K U N C I
Seperti sedang menjalani expedisi di sebuah gurun pasir yang tandus. Matahari di atas ubun-ubun. Darah mendidih. Tenggorokan tercekik. Tidak ada setitik pun air,
terlebih oase. Yang ada hanyalah fatamorgana yang semu.
Aku berdiri dengan muka nanar, seolah tengah menatap
lautan pasir yang terbentang. Suaraku tercekat. Bibirku membiru. Sementara aku
berdiri di tengah sebuah keramaian kota. Kota yang dulu sejuk dan kini berubah menjadi
sangat panas.
Siang itu hanya 32 derajat celcius. Tetapi keringat sudah
memandikan setiap jengkal tubuhku. Sendi-sendi tulangku bergetar hebat menahan
beban yang tidak berhenti kupikul. Seribu, dua ribu, lima ribu sampai sepuluh
ribu. Lebih baik kusimpan daripada kubelikan makanan sekali habis. Toh, rasa
lapar ini sudah bersahabat lama denganku.
Di sudut lain di kota sesak ini, aku yakin istriku tidak
sedang berdiam diri. Bersama Dian, buah hati kami yang berusia dua tahun, Resni pasti sedang berjuang
melawan dahaga. Dengan beberapa lembar ribuan semoga cukup untuk menidurkan
cacing di perut. Tapi kasihan, setelah itu mereka pasti akan
merintih kembali.
Menjelang sore, kami bertemu di Taman Tegalega. Istriku
menyerahkan gerobak kosong yang isinya sudah dijual. Lumayan, gumamnya dengan
sumringah yang meluluhkan lelahku. Kucium Dian yang sedang tertidur beralas dus
tipis dalam gerobak. Ia menggeliat geli. Lucu dan menggemaskannya anakku itu.
Lalu kami saling berpandangan, siapa tahu salah satu dari
kami punya jawaban akan tidur di mana malam ini. Dan seperti malam-malam
kemarin selama dua minggu terakhir ini kami tidur di balik semak pohon dengan
label nama latin yang tidak dapat kami eja. Lelap dalam dingin menusuk. Tanpa
selimut. Tanpa atap, selain langit yang pekat.
Pagi hari kami terbangun tanpa harus merasa takut. Takut
pemilik kontrakan menggedor pintu dan menyuruh kami keluar karena tunggakan
kami yang membuat air liurnya muncrat saat murka. Udara segar bisa kami hirup
setelah semalaman berebut oksigen dengan pohon penghuni taman ini.
Resni tersenyum di sela batuknya yang kerap menyerang di
pagi lembab. Aku memberikan botol minum dengan separuh isinya yang nyaris
keruh. Istriku meneguknya sedikit dan
menyisakannya untuk Dian. Kugerakkan engsel-engsel badanku. Siap menghadapi hari ini dan mengumpulkan
rupiah untuk kontrakan baru. Satu-satunya impianku saat ini.
“Hari ini kau istirahatlah, Res. Biar aku yang mencari sisa buat
kontrakan baru. Kan tinggal sedikit lagi,” ucapku tidak tega juga membiarkan
istriku mengais sampah demi mengumpulkan dus dan plastik bekas untuk dijual.
Harusnya aku yang memberinya pangan. Tapi istriku yang baik ini sepakat kalau
aku yang mengumpulkan uang untuk biaya sewa kamar sebulan kedepan, dan ia yang
mencari uang untuk makan. Upah kuli yang aku dapat memang lebih besar dibanding
hasil yang diperoleh Resni.
“Hari ini giliran aku yang puasa, Kang.” Jawabnya parau.
“Tidak usah. kau kelihatan cape sekali. Batukmu itu, aku
ikut sakit mendengarnya. Mudah-mudahan nanti malam kita bisa tidur di kasur,”
hiburku penuh harap.
Resni mengangguk. Ingin aku menghapus air mata yang
tiba-tiba saja bergulir di pipinya dan melukiskan guratan bahagia di sana. Tapi
bening mata Resni membuat hatiku semakin teguh untuk melawan rasa sesakit
apapun. Aku bangkit setelah mengelus rambut Dian.
Bandung Lautan Api, itu dulu. Sekarang mungkin lebih
tepat kalau dibilang Bandung sebagai lautan pengunjung. Samudra pelancong.
Bandung menjadi pelabuhan bagi kaum urban yang secara spontan tumplek bersamaan, atau bisa juga
perhentian sementara dari lelah menumpuk rupiah. Semua orang seperti berlomba
di kota ini. Berkompetisi memperebutkan gengsi yang diyakini bisa menaikan
reputasi. Coba saja perhatikan, dulu masih banyak sawah dan tanah kosong tempat
bermain anak-anak. Sekarang banyak perumahan dan mall berdiri di sana.
Perkembangan hebat membuat lapangan kerja semakin luas.
Tapi sayang, yang mengisi sebagian besar lowongan itu bukan orang Bandung
sendiri, melainkan para pendatang itu. Sedangkan orang asli Bandung malah lebih
suka atau terpaksa mengadu nasib di kota lain. Tapi apa peduliku tentang itu.
Yang menyakitkan bagiku adalah tidak ada yang bisa menerima lulusan SMP beranak
istri sepertiku. Tidak dengan rasa kasihan sekalipun.
Pernah aku membantu menjadi kenek kuli bangunan salah
satu mall yang sekarang mati karena sepi pengunjung, tapi bayarannya selalu
terlambat dan banyak potongan yang tidak jelas. Dapat uang, langsung habis buat
bayar hutang ke warung. Istriku menangis, anakku menjerit. Tetangga pun merasa
terganggu karena kehadiran kami.
Sisa tabunganku setelah berhenti dari satu pabrik yang
mempekerjakan kuli angkut barang sisa kain perca habis untuk membayar tunggakan
kontrakan dua bulan ke belakang. Sedangkan untuk kontrakan bulan ini terpaksa
kami berhutang janji dan janji. Rasa malu sudah kami gadaikan sejak lama.
Bahkan wajahku sudah tidak bisa lagi ditekuk, meski setiap pagi pintu rumah
kontrakan kami digedor yang punya.
Sampai suatu waktu ultimatum itu mencapai puncaknya.
Pintu kami digedor tengah malam buta. Dian menjerit lantaran kaget. Resni
menarik ujung bajuku ketika aku hendak membuka pintu rumah. Aku menatap matanya
dan memberi isyarat untuk mengemasi barang-barang kami yang tidak seberapa.
Tanpa harus diusirpun kami melangkah keluar. Kami hanya bisa melihat pemilik
rumah menuntun barang bawaan penghuni kamar kontrakan yang baru.
Resni terbatuk-batuk karena dingin menggerogoti rongga
paru-parunya yang basah. Obat dari dokter habis sudah. Uang tidak ada
sepeserpun. Tidak ada lagi warung yang bisa kami hutangi. Dalam ketegarannya
Resni berusaha tidak membuatku merasa sedih. Padahal aku tahu ia menyembunyikan
saputangan berdarahnya.
Dian gadis cilikku. Hanya anak ini yang selalu menjadi pelita dalam
gulitaku. Ia adalah secercah sinar yang menuntun langkahku
yang terseok. Berhari-hari kami terlunta. Sisa pakaian habis ditukar sebungkus
nasi. Suatu hari Dian menghilang. Resni menjerit histeris karena terbangun
tanpa anak itu dalam pelukannya. Aku pun mencarinya ke segala tempat yang
memungkinkan seorang anak dua tahun kesasar. Dalam keadaan panik, aku
mencarinya pula ke dalam got sambil menangis. Tapi sore harinya seorang
perempuan kumal mengantarkan Dian dan memberi istriku uang sepuluh ribu.
Istriku tidak sudi mengemis. Aku juga tidak akan menghina
diriku sendiri untuk melakukan hal itu. Menyewakan Dian pada pengemis-pengemis
itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak kami. Akhirnya nasib berbaik
hati pada kami. Seorang pengepul menawari kami untuk mencari rongsokan dengan
memakai gerobaknya. Menjual barang-barang bekas temuan kami itu padanya membuat hidup kami
sedikit lebih ringan. Resni dan Dian bisa makan nasi. Bahkan gerobak itupun
bertambah fungsi menjadi ranjang berjalan buat Dian.
Kami pun sepakat berbagi tugas. Resni mencari barang-barang bekas,
dan aku menjadi kuli di pasar. Harapan besar kembali muncul untuk bisa mencari
kontrakan lagi. Tidur tanpa harus berselimut karbon dioksida. Bisa mandi dan mencuci pakaian dengan air
bersih. Makan dengan lauk dalam piring bersih di atas
tikar yang hangat.
Sore ini sebelum menemui Resni di Taman Tegalega, aku
ingin memastikan kontrakan yang selama ini aku incar belum ada yang mengisi.
Lebih baik aku segera memberi panjer
supaya tidak keduluan orang lain. Aku pun menemui pemilik kontrakan yang
rumahnya tidak jauh dari kamar-kamar bedeng itu.
“Seratus dua puluh ribu. Bayar setengah dulu baru saya
berikan kuncinya. Kapan mau diisi?” pemilik kontrakan itu memandangku jijik.
Lembaran ribuan di tanganku sepertinya tidak begitu menghiburnya.
“Nanti malam barangkali, Pak. Kebetulan istri saya sedang
sakit jadi kami perlu tempat tinggal yang nyaman. Ada kasurnya, Pak?”
ucapku lirih.
“Tambah lagi dua puluh ribu.” Jawabnya singkat dengan
raut yang sama sekali tidak berubah. Dingin, tanpa basa-basi.
Aku pun memberikan uang tujuh puluh ribu. Separuhnya akan
aku berikan nanti sore karena kebetulan uangku masih kurang belasan ribu lagi.
Mudah-mudahan aku bisa mengumpulkan sisanya setelah Resni dan Dian menempati
rumah kontrakan itu.
“Kalau nanti malam tidak memberikan sisanya, saya anggap
batal, ya!” Pemilik kontrakan melengos.
Kunci pun sudah di tangan. Dan aku merasa sangat merdeka.
Dada ini seperti mau meledak karena bahagia. Terbayang wajah Dian bisa bermain di lantai
yang bersih. Bergegas aku menemui istri dan anakku itu. Ingin segera rasanya
menyampaikan kabar gembira ini.
-o0o-
Resni sedang menungguku di pojok taman. Wajahnya pucat. Keringat
dingin membasahi tengkuknya. Tubuhnya panas gemetaran. Dian sedang tertidur
dalam gerobak dengan alas dus baru yang lebih bersih. Segera aku mengangkat
Resni ke dalam gerobak dan membawanya ke rumah kontrakan baru kami.
Aku menidurkan Resni dan Dian di atas kasur tipis. Resni
membuka matanya dan tersenyum ke arahku. “Untung aku nggak gemuk ya, Kang,”
guyonnya.
“Aku beli makanan dan minuman dulu, ya.” Ucapku
sambil mengelus butir keringat di kening istriku.
Kutatap Dian yang tertidur pulas lalu bergegas aku keluar
untuk membeli makanan, minuman dan obat. Tidak lama kemudian aku membangunkan
Resni dan menyuapinya makanan. Dian masih terlelap dalam buaian mimpi
kanak-kanaknya.
“Minum obat ini, ya, Res,” aku pun memasukkan butiran
obat penurun panas yang aku beli dari warung, ke mulut Resni. “Setelah ini,
tidur dan istirahat, ya. Ini ada makanan kecil dan minuman kalau Dian bangun
nanti malam,” lanjutku.
“Akang mau ke mana?” tanya istriku. Ia menggenggam
tanganku. Panasnya sudah mulai turun dan ia sudah tidak gemetaran lagi.
“Aku sudah janji untuk membayar sisa kontrakannya malam
ini juga. Uang kita masih kurang, Res,” aku menghitung kekurangannya yang
ternyata menjadi lebih besar karena tadi aku pakai untuk membeli makanan dan
obat.
“Besok saja, Kang. Aku takut,” pinta Resni.
“Kalau besok, aku yang takut kalau kita diusir seperti
dulu. Istirahat saja, ya Res. Mungkin aku pulang pagi.”
Aku pun menemui pemilik kontrakan dan meminta
kebijakannya untuk mengundur sisa pembayarannya menjadi besok pagi. Dan aku
akan mengusahakannya malam ini juga. Dengan muka ditekuk, lelaki setengah baya itu menyetujuinya.
Biasanya pada malam hari, di pasar Andir ramai pedagang dan pembeli sayuran.
Aku bisa menjadi kuli di sana. Mudah-mudahan besok aku juga bisa membawa
istriku ke puskesmas setelah melunasi hutang kontrakan.
Pagi buta aku sudah mengantongi puluhan ribu setelah
ditambah dari hasil kuli angkut barang. Lalu aku menemui pemilik kontrakan dan
membayar sisa sewa kontrakan sebesar tujuh puluh ribu rupiah. Aku pun
menghambur menuju rumah kontrakanku dan ingin segera memeluk Dian dan Resni
saking senangnya.
Dari ujung gang aku bisa mendengar suara tangisan Dian.
Kenapa dengan anak itu? Aku pun mempercepat langkahku. Tersentak aku melihat
Dian menangis,sementara tubuh Resni di sisinya, terkulai di depan pintu. Tidak
ada siapa-siapa. Mungkin para tetangga belum bangun atau malah sudah pada pergi
bekerja. Aku mengguncang-guncangkan tubuh Resni yang lemah. Darah mengucur dari
hidung dan mulutnya.Tanpa berfikir panjang kubawa Resni ke rumah sakit
pemerintah terdekat.
“Segera tebus obat ini!” kata dokter yang merawat Resni
di rumah sakit. Aku sedih karena sudah tidak ada lagi uang tersisa. Andai aku
lebih dulu menemui Resni dan bukan pemilik kontrakan itu, mungkin aku bisa
menebus obat itu. Lalu terbersit dalam pikiranku untuk mengembalikan kunci
kontrakan dan meminta uang itu kembali. Meskipun mungkin aka nada potongan,
tapi minimal sisanya masih bisa aku pakai untuk membeli obat buat Resni.
“Jangan, Kang.” Resni menggenggam kunci itu erat-erat.
Seolah dengan kunci itu ia bisa segera sembuh dari sakitnya. “Aku tidak apa-apa
kok.” hiburnya. Seulas senyum mengembang dari bibirnya yang kering dan
retak-retak, sisa dari siksaan panas berhari-hari.
Darah kembali merembes dari hidung dan mulutnya.
“Berikan kunci itu, Resni. Aku akan menukarnya dengan
obatmu,” jeritku.
Tapi Resni tidak mendengarku.
“Ini untuk Dian, Kang,” Resni berusaha memberikan kunci
itu ke tanganku. Tetapi kunci itu malah terlepas dari tangannya.
Dian menjerit menyaksikan ruh terlepas dari raga ibunya.
Napasku tercekat, suaraku hilang, kupingku tidak lagi mendengar denting kunci
yang terjatuh ke lantai.
Resni kini telah tiada, meninggalkan aku, Dian, dan
sebuah kunci yang ia pertahankan agar Dian tidak lagi tidur di dalam gerobak
beralas dus, dan beratapkan langit kelam.
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar