Gemersik air menyentuh bebatuan. Senyap. Hanya desir angin dan bisik pohon yang memanjakanku.
Duduk di bawah pohon tua sambil menghirup udara segar menjadi ritual wajib setiap kali kaki ini lelah menyusuri jalan setapak ini. Jalan setapak yang menghubungkan desa tempat tinggalku sementara ini dengan desa lain di kaki bukit sana. Membawa hasil panen, atau hanya sekedar mencari angin segar.
Beberapa orang melintas, tetapi itu tidak cukup menarik perhatianku. Padahal sesekali mereka menyapa dengan bahasa daerah yang belum sepenuhnya aku pahami. ‘Nuju naon, Den? (sedang apa, Nak)’ atau, ‘hayu atuh urang sareng! (ayo, kita bareng)’. Tegur-sapa sopan yang jarang aku temui lagi di kota.
Tapi bukan tegur-sapa dengan bahasa daerah yang dilontarkan orang tua-orang tua yang kebetulan lewat di depanku itu yang aku tunggu. Aku sedang menunggu senyum sapa dari seorang gadis yang pada empat-lima hari lalu melintas sambil menjinjing bakul bambu berisi pakaian basah yang telah dicucinya. Sebuah aliran sungai jernih menjadi tempat rutinnya mencuci pakaian kotor bersama gadis-gadis lainnya.
“Punten, Kang,” sapanya halus. Seulas senyum mengembang dari bibirnya, menyihir rasa kagetku menjadi takjub dan pana. Masih dengan tertunduk, gadis itu berlalu meninggalkan desir sejuk yang merambat perlahan ke dalam dadaku.
“Iii.. iya…,” balasku terbata-bata seraya membalas senyumnya. Aku tidak tahu bagaimana rupaku saat itu : masih bengong seperti orang kesambet, atau mendadak cupu seperti orang bego yang kedapatan mencuri dan tidak bisa membela diri. Ingin sebetulnya saat itu aku mengajukan beberapa pertanyaan semisal : ‘saha namina? (siapa namanya)’ atau ‘mulih ti mana ?(pulang dari mana?)’ seperti yang pernah diajarkan kakekku selama berhari-hari. Tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk mengutarakannya.
Gadis itu benar-benar telah menyumbat aliran darah ke otakku. Aku sama sekali tidak bisa berpikir jernih , mendengar apa yang kakekku ajarkan tentang bagaimana membuat tanaman wortelnya bisa tumbuh besar dan sempurna, atau sekedar menyahut setelah beberapa kali nenek memanggilku untuk makan bersama. Di tempat tidur pun pikiranku akan melayang pada pertemuan pertamaku dengan gadis pembawa bakul cucian itu, yang kemudian -berkat usahaku investigasi sana-sini- aku tahu namanya ‘Nirmala’ seperti nama puteri dalam dongeng di majalah si Bobo.
Setiap hari, sejak saat itu, aku menunggunya sambil duduk di bawah pohon tua ini. Tetapi lengkung bibir itu tidak pernah aku jumpai lagi. Ke manakah Nirmala-ku? Ke manakah sang penyihir yang telah membuat detak jantungku berdegup tak menentu? Apakah ia sakit atau memang sengaja menghindariku, seorang lelaki berperawakan asing yang tiba-tiba muncul di desanya? Tapi kenapa?
“Nirmala itu anaknya Pak Sabar, ketua RW di sini. Kalau Fadhil ingin ketemu, besok Kakek sama Nenek bisa ajak kamu ke rumahnya,” Kakek seperti bisa membaca kegelisahan yang merajai malam-malamku. Seketika berbunga hatiku, rindu yang membuncah akan segera meretas, menemui sang muara senyum indah itu. Dan malam berlalu dalam buai mimpi penuh harap.
-oOo-
Suara ‘degung’ alat musik tradisional Sunda bergema riang. Dari tempatku duduk aku hanya bisa menikmati lengkung bibir merah itu mengembang setiap kali si pemiliknya menerima ucapan ‘selamat’ dari para tamu. Binar mata dan rona bahagia Nirmala begitu indah. Tetapi semua itu hanya bisa aku pandangi dan tidak bisa aku miliki.
-ooOOoo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar