. Mungkin di sana banyak juga binatang buas seperti dalam mimpi Anissa. Ridwan jadi khawatir kalau membayangkan Anissa dan teman-temannya pergi ke sana. Untung saja Anissa tidak hanyut ke sungai dan terbawa arus yang cukup deras itu.
“Anissa terpeleset, dan kakinya berdarah,” balas Edo.
Ridwan menganggukkan kepala. Itu sudah jelas. Luka di kaki Anissa menampakkan ada benda tajam yang mengiris kulitnya. Tapi Ridwan tidak habis pikir kenapa Anissa tiba-tiba mengigau dan menjerit-jerit setelah pulang ke rumah.
            “Eh, kalian sudah datang, masuk yuk,” tiba-tiba ibu muncul dari dalam rumah dan menyuruh teman-teman Anissa masuk. Tadi siang ibu menyuruh teman-teman Anissa untuk pulang dulu dan datang kembali sore ini.
            Setelah ibu memberi nasehat supaya anak-anak tidak bermain terlalu jauh, apalagi ke tempat-tempat yang berbahaya, teman-teman Anissa diperbolehkan masuk ke kamar Anissa.
            Kamar Anissa berukuran tiga kali empat meter. Tempat tidur Anissa terbuat dari besi yang dicat mengkilat. Kasur empuknya dilapisi kain seprai motif bunga matahari yang senada dengan warna dinding kamarnya. Di atas meja belajar Anissa terdapat komputer dengan monitor warna pink dan abu-abu, persis sama dengan warna keyboard dan mousenya. Buku-buku pelajaran berderet rapi. Ibu yang merapikannya karena sepulang sekolah Anissa biasanya langsung pergi lagi bermain.
            Di samping tempat tidur Anissa terdapat meja kecil yang merupakan rak buku. Koleksi buku Anissa kebanyakan komik Naruto, conan dan komik olahraga. Komik terbaru yang Anissa beli minggu lalu adalah Naruto edisi 43.
            Edo, Doni, Andrian dan Mayang takjub melihat isi kamar Anissa. Rapi. Tapi pasti yang merapikan ini semua bukan Anissa, begitu kompakan isi kepala teman-teman Anissa menduga. Untung Anissa mempunyai ibu yang baik dan pengertian. Sabar dan sangat menyayangi anak-anaknya. Padahal Anissa termasuk anak yang susah diatur.
            “Kamu kenapa, Nis? Perasan kemarin cuma luka di kaki doang,” celetuk Edo sambil menyomot kue brownies yang disuguhkan ibu.
            “Iya nih.. dengar-dengar dari Kak Ridwan, Kamu teriak-teriak kayak orang kesurupan ya…” timpal Mayang.
            “Aku cuma mimpi.. mimpi seram banget. Tapi anehnya koq mimpi itu seperti nyata banget. Aku sampai terengah-engah dibuatnya.” Jawab Anissa sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar. Ia mengganjal punggungnya dengan bantal yang empuk.
            “Seram gimana, Nis?” Doni antusias mendengarkan cerita Anissa.
            “Aku dikejar harimau waktu aku mau ke goa itu. Kalian tahu, pas mau nyeberang sungai waktu mau pulang itu aku balik lagi dan penasaran ingin pergi ke gua itu. Lalu aku ke sana. Di tengah jalan aku dibuntuti sesuatu?”
            “Suku kanibal?” potong Doni sambil membayangkan film-film horror yang sering ia tonton.
            “Harimau besar dengan taring tajam dan liur membasahi mulutnya yang lapar. Siap menerkam kapanpun kita lengah. Aku lari terbirit-birit begitu tahu harimau itu sudah ada di belakangku.” lanjut Anissa.
            “Dasar mimpi, waktu itu kan Kamu pingsan, Nis,” ucap Andrian yang tidak begitu suka mendengar cerita tentang mimpi-mimpi seram.
            “Kita semua juga tahu, Bang…. Tapi selama Anissa pingsan itu apa yang terjadi kan cuma Anissa yang merasakan. Makanya sekarang kita dengerin kelanjutan ceritanya. Seru nih,” protes Mayang.
            Anissa pun melanjutkan ceritanya. Ia lalu minta pendapat teman-temannya apakah rencana mereka untuk pergi ke gua itu lain kali dibatalkan saja?
            “Iya sih, mimpi Kamu itu pertanda buruk. Kalau sampai kita jadi ke sana, bisa tamat kita, the end…” tukas Edo.
            “Ah dasar penakut Kamu, Do. Itu kan cuma mimpi. Mimpi itu kata orang tua kembangnya tidur. Justru sekarang ini saatnya buat kita menepis perasaan takut kita, gara-gara mimpi itu.” Doni tidak setuju.
            “Ini memang tantangan besar buat kita. Tapi…. gimana kalau di sana beneran ada harimaunya?” Mayang jadi ragu.
            “Itu kan cuma bukit biasa. Mana ada binatang buas di sana. Kita harus ke sana,” Anissa meyakinkan teman-temannya.
            Perasaan ragu, takut, bersemangat, ingin membuktikan sesuatu, berkecamuk dalam masing-masing benak anak-anak itu. Apalagi Anissa jiwa petualangannya terpancing, dan ia ingin segera sembuh supaya nanti bisa pergi lagi ke bukit itu.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

Minggu, 15 Januari 2012

JANJI ANNISA : #2 Petualangan di Hari Minggu

2
PETUALANGAN DI HARI MINGGU
            Anissa tiba di rumah Doni dengan napas terengah-engah. Seperti dugaan Anissa teman-teman Anissa sudah menunggunya sejak pagi. Doni melipat tangan di dada, Edo berkacak pinggang, dan Andrian membuang muka, sementara Mayang memonyongkan bibirnya begitu melihat Anissa tiba di rumah Doni. Semuanya kelihatan kecewa menyambut kedatangan Anissa yang terlambat lebih dari satu jam.
            “Maaf ya, Teman-teman,” desis Anissa dengan nada menyesal. Ditatapnya wajah teman-temannya satu persatu dengan perasaan bersalah. Ia tahu persis kalau mereka sedang marah pasti raut muka mereka berubah. Ia sadar betul dengan kesalahannya. Kemarin sore mereka sepakat untuk berkumpul di rumah Doni sebelum jam tujuh, supaya pas jam tujuh bisa langsung berangkat ke tempat tujuan. Dan Anissa yang paling menggebu untuk melakukan ekspedisi ini.
            “Kalau terlambat kira-kira dong, Neng,” sindir Mayang.
            “Iya, bisa bulukan kita semua nungguin Kamu, Nis,” timpal Edo.
            “Maaf deh. Aku tadi ngerayu ibu sama ayah dulu supaya bisa dapat izin. Kalian tahu kan ketatnya peraturan di rumahku,” Anissa terpaksa berbohong.
            “Ya, namanya juga anak mami...” ledek Doni.
            Anissa semakin tidak enak hati. Sudah terlambat bangun pagi, masih dimarahin teman-temannya, terpaksa berbohong pula.
            “Ya sudah, mendingan kita cepat berangkat supaya tidak terlalu siang. Panas nanti,” usul Andrian.
            “Let’s go!” teriak Doni yang kemudian diamini teman-temannya yang lain.
            Anissa memarkirkan sepedanya di garasi rumah Doni, kemudian ia mengikuti teman-temannya yang lain. Mayang merangkul Anissa pertanda ia sudah melupakan kejadian tadi. Sebagai teman Mayang dan teman-teman Anissa lainnya memang selalu setia kawan.
            Kelima anak yang memiliki hobi yang sama itu pun memulai perjalanan mereka dengan keluar desa dan menapaki jalan kecil di pematang sawah. Anak-anak ini begitu kompak. Mereka kadang-kadang melakukan hal-hal jahil bersama-sama seperti memanjat pohon jambu milik orang, memetik semua buahnya dan menyisakan buah jambu yang sudah membusuk di pohon itu. Mereka paling sering melempari anak anjing tetangga yang selalu menggonggong setiap kali mereka lewat rumah itu. Terutama Edo yang selalu usil dan tidak suka dengan suara anak anjing.
            Pada bulan Ramadhan, saatnya mereka berpesta petasan dan kembang api. Meskipun sudah dilarang oleh Wak Haji dan diancam Pak RT mau dilaporkan ke polisi kalau masih membandel, mereka sembunyi-sembunyi menyulut petasan dan melemparkannya ke sembarang tempat. Tidak jarang orang yang lewat di gang-gang kena usil mereka.
Mereka juga ahli main mercon, terutama Doni dan Andrian yang terkenal tidak terkalahkan. Kalau Edo paling jago manjat pohon kelapa sekaligus membelah buah kelapa. Jadi kalau mereka kecapean dan kehausan sehabis main layang-layang di sawah, mereka tinggal menyuruh Edo memetik kelapa dan membelahnya. Tidak perduli itu pohon kelapa milik siapa. Biasanya sih kalau sudah habis baru mereka minta izin kepada yang punya.
Mayang, meskipun anak perempuan tapi jago juga main bola. Ia ikut team anak laki-laki melawan kesebelasan desa seberang pada acara 17 Agustusan tahun lalu. Anissa juga ikut kesebelasan sepakbola di desanya bersama Mayang. Meskipun ia bisa diandalkan mencetak gol ke gawang lawan, tapi keahlian Anissa yang paling menonjol ialah bermain sepeda dengan melakukan gerakan-gerakan yang rumit dan berbahaya seperti jumping dan split, mengendarai sepeda dengan satu ban, juga berputar-putar di udara sebelum mendarat ketika sepeda berhasil melompat dari tempat tinggi.
Anissa dan teman-temannya itu sebenarnya tidak satu angkatan, bahkan mereka tidak satu sekolah. Hanya Edo dan Doni yang satu sekolah. Itu pun berbeda kelas. Doni kelas empat, sedangkan Edo kelas lima. Anissa dan Mayang kelas tiga dan berbeda sekolah. Sedangkan Andrian yang paling tua diantara mereka, yaitu kelas enam dan sekolahnya jauh di kota. Tapi mereka semua dipertemukan dalam satu desa dan hobi yang sama, yaitu melakukan hal-hal yang berbeda dengan anak-anak sebaya mereka lainnya. Seperti melakukan petualangan ini salah satunya.
*
            Udara hari Minggu pagi itu segar sekali. Matahari menjelang siang tidak terlalu terik. Apalagi di daerah pedesaan yang masih banyak tumbuh pohon hawa panas segera ditepis udara yang sejuk, sarat akan oksigen yang menyehatkan paru-paru. Sejauh mata memandang sawah terbentang luas. Dengan warna kuning keemasan laksana permadani yang dihamparkan di mesjid yang megah. Anissa merasa takjub dengan pemandangan itu, mengingatkan ia waktu diajak ibu bekunjung ke kubah emas di Depok.
            Kelima anak yang bersahabat sejak lama itu berjalan di pematang sawah yang sempit. Guratan-guratan tanah retak yang baru mengering setelah subuh tadi disiram hujan, menjadi padat setiap kali kaki-kaki kecil penuh semangat menginjaknya. Anissa berlari kecil dan main kejar-kejaran dengan Mayang. Doni hampir saja terpeleset dan kecebur ke dalam sawah.
Edo bersiul begitu melihat sebuah saung kosong dan memberi tanda kepada teman-temannya untuk beristirahat dulu di sana. Doni dan teman-teman lainnya setuju. Andrian malah megusulkan supaya Edo memetik beberapa butir kelapa yang kebetulan tumbuh di sekitar saung, untuk mengusir haus.
Anissa mengeluarkan bekal dari ranselnya. Ia lupa tadi pagi tidak sempat sarapan, pantes saja ia sangat lapar. Dilahapnya roti bungkus isi selai strowberry dan menawarkan bekal lainnya kepada teman-temannya. Mereka pun melahap makanan dan buah-buahan segar pemberian Anissa.
            “Yang, benar nggak sih, kalau kita minum air kelapa yang dipetik si Edo itu haram?” tanya Anissa sambil memberikan air mineral gelas ke Mayang.
            “Ya enggak dong. Kan nanti kita bilang,” jawab Mayang.
            “Tapi kata ayah itu bukan perbuatan baik. Sebaiknya sih kita bilang dulu ke yang punya,” lanjut Anissa ragu. Mayang tidak bisa menjawab.
            “Iya sih, kata Pak Ustadz juga gitu. Tapi gimana lagi dong, yang punya kan rumahnya nggak tahu di mana. Lagian pohon kelapa dan semua yang ada di bumi ini kan milik Allah. Jadi ya, boleh kali, ya..” timpal Andrian.
            Yang lain manggut-manggut. Sementara setuju saja dengan pendapat teman-teman mereka. Anissa tidak terlalu ambil pusing karena kebetulan dia membawa bekal. Tapi melihat buah kelapa muda dengan airnya yang segar ia ngiler juga. Anissa pun menikmati air kelapa muda yang dipetik Edo dan dilubangi bagian atas buahnya dengan pisau lipat yang biasa dibawa Edo kemana-mana. Berlima mereka menghabiskan tiga butir kelapa dan membawa daging kelapa muda itu dengan plastik.
            Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit yang sudah kelihatan di depan mata. Bukit itu sangat tinggi. Pohon-pohonnya menjulang dengan cabang yang saling bertautan satu sama lain. Daun-daunnya lebat dan besar-besar. Suasana di sana sepertinya sejuk dan damai.
            Untuk sampai ke bukit itu, kelima anak itu harus melewati sebuah sungai besar. Sungai itu dangkal tetapi airnya sangat deras. Batu-batu besar yang berserakan di dasar sungai membuat air beriak dan menimbulkan suara yang sangat berisik, tetapi berirama dan sangat menakjubkan. Kalau kita berada di sana dan menghirup udara dalam-dalam batin kita akan terasa tenang dan damai. Suara air diselingi teriakan binatang-binatang, siulan burung dan desiran angin membuat kita merasa tidak pernah memiliki beban dalam hidup kita.
            Melihat pemandangan yang menakjubkan serta merta anak-anak kecil itu melepaskan sepatu dan berlarian menceburkan diri ke dalam sungai. Melihat derasnya air, mereka hanya berani bermain di pinggiran sungai yang airnya jernih itu. Doni menyimprati Edo dan Andrian yang sedang menikmati segarnya air sungai itu. Keduanya lalu membalas menyiprati Doni. Doni berusaha menghindar, tetapi jarak mereka dekat sekali sehingga muka dan badan Doni pun terkena air.  Anissa tidak mau kalah, ia pun menyiprati Mayang yang kelihatan takut dengan air. Mayang pun menjerit-jerit. Di balik rasa takutnya ia pun merasa gembira.
            Setelah merasa cukup bermain, mereka kemudian bersiap-siap menyeberangi sungai. Andrian berdiri di depan, tangan kanannya menjinjing sepatu sedangkan tangan kirinya memegang erat tangan kanan Mayang yang juga memegang sepatunya. Tangan kiri Mayang berpegangan dengan tangan kanan Doni dan tangan Doni berpegangan dengan tangan Anissa, sedangkan Edo di belakang Anissa yang juga menggenggam erat satu sama lain. Kelimanya berjalan perlahan dan penuh waspada jangan sampai ada yang tergelincir dan hanyut terbawa arus sungai.
            Mayang komat-kamit berdoa, sedangkan Edo bersiul menyanyikan lagu grup band yang lagi tenar untuk mengusir rasa takut mereka. Anissa kelihatan lebih tenang. Ia malah berpikir tentang kejadian pagi tadi ketika ia terlambat bangun dan shalat Subuh. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya kenapa ia tidak menuruti nasihat ibunya untuk segera bangun dan shalat berjamaah bersama di mushola keluarga. Melihat derasnya air sungai itu ia berpikir bisa saja ia dan teman-temannya mengalami kecelakaan.
            Dan ketakutan Anissa hampir saja terjadi, tiba-tiba ia merasa menginjak sebuah benda tajam di dasar sungai. Seketika ia menghentakkan kakinya membuat Doni tersentak dan nyaris jatuh. Tangan Doni spontan terlepas dari pegangan tangan Mayang, sepatu yang dipegangnya pun jatuh dan hanyut terbawa air. Hampir saja Doni berusaha mengejar sepatunya yang hanyut, tetapi Mayang segera menarik tangan Doni dan mencegah Doni melakukan hal itu.
            “Jangan Don, “ teriak Anissa sambil menggenggam erat tangan Doni yang berpegangan dengan tangannya.
            Doni hanya bisa menatap sepatu bolanya yang hanyut terbawa arus sungai yang deras. Ia hanya bisa berharap kalau ia menyusuri sungai ini ia bisa menemukan sepatunya terdampar di suatu tempat.
            “Kamu kenapa Nis?” tanya Edo beralih ke Anissa.
            Anissa mengangkat kaki kirinya yang ternyata menginjak pecahan beling di dasar sungai. Darah segar merembes di telapak kaki Anissa yang terluka. Ketika ia memaksakan berjalan di dalam air, sebuah aliran kecil seperti benang merah menari-nari di atas air dan lalu menghilang.
            Sesampainya di tepi sungai Doni masih shock. Ia merasa sangat kehilangan sepatu kesayangannya. Sepatu itu pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun Doni beberapa bulan yang lalu. Hampir ia menangis, tetapi tentu saja ia tahan karena rasa malu di hadapan teman-temannya. Sang petualang koq cengeng, bisiknya dalam hati.
            Sementara itu Anissa meringis menahan sakit. Darah masih saja keluar dari telapak kakinya yang robek. Edo yang terkenal gesit segera mencabut daun-daunan di sekitar tepi sungai, membejeknya kemudian menyumpalkannya ke kaki Anissa. Anissa menjerit menahan sakit.
            “Kamu bawa sapu tangan, Nis?” tanya Edo. Seperti seorang perawat di tempat terpencil, Edo menggunakan apa saja yang ada untuk melakukan pertolongan pertama. Seperti waktu tangan Doni terkena ledakan petasan, Edo melumuri tangan Doni dengan lumpur basah sehingga luka bakar bekas petasan itu tidak terlalu parah.
            Anissa mengeluarkan sapu tangan dari ranselnya. Edo membungkus obat yang terbuat dari daun-daunan itu dengan saputangan tadi dan mengikatnya di punggung kaki Anissa. Anissa berhenti mengerang.
            “Enakan, Nis?” tanya Mayang ikut merasakan kesakitan.
            “Lumayan. Makasih ya, Do,” jawab Anissa sambil minta bantuan berdiri ke Edo.
            Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit itu. Di atas bukti itu kata orang-orang ada sebuah batu besar yang menyerupai kasur, lengkap dengan bentuk bantal dan gulingnya. Juga ada gua yang hangat seperti kalau kita sedang duduk di depan perapian waktu hujan badai.
            Ketika berhasil mencapai puncak bukit kelima anak itu bersorak kegirangan. Mereka berlari-lari dan menikmati kebebasan di alam terbuka. Berteriak dan menjerit-jerit. Tak terkecuali Anissa dengan kaki kirinya yang terluka ia melompat-lompat penuh semangat, gembira. Akhirnya ia bisa juga berada di bukit yang menurut orang-orang angker.
            “Teman-teman, gimana kalau kita membuat baling-baling dan menancapkannya di pinggir tebing itu?” usul Andrian.
            “Wah, ide bagus tuh, Ndri. Nanti kita bisa lihat dari bawah baling-balingnya berputar ditiup angin,”  Mayang antusias.
            “Ya, kita jadikan baling-baling ini sebagai simbol persahabatan kita,” timpal Edo.
            Akhirnya semuanya bergerak. Edo mencari rotan yang tumbuh subur di bukit itu. Anissa dan Mayang bertugas membelah dan membuat baling-baling. Doni dan Andrian mendirikan tiang dan memasang baling-baling buatan mereka, memastikan arah angin sehingga baling-baling itu berputar ditiup angin.
            Kelima baling-baling selesai dibuat dan tiang berhasil dipancangkan  dengan kuat. Baling-baling itu pun berputar dan menimbulkan suara yang unik, perpaduan suara siulan burung pipit dan desiran angin di musim kemarau. Kelima anak itu menatap hasil karya mereka dengan takjub.
            “Aku ingin pergi ke gua itu, Teman-teman,” Anissa memecah keheningan yang menakjubkan itu. Ia menunjuk sebuah gua yang jaraknya beberapa kilometer dari tempatnya berdiri.
            “Iya, menurut cerita orang-orang gua itu hangat dan di dalamnya banyak ukiran-ukiran hasil karya orang zaman dulu,” seperti biasa Mayang menanggapi dengan penuh semangat, menunjukkan kalau dirinya senang sekali berpetualang.
            “Tapi, banyak juga orang bilang kalau di sana tuh pernah dijadikan markas  pejuang waktu melawan penjajah. Sekarang malah dijadikan tempat persembunyian narapidana yang kabur,” ujar Doni.
            “Aku juga ingin ke sana. Tapi melihat keadaan sebaiknya sih kita tunda dulu rencana kita ini,” Andrian menengahi.
            “Iya. Kasihan Anissa, kakinya masih luka. Aku takut nanti bertambah parah,” Edo menghela napas berat. Ia juga ingin sekali melanjutkan perjalanan, tetapi ia tidak tega melihat kondisi Anissa.
            “Aku nggak apa-apa koq,” Anissa jadi tidak enak hati.
            “Mending kita pulang aja, supaya tidak kesorean. Ya minimal kita sudah tahu tempat ini seperti apa, dan medan yang dilalui bagaimana. Mayang kan pengen nyobain tidur di atas kasur batu, tadi udah kan ya, May?” lanjut Andrian.
            “Ya udah deh, kalau begitu. Tapi aku janji suatu hari nanti akan membawa kalian ke sana.” Desah Anissa sedikit kecewa.
            Akhirnya semua sepakat untuk menghentikan ekspedisi itu dan pulang ke rumah masing-masing.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

Sabtu, 14 Januari 2012

Flash Fiction : Nirmala

oleh Kamiluddin Azis pada 14 Januari 2012 pukul 21:05 
 
 NIRMALA

Gemersik air menyentuh bebatuan. Senyap. Hanya desir angin dan bisik pohon yang memanjakanku.
             Duduk di bawah pohon tua sambil menghirup udara segar menjadi ritual wajib setiap kali kaki ini lelah menyusuri jalan setapak ini. Jalan setapak yang menghubungkan desa tempat tinggalku sementara ini dengan desa lain di kaki bukit sana. Membawa hasil panen, atau hanya sekedar mencari angin segar.
          Beberapa orang melintas, tetapi itu tidak cukup menarik perhatianku. Padahal sesekali mereka menyapa dengan bahasa daerah yang belum sepenuhnya aku pahami. ‘Nuju naon, Den? (sedang apa, Nak)’ atau, ‘hayu atuh urang sareng! (ayo, kita bareng)’. Tegur-sapa sopan yang jarang aku temui lagi di kota.
            Tapi bukan tegur-sapa dengan bahasa daerah yang dilontarkan orang tua-orang tua yang kebetulan lewat di depanku itu yang aku tunggu. Aku sedang menunggu senyum sapa dari seorang gadis yang pada empat-lima hari lalu melintas sambil menjinjing bakul bambu berisi  pakaian basah yang telah dicucinya. Sebuah aliran sungai jernih menjadi tempat rutinnya mencuci pakaian kotor bersama gadis-gadis lainnya.
           “Punten, Kang,” sapanya halus. Seulas senyum mengembang dari bibirnya, menyihir rasa kagetku menjadi takjub dan pana. Masih dengan tertunduk, gadis itu berlalu meninggalkan desir sejuk yang merambat perlahan ke dalam dadaku.
                “Iii.. iya…,” balasku terbata-bata seraya membalas senyumnya. Aku tidak tahu bagaimana rupaku saat itu : masih bengong seperti orang kesambet, atau mendadak cupu seperti orang bego yang kedapatan mencuri dan tidak bisa membela diri. Ingin sebetulnya saat itu aku mengajukan beberapa pertanyaan semisal : ‘saha namina? (siapa namanya)’ atau ‘mulih ti mana ?(pulang dari mana?)’ seperti yang pernah diajarkan kakekku selama berhari-hari. Tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk mengutarakannya.
          Gadis itu benar-benar telah menyumbat aliran darah ke otakku. Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih , mendengar apa yang kakekku ajarkan tentang bagaimana membuat tanaman wortelnya bisa tumbuh besar dan sempurna, atau sekedar menyahut setelah beberapa kali nenek memanggilku untuk makan bersama. Di tempat tidur pun pikiranku akan melayang pada pertemuan pertamaku dengan gadis pembawa bakul cucian itu, yang kemudian -berkat usahaku investigasi sana-sini- aku tahu namanya ‘Nirmala’ seperti nama puteri dalam dongeng di majalah si Bobo.
         Setiap hari, sejak saat itu, aku menunggunya sambil duduk di bawah pohon tua ini. Tetapi lengkung bibir itu tidak pernah aku jumpai lagi. Ke manakah Nirmala-ku? Ke manakah sang penyihir yang telah membuat detak jantungku berdegup tak menentu? Apakah ia sakit atau memang sengaja menghindariku, seorang lelaki berperawakan asing yang tiba-tiba muncul di desanya? Tapi kenapa?
         “Nirmala itu anaknya Pak Sabar, ketua RW di sini. Kalau Fadhil ingin ketemu, besok Kakek sama Nenek bisa ajak kamu ke rumahnya,” Kakek seperti bisa membaca kegelisahan yang merajai malam-malamku. Seketika berbunga hatiku, rindu yang membuncah akan segera meretas, menemui sang muara senyum indah itu. Dan malam berlalu dalam buai mimpi penuh harap.

                                                                             -oOo-

Suara ‘degung’ alat musik tradisional Sunda bergema riang. Dari tempatku duduk aku hanya bisa menikmati lengkung bibir merah itu mengembang setiap kali si pemiliknya menerima ucapan ‘selamat’ dari para tamu. Binar mata dan rona bahagia Nirmala begitu indah. Tetapi semua itu hanya bisa aku pandangi dan tidak bisa aku miliki.

                                                                     -ooOOoo-

Kamis, 12 Januari 2012

CINTA DITOLAK BOKAP BERTINDAK


CINTA DITOLAK BOKAP BERTINDAK

Duh, malu banget rasanya. Udah brewokan begini masih aja diperlakukan kayak anak kecil. Gue kan udah kuliah, Madam… udah tingkat akhir lagi. Masa dibekelin nasi goreng ma telor ceplok segala. Lengkap dengan tumbler berisi air mineral. Apa kata dunia….
Coba deh lo bayangin, sejak gue pake putih biru Mami belum bisa ngelepas kebiasaan yang diterapin sejak gue masih pake seragam SD. Padahal, secara gue udah SMP, gue kan tumbuh jadi ABG yang nggak mau lagi dikawal ke sana-sini. Gue malu banget, tau, waktu Mami sepaket dengan Papi nganterin gue di hari pertama gue masuk SMP. Temen-temen gue pada bawa motor sendiri, sedangkan gue serombongan pake mobil keluarga yang sengaja Papi beli buat ngerayaan gue udah masuk SMP. Lebay banget nggak sih.
Alay maralay Mami sama Papi gue belum berakhir sampai celana biru pendek berubah jadi celana panjang abu-abu. Dan brewok tipis mulai tumbuh di muka gue. Tetep aja kedua ortu gue memperlakukan gue kayak anak kecil begitu. Gue udah protes berkali-kali. Sering banget malah. Sampai gue mogok makan segala, tapi ortu gue nggak pernah bisa berubah. Akhirnya daripada gue cape sendiri menyuruh mereka berubah, mendingan gue sendiri yang berubah. Berubah!
                Tapi perubahan apa yang bisa gue lakukan di depan mata Mami dan Papi gue. Kalau soal pergaulan sih udah pasti gue ngikutin jaman. Rasanya gue udah paling uptodate dibanding temen-temen gue yang lain. Model rambut, pakaian, gue paksain ngehemat uang jajan gue supaya bisa beli baju bermerk. Sepatu, sabuk, dompet, mana pernah gue beli yang murah. Sorry, bukan maksud gue mau sombong, gue cuma mau bilang, gue tuh udah berubah. Tidak lagi bersikap kekanak-kanakan. Catat,sejak gue SMP gue udah berusaha tampil menjadi anak baru gede, SMU jadi anak gede, dan masuk kuliahan udah gede banget. Tetapi semua tidak berasa, sama sekali tidak bisa dirasakan oleh Mami dan Papi.
                Udah deh cukup curhatannya. Sekarang saatnya gue mikirin gimana ngerubah kelakuan Mami sama Papi gue supaya mereka tuh tidak memperlakukan gue seperti anak kecil lagi. Masalahnya, sodara-sodara… gue ini sedang pedekate sama adik kelas gue. Nggak lucu banget kan kesannya kalo doi tahu gue masih diperlakukan seperti anak kecil. Anak Mami banget gue jadinya di mata dia
                Adalah Dody temen deket gue sejak SMU yang sering ngomporin nyokap ma bokap gue. Tuh tuyul emang aji mumpung, manfaatin apa yang ortu gue kasi ke gue. Bekel sarapan pagi gue, roti 3 tangkup hampir semuanya dia embat. Dia malah bilang ke ortu gue kalo gue tuh suka banget minum susu coklat. Walhasil, besoknya nyokap bekelin gue dua tumbler susu coklat. Yah buat si Dody lah satunya. Tapi siapa juga yang suka susu coklat. Anak gundul rakus itu lagi yang kenyang.
                Jadi sebelum gue bisa nyulap Mami sama Papi, gue mesti jinakin dulu kunyuk laper yang satu ini. Tapi gimana caranya?
                Semalam gue udah mikir sih. Dody tuh kan paling doyan martabak telor yang mangkal di depan komplek rumah gue. Rencana gue, tuh anak gue sogok supaya tidak lagi minta macem-macem ke ortu gue. Selama ini semua yang dia minta tuh pasti deh atas nama gue. Sedangkan Mami Papi tuh percaya aja sama anak rese itu. Malah tuh boncel udah dianggap sebagai ponakan mereka, sekaligus babby sitter gue. Irrghh.
                “Mulai besok, minimal seminggu deh, syukur-syukur kalo selamanya,” kata gue setelah gue jelasin rencana gue supaya kelakuan Mami dan Papi tidak merusak usaha gue buat ngedeketin cewek kecengan gue.
                “Hahaha, gue udah nebak tuh apa yang ada di pikiran lo. Gue tahu banget lo sejak SMU. Emang tuh cewek mau?” ledek Dody sambil membuka bungkus kedua martabak telor gratisan dari gue.
                “Gue belum tahu tuh cewek mau atau kagak. Pokoknya yang penting, gue gak boleh gagal lagi,” Masih terbayang di benak gue, kegagalan pedekate gue waktu SMU dulu. Nadia langsung kabur begitu ngelihat apa isi rangsel gue. Cemilan anak SD yang dimasukin Mami sejak semalam. Duh, begonya gue, gue lupa mindahin tuh makanan anak ingusan ke tasnya si boncel. Malu banget. Gue jadi gak berani deketin cewek lagi sejak kejadian itu.
                “Tenang-tenang bro, gue sih bisa aja bikin Mami Papi lo libur memperlakukan lo seperti anak kecil. Tapi apa mereka nggak malah bertanya-tanya tuh. Apalagi Tante Vira. Kayaknya dia sayang banget sama lo.”
                “Ya pasti sayang-lah, kampret. Gue kan anak semata wayangnya. Emang lo, sepupu juga bukan!” semprot gue. Ngaco nih anak.
                “Okeh-okeh-okeh… wani piro?”
                Malah becanda. Gue timpuk aja kepala botak Dody pake guling naruto gue. Dia meringis sekaligus nyengir kuda. Pantes banget!
                “Serius, lo Dod. Nyokap kan percaya banget tuh sama lo. Lo bilang aja gue lagi puasa atau apa kek. Jangan lo bilang kalau gue lagi ngedeketin cewek. Bisa stress mereka.”
                Haha, gue lupa. Mami sama Papi gue tuh emang rada-rada aneh. Gue kan anak semata wayang mereka. Sebenarnya sih gue anak kedua. Kakak gue meninggal karena sakit waktu masih berumur 3 tahun. Lagi lucu-lucunya gitu. Makanya Mami sama Papi merasa bersalah banget atas meninggalnya kakak gue itu. Jadi begitu gue lahir dua tahun kemudian, mereka tuh protektif banget. Ngejagain gue mati-matian. Nggak mau kejadian yang menimpa kakak gue terulang lagi.
                Mami tuh Cuma bolehin gue berteman sama 1 orang aja. Maksudnya temen deket yang boleh diajak main ke rumah, belajar bareng, jalan bareng, de-el-el. Waktu SD gue bertemen deket sama Radyt, SMP sama Gilang, dan sejak SMU sampai sekarang sama bocah gundul yang rambutnya gak tumbuh-tumbuh, boncel dan banyak maunya ini, bernama Dody Prasetyo. Nama yang aneh. Gue juga gak tau kenapa bisa berteman akrab dengan makhluk nyebelin ini. Anehnya lagi Mami sama Papi koq suka ya sama dia. Gue sih udah lupa gimana pertamanya mereka bisa jatuh cinta dan kepincut sama Dody. Yang gue inget, Mami pernah bilang gini :
                “Nak Dody, bantuin Tante ya jagain Andre. Tante gak mau terjadi apa-apa dengan Andre. Anggap aja Andre tuh sodara Nak Dody ya.”
                “Iya Tante, Dody janji.”
                Pake acara janji-janjian segala lagi. Jadi tameng tuh janji. Kalo ada apa-apa, si Dody pasti ikut campur sambil berkilah, ‘gue udah janji Ndre sama nyokap lo buat terus jagain lo’. Emangnya gue anak bayi apa harus dijagain terus.
                Gilanya si Dody, malam ini dia juga janji ke gue bakalan bantuin proyek cinta gue. tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku, udah kaya iklan provider aja. Syaratnya sih gampang, apa lagi kalo bukan makanan yang enak-enak. Perut gembul tuh anak ternyata emang melar abis. Okelah tidak masalah, yang penting misi gue bisa berjalan dengan lancer.
                Dan gue gak mau kalah tentunya. Gue juga ngasi tugas yang nggak kalah beratnya.
“Pokoknya lo mesti bantuin gue.  lo kan udah janji sama nyokap gue buat jagain gue. Jadi mulai besok lo harus antar jemput gue pake motor lo.” Ancam gue.  Dody membisu seolah lagi mikirin cara buat menolak.
“Busyet, mesti jam berapa gue berangkat dari rumah, Coy?” akhirnya nada keberatan terucap juga dari mulut Dody.
“Gue gak mau tau. Gue gak mau kelihatan childist di depan Maura.  Demi masa depan gue. lo harus dukung gue, Dod! Pokoknya kalo gue berhasil dapetin Maura, lo gue traktir martabak telor setiap hari selama 1 semester, muntah, muntah deh lo”
Akhirnya keesokan harinya Dody jemput gue, sambil ngedumel pastinya. Mukanya kusut kayak kurang tidur gitu. Tapi gue gak peduli. Yang penting gue tidak dianter Mang Udung, sopir pribadi gue dan ditungguin seharian di depan kampus kayak anak kecil yang takut kesasar pulang.
Siang ini gue sengaja datang lebih pagi supaya bisa nyegat Maura yang pasti datangnya pagi juga. Biarpun kuliah baru dimulai jam setengah sembilan, tapi Maura biasanya sudah mangkal di perpus dengan tumpukan buku di mejanya. Dia emang termasuk mahasiswi yang rajin. Nggak heran kalau IPK dia gede terus.
“Pagi, Maura,” sapaku begitu melihat Maura lewat. Di kiri kanannya sudah nempel dua cewek berisik yang tidak pernah jauh dari Maura.
“Tumben lo pagi-pagi udah di sini,” yang nyahut malah Dea, cewek centil berambut pendek sambil nyengir nggak jelas.
“Iya nih, biasanya kan lo datangnya pas kelas udah mulai. Udah gitu pake acara dikejar-kejar sopri  lagi karena bekel lo ketinggalan, “ timpal Lusi disambut gelak tawa ketiga cewek itu bareng.
Gue malu setengah mati kalau mengingat kejadian itu. Jadi ceritanya waktu itu gue kesiangan, jadi begitu mobil parkir di depan kampus, gue langsung cabut menuju kelas. Eh  Mang Udung malah ngejar-ngejar sambil nenteng bekel roti gue. Yang bikin gue malu, pastinya Maura ternyata jadi tahu kejadian itu gara-gara dua cewek ajudannya itu.
“Gue boleh ngomong nggak, Ra?” tanya gue berusaha tetap cuek.
“Ngomong aja di sini,” lagi-lagi Dea yang jawab.
“Eh, ada Dea sama Lusi, kirain Maura lagi sendiri,” ledek gue. Gue tarik tangan Maura menjauh dari dua makhluk rese itu.
“Ada apa sih, Ndre?” tanya Maura begitu gue bawa dia menjauh dari kedua sahabatnya itu.
“Gue mau ngomong,” jawab gue.
“Iya ngomong aja, gue buru-buru nih, nggak enak sama Dea dan Lusi.” Maura melirik ke teman-temannya yang lagi nunggu di seberang koridor.
“Ya udah, ntar gue ngomong tapi gak di sini, ya,” gue coba ngulur waktu buat bikin janji sama Maura.
“Gue gak  ada waktu, Ndre. Gue banyak urusan. Cepetan deh ngomong gue mesti nyiapin data nih buat presentasi di kelas,” Maura malah mendesak gue.
“Ya, udah. Gue ngomong sekarang,” tenggorokan gue serasa tercekat. Lidah gue mendadak mati rasa. Tapi gue harus ngomong daripada ditunda-tunda yang malah justru bikin gue tambah ribet.
Maura menunggu dengan kesal. Wajah orientalnya malah tambah manis dan bikin gue geregetan.
“Gue suka sama, lo,” gue menelan ludah. Akhirnya kata itu terucap juga. “Gue pengen lo jadi cewek gue.”
Maura menarik nafas seblum menjawab, “Gue nggak bisa,” singkat.
Gue bingung mesti ngomong apa. “Tapi kenapa, Ra?”
“Yah, gue nggak bisa aja. Nggak harus ada alasan kan?” jawabnya membuat pikiran gue tambah runyam. Rasa percaya diri gue mendadak luntur di depan dia.
“Harus ada penjelasannya kenapa dong, Ra. Gue emang nggak ganteng, nggak kaya, nggak jago maen basket, tapi emang kenapa kalo gue gak seperti itu?”
“Denger ya, Andre. Kalo lo butuh penjelasan, sini gue jelasin. Gue nggak mau aja pacaran sama cowok brewok yang setiap hari dijagain sopir Maminya ke mana-mana. lo tuh kekanak-kanakan banget, tau nggak, Ndre. Very childist!”
Sebegitunya kah gue di mata Maura. Kalau diantar jemut bahkan ditungguin sopir ribadi sih memang iya. Tapi kalo dibilang gue kekanak-kanakan, gue bisa aja nyanggah dan melakukan pembelaan. Selama ini gue gaul dengan anak-anak kampus lainnya. Ikut club basket meskipun bukan jadi kaptennya. Rutin latihan renang, ikut mapala juga, malah belakangan ini gue nambah ilmu gue dengan ikut kelas penulisan. Gue pengen skripsi gue nantinya bagus. Terus di mana letak gue childist-nya?
“Ra, gue gak seburuk yang lo kira,” Cuma kalimat itu yang sempat gue ucapkan sebelum gue lihat Maura ngeloyor meninggalkan gue dalam kekecewaan dan rasa malu. Gue membuang muka jauh ke arah lapangan basket. Dan di sana gue lihat Dody sedang menutup mukanya.
Berantakan sudah rencana gue. Apa yang sudah gue bangun selama ini, sama sekali hancur. Keberanian, rasa percaya diri, dan semua rencana gue kacau balau. Sampai malam gue masih kepikiran kejadian tadi pagi. Maura menolak gue mentah-mentah. Gue coba telpon dan menanyakan supaya dia mempertimbangkan kembali omonganny, Maura malah marah-marah dan menyuruh gue merubah sifat gue. Sifat yang mana, Ra?
Sebaliknya, gue malah nggak mau nerima telpon dari Dody. Setelah berkali-kali dia mencoba ngehubungin gue, akhirnya gue angkat telpon dan marah-marah tanpa sebab. Duh sorry Dod, gue lagi bête nih.
Ternyata sakit hati gue  masih kerasa sampai besok paginya. Lusa, dan lusanya lagi. Gue malah sempat bolos beberapa hari tetapi terpaksa masuk setelah Dody maksa gue supaya gak bersikap konyol seperti itu. Gue pun ke kampus dengan malas-malasan. Gue masih nebeng motor Dody dan nolak semua bekal yang diberikan nyokap.  Malamnya gue nginep di rumah Dody.
“lo nggak bakalan dicari nyokap lo, Ndre?” Tanya Dody waktu gue rebahan di kasurnya.
“Please deh, Dod. Gue kan bukan anak kecil!” balas gue.
“Sorry .. tapi seenggaknya lo telpon nyokap lo dulu kek.. kasian entar tante Vira nyariin lo lagi?”
Gue ambil hape dan keluar dari kamar Dody menuju halaman depan rumahnya. Gue telpon nyokap ngabarin kalo gue mau nginep di rumah Dody. Lumayan kayaknya kalo gue bisa nginep di sini semalam. Rumah Dody asri dengan banyak tanaman hijau di pekarangan rumahnya. Di sekitar garasi yang lumayan luas itu, selain ada mobil, motor yang biasa Dody pake ke kampus, sebuah motor  yang kelihatannya masih baru, juga ada beberapa pohon dalam pot besar di pinggir-pinggir garasi.
“Boleh, Ndre?” Tanya Dody lagi begitu gue balik ke kamarnya.
“Sialan, lo!” maki gue nggak jelas. Lagian pake nanya boleh apa enggak. Kesel juga si Dody beneran nganggep gue kayak anak kecil begitu. “Itu motor baru lo, Dod?” gue coba mengalihkan pembicaraan, “Bagus juga.”
“Emh, iya. Tapi belum bisa dipake, plat nomornya baru keluar minggu depan. Ntar kalo udah ada, lo boleh pake,” Jawabnya santai.
Seminggu berlalu. Gue udah mulai rada bisa melupakan kejadian penolakan mentah-mentah cinta gue oleh Maura. Tapi sikap gue ke nyokap juga masih sama. Walaupun kelihatannya nyokap kecewa karena bekal sarapan dan makan siangnya gue tolak, tapi gue merasa lebih nyaman. Bukan apa-apa, gue fikir ini akan merubah kebiasaan yang selama ini membuat orang salah nilai tentang gue. Tapi dasar Mami. Dia sembunyi-sembunyi nitipin air mineral ke Doddy. Katanya sih, takutnya gue males beli minum ke kantin. Dasar. Tapi gak apa-apa deh. Itu berarti Mami enggak marah ke gue.
Gue juga beberapa kali berpapasan dengan Maura. Tapi dia kelihatan sama sekali tidak memperhatikan gue. Hanya dua dayang-dayang sok seksi itu aja yang selalu bisik-bisik kalo ketemu gue.
                “Ndre, gue duluan, ya. Ada perlu nih.” Gue sama Dody baru aja makan mie ayam. Menu favorite gue selama puasa bekel dari Mami.
                “lo mau ke mana? Terus gue pulang sama siapa?”
                “Jiaahh, katanya bukan anak Mami, masa nanya pulang ama siapa segala. Apa mesti gue telpon bokap lo supaya nyuruh Mang Udung jemput lo di sini?” jawabnya nyebelin.
                “Enggak-enggak, rese lo. Ya udah gue jalan sendiri aja deh,” ucap gue masih kesel.
                “Ya udah, gue bentar koq. Ntar jam 11 gue jemput lo ke sini deh, tapi… tapi… gue titip absen ya?” Dody langsung tancap gas.
                Tapi beneran jam sebelas lewat dia udah balik lagi. Tapi kali ini dia datang dengan motor baru yang kemaren gue lihat di garasi dia. Tapi kali init uh motor sudah ada plat nomornya.
                “Wah ganti motor, bro,” ucap gue ngiri.
                “Iya, lo mau coba?” tawarnya. Tentu aja gue nggak bakalan nolak. Dody melemparkan kunci dan memberikan helm ke gue. Wah asyik juga bawa motor baru. Ini kan yang diiklanin Rossi. “Tapi anter gue dulu ya ke café tante gue. Ada yang mau gue ambil.
                “Okey, santai aja, yang jauhan dikit juga gak apa-apa,” seperti baru dapat mainan baru gue seneng banget.
                Nggak begitu lama gue sama Dody sudah berada di café adik mamanya Dody. Motor dia sudah mangakal di situ. Tapi koq ada mobil bokap gue juga ya. Tanp banyak Tanya gue masuk ke café dan benar aja gue lihat Papi sedang duduk di situ. Lah tapi koq ada Maura sama dayang-dayangnya itu.
                “Pih?” Tanya gue.
                “Nah itu dia datang… sini duduk, Ndre,” ajak Papi seolah memang sedang nungguin gue.
                “Papi ngapain di sini?’ Tanya gue sambil malu-malu melirik Maura. Maura nunduk meskipun Dea sama Lusi nyikut-nyikut sambil bisik-bisik nggak jelas.
                “Lah, emang Dody belum ngomong ya, Ndre?” Papi balik nanya.
                Gue nengok ke arah Dody sambil geleng-geleng kepala nggak ngerti.
                “Om aja deh yang jelasin,” ucap Dody.
                “Ndre, Papi minta maaf ya, selama ini Papi sudah ikut campur urusan kalian,” kata Papi.
                “Urusan yang mana, Pih?” Tanya gue makin nggak ngerti. Tapi begitu Papi melirik Maura, gue baru ngerti kalo pasti si Dody udah ceritain tentang perasaan gue ke Maura.
                “Pai sadar, kalau selama ini Papi sama Mami Kamu tuh terlalu berlebihan menunjukkan kasih sayang kami. Kami Cuma takut kehilangan Kamu, Ndre. Sehingga kesannya Mami sama Papi memerlakukan Kamu seperti anak kecil. Tapi begitu melihat perubahan sikap Kamu yang terjadi akhir-akhir ini, Papi baru ngeh kalo anak Papi tuh udah gede. Malahan udah mulai jatuh cinta,” lagi-lagi Papi melirik Maura.
                Duh, Papi, jangan bilang Papi yang mengundang Maura ke sini untuk membujuk dia menerima cinta gue. Bisa jatoh banget martabat gue kalo begitu.
                “Sorry, Ndre, sebenarnya gue udah pernah ketemu Papi lo beberapa kali di sini. Kebetulan gue emang langganan kue di café tante Irma. Begitu juga Papi Mami lo,” Maura angkat bicara.
                “Gue kan udah minta lo nggak ceritain ini ke bonyok gue,” bisik gue ke Dody sambil menyikut rusuknya.
                “lo Cuma bilang jangan kasi tau ortu lo kalo sedang jatuh cinta. lo nggak bilang kalo gue nggak coleh cerita kalo lo patah hati, kan?” Dody meringis. “Sorry Ndre, gue udah investigasi, ternyata Maura tuh suka sama lo, Cuma…”
                “Iya, Ndre, maafin gue. Gue emang suka sama lo. Tapi gue bingung kalo jalan sama lo tetapi Elo masih diperlakukan seperti anak kecil oleh keluarga lo. Makanya gue curhat sama Papi lo, dan ternyata Papi lo sependapat dengan gue. Maafin gue, ya, Ndre…”
                Jadi Papi sama sekali nggak ikut campur dan minta Maura buat nerima cinta gue demi untuk membuat gue seneng. Dan ternyata yang bikin gue lega dan super bahagia, Maura ternyata suka juga ke gue. Gue seperti mendapat kabar paling menyenangkan hari ini.
                Papi tersenyum sambil mengacak-acak rambut gue. “Ya, udah Kamu anterin Maura deh pake motor baru Kamu,” usul Papi, “Biar Dea sama Lusi Papi yang anterin,”
                “Motor baru Andre, Pih?” Tanya gue heran. Kapan kali gue punya motor.
                “Hehe.. sorry ya, Ndre, tuh motor udah gue test drive. Habis nginpe di ruah gue terus sih…” Dody mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Sebuah STNK dengan nama gue tertera di sana.
                “Jadi ini motor buat Andre, Pih?” Tanya gue sama sekali nggak percaya dapat dua  durian runtuh dalam sehari.
                Papi mengangguk. Gue langsung jingkrak dan spontan menarik lengan Maura menuju motor yang dalam sedetik menjadi milik gue itu. Maura kelihatan sangat senang.
                “Ini untuk merayakan hari jadian kalian. Hati-hati ya, jangan ngebut!” Papi menepuk pundak gue. Ya ampun, gue serasa melayang. Ringan banget rasanya badan gue. Ternyata cnta ditolak bokap beneran bertindak. Sikap bokap sama nyokap bisa berubah juga gara-gara gue jatuh cinta. Dan tindakan bokap dengan membelikan gue motor baru membuat gue sangat terharu. Ternyata bokap sama nyokap gue tuh sayang banget sama gue. Dan sekarang lengkap sudah dengan kehadiran Maura di sisi gue. Urusan Dody, gue belum kepikiran, mau digimanain. Hahahaha…. Baybay… [24 Mei 2011}    

*

Catatan buat sahabat penulis, ni cerpen jangan ditiru ya, gaya bahasanya hancur habis.. EYD nya kacau balau. Banyak bahasa alay yang seharusnya dipangkas (cuma kalo banyak yg dipangkas, isinya tinggal kulit doang dong, hihi) Pokoknya kalo cuma buat hiburan doang sih boleh lah, (kalo emang certanya cukup menghibur!)
Buatlah karya yang jauuuuuh lebih bagus dari karya orang lain, apalalgi cerpen anyeh di atas. hehe... (sebelum ada yg bantai, ya bantai sendiri aja, hiks)