Rabu, 31 Oktober 2012

Cerita Fabel Binatang ...

Judul : Yuk Mendongeng 2012
Pengarang : Nenny Makmun, dkk
Ukuran : 14 cm x 20 cm
Tebal : vi + 158 hlm
Harga : 38.000

CARA PEMESANAN :
Ketik: YM 2012# NAMA LENGKAP # ALAMAT LENGKAP # JUMLAH # NO TELP
Kirim ke : 082333535560
Nanti Anda akan mendapatkan SMS No.Rek dan jumlah yang harus dibayarkan.

Yuk Mendongeng
Dunia anak yang penuh imjinasi tertuang dalam tulisan dongeng anak flash fiction Yuk Mendongeng 2012 ini.
Dongeng mengalir dari berbagi jenis dan banyak penulis dongeng yang ternyata tidak kalah menarik dari cerita-cerita pendongeng besar HC Andresen.
Berbagai kisah tertuang dari beragam cerita fabel, clasicc story, princess story, tools story bisa menjadi sumber untuk menina-bobokan putera-puteri Bunda dan adik-adik kecil kita.
Ada kisah raja hutan yang bijaksana, tetapi sayang adiknya tidak mencontoh sikap kakaknya, hingga sesuatu ada yang membuatnya tersadar. Kisah yang menarik untuk disimak.
Kisah jamur merang yang merasa putus asa karena merasa menjadi mahluk yang paling malang, sehingga berprasangka buruk pada Sang Pencipta.
Juga kisah seekor puteri yang memiliki pendengaran super walau kondisi telinganya seperti cacat dan berkeinginan menjadi normal tetapi kehilangan kelebihannya. Bagaimana kisah selanjutnya ketika kesempatan untuk menjadi normal datang?
Ada 42 dongeng yang bisa kita kisahkan dan akan banyak membawa pesan moral. Sangat baik untuk si kecil. Nikmati kebersamaan dengan buku Yuk Mendongeng 2012.

Rabu, 24 Oktober 2012

Special Gift



Special Gift

“Nadiaaaa…. “ pekikku tak percaya begitu melihat makhluk cantik berambut sebahu tiba-tiba muncul di hadapanku. Bagaimana tidak, sudah lebih dari tiga tahun aku tidak pernah melihat bagaimana rupa sahabat lamaku itu. Hanya foto-foto yang kerap ia publish di situs jejaring sosialnya  saja yang pernah kulihat kalau kebetulan aku senggang online. Itupun  kadang membuatku masih tak percaya kalau Nadia kini bisa secantik itu. Lebih cantik dibanding terakhir kali kami ketemu.
“Halo Azis gagap… kangen ya sama aku?” canda Nadia sambil meletakkan sebuah kantong kertas di atas meja kecil dekat mesin kasir dan sebuah notebook yang baru saja kunyalakan.
Aku menghampiri Nadia dan dengan canggung menyalaminya. Nadia membalas senyumku dan tanpa memedulikan perasaan anehku, ia menjitak kepalaku, seperti kebiasaannya dulu. Lalu derai tawa pun meledak, melumerkan batu es di dadaku.
            Nadia, cewek berkulit coklat, yang selalu menebar senyum ramahnya pada siapapun yang ditemuinya, adalah sahabatku sejak kami sama-sama duduk di kelas V SD. Waktu itu Nadia adalah anak baru pindahan dari Jakarta. Orangnya rapi dan pembawaannya selalu menjadi pusat perhatian banyak siswa. Aku lupa bagaimana kedekatan kami bermula. Yang jelas sejak pertama kali aku menyadari perhatian Nadia padaku, saat itulah aku menobatkan dia bukan saja sebagai teman biasa, melainkan juga sebagai sahabat sejati. Apalagi setelah kami masuk SMP yang sama, bahkan kelas yang selalu sama selama tiga tahun berturut-turut.
            Lepas SMP, aku dan Nadia memilih sekolah yang berbeda. Nadia masuk SMU terkemuka di Jawa, sedangkan aku memilih sekolah kejuruan otomotif dengan harapan setelah lulus nanti aku bisa langsung bekerja dan membantu orangtuaku. Dan sejak saat itu komunikasi aku dengan Nadia hanya sebatas sms, email, atau chating-an. Belum pernah sekalipun selama tiga tahun perpisahan itu kami bertemu langsung seperti dulu. Tapi melalui video chat kami bisa saling berbagi cerita dan tawa. Saling berbagi support dan semangat saat salah satu diantara kami sedang down. Semua berjalan sampai Nadia masuk kuliah dan aku membuka usaha kecil-kecilan ini. Rasanya tidak ada yang berubah sama sekali dengan persahabatan kami selain jarak yang terbentang cukup jauh. Nadia masih memberiku spirit untuk terus maju, untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan tetap berjuang di saat cobaan tak henti mendera.
            “Tambah maju sekarang kamu, Zis. Keren!” celoteh Nadia sambil memperhatikan ruangan kecil tempatku bekerja. Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan montir, spare part kendaraan dan lantai belepotan oli. Aku tersenyum menanggapi komentar pertama Nadia saat melihat kondisiku. Dalam beberapa chating kami, aku sudah banyak bercerita tentang bengkel kecil-kecilan yang kubuka sejak lulus SMK. Pinjaman modal dari temannya Bapak sangat membantuku. Tapi karena tidak memiliki cukup pengalaman, aku tidak percaya diri untuk memulai usaha ini. Nadia yang saat itu baru masuk kuliah jurusan Manajemen di Jakarta memberikanku suntikan keyakinan, sehingga secara perlahan aku mulai bangkit. Dan dibukalah bengkel kecil di salah satu sudut pinggiran kota Bandung ini.
Sejak dulu Nadia memang sangat baik dan perhatian padaku. Cuma Nadia yang tahu kalau isi dompetku hanya cukup untuk membayar ongkos berangkat sekolah saja. Sedangkan untuk pulang, sudah bisa dipastikan aku bakalan nebeng truk pengangkut sayuran atau binatang ternak. Jadi, boro-boro jajan apalagi traktir teman, aku saja lebih sering puasa dan pura-pura sibuk di perpus supaya tidak ketahuan kalau aku super bokek. Cowok kutu buku yang tongpes alias kantong kempes, cupu dan kurang gaul. Dan, cuma Nadia yang tahu kalau aku setengah mati menahan sabar karena selalu jadi bahan ledekan teman-teman sekelas. Cuma Nadia yang lalu datang menghibur dan sesekali membagi separuh sandwich makan siangnya padaku.  Dan sampai sekarang Nadia tidak pernah berubah. Itulah yang membuatku semakin kagum padanya. Aku tak pernah berhenti menyayanginya. Sebagai seorang sahabat, tentunya.
“Kamu yang hebat, sebentar lagi mau jadi sarjana, lebih cool,” balasku sambil memperhatikan raut Nadia yang tiba-tiba sedikit berubah. “Kenapa, Nad? Kayaknya ada masalah ya? Di sini sumpek ya? Kita makan bakso, yuk!” Aku mencoba mencairkan suasana. Dan itu cukup membuat Nadia tahu kalau aku memang bisa melihat perubahan dari roman wajahnya.
Setelah menitipkan bengkel pada anak buahku, aku dan Nadia menuju sebuah kedai bakso tidak jauh dari bengkelku.
“Berapa lama liburannya, Nad?” tanyaku sambil memasukkan potongan bakso urat ke mulutku.
“Aku tidak sedang liburan, Zis. Aku lagi cuti.” Nadia memainkan sendok dan garfunya tanpa minat.
“Cuti, kenapa cuti? Bukannya kamu pengen lulus lebih cepet, Nad?” aku heran melihat sikap Nadia yang tiba-tiba berubah seperti itu. Tidak biasanya dia malas-malasan. Libur semester kemarin saja dia malah mengambil kuliah semester pendek, kenapa sekarang malah cuti?
“Ayahku terkena masalah.” Ucap Nadia sambil membuang pandangannya ke jalan raya yang mulai ramai. “Ayah dituduh terlibat korupsi oleh pihak manajemen perusahaan tempatnya bekerja. Sudah lima bulan ini dinonaktifkan. Bahkan, Ayah tidak mendapatkan gaji sepeserpun, padahal semua tuduhan itu belum terbukti sama sekali. Aku bahkan yakin, Ayah tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.” Suara Nadia berubah parau.
Aku meletakkan sendokku dan mengalihkan semua perhatianku pada Nadia. Cewek itu tampak sedih. Aku tidak melihat binar semangat di matanya. Senyumnya meredup. Mungkin ini yang menyebabkan kecanggungan yang sempat tertangkap olehku pada awal pertemuan tadi. Di kelopak matanya menggenang cairan bening yang siap tumpah setiap saat ia mengedipkan matanya. Kupegang erat tangan Nadia. Kristal itupun berguguran. Kurebahkan kepala Nadia ke pundakku, berharap bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Gadis itu menangis hebat, tak peduli orang lain di sekitar situ bertanya-tanya kenapa.
Ayah Nadia adalah seorang deputi keuangan di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang jasa asuransi. Ia orang kedua setelah CEO (Chief Executive Officer) dan memiliki tugas yang sangat kompleks. Itulah sebabnya secara financial Nadia tampak sangat mapan dibanding aku, dan aku tidak pernah berpikir suatu waktu kehidupannya akan berubah seperti ini.
“Kamu tahu, Zis, sudah dua semester ini aku kuliah sambil kerja. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi minimal aku sudah bisa belajar mandiri. Maafkan aku ya, Zis karena tak pernah bisa jujur sama Kamu. Aku malu, sebenarnya aku menyemangati Kamu sekalian juga menyemangati diri sendiri. Dan itu cukup berhasil untuk membuatku tidak down.”
Aku salut sama Nadia. Dari dulu, meskipun anak orang kaya, tapi dia tak pernah sombong dan merendahkan orang lain. Gadis seperti Nadia sudah selayaknya mendapatkan banyak keuntungan dan kemudahan dalam hidupnya.
“Terus rencanamu apa, Nad?” tanyaku saat kulihat Nadia sudah lebih bisa menguasai diri.
“Aku akan mencari pekerjaan di sini, Zis. Mudah-mudahan di Bandung aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Aku akan tinggal di rumah tanteku, Zis. Rumah orangtuaku yang dulu sudah dijual untuk menutupi biaya hidup kami selama Ayah tidak bekerja.”
“Kalau kamu mau, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak, kamu bisa bantu-bantu pembukuan bengkelku. Gimana, Nad?” tiba-tiba sebuah ide segar mampir di kepalaku.
“Serius, Zis?” Nadia nyaris berteriak kalau saja tidak keburu sadar kami berada di tempat umum.
Aku mengangguk. “Asal kamu terbiasa saja dengan bau oli dan keringatku sama anak-anak bengkel lain,” godaku membuat bibir Nadia melengkung indah.
“Itu sih sudah biasa. Selama di Jawa aku pernah turun ke tempat yang jauh lebih bau. Pokoknya kalau kamu ngasi aku kesempatan kerja di bengkel kamu, aku akan buat bengkel kamu jadi tambah rame. Aku mau buatkan situs atau blog dan promo di facebook supaya Bengkel Azis semakin terkenal.” Nadia terus saja bicara dengan penuh semangat.
Begitulah Nadia, kesedihan tidak akan pernah mampir lama dalam hidupnya, karena gadis ini memang dilahirkan untuk menikmati semua kebahagiaan yang Tuhan ciptakan. Aku baru ingat kalau ini adalah bulan Desember. Nadia akan berulang tahun di pertengahan bulan ini. Semoga apa yang aku lakukan bisa membuatnya bahagia. Anggap saja ini sebagai kado ulang tahun yang belum pernah aku berikan padanya.  Semacam Special Gift dari seorang secret admirer. Aku senang bisa mengusir sedikit lara di hatinya. Dan kalau mungkin aku ingin terus bisa membuatnya tersenyum dan bahagia.
“Hey, kenapa, Kamu?” Nadia mencubit lenganku membuat lamunanku buyar seketika.
“Eng… enggak… Ayo kita mulai beraksi!” Aku menarik tangan Nadia. Setelah membayar makanan dan minuman kami, aku menggenggam tangan Nadia dan selama perjalanan menuju bengkel tak kulepaskan pegangan tanganku meski hanya sedetik. Tidak ada percakapan diantara kami. Kepalaku sibuk memikirkan hari-hari yang akan kami jalani ke depan. Entah apa yang ada dalam benak Nadia. Semoga sesuatu yang bisa membuat hubungan kami semakin erat.
-o0o-

Sabtu, 06 Oktober 2012

PENCARIAN TAK BERUJUNG

                                                PENCARIAN TAK BERUJUNG

Gemerincing gantungan angin yang terbuat dari berbagai macam jenis kerang memecah senyap malam. Debur ombak menjadi irama syahdu, berpadu dengan gemuruh jantungku dan detak jarum jam yang berputar ritmik. Hatiku bersenandung lirih. Menikmati sepi. Gelisah dalam pencarian yang tak berujung.
            Aku duduk di beranda sebuah hotel yang menghadap lautan lepas. Asap mengabut dan gelas mungil tergolek lemas. Angin berlarian nakal di sekitarku. Sejenak hatiku membeku dan mata ini terpejam. Gelap menyaput semua pandangku. Tetapi, kau muncul dengan binar yang mencerahkan jiwa, hingga tak kuperlukan lagi rembulan untuk menerangi langit yang muram.
            Kau memakai gaun yang sama saat terakhir kau bilang, ”Aku akan kembali.” Lengkung bibirmu menggores harap yang sama saat kukecup jemarimu. Kaupun menghilang dengan lambai terayun perlahan. Lalu mataku terbuka, dan hampa kembali menyeruak. Menyadarkanku, bahwa kau tidak ada di sini. Entah di mana.
            ”Kenapa kau masih berharap perempuan itu akan kembali?” Nathan menghembuskan asap  rokoknya ke mukaku, berharap aku tersadar dari penantian sia-siaku yang selalu membuatnya jemu setengah mati.
            ”Aku tidak tahu.” Hanya jawaban itu yang selalu terurai. Aku memang tidak pernah tahu bagaimana perasaan ini tumbuh dan menjadi candu, justru di saat kau memutuskan pergi. Atau, terlambatkah rasa ini hadir hingga penantianmu yang begitu lama membuat harapanmu seolah pupus, tanpa harus menunggu satu kepastian dariku. Aku tidak tahu. Yang aku tahu, sepeninggal dirimu tanpa kabar sama sekali, aku seperti kehilangan sebuah dayung yang sedianya mengayuh sampanku hingga ke tepi. Dan aku tenggelam seandainya riak besar atau makhluk ganas menjungkirbalikkan perahuku. Aku seperti kehilangan sebelah alas kakiku yang membuatku melompat-lompat, melintasi aspal panas dan kerikil tajam yang berserakan. Aku merasa pincang.
            ”Kenapa selalu ’tidak tahu’ yang menjadi jawabanmu sementara kau terus mencarinya, bahkan sampai ke belahan bumi lain?” Nathan bersikukuh menuntut jawabku. Ia masih memagut kesal, menunggu jawaban besar yang memuaskan rasa penasarannya : kenapa aku menyeretnya berbulan-bulan bahkan selama tiga tahun terakhir ini ke dalam pusaran waktu yang mungkin bisa mempertemukan aku kembali denganmu, Jessica?
            Nathan melempar jauh pandangannya pada langit tak berbintang. Muram.
            Aku melirik sahabatku dengan sebuah senyum yang membuatnya terkecoh hingga matanya menungguku, berharap aku segera membunuh rasa ingin tahunya. ”Kau tahu, Than, pertama kali aku bertemu dengan Jessica, saat aku sedang launching novel ketigaku di sebuah mal besar di daerah Bogor. Jessica terus memandangku saat aku menorehkan tanda tangan di  novel itu. Aku terkesiap menghadapi tatapan aneh itu. Lalu seusai acara dan foto-foto dengan pembacaku, ia mengajakku ngobrol di sebuah kafe. Bercerita tentang dirinya dan betapa takjubnya ia padaku, juganovel-novel ciptaanku. Lalu tanpa terasa hubungan kami menjadi semakin dekat. Kami sering menghabiskan weekend bersama, meskipun itu hanya makan malam sederhana di apartemen kecilku. Jessica selalu memberiku sebuah kejutan yang menyenangkan. Ia memasakkan spaghety kesukaanku dengan rasa yang belum pernah aku nikmati di restoran manapun. Tetapi... hubungan yang kami jalani bukanlah hubungan seperti layaknya sepasang kekasih. Aku belum pernah membuat komitmen apapun dengannya.
            Nathan menahan napas kesal. Selalu.
Sementara aku, melihat kau dengan rambut panjang yang menebar aroma khas, tersibak angin senja yang lembut. Senyum tak lepas hingga bibir tipismu mendaratkan kecupan hangat di pipi kiri dan kananku. Aku menggeliat menahan sensasi rindu yang bertaut. Kau duduk dan memandangku dengan tatapan rindu seolah sewindu sudah kita tidak bertemu. Kau biarkan gelas orange juice-mu semakin dingin sedangkan hatimu memancarkan panas yang kutangkap lewat bola matamu yang lekat menikamku. Malam itu kau kenakan gaun biru langitmu yang menawan. Alunan musik kafe mungil di pojok kota hujan menjadi saksi saat jemari kita saling bertaut.
            ”Aku tidak ingin kau jauh dariku, sayang,” gerak bibir itu masih terlukis dalam benakku, menjadikan bunga tidur yang selalu mekar setiap malam.
            Aku hanya sanggup menatap matamu yang membias remang. Kenapa, kenapa tak kaucampakkan aku disaat kau ragu bahwa aku mencintaimu. Kenapa justru kau putuskan menjauh dariku saat di dada ini tumbuh benih cinta. Jessica, kembalilah! Bisakah kautautkan jemari dan bergandeng bersamaku menyusuri taman bougenville ungu yang kau suka itu? Tak bisakah kau rebahkan lagi gelisahmu pada dadaku yang bergemuruh menahan gelora? Aku merindukan semua: pesonamu dan ketidakberdayaanku menghadapi rasa ini.
            ”Gene...” desis Nathan menyedotku kembali pada masa kini. Ia masih menungguku menepiskan keraguan atas semua pencarianku. ”Kau sudah mengajakku ke berbagai tempat untuk mencarinya. Melompati pulau satu ke pulau yang lain di nusantara ini. Bahkan kita sudah terbang ke lima kota di negara berbeda. Kau libatkan aku dalam semua pencarianmu, tapi aku tidak pernah tahu apa maumu. Coba kau jawab satu saja pertanyaanku dengan jawaban jujur. Bukan dengan satu kalimat ’aku tidak tahu’ yang bodoh itu!”
            Aku membisu. Kulihat riak muka Nathan,  dingin memandang jauh ke tepi samudera. Ombak besar bergulung, menyambut ombak-ombak kecil yang berlarian ke arahnya seperti sang ibu menyambut anak-anaknya pulang sekolah.
            ”Lama-lama aku seperti orang bodoh karena terus menerus mengikutimu. Aku juga punya kehidupan, Gen. Tapi kau sudah menyeretku pada kehidupanmu, membuatku semakin terintimidasi saat kau bilang ’percayalah, ini pencarianku yang terakhir’. Kau sadar tidak, Gen, kau sangat bodoh dengan semua ini!” Napas Nathan memburu. Ia menatap tajam ke arahku, dan tidak sekalipun melepasnya setelah itu. Amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubun.  Dan ini menyadarkanku, kalau amarah yang sama mungkin juga menggumpal di dadamu. Maafkan aku Jessica, kejujuran ini sangat mahal sehingga aku memperhitungkannya begitu lama, sementara kau semakin lelah dalam ketidakpastian.
            ”Aku tidak tahu.”
            Bullshit!”
            ”Lalu aku harus berbuat apa? Berteriak’Jessica, please balik lagi, aku sangat merindukanmu!’...”
            ”Kenapa tidak kau akui saja, Gene! Aku tidak tahu apa yang kau rasakan. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya...” Nathan siap membuka mulutnya lagi, tetapi aku segera memotongnya.
            ”Untuk apa? Apa perlunya kau tahu?”
            ”Bukan untukku. Tapi Jessica! Ia perlu tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya. Tapi sekarang... ya, aku juga perlu tahu hal itu. Huh, bodohnya aku!”
            Kupejamkan mataku. Menerawang, ke tempat kau berdiri dengan gaun biru cantikmu. Kau menuntunku mengucapkan satu kalimat yang sulit keluar dari mulutku. Aku... aku cinta padamu.
            ”Aku mencintaimu.” Desir angin menggeliat di telingaku, mengulas bahagia atas pengakuanku. Sebuah kejujuran yang lama kupendam, karena ragu yang menggelayut sulit sekali kutepis. Kau tersenyum dan ketika hendak kau tautkan bibirmu dengan bibirku, aku terkesiap. Mata ini tersentak.
            Nathan melongo menatapku. Bodohnya aku mengucapkan kalimat itu di hadapannya. ”Apa kau bilang?” tanyanya membuatku tak nyaman.
            ”Aku mencintainya,” tegasku berharap Nathan tidak salah tangkap.
-o0o-
Aku memang tidak pernah siap menerima ungkapan perasaan tulusmu. Aku ragu. Aku yakin kau bisa membaca perasaanku. Tetapi kau seolah tidak peduli, sehingga berangsur aku menepis perasaan itu. Sejak kita bertemu, puluhan kali kau ucapkan cinta dan sayang padaku. Puluhan kali pula kau khayalkan masa depan kita yang entah tergambar  seperti apa dalam anganmu. Dan aku hanya bisa diam, meratapi rasa tak percaya, bagaimana perempuan secantik kau bisa begitu mudah jatuh cinta dan tergila-gila padaku hanya dalam waktu singkat. Sesingkat perkenalan kita. Aku diam, tanpa bisa menolak, lantaran khawatir melukai hatimu. Aku tak melihat sandiwara di matamu, meski kuyakin, sekali lagi, kau tidak peduli bagaimana perasaanku padamu. Kau terus saja mengunjungiku, menelpon dan janji ketemu di tempat-tempat yang kau ingin hanya kita berdua saja di sana.
            Malam itu, seperti biasa aku gelisah menanti hadirmu. Sebuah bingkisan kecil sebagai hadiah khusus untukmu, kuletakkan di sebelah rangkaian bunga mawar di atas meja yang telah kupesan untuk kita. Segelas anggur tandas. Dua gelas kupaksakan demi mengusir dingin yang mulai merayap. Tiga gelas menutup sisa hampa penantianku. Tak ada kabar. Bahkan akhirnya kau tak bisa lagi kuhubungi.
Aku pun bertanya-tanya: Ada apa gerangan dengan perempuan berbingkai rambut legam dan senyum merekah itu? Apakah kau bosan menanti saat kuungkap semua rasa ini. Ataukah sudah tak ada lagi harapmu padaku? Atau... mungkin semua yang terjadi selama ini hanya angan-angan rekaanku seperti halnya aku mereka tokoh dan kisah cinta dalam novel-novelku? Jessica, di mana dirimu? Ribuan tanya menggelayut dalam dada, tapi hanya ucapan maaf dalam smsmu saja sebagai jawabnya. Maaf, aku mendadak sakit. Lalu kau menghilang ditelan bumi. Meninggalkan aku mematung sendiri.
            Berbulan-bulan aku mencarimu, Jessica. Petunjukku hanya satu, tempat kostmu di daerah Bogor. Tapi teman kuliahmu memberikanku alamat tantemu di Jakarta. Dan ternyata kau sudah tidak pernah menemui kerabatmu lagi di sana. Aku mendapat alamat saudaramu di daerah Pemalang. Bersama Nathan aku berusaha mencarimu ke sana. Lagi-lagi aku hanya mendapatkan informasi alamat orangtuamu di Surabaya. Lalu Palembang, tempat kau tinggal bersama kakek dan nenekmu beberapa tahun terakhir. Mungkin ada di Singapura, tempat seorang sahabatmu bermukim. Atau Seoul, berharap kau sedang menikmati liburanmu di sana. Canada, menemui orangtua angkatmu saat kau mengikuti program pertukaran mahasiswa di sana. Mungkin Paris karena seringkali aku mendengar kau begitu memuja kota yang menjadi pusat mode dunia itu. Dan aku bahkan sempat terdampar di Washington karena menurut orangtua angkatmu di Canada kau pernah punya hubungan khusus dengan seseorang di kota itu. Semua sia-sia karena kau tak pernah ada di mana-mana.
            ”Sudah siap, Gen?” Nathan melempar tas kecilnya ke atas kursi penumpang bagian belakang, lalu merebahkan tubuhnya di belakang kemudi.
            Aku mengangguk dengan raut lelah.
            ”Ini akan menjadi pencarian kita yang terakhir. Kali ini aku yang janji,” ucap Nathan tanpa memedulikan bagaimana rona wajahku berubah panas. Aku memang sudah terlalu jauh melibatkan Nathan dalam hal ini. Pencarian yang menguras segala dayaku, dan membuat hidupnya praktis terganggu.
            Setelah melaju lebih dari 3 jam, mobil yang dikemudikan Nathan berhenti di depan sebuah bangunan tua bergaya Belanda di daerah Bandung. Untuk pencarian kali ini aku memang menyerahkan sepenuhnya kepada Nathan. Aku bahkan berjanji tidak akan terlalu banyak bertanya kenapa Nathan membawaku ke tempat yang akan ia tunjukkan, termasuk ke tempat ini. Tapi, akankah aku menemuimu di dalam sana?
            ”Ingat janjimu, Gen.” Nathan menatapku tajam.
            ”Iya, tapi bisa kau jelaskan sedikit saja, kenapa aku harus percaya kalau Jessica ada di dalam rumah ini?”
            ”Ini bukan rumah, Gen,” Nathan menghela napas sebelum kemudian melanjutkan, ”Ini sebuah rumah terapi khusus untuk mereka yang terserang kanker ganas.”
            Aku mengernyitkan kening, ”Kenapa Jessica bekerja di tempat seperti ini?” tanyaku.
            ”Dia tidak bekerja di sini, Gene! Jessica itu salah seorang pasien rumah terapi ini.” Nathan mengalihkan pandangannya ke sekelompok remaja tak berambut yang sedang becanda di sebuah taman. Ia juga melirik remaja lain, seorang perempuan berkepala botak, dengan pakaian longgar sedang duduk di bawah pohon sambil asyik membaca buku.
            Aku berusaha mencerna apa yang dikatakan Nathan, tapi entah kenapa otakku mendadak tak berfungsi dengan baik. ”Maksudmu?”
            Nathan kembali memandangku. ”Gene, maafin aku ya.” Matanya memandang lurus ke arahku. ”Aku merahasiakan ini sejak lama. Sebelum kenal dengan kita, Jessica sebenarnya sudah mengidap penyakit kanker sumsum tulang belakang. Ia tinggal di Jakarta bersama dengan tantenya, karena kedua orangtuanya sudah berpisah dan tinggal di kota yang berbeda.” Nathan menghela napas berat. Begitupun aku. Perih dan sesak. Aku tidak tahu bagaimana Nathan bisa tahu hal ini, sedangkan aku, orang yang selama ini lebih dekat denganmu malah tidak tahu sama sekali.
            ”Jessica adalah penggemar beratmu. Ia selalu menghubungiku hanya untuk menanyakan kabarmu, kapan kau akan mengadakan promo tour lagi, ke mana dan tinggal di mana, berapa lama, dan sederet pertanyaan lainnya. Ia tergila-gila padamu. Dan sialnya, nomor teleponku yang ada di halaman terakhir setiap novelmu. Mungkin ini resiko menjadi teman sekaligus managermu.
            ”Lalu Jessica memaksakan diri mengikuti launching novelmu di Bogor, meskipun saat itu ia sedang sakit. Ia datang untuk menemuimu, Gen. Hanya itu yang ia inginkan di akhir sisa hidupnya. Setelah beberapa kali menjalani kemoterapi, ia menolak untuk melanjutkan pengobatan secara medis, dan lebih memilih pengobatan secara tradisional, meskipun ia belum yakin benar apakah ia akan sembuh atau berakhir di sini.”
            ”Kenapa kau merahasiakan semua ini padaku, Than?” aku nyaris tak bisa mendengar suaraku yang parau. Rasa kecewa menggunung di dadaku. Teganya Nathan melakukan ini semua padaku.
            ”Jessica yang memintanya, Gen. Ia tidak ingin kau tahu kalau ia sakit, meskipun ia tidak yakin, kalau kau ingin tahu.”
            ”Aku ingin tahu, Than. Kau tahu sendiri, aku selalu ingin tahu di mana ia berada. Beribu-ribu kilometer kulalui, hanya untuk mengetahui keberadaannya, Than.”
            ”Iya, tapi untuk apa? Aku tidak diperbolehkan memberitahu di mana Jessica sampai aku bisa mendengar sendiri pengakuanmu...”
            ”Kalau aku mencintainya?”
            Nathan mengangguk. Aku menarik tangannya untuk segera mempertemukanku dengan Jessica. Tetapi langkahku terhenti saat sebuah kursi roda yang didorong perlahan oleh seseorang menuju ke arahku.
            Ya Tuhan,  itukah kau, Jessica? Tubuhmu layu seperti sekuntum bunga yang hendak gugur. Di mana rekah senyum yang selalu kau tebar untukku. Di mana binar matamu yang selalu riang dan menghangatkan hatiku.
            Aku tersungkur di lahunanmu yang lemah. Getir. Kau tersenyum dengan sisa ulas yang lemah. Rinai air mata perlahan menetes mengikuti lekuk tulang pipimu yang semakin tirus. Di mana ceria yang selalu melukis bias rona merah di pipimu? Aku menggenggam jemarimu seraya menciumnya penuh rindu.
            ”Gene..” ucapmu lemah, ”Apa benar....”
            Aku mengangguk berkali-kali sambil menahan benteng air mataku agar tak tumpah dan melemahkanku. ”Iya Jessica, iya... aku mencintaimu...” Aku memeluk tubuh kurusmu. Desah napas dan isak tertahan menyayat lirih di telingaku. Kubelai rambutmu yang kian menipis, dan tak kuasa...  akhirnya benteng itu runtuh. Aku menangis hebat di pelukanmu. ”Sungguh Jessica.. aku mencintaimu. Jangan pergi lagi ya... berjanjilah untukku..”

Bandung, penghujung Juli 2012

-oOOo-