oleh Kamiluddin Azis pada 12 Januari 2012 pukul 20:37
S E S A L
Suara itu. Desah itu. Tengkuk lelaki muda itu kembali meremang.
Hampir
setiap waktu suara parau terbawa angin dan mengiang di dalam gendang
telinganya. Bergemuruh seperti suara tawon yang siap menyerang. Kadang
menyerupai semilir yang membawa bisik derita. Atau hanya samar-samar
berupa jeritan dari kejauhan.
Lelaki itu tidak
kuasa menutup telinganya. Sekalipun ia ganjal dengan kapas tebal,
suara-suara itu seolah mampu menembus otaknya. Headphone dengan musik keras pun tiba-tiba berubah menjadi rintihan lagu syahdu yang menghiba.
“Aku tidak sanggup lagi.... aku tidak sanggup menanggung semuanya...”
jerit lelaki itu sambil menjambak rambut ikalnya yang tidak pernah lagi
disisir. Dalam amarah yang tak bisa ia bendung, headphone itu
pun dibantingnya. Luluh lantak serupa masa depan yang tidak akan pernah
bisa diraihnya lagi. Ya, tidak ada masa depan, setelah masa kini
dihancurleburkan dengan sia-sia.
Lalu seperti
juga hari-hari kemarin, dan kemarinnya lagi, dan sejak berbulan-bulan
lalu, ia menjerit, menyuarakan penolakan atas rasa bersalah yang terus
saja bercokol dalam dirinya.
“Aku tidak
membunuhnya... aku tidak membunuhnya.....” sampai parau, lalu terjatuh
tidak sadarkan diri setelah seorang lelaki berseragam putih menyuntikkan
cairan penenang dengan susah payah.
Lalu petugas
medis lain di rumah sakit itu pun serentak membawanya ke kamar perawatan
khusus supaya ia tidak mencelakai diri sendiri, juga pasien lainnya.
“Kasihan!“ seru seorang perawat sambil mengikat kuat kaki lelaki itu ke tiang tempat tidurnya.
Perawat lain yang juga sedang sibuk mengikat tangan lelaki itu menatapnya tidak mengerti.
“Ia meminta kekasihnya menggugurkan kandungan hasil hubungan mereka.
Tapi sayang, si ibu dan bayinya meninggal dunia akibat pendarahan hebat.
Lelaki ini merasa sangat bersalah. Ia merasa selalu mendengar
suara-suara aneh di sekitarnya,” lanjut perawat itu sambil menyelesaikan
ikatan terakhirnya.
“Suara-suara aneh?”
“Iya, suara tangisan, suara bayi, desah orang yang ketakutan, bahkan
jerit kesakitan. Suara-suara yang tidak bisa kita dengar, tetapi selalu
mengejarnya setiap waktu. Polisi sudah mencabut tuduhan atas pembunuhan
terencana terhadap pacar dan jabang bayinya itu, karena lelaki ini
disinyalir terganggu jiwanya. Bahkan Ia divonis ‘gila’, dan harus
mendapat perawatan medis di sini.”
“Sungguh tragis!”
Ya, tragis memang. Hubungan yang dijalin dengan cinta kasih, tetapi
berakhir derita. Menggugurkan kandungan adalah pilihan yang sangat sulit
dan penuh resiko. Tetapi kedua orang yang sedang dimabuk cinta itu
lebih memilih melakukannya ketimbang menjalani hidup dan masa depan,
seberapun sulitnya.
Lelaki muda itu masih
berstatus mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal. Dan perempuan yang
ia pacari selama dua tahun itu pun masih memakai seragam putih abu-abu.
Tetapi cinta yang menggelora telah membutakan akal sehat mereka. Mereka
melabrak apa yang sudah menjadi norma dan susila. Kendati keduanya
cukup berpendidikan, tetapi moral dan benteng iman yang lemah telah
menjerumuskan masa muda mereka. Sesal kini menggumpal, mendarah-daging
dalam dirinya. Menjelma menjadi lirih sedih, ratap pilu, dan suara-suara
yang selalu baku-tindih mengejarnya. Sesal yang tiada lagi berguna.
Lelaki itu terjaga. Ia tersenyum menatap langit-langit kamarnya.
Terbayang di pelupuk matanya, seorang bayi mungil dengan sayap mengepak
mengajaknya menari. Tapi tiba-tiba bayi itu berubah menjadi makhluk yang
sangat menyeramkan dan siap memuntahkan darah panas ke wajahnya. Lelaki
itu kembali menjerit, tak kuasa menutup wajahnya yang panas membara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar