Minggu, 26 Februari 2012

JANJI ANNISA : #5 Tragedi di Siang Bolong

5
TRAGEDI DI SIANG BOLONG

Siang itu udara sangat cerah. Andrian mengayuh sepedanya dengan cepat. Ia takut teman-temannya kelamaan menunggu di lapangan. Tadi Andrian menyempatkan diri mengerjakan PR sepulang sekolah. Soal-soal matematika itu memang sulitnya bukan main, Andrian sampai harus membuka buku pelajaran kelas empat dan kelas lima untuk mengingat kembali rumus-rumusnya.
Ketika melewati rumah Bu Munir seekor anak anjing menggongong. Anak anjing itu memang selalu menggonggong kalau ada orang yang lewat, terutama orang asing yang belum pernah dilihatnya. Kalau ada Edo pasti anak anjing itu bakalan kena sial. Atau jangan-jangan tadi teman-temannya sudah lewat sini dan melempari anak anjing malang itu. Lihat saja kepalanya yang nyaris pitak padahal luka di kakinya belum juga sembuh. Andrian tidak menghiraukan anak anjing itu. Cukup sudah penderitaannya. Ia tidak mau menambah kesengsaraannya.
Andrian juga berpapasan dengan Ridwan yang sedang berjalan gontai entah mau ke mana. Bahkan ia sempat menegur dan menanyakannya mau pergi ke mana. Ridwan hanya tersenyum dan tidak berminat menjawab pertanyaan Andrian. Andrian pun tidak mnghiraukannya dan ia segera memacu sepedanya menuju lapangan.
Dari jauh sudah terdengar teriakan-teriakan orang yang sedang bermain bola. Over..over… katanya, sepertinya sih suara Doni. Ya…out deh, keluh suara anak perempuan. Andrian yakin itu Mayang. Kemudian dari jarak yang sudah semakin dekat ia bisa melihat keempat temannya sedang melempar bola satu sama lain. Ada Doni dengan kaos merah kesukaannya sedang berusaha menerima overan bola dari Anissa. Edo dengan sepatu bola barunya sedang berjingkat karena berhasil menendang bola yang digawangi Mayang. Mayang masih kelihatan seperti anak perempuan lain yang tidak sedang bermain bola. Dengan celana pendek ketat dan rambutnya yang dikuncir, ia berusaha mempertahankan gawang supaya tidak bisa ditembus oleh tendangan Edo, tetapi kemudian mengeluh lagi karena Edo berhasil membobol pertahanannya.
Berbeda dengan ketiga temannya, Anissa kelihatan tidak bersemangat seperti biasanya. Andrian bisa tahu begitu melihat Anissa yang malas-malasan menangkap bola yang ditendang Doni dan membiarkannya lolos dari kakinya. Apakah Anissa masih sakit?
“Hai...” teriak Andrian yang lalu disambut teman-temannya dengan lambaian. Mereka lalu melanjutkan kembali permainan. Kecuali Anissa yang begitu melihat Andrian datang langsung keluar lapangan dan mengambil air minum dari dalam tasnya.
“Kamu masih sakit. Nis?” tanya Andrian.
Anissa menggeleng sambil menenggak minumannya.
“Muka Kamu pucat. Mungkin Kamu kepanasan,” lanjut Andrian
Anissa mengelap keringat yang menetes di keningnya. Lalu ia duduk malas di bawah pohon alpukat. Hawa sejuk seketika menerpa wajah dan tubuh Anissa yang kegerahan. Anissa menikmatinya seperti ia sedang merasakan hawa yang keluar dari dalam lemari esnya yang baru dibuka.
Andrian berlalu meninggalkan Anissa dan menggantikannya bermain dengan Doni. Dari tempatnya duduk, Anissa melihat Andrian bercakap-caap sebentar dengan Doni. Dari gerak tubuhnya Andrian seolah menanyakan hal yang sama dengan yang ia tanyakan ke Anissa tadi. Doni mengangkat bahu. Mungkin ia menjawab tidak tahu. Lalu keduanya sudah asyik bermain lemparan-lemparan bola sebagai pemanasan buat Andrian.
Sebenarnya Anissa masih kesal dengan teman-temannya. Hal ini dikarenakan ketika kemarin Anissa berkeluh kesal mengenai Ridwan kakaknya yang selalu membuatnya sebal, teman-temannya malah membela kakaknya itu. Mereka bilang Ridwan itu kakak yang baik dan pengetrian. Ia sangat sayang kepada adik-adiknya. Padahal Anissa merasa Ridwan sudah tidak sayang lagi pada dirinya.  Saking marahnya, Anissa hampir saja tidak mau menemui teman-temannya lagi. Tetapi karena ia juga tidak betah tinggal di rumah sepulang sekolah, ia pun kembali menemui teman-temannya untuk bermain bersama.
Ketika Anissa hendak melanjutkan permainan dan bergabung bersama teman-temannya, ia melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya. Teryata dia adalah Ridwan, kakaknya. Anissa urung berjalan menuju lapangan. Ia malah menghindari Ridwan pergi meninggalkan lapangan dan teman-temannya yang sedang bermain.
“Nis, mau ke mana?” teriak Doni begitu melihat Anissa tergesa-gesa.
Anissa tidak menghiraukan Doni dan yang lainnya. Ia berlalri demi menjauh dari Ridwan. Mau apa lagi kakaknya itu. Apakah ia belum puas memarahiku, makanya sekarang Ridwan malah menyusul ke lapangan, pikir Anissa.
“Nis, tunggu,” panggil Ridwan seraya mempercepat langkahnya. Anissa malah semakin cepat menjauh dari Ridwan. Ia berlari menuju jalan besar yang memisahkan lapangan sepak bola itu dengan pesawahan desa sebelah.
Anissa bahkan tidak menengok ke kiri dan kanan jalan. Pandangannya lurus ingin menyeberangi jalan beraspal itu supaya bisa lari di pematang sawah dan menghilang dari pandangan Ridwan. Ia tidak mau menemui kakaknya itu. Ia benci dengan sikap kakaknya itu. Cukup sudah rasa sakit yang ia alami tadi siang.
Melihat Anissa yang mulai berlari, Ridwan menjadi panik. Bagaimana tidak, dari jarak jauh ia melihat sebuah sepeda motor sedang melaju kencang di jalan desa itu, sedangkan Anissa tanpa memperhatikan sepeda motor itu terus saja berlari menuju jalan yang dilalui sepeda motor itu.
“Nissa, awas….. “ dengan sekuat tenaga Ridwan berlari dan terpaksa mendorong tubuh Anissa yang hampir saja ditabrak sepeda motor yang sedang ngebut itu. Anissa terpelanting ke sisi jalan dan jatuh di tanah lembab, sedangkan Ridwan terserempet sepeda motor itu yang kemudian oleng dan jatuh. Ridwan terlempar hampir tiga meter jauhnya dan jatuh di jalan aspal dengan suara gedebug seperti suara ban pecah.
Doni, Edo, Andrian dan Mayang berlarian menuju arah suara itu. Mereka khawatir dengan apa yang mungkin menimpa kedua kakak beradik itu. Mayang menjerit melihat ternyata dugaannya benar. Ridwan terkapar di bahu jalan dengan darah merembes dari keningnya. Anissa meringis menahan sakit di sikut dan kakinya. Untung ia terjatuh di tanah yang lembab sehingga terhindar dari benturan dengan batu ataupun aspal.
Mayang menghambur ke arah Anissa dan membantunya berdiri. Sedangkan Edo, Doni dan Andrian segera memindahkan tubuh Ridwan ke sisi jalan sambil berteriak minta tolong. Samar-samar Ridwan melihat ketiga teman Anissa membantunya berdiri dan dari jarak beberapa meter pengendara motor itu mulai berusaha menyalakan mesin motornya dan lalu pergi begitu saja. Setelah itu pandangan Ridwan menjadi kabur dan ia tidak sadarkan diri.
Beruntung sebuah mobil pick up melintas di depan mereka. Doni menyetop mobil itu dan meminta tolong untuk mengantarkan Ridwan dan Anissa ke puskesmas. Pengemudi mobil itu kebetulan mengenal Ridwan dan anak-anak itu. Pak Hamid namanya. Ia adalah salah seorang pegawai kelurahan yang juga kenal baik dengan ayahnya Ridwan. Pak Hamid segera membawa masuk Ridwan ke dalam mobil. Anissa juga dituntun untuk naik dan duduk di kursi penumpang di samping sopir. Ia menangis melihat kondisi Ridwan yang sangat mengkhawatirkan.
*
            Puskesmas ternyata tidak sanggup menangani pasien korban kecelakaan. Apalagi melihat kondisi Ridwan yang sudah mengeluarkan banyak darah, dan fasilitas di puskesmas yang kurang memadai. Pihak puskesmas pun segera merujuk Ridwan untuk dibawa ke rumah sakit. Sedangkan Anissa setelah mendapat pertolongan pertama dan dinyatakan sebagai cedera ringan, diperbolehkan pulang atau mengantar Ridwan ke rumah sakit.
            Di tengah perjalanan, tak henti-hentinya Anissa menangis. Ia sangat menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan tadi. Kecelakaan itu mungkin tidak akan pernah terjadi kalau saja Anissa tidak lari dan menghindari kakaknya. Ya Allah, selamatkanlah kakaku..... doa Anissa berulang-ulang disela isaknya.
            Dalam hati Anissa berjanji akan merawat kakaknya sampai sembuh dan meminta maaf atas semua kesalahannya. Mungkin kakaknya, juga ayah dan ibunya akan sangat marah, tapi Anissa akan berusaha menebus semua kesalahannya dengan menjadi anak yang baik dan penurut. Anissa berjanji.
            Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya kendaraan pick up Pak Hamid tiba juga di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah. Ridwan dimasukkan ke ruang ICU karena belum juga sadarkan diri. Dokter dan para perawat sibuk membantu memasang alat bantu pernapasan, selang inpus dan sebagainya.
            Anissa hanya bisa memandang kakaknya melalui kaca pintu yang ukurannya sangat kecil. Hatinya sangat sedih dan merasa bersalah atas kejadian ini. Ayah dan Ibu pasti sangat marah dan merasa terpukul melihat anak sulungnya terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Mereka juga pasti sangat marah pada Anissa. Setetes air mata bergulir melewati lekuk pipi Anissa, berhenti sejenak di celah bibir atasnya, lalu jatuh ke dagu dan menetes ke baju Anissa yang berdarah. Tragedi ini sangat di luar dugaan. Siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Itu semua rahasia Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Siapa yang lengah dan lalai bisa jadi menanggung akibat buruk yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
            Kalau saja waktu bisa diputar kembali Anissa tidak akan pernah pergi waktu Ridwan menghampirinya siang tadi. Ia bahkan ingin sekali meminta maaf dan mengajak kakaknya bermain bersama. Tapi itu tidak mungkin, nasi sudah menjadi bubur. Allah mungkin sedang memberinya peringatan keras karena kelakuannya yang nakal. Tapi ini terlalu berat rasanya. Anissa tidak sanggup menanggung beban seberat ini.
            Di balik semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Anissa berusaha memetik hikmah dari kejadian ini. Tapi kesedihan yang sangat dalam membuatnya tidak berpikir jernih. Dalam ketakutan dan rasa malu ia tertidur di bangku panjang tempat para keluarga pasien duduk menunggu sanak keluarga yang akan besuk.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

Rabu, 22 Februari 2012

Puisiku untuk Mereka yang didera Jera

oleh Kamiluddin Azis pada 22 Februari 2012 pukul 18:46 


CABIK LENAMU
Kamiluddin Azis

Kau tersungkur, setelah rayumu cabik setiap lekuk lemahku
Lalu geliat lelahku bangkit, rengkuh amarah yang terselip dalam jiwa rengkah
Kuseret gontaiku dalam remang belenggu malam
Tinggalkan perih yang koyak setiap jengkal angkuhku
Kepul nista ini menebar aroma lara
Berbaur dengan rinai dan gelisah rembulan yang tercabik pekat
Sementara kau, sudah jauh dibuai  bidadari khayalmu
Dan aku kembali telusuri sisa malam dalam gundah tak bertuah

Kau, tak pernah sekalipun ungkap gelagat rindu
Kendati seribu tanya bergelayut, kau tepis dalam sekali libas
Sirna sudah semua amarah yang membuncah,
Karena untuk apa kugantung asa yang tersaput saru
Tersambat ragu hingga lenyap, lepuh bersama ragamu
Terseret benci sampai muara kesumat, dan kembali
Kau tersungkur, setelah lidahku cabik setiap lekuk lenamu

Kamis, 16 Februari 2012

The Secret Life of Bees

Rahasia hidup yang layak diungkap

Setelah terpesona oleh acting Dakota Fanning dan empat artis berkulit berwarna, yaitu Queen Latifah (salah satu artis favorite saya), Jennifer Hudson, Alicia Keys, dan Sophie Okonedo, baru saya mau membaca bukunya. Novel karya Sue Monk Kidd itu sebenarnya sudah lama saya beli dan saya jadikan koleksi di taman bacaan saya, tetapi entah kenapa saya belum berminat dan belum sempat membacanya.

Kalau pada saat nonton filmnya saya merasa terharu dengan kisah dan perjalanan Lily (Dakota Fanning) dalam mencari tahu kisah lama ibunya yang sudah lama meninggal itu, maka ketika membaca versi novelnya saya seperti terbawa arus dan hanyut ke dalam setiap detil peristiwa. Setting cerita di daerah South Carolina pada tahun 1964, saat pertikaian antar ras dan diskriminasi sosial masih sering terjadi. Diskrimanasi warga kulit hitam oleh kulita putih masih kental terasa. Tetapi Lily yang dirawat dan diasuh oleh Rosaleen yang berkulit gelap bukan penganut rasis.


Kisah seru semakin menakjubkan ketika Lily dan Rosaleen bertemu dengan 3 orang kakak beradik eksentrik  peternak lebah yang dijual dalam botol-botol bermerk Black Madonna di Tiburon. Selain memiliki tiga nama unik yaitu nama bulan August, Mei dan June, ketiga kakak beradik perempuan itu memiliki karakter yang sangat menarik. Kisah hidup yang berbeda satu sama lain sangat kontras tetapi menyatukan mereka dalam satu naungan cinta dan sayang. Lily dan Rosaleen pun tinggal di rumah mereka dan mulailah Lily mengenal bagaimana kehidupan lebah yang penuh misteri.
Wah kalau saya terlalu panjang bercerita nanti kamu tidak akan tertarik untuk membaca novelnya ataupun menonton filmnya.

Minggu, 12 Februari 2012

JANJI ANNISA : #4 Ridwan Kakak yang Baik

4
RIDWAN, KAKAK YANG BAIK
Beberapa hari setelah Anissa sembuh dari sakitnya, ia mulai masuk sekolah seperti biasa. Dan seperti biasa pula Anissa bermain kembali bersama teman-temannya. Manjat pohon mangga, memancing ikan di kali, bermain bola, dan balap sepeda. Ia tidak menghiraukan nasehat orangtuanya untuk lebih banyak istirahat. Ridwan juga berkali-kali mengingatkan Anissa supaya tidak terlalu sering ke luar rumah dulu. Lebih baik belajar dan mengerjakan PR sekolah.
“Ah, Kak Ridwan bawel kayak ibu,” Anissa melengos dari hadapan Ridwan sambil menenteng ransel berisi kaos dan sepatu bola. Sedangkan di tangannya ia menjinjing sebuah jaring dengan bola sepak berukuran besar di dalamnya. Bola itu merupakan hadiah dari teman-temannya waktu ulang tahunnya beberapa bulan lalu.
“Nissa, Kakak cuma tidak mau Kamu celaka lagi,” Ridwan menarik lengan Anissa, berusaha mencegahnya keluar rumah, atau paling tidak mengajaknya bicara baik-baik.
“Main bola masa celaka sih, Kak. Udah deh, mendingan Kakak lanjutin aja baca bukunya supaya kacamata Kakak tambah tebal,” ledek Anissa.
Ridwan membetulkan letak kacamata barunya. Ia memang terpaksa harus menggunakan kacamata minus setelah minggu lalu diperiksa oleh dokter mata. Ia tidak menyangka kalau penampilan barunya malah menjadi bahan ledekan adiknya. Ridwan sangat kecewa dengan sikap Anissa yang tidak menghargainya sebagai kakak. Ia bahkan menjadi sedih.
“Nissa…,” panggil Ridwan setelah Anissa berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman Ridwan.
Anissa tidak mengindahkan panggilan Ridwan. Ia bersiul senang karena berhasil lolos dari tangan Ridwan yang berusaha menghalangi langkahnya. Ia merasa heran dengan kakaknya, juga keluarganya, kenapa selalu saja melarang Anissa bermain. Main bola tidak baik untuk anak perempuan, main sepeda berbahaya, manjat pohon jangan, semua tidak boleh. Padahal Anissa merasa apa yang ia lakukan biasa-biasa saja. Kalau ia senang main bola memangnya kenapa? Banyak koq pemain bola perempuan. Toh mereka kemudian tidak berubah menjadi laki-laki karena melakukan permainan yang biasa dilakukan laki-laki. Kalau selama ini ia kelihatan tomboy, banyak juga perempuan tomboy yang berhasil, menjadi polwan atau atlet yang berprestasi. Pokoknya tidak ada yang salah dengan dirinya.
*
            Ridwan duduk sendirian di depan teras rumahnya. Ia mencoba merenungkan apa yang sudah ia lakukan untuk adiknya. Ia teringat dengan pesan ibunya untuk selalu menjaga Anissa. Tapi adiknya itu selalu bisa memanfaatkan kelengahan Ridwan. Ridwan nyaris putus asa dan melaporkan hal ini pada kedua orangtuanya. Tapi kemudian dia urung karena tidak mau dianggap sebagai kakak yang tidak bisa menjaga adiknya seperti perintah orangtuanya.
            Lalu apa yang harus Ridwan lakukan sekarang ini. Apakah ia harus terus mengikuti ke mana Anissa pergi supaya bisa tahu apa yang dilakukan Anissa tidak berbahaya. Ataukah mengunci rumah dan mengajak Anissa untuk main ular tangga atau game di komputer. Anissa pasti sudah merasa bosan dengan permainan-permainan itu.
            Dalam lamunannya Ridwan jadi teringat waktu ia dan Anissa masih kecil dan belum sekolah. Mereka diajak tamsya ke dunia fantasi. Waktu itu Nafissa belum lahir jadi Anissa lebih banyak digendong. Walaupun begitu Anissa selalu berontak dan ingin jalan sendiri. Ia malah merengek ingin naik halilintar dan permainan-permainan orang dewasa. Ayah meredakan tangis Anissa dengan membawanya masuk ke istana boneka. Di dalam wahana ini Anissa masih saja menangis dan tidak menikmati sama sekali pemandangan boneka aneka rupa yang menari-nari lincah.
            Anissa bukan tipe anak yang menyukai sesuatu yang diam. Kata dokter anak yang pernah Ridwan lihat di televisi memang ada banyak anak yang memiliki kelebihan energi sehingga ia selalu ingin melakukan permainan-permainan yang menguras keringat dan banyak mengeluarkan tenaga. Bahkan ada juga anak yang hiperaktif. Mungkin Anissa termasuk anak yang dimaksud dokter itu. Waktu kecil Anissa memang senang sekali melompat-lompat dari atas kursi, naik lagi, melompat lagi. Ia pernah terjatuh dario pintu pagar halaman rumah, tetapi ia tidak pernah kapok dan masih saja melakukan hal yang sama.
            Ketika masuk SD, Anissa semakin jarang ada di rumah. Sepulang sekolah ia langsung menuju lapangan sepakbola tempat anak-anak melakukan latihan untuk persiapan acara pertandingan antar desa. Kadang Anissa berkumpul dengan teman-teman sebayanya yang juga tidak suka tinggal di rumah, main kejar-kejaran, balapan sepeda, tinggi-tinggian naik pohon yang ada di sekitar lapangan atau danau rawa. Ia juga tidak takut naik rakit dan menyeberangi rawa-rawa untuk mencari lintah.
            Sejak kenal dengan Edo dan teman-temannya yang sekarang, selain lebih sering bermain, Anissa juga jadi suka melawan dan membantah. Ibu selalu menasehati supaya Anissa tidak bersifat seperti itu. Ayah bahkan sering marah dan menghukumnya. Tapi Anissa semakin menjadi-jadi. Kekesalan Anissa malah disalurkan dengan berbuat jahil kepada teman-teman ataupun anak-anak tetangga yang pendiam. Pernah suatu waktu setelah dimarahi ayah, Anissa pergi dari rumah dan melempari anak-anak yang sedang main kelereng dengan kelereng yang ia bawa dari rumah. Sudah beberapa kali pula ibu minta maaf atas kelakuan Anissa kepada tetangga yang dijahilinya. Dan ayah sudah lebih dari tiga kali mengganti kaca jendela tetangga yang pecah trkena bola tenis Anissa.
            Ibu kadang membanding-bandingkan Anissa dengan Ridwan yang walaupun anak laki-laki tetapi tidak sebandel dirinya. Dan hal ini malah membuat Anissa berpikir bahwa ayah dan ibunya pilih kasih. Anissa merasa dirinya dianggap sebagai anak tiri sedangkan kakaknya adalah anak emas. Ridwan jadi merasa tidak enak dengan sikap Anissa seperti itu. Padahal sebagai kakak, Ridwan hanya memberi contoh untuk selalu berbuat baik di mata adik-adiknya.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

Kamis, 09 Februari 2012

EUFORIA MENULIS DI FACEBOOK

EUFORIA MENULIS DI FACEBOOK

Waduh, ternyata salama ini aku tertidur pulas. Atau malah mungkin mati suri. Di saat karya-karya bagus bermunculan, aku hanya bisa berdecak kagum sambil sesekali berkhayal bisa melakukan hal yang sama : membuat buku best seller, suatu hari nanti. Tapi apa yang kemudian aku lakukan? Tidur lagi!
Rasanya tangan dan pikiran ini susah sekali singkron. Ya, iyalah. Sambil tidur mana bisa kita berkarya. Yang ada mimpi, dan hanya bermimpi. Ketika sebuah semangat kembali hadir, tangan dan pikiran ini kembali tidak bisa bekerja sama. Lalu apa yang salah dengan diriku? Ke mana bakat menulis yang selama ini aku miliki? Di mana sebuah cita-cita menjadi penulis terkenal aku gantungkan? Dan kenapa aku masih saja ‘tidak melakukan apapun’?

Pernah terpikir untuk mengikuti pelatihan menulis. Berbagai informasi aku kumpulkan. Aku melakukan riset dan mendapati beberapa kelas menulis yang mungkin bisa aku ikuti. Mulai dari workshop pelatihan menulis di media, sampai kursus menulis online. Rasanya aku belum menemukan yang sesuai dengan hatiku. Ditambah waktu yang harus aku curahkan untuk mengikuti pelatihan itu relatif terbatas. Lalu sebisa mungkin aku mulai belajar, membaca berbagai buku literatur, tekhnis menulis dari beberapa penulis trekenal, googling, dan sebagainya. Sampai aku menemukan satu penerbit indie dengan metode self publishing.

Sebenarnya aku pernah membaca sebuah buku (pemberian Kang Rahmat, pemilik Pustaka Rahmat) tentang bagaimana menjadi penulis sekaligus penerbit. Dan semangat saya menggeliat seketika itu. Karenanya saya mulai menulis kembali dan mencari berbagai info tentang kepenulisan tadi.  Bahkan terbersit niatan untuk membuat sebuah penerbitan sendiri seperti yang Kang Rahmat selalu dengungkan. Wuih… semangat….


Lalu aku mencoba berteman dengan salah seorang penulis yang bahkan aku belum kenal siapa dia. Sebuah langkah awal tiba-tiba terbuka lebar. Banyak penulis muda lain yang juga sedang dalam tahap belajar mulai add. Dan aku pun tertarik untuk bergabung ke dalam beberapa grup kepenulisan.

Tidak disangka ternyata di dalam sebuah jejaring sosial facebook terdapat komunitas menulis yang sangat banyak dan beragam, mulai dari kalangan ABG dan remaja yang rajin menulis cerpen bertema teenlit, sampai tulisan sastra yang bahasanya sulit dicerna. Dari beberapa grup itu aku banyak belajar dan menambah wawasan. Dan yang lebih seru tentu saja menambah banyak teman. Sebut saja teman pertamaku di dunia menulis adalah Komala Suthawijaya, mantan wartawati majalah Sundamidang ini, kerap dipanggil Bunda dan karena aktivitas menulisnya yang banyak, teman-teman fb lainnya menjulukinya ‘bunda’ dan menjadikannya tempat curhat seputar kepenulisan, terutama kalau sudah menyangkut semangat dan mood menulis. Bunda ini paling jago mendongkrak semangat penulis muda. Dan beberapa teman lain yang lebih muda, energik, penuh ide antara lain, Wirastriaji (seorang karyawan perusahaan rokok di Kudus), Wahyu Susanto (guru SD di Sampit) yang sering memenangkan lomba, Jimmy (Guru Bahasa di Kalimantan), Fyan Arjun (Penulis di berbagai media, pengurus grup Teras), dan masih banyak lagi. Dengan mereka aku biasa berbagi ilmu dan ide.
 
Euforia menulis di facebook sangat hebat dan menggenjot semangatku. Semangat ini ditularkan oleh para penulis muda berbakat di berbagai grup kepenulisan. Dan ini merupakan virus paling ampuh yang bisa melumpuhkan rasa malas, dan ide mentok dalam otakku. Karena euforia ini aku mulai bangkit meskipun perlahan. Kini malam-malamku diisi dengan kegiatan menulis yang sudah sejak lama aku geluti. bakat yang lama berkarat kini mulai diasah. Dan beberapa perlombaan pernah aku ikuti demi untuk mengetahui sejauh mana karyaku bisa bersaing di dunia kecil seputar facebook ini. Dan ternyata aku masih punya kesempatan, dan karyaku masih layak bersanding dengan beberapa karya lain yang menurutku bagus. Aku bahkan mulai berpikir dan membuka grup sendiri untuk mewadahi membludaknya minat menulis anak muda dengan nama grup ‘Inspirasi-Ku’. Dengan event kecil ‘Lomba menulis Curhat colongan’, anggota grup ini mencapai 200 hanya dalam waktu 2 minggu saja. Euforia yang menggila!

Mulailah aku belajar banyak hal bukan saja mengenai dunia menulis, tetapi juga dunia publishing, dunia penerbitan. Meskipun dengan cara autodidak, aku yakin langkahku akan mulai tegap. Pandanganku kini mengarah pada satu titik.  Dunia menulis dan dunia penerbitan, meskipun mungkin agak terlambat di usiaku yang sudah tidak muda ini, akan menjadi salah satu pelarianku disaat aku sudah suntuk dengan dunia kerja yang selama ini aku jalani.

Harapanku cuma satu : Bisa membuat sebuah buku yang menginspirasi banyak orang, dan menaungi banyak penulis muda yang haus akan ilmu dan sebuah pengakuan diri.
Semoga semua menjadi doaku di tahun ini yang akan dikabulkan oleh Allah SWT. amin….

Minggu, 05 Februari 2012

ANTOLOGI PERTAMAKU

Ini adalah sebuah Antologi cerpen yang ditulis oleh 25 penulis yang tergabung dalam grup Warung Antologi. Kisah-kisah dalam buku ini memiliki tema yang sama yaitu sebuah kehilangan. 25 kisah ini merupakan pemenang lomba yang diadakan grup tersebut. Dan salah satunya adalah karya saya, berjudul :

'Layang-layang Tanpa Benang'

Cerpen ini mengisahkan tentang seorang bapak muda yang ditinggal mati oleh anak lelakinya yang masih berusia 5 tahun. Perasaan kehilangan yang teramat sangat menyakitkan membuat bapak bernama Yusril ini menjadi gila. Ia bahkan terpaksa harus dipasung karena kelakuannya yang meresahkan masyarakat. 

Berikut cuplikan kisahnya :

-----
 
Malam yang mati, menyisakan desah lelah dan lirih perih. Kecuali di sebuah gubuk bambu dengan penerangan lampu teplok, kehidupan itu masih ada. Kendati hanya berupa rintihan pilu, atau senandung sumbang berbalut kesedihan yang dalam. Lelaki muda- si pelantun nada menyayat itu, selalu terjaga pada siang dan malam dengan senandung pilu dan ratapan penuh derita. Air mata selalu menggenangi kelopak matanya. Dan seperti mata air yang tidak pernah kering, bulir-bulir itu akan selalu berjatuhan satu persatu entah sampai kapan.
            Dalam keterbatasan cahaya, mata lelaki itu masih bisa menangkap siluet layang-layang yang menggantung di atas daun pintu. Layang-layang tanpa benang yang memberinya semangat hidup, sekaligus kepedihan yang tidak akan pernah sirna.

------
 
Layang-layang itu kini menggantung di atas pintu. Layang-layang putih dengan gambar dua tangan yang saling berpegangan. “Terbangkan layang-layang itu ya, Nak. Bapak sudah tidak sanggup lagi menerbangkannya. Itu layang-layangmu, Nak. Layang-layang kebanggaanmu. Kamu tidak akan pernah kalah, karena kekalahan itu adalah mati. Dan gila.” Setitik air bergulir menelusuri lekuk pipi cekungnya.

----

Bukunya dapat dibeli melalui penerbit seruni
atau pesan: dengan cara kirim sms dengan format 

Sabtu, 04 Februari 2012

Sketsa Jalanan dalam Puisi-puisiku




Kunci itupun Berdenting
 Kamiluddin Azis

Kunci  itu pun berdenting
Memecah pilu
Ketika kepal tak lagi sanggup menggenggam
Ketika rasa tak lagi bisa bertahan

Kunci itu pun berdenting
Terlempar jauh sampai ke dasar yang paling
Terkubur sampai kepal ini tak lagi sanggup menggali

Kunci  itu ...
Berdenting dalam bisik tanah yang bisu
Berdenting dalam desah nisan pilu
Dalam hampa tanpa kata
Tanpa asa

Kunci itu berdenting
Karena cinta


Tuan yang Mendamba
Kamiluddin Azis

Aku bukan juragan
Bukan tuan yang punya hektaran sawah
Bukan majikan yang selalu dilayani
Bukan mandor yang bisa petantang-petenteng
Minta ini, larang itu
Bukan bos dengan dasi mencekik
Siap muntahkan amarah
Ketika sang kacung salah

Tapi aku juga bukan kacung
Bukan pesuruh yang siap diperintah
Bukan juga bawahan
Sang tumbal amukan tuan

Aku hanya seonggok darah yang menggumpal
Dengan sisa nafas terengah
Sisa harap setengah
Sisa langkah yang patah

Api aku ingin menjadi tuan
Tuan buatku sendiri
Yang menjentik jari
Dan semua terjadi
Aku ingin menjadi tuan
Tuan yang siap layani
Hidup kacung,
Kacungku sendiri
Aku ingin menjadi tuan
Tuan buatku sendiri

Bandung, 30 Agustus 2008