Senin, 10 November 2014

Kampung Klenik

Sepeninggal Aki Isak, banyak orang percaya bahwa ilmu sakti yang dimilikinya tidak akan hilang. Konon ilmu seperti itu akan menurun pada selang generasi. Kakek ke cucu, lalu dari cucu ke cucu berikutnya lagi. Dan seterusnya. Mulailah warga kasak-kusuk. Cucu manakah yang akan menjadi pengganti Aki Isak, orang pintar yang terkenal seantero kampung itu?
            “Mungkin Yusup. Pembawaannya tenang. Bersahaja,” tebak seorang lelaki berkumis lebat pada suatu siang diantara kerumunan peminum kopi tubruk di warung Ceu Romlah.
            “Kalau menurut saya mah, si Adim. Sejak kecil wataknya keras. Baragajul[i]. Pergaulannya luas, dan dia itu pemberani, persis seperti kakeknya,” timpal lelaki paling tua diselingi batuk kering.
            “Saya curiga si Samil. Biarpun cuek, tapi sorot matanya eta tah, siga heulang rek newak anak hayam[ii]!!” bantah seorang hansip, yakin.
            “Tapi budak eta mah pinter teuing. Nggak bakal percaya ilmu begituan!” Ceu Romlah berbisik. Ia tidak sadar saat seorang pemuda tiba-tiba muncul. Sambil melepas ransel, laki-laki itu duduk di kursi pojok.
            Atmosfir berubah sunyi.        
            “Kopi, Ceu!” Diraih sepotong pisang goreng, lalu dikunyah perlahan. Dua-tiga orang saling sikut tertangkap Ekor matanya.
            Ceu Romlah tergopoh menyeduh kopi tubruk. Tangannya bahkan gemetar kala menyodorkan kopi panas beralas piring kecil ke hadapan laki-laki berparas tampan itu. “Ke mana saja, Mil?” basa-basi Ceu Romlah dengan suara berfibra.
            “Ada, Ceu.” Ditatapnya wajah orang-orang yang berada di sekitarnya. Satu persatu. Tidak banyak berubah, batinnya. Penuh curiga dan apatis.
            “Sekarang Aki sudah almarhum. Jadi, tidak ada alasan untuk percaya hal-hal mistis lagi,” celetuk Samil. Kata-katanya setegas apa yang selama ini ia dengar. Ia gemas dengan sikap warga yang selalu mengagungkan dunia takhayul. Kini, sudah saatnya untuk berubah.
            “Jangan sembarangan ngomong, maneh[iii], Mil! Aki Isak baru tiga hari dikubur. Bisa murka dia!” Berdiri seorang lelaki berbadan tegap. Dari mulutnya menyembur amarah.
            Samil bergeming.
            “Terus, Bapak mau berimam ke siapa?”
            “Mil, jaga omongan kamu, jangan bikin kampung kita tambah kisruh!” Pak hansip angkat bicara.
            Samil ikut berdiri. “Kisruh, Pak? Seingat saya, kampung kita ini tak pernah benar-benar tenang. Atau warga sini merasa aman-aman saja?” sindir Samil lagi, “Sudah jelas kemadorotan berkembang biak dengan mudah di sini. Apakah Bapak-bapak tidak sadar kalau setiap hari hidup berdampingan dengan setan?!”
            Sangeunahna siah[iv]!” Laki-laki berbadan tegap itu menggulung dengan cepat lengan kemejanya. Mukanya terbakar.
            “Sudah, sudah, Pak, jangan bikin ribut di warung saya!” Ceu Romlah panik.
            “Biarkan saja dia omong apa. Kita jalani hidup kita seperti biasa saja,” Pak Tua melerai. “Kalau si Samil tidak mau jadi penerus Aki Isak, masih ada sembilan cucu si Aki yang bisa kita angkat.”
            Wajah Samil tak kalah membara. Jika ia tidak mau menjadi penerus Aki Isak, maka ia juga tidak akan membiarkan keempat kakak dan kelima adiknya mengambil alih. Tidak ada seorang pun yang berkewajiban menjadi penerus praktik perdukunan Aki Isak. Semua sudah berakhir! Setelah meletakkan selembar uang di bawah alas kopinya, Samil berlalu. Tak peduli tatapan garang dan penuh tanya menyelimuti wajah orang-orang yang di matanya terlihat aneh dan memprihatinkan itu.
*
Kampung Simpang Layang itu tampak mati. Padahal lamat-lamat adzan Maghrib belum lama hilang. Lereng Gunung Gede angkuh berkuasa.
Samil menyandarkan punggungnya di dipan berkasur kapuk. Pikirannya masih dikabuti perdebatan siang tadi.  Setelah kepergiannya selama lebih dari empat tahun, ternyata paradigma masyarakat di kampung ini belum berubah. Mereka masih memercayai hal-hal yang berbau klenik. Mistis. Peruntungan lewat ramalan yang nampak melalui air yang ditiupkan doa orang sakti. Doa atau lebih tepatnya mantera dari mulut Aki Isak, kakeknya. Mereka lebih memilih mendengarkan apa yang Aki Isak katakan ketimbang meminta isyarat dari Gusti Allah.
            Kini, setelah orang yang menjadi tetua, pemberi petuah dan tempat meminta tolong jika sedang dirudung kesusahan itu sudah tiada, orang-orang ketakutan. Kampung akan dilanda petaka hebat, simpul mereka. Selang sehari kematian Aki Isak saja, keributan terjadi di ujung kampung. Seorang warga kehilangan kambing, dan menuding warga lain yang mencurinya. Tidak ada bukti. Tapi pertengkaran itu tak terlerai. Seorang menjadi korban bacok dan harus dilarikan ke rumah sakit. Coba kalau ada Aki Isak, mungkin maling itu sudah ketahuan, begitu celetuk warga. Malam berikutnya, seorang perempuan melahirkan anak cacat. Kematian Aki Isak lalu dihubung-hubungkannya.
            Sudah sejak puluhan tahun, Aki Isak dianggap sebagai pelindung kampung dari segala marabahaya. Karenanya, kematian laki-laki seratus Sembilan tahun itu adalah musibah besar. Namun warga yakin ada diantara cucu Aki Isak yang mewarisi kebisaannya, sehingga kelak mampu menyelamatkan kampung. Dan santer beredar, --dari sikap Aki Isak selama ini--  Samil-lah cucu terpilih itu.
*
Barangkali menjejakkan kaki kembali ke tanah kelahiran bagi sebagian orang adalah berkah. Tapi tidak bagi Samil. Kehadirannya yang sudah ditunggu banyak orang bukanlah alasan ia pulang. Ia hanya menaruh hormat kepada mendiang, dan kedua orangtuanya.  
Warga yang menduga bahwa kepulangan Samil ialah untuk menerima warisan ilmu kakeknya dibuat kecewa. Marah bahkan. Pemuda itu terang-terangan menolak, seperti yang ia lakukan sebelum minggat dulu. Pilihan hidupnya jelas. Masa depannya bukan di depan batu-batu pualam dengan ukiran naga melingkar, dan keris-keris pusaka. Bukan bersama benda-benda keramat berbau aneh yang saban tanggal empat belas dimandikan dengan air bunga dan doa orang sekampung.
            Sejak dulu Samil tak percaya. Semua yang terjadi –warga yang terhindar bencana, usaha seseorang maju pesat, dikasihi banyak orang, dan semacamnya-- selalu dianggapnya kebetulan. Atau lebih ia yakini sebagai kasih sayang Tuhan kepada mereka yang dirundung malang. Bukan lantaran campur tangan Aki Isak. Sugesti kuat orang-orang itulah yang mungkin berpengaruh. Keyakinan itu sendiri kemudian membuktikan kebenarannya. Mereka lupa, kekuasaan Tuhan-lah yang sebetulnya bekerja.
            Samil sudah berusaha mati-matian untuk menolak permintaan Aki Isak, ataupun Badrun, bapaknya, ketika kakeknya itu masih hidup. Ia tak ingin cita-citanya untuk mengenyam pendidikan tinggi terhalang oleh beban yang Aki Isak bilang sebagai tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Samil ingin berbakti kepada masyarakat, tapi tidak dengan cara menjadi penerus kakeknya. Bukan dengan menjadi dukun. Samil lalu kuliah di kota dan bertekad takkan pulang sebelum ia dibutuhkan.
            Mungkin kini saatnya. Dirinya terpanggil untuk merubah stigma masyarakat. Meskipun warga membencinya, namun ia akan tetap tinggal dan membuktikan bahwa kampung akan tetap aman, kendati sang penjaga, Aki Isak sudah tiada. Besok, Samil akan menemui kakak-kakaknya yang  tinggal di kampung lain.
*
            Langit-langit kamar berubah kelabu. Mata Samil baru sekejap terpejam, saat keributan membahana di luar rumah.
“Buka !!!” seseorang berteriak, disusul gedoran pintu mengelegar.
Samil terperanjat.
Pintu berderit. “Ada apa ini?” suara Badrun gemetar.
Teriakan bersahutan, seperti guruh saat longsor terjadi beberapa tahun silam di kampung sebelah.
“Mana anakmu yang sok pintar itu?”
“Keluarkan si Samil!”
Aya naon?[v]” ulang  Badrun waspada.
“Dia menolak permintaan warga, tapi diam-diam menyantet anaknya Pak RW sampai gila!” rutuk lak-laki berseragam hijau ulat.
Saha? Budak saha[vi]? Kumaha caritana?[vii]” Lisah, emak Samil ketakutan. Adik-adik Samil yang beranjak remaja bersembunyi di balik pintu.
“Gara-gara ditinggal kawin, Latifah diguna-guna,”  jerit seorang perempuan.
“Munafik! Tidak percaya dukun, tapi nyantet!” pekik si hijau, disahuti rentetan makian pedas lainnya.
Teriakan itu makin berkobar saat Samil muncul. Keningnya berlipat-lipat.
“Itu dia! Kita bakar saja!”
“Tunggu… tunggu!” hardik Badrun.
Cahaya obor yang diusung  puluhan warga berjingkrakkan diterabas angin gunung.  Wajah-wajah berang termakan hasutan timbul tenggelam di pelupuk mata Samil.
Dua orang lelaki berbadan tegap menerobos tubuh Badrun. Dengan mudah mereka menyeret Samil dan mengaraknya ke tengah-tengah warga. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi mendarat di tubuh laki-laki kurus itu. Tak ada rintihan mengiring gemeletuk rusuk patah. Mata Samil hanya sedikit berkabut, memandangi siluet wajah emaknya yang meronta, meminta pengampunan. Keyakinannya kini telah mati.
“Cukup… hentikan…,” rintih Lisah tak mampu membungkam amukan warga. Amarah itu sudah mencapai puncaknya. Menolak permintaan warga adalah sebuah penghinaan. Terlebih warga meyakini kemampuan Samil sama hebatnya dengan Aki Isak.
Samil tidak tahu, kebenaran mana yang sekarang sedang dibuktikan. Tapi Aki Isak tahu, Samil pergi bukan hanya karena tak ingin menjadi pewaris ilmu perdukunannya. Samil tak ingin menyaksikan Latifah hidup dengan lelaki lain yang sudah dijodohkan orangtuanya. Namun terdengar kabar Latifah tidak bahagia. Suaminya main kasar, dan baru-baru ini memadunya. Beberapa hari setelah Samil kembali, sempat dilihatnya Latifah sedang mencuci di sungai. Samil hendak ke bukit untuk menghirup udara segar dan mencari inspirasi. Mereka bersitatap. Perempuan itu menunduk. Samil  menangkap kegelisahan di bening matanya. Ia tahu, Latifah menderita, seperti juga dirinya.






[i] Baragajul = nakal (bahasa Sunda, kelakuan anak muda yang selalu cari masalah)
[ii] siga heulang rek newak anak hayam = Seperti elang hendak menerkam anak ayam (bahasa Sunda)
[iii] Maneh = kamu (bahasa Sunda, setengah kasar)
[iv] Sangeunahna, Siah! = Seenak saja! (bahasa Sunda)
[v] Aya naon? = Ada apa? (bahasa Sunda)
[vi] Budak Saha? = Anak siapa? (bahasa Sunda)
[vii] Kumaha caritana? = Bagaimana ceritanya (bahasa Sunda)