LELAH YANG INDAH
Mendung
menggelayut. Awan pekat yang menggantung perlahan luruh menjadi rintik hujan
yang membasahi tanah merah ini. Satu persatu orang-orang meninggalkan pemakanan.
Meninggalkan aku dengan segala kepedihan dan rasa kehilangan yang amat. Mas
Hasan, suamiku telah berpulang di saat aku masih membutuhkannya sebagai tiang tempat aku bergantung dan
bersandar dalam hidup ini. Namanya kini telah terukir abadi di atas batu nisan,
tempat peristirahatan terakhirnya..
Tinggalah aku dengan dua orang anak :
Rahmi, yang pertama masih duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan Yana, anakku
yang kedua masih berumur empat tahun. Mas Hasan telah memilihkan Rahmi sekolah
terbaik yang mampu kami jangkau dengan penghasilannya yang pas-pasan. Aku sendiri berusaha membantu menambah
penghasilan keluarga dengan berjualan makanan buatanku sendiri. Mengurus dua
orang anak yang masih memerlukan
perhatian extra membuat gerak langkahku sedikit terbatas. Karenanya aku belum
bisa melakukan banyak hal untuk membantu keuangan keluarga.
Sejak Ayah - panggilan sayang untuk
suamiku, meninggal, praktis akulah yang harus mengurus segalanya sendiri. Mulai
dari menyediakan kebutuhan sandang, pangan, biaya sekolah, bahkan termasuk keamanan dan kenyamanan hidup anak-anak.
Apalagi aku dan suamiku sudah lama menetap di kota tempat suamiku bekerja,
sedangkan keluarga besarku berada jauh di kota yang berbeda. Begitupun dengan
keluarga dari pihak suami yang bahkan berada di luar pulau. Aku harus
benar-benar bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari keluarga, baik dari pihak
bapaknya anak-anak maupun dari pihakku sendiri.
Hari-hari di minggu pertama Ayah
tidak ada, rasanya jiwa ini benar-benar sepi dan merana. Apalagi kalau
anak-anak masih sering menanyakan kapan ayah mereka pulang. Meskipun mereka
sendiri tahu dan bahkan ikut mengantarkan jenazah ayah mereka, tetapi hati
kecil mereka ragu apakah ayah mereka benar-benar telah tiada. Kerinduan yang sangat
menyakitkan.
“Tabah ya, Mi,” aku mengelus kepala Rahmi, sambil memeluk
Yana.
Rahmi menggenggam tanganku, mencoba
memberi kekuatan melalui jemarinya yang
mungil. Yana merengek dan aku mempererat dekapanku sehingga ia menjadi lebih
tenang. Ternyata badannya hangat. Sepertinya ia demam. Seketika dadaku
bergemuruh. Biasanya Mas Hasan akan panik bila mendapati badan Yana seperti ini.
Dan dengan sigap ia akan menggendongnya setelah memberi Yana obat penurun
panas.
“Besok Rahmi aja yang antar gorengan
itu ke kantor Ayah, ya , Bu?” Rahmi memang pintar dan sangat pengertian. Ia
juga mandiri dan tidak cengeng. Pantas kalau ia selalu juara kelas dan
mendapatkan beasiswa dari sekolah. Bahkan dari kantor Ayahnya pun Rahmi sudah dua tahun berturut-turut ini
mendapatkan bantuan dana pendidikan karena prestasinya itu. Program peduli dari
kantor suamiku memang diperuntukkan
membantu biaya pendidikan anak-anak karyawan yang berprestasi, terutama
bagi mereka yang kurang mampu. Rahmi menjadi salah satu diantaranya.
Keesokan harinya, dan hari-hari
berikutnya Rahmi menggantikanku mengantarkan makanan untuk dijual di koperasi
kantor tempat ayahnya bekerja. Pagi
sebelum berangkat sekolah ia mampir dan menitipkan satu box gorengan di pos
keamanan kantor, dan sorenya Rahmi datang lagi
untuk mengambil setoran hasil penjualan hari itu. Begitu Ia lakukan
selama beberapa hari sampai suatu waktu Rahmi pulang lagi dengan membawa
makanan dagangannya.
“Koperasinya sudah tutup, Bu. Kata
Pak Satpam sudah tidak akan dibuka lagi,” Rahmi menunduk, menutupi kesedihan
yang kemudian juga menggelayut di dadaku. Kantor Ayahnya Rahmi adalah lahan tetap untuk aku menjual penganan
buatanku. Kalau koperasi itu tutup, lantas bagaimana dengan usahaku ini.
Mungkin aku harus mulai berpikir untuk menawarkannya ke warung-warung atau
mungkin aku sendiri yang harus menjajakannya berkeliling supaya keuntungan penjualan
bisa lebih besar. Mencari pekerjaan lain
terasa lebih sulit. Tapi aku juga akan mencobanya semampuku.
Keesokan harinya aku pun menambah
extra waktu kerjaku. Kalau biasanya aku bangun jam empat untuk menggoreng
penganan yang akan dijual, lalu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, maka
sekarang aku harus bangun lebih pagi lagi supaya bisa mengerjakan pekerjaan
rumah seperti mencuci pakaian, perabot, menyetrika, membersihkan rumah dan
memperispkan sarapan Rahmi lebih awal pula. Setelah selesai menggoreng kue-kue,
aku siap berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjajakan kue-kue buatanku itu.
Aku memang harus bisa mengatur waktu supaya sekolah Rahmi pun tidak terganggu
karena harus mengantar jemput kue seperti ke kantor suamiku waktu itu.
Waktu berjalan terasa sangat
lambat. Ternyata perjuangan menjadi
seorang single parent tidak semudah
yang aku bayangkan. Lika-liku yang
terasa amat pedih, menakutkan dan membuat aku salalu berpikir kenapa Tuhan tega
merenggut suamiku lebih dulu. Tetapi aku yakin, ketika kita menjalaninya dengan
cinta yang tulus untuk anak-anak kita, maka Tuhan selalu akan memberikan jalan.
Jalan yang mudah dilalui dan jalan yang akan memberikan ketentraman batin ini.
Aku menatap wajah anak-anakku lekat-lekat.
Ada gurat wajah Mas Hasan di sana. Dagunya,
lengkung bibir dan senyumnya, kelopak matanya, mengisyaratkan ketegaran hidup.
Mas Hasan memang seorang suami yang tegar. Ia kerapkali mendapat perlakuan
kurang baik dari atasan dan teman-teman kerjanya, karena jabatan rendahnya yang
hanya sebagai sopir kantor. Tetapi Mas Hasan tidak pernah mengeluh dan
menganggap itu semua sebagai bagian dari resiko pekerjaan yang harus
ditanggungnya.
Kecintaannya terhadap pekerjaan itu
pulalah yang telah merenggut nyawanya
akibat kecelakaan itu. Truk yang ia kemudikan bertabrakan dengan truk lain saat
suamiku dalam perjalanan menuju kantornya setelah membawa barang-barang penting
dari kantor pusat. Hanya perlu satu hari
saja untuk bisa menemani sisa hidupnya sebelum ajal benar-benar menjemputnya.
Senyum terakhirnya begitu tulus, membuat aku pasrah dan ikhlas menerima semua
cobaan ini.
“Bu, Ayah kan sopir. Hampir setiap
waktu berada di jalan. Pasti resikonya gede loh,
Bu,” celoteh Mas Hasan, semalam sebelum kejadian nahas itu menimpanya.
“Iya, Ibu tahu. Makanya Ayah
hati-hati, ya. Banyak berdoa. Jangan ngebut dan jangan banyak pikiran kosong,”
pesanku disambut candaan Mas Hasan.
“Mikirin apa sih Bu? Palingan juga
mikirin Ibu sama anak-anak,” Mas Hasan melingkarkan lengannya di pinggangku,
lalu mengecup kepala bagian belakangku. Kedamaian sekaligus keresahan
menyelimuti hatiku kala itu. Aku tidak memiliki firasat khusus, karena perbincangan
seperti ini sering kami bahas hanya untuk saling mengingatkan dan mendoakan.
“Kalau Ayah kenapa-kenapa, jaga
anak-anak dengan baik ya, Bu,” celoteh Mas Hasan . Aku tidak menjawab dan
menganggapnya sebagai angin lalu.
Rupanya itulah wasiat terakhir dari
suamiku : Menjaga dan merawat anak-anak dengan baik.
--o0O0o-
Rinai
kembali luruh. Aku menatap foto keluarga kami. Aku, Mas Hasan dan dua anak kami
sedang bercengkrama penuh kebahagiaan. Kini kenangan itu hanya bisa aku simpan
dalam memori indah kami. Kini aku harus berani menatap masa depan. Masa depan
untuk anak-anakku, meski tanpa kehadiran suamiku lagi.
Aku masih sibuk mempersiapkan adonan
penganan untuk dijual besok waktu handphoneku
berbunyi. Rahmi memberikan handphone
peninggalan ayahnya itu. Ternyata telepon dari Mas Bayu, kakakku dari luar
kota. Ia menanyakan kabarku dan kedua ponakannya. Ia juga menawariku untuk
tinggal di rumahnya bersama keluarganya. Ini adalah penawarannya yang kesekian
kali setalah aku berkali-kali pula menolaknya dengan lembut. Bukan aku tidak
mau menerima bantuan karena aku sudah mampu menghidupi keluargaku, tetapi aku
tidak mau menjadi beban bahkan benalu di keluarga Mas Bayu yang aku tahu
sendiri juga belum terlalu mapan. Niat baik dan perhatiannya sudah sangat
membuatku senang dan bersyukur.
“Cobalah untuk lebih realistis, Ti.
Anak-anakmu memerlukan biaya hidup yang tidak sedikit. Kamu pun masih tinggal
di rumah kontrakan. Bagaimana nasib mereka kelak?” Mas Bayu berusaha merubah
pendirianku.
“Aku masih bisa bekerja dengan
membuat dan menjual kue-kue , juga menjadi tukang cuci-seterika, Mas. Ya,
gajinya memang tidak seberapa, tapi aku tidak perlu meninggalkan anak-anak
karena semua pekerjaan itu aku bawa ke rumah,” ucapku mencoba menenangkan
pikiran Mas Bayu yang khawatir terhadap nasib kami.
“Nastiti, dari dulu kamu memang
keras kepala. Ya sudah, bagaimana baiknya kamu saja. Tapi ingat, kalau kamu
perlu apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku. Kamu masih punya kakak yang
bisa kamu mintai pertolongan,” Mas Bayu akhirnya menyerah. Tapi aku senang
karena ia menunjukkan sikap penuh tanggung jawab terhadap adiknya yang sedang
menghadapi kesulitan ini.
Dari awal aku bertekad bahwa aku
harus bisa mandiri. Menjadi ibu sekaligus ayah memang bukan perkara mudah,
tetapi aku harus sanggup berdiri di atas kakiku selama aku mampu. Dan aku masih
sanggup menangani semua permasalahan hidupku sendiri tanpa melibatkan
saudara-saudaraku dan orang lain. Aku akan berusaha membesarkan anak-anakku
sampai mereka berhasil dengan keringat dan usahaku sendiri. Aku yakin, aku
pasti mampu.
“Kenapa kita tidak ikut keluarga
Uwak Yu saja Bu?” tanya Rahmi sambil mengerjakan tugas sekolahnya. Uwak Yu
adalah panggilan akrab anak-anakku untuk Mas Bayu.
Aku menatap Rahmi yang kehilangan
masa bahagia bersama ayahnya. Bahkan ia pun harus merelakan waku bermainnya
untuk membantu aku membuat kue-kue dan berjualan. “Rahmi, akan lebih baik bagi kita untuk tetap berusaha semampu kita,
tanpa mengharap belas kasihan orang lain,” jawabku.
“Tapi Kan Uwak Yu bukan orang lain,
Bu,” ucap Rahmi lagi. Lalu ia mulai membereskan buku-bukunya, dan menghampiriku
untuk membantu pekerjaanku.
“Iya, Uwak kamu itu memang bukan
orang lain, tapi Uwak juga kan punya keluarga sendiri yang harus diurus. Kalau
kita tinggal di sana, bisa-bisa malah membuat Uwak kamu tambah repot,” jawabku
lagi,
Rahmi mengangguk penuh pengertian.
Aku tahu, Rahmi pasti senang bisa bermain dengan sepupu-sepupunya, anak-anak
Mas Bayu yang seumuran dengannya. Banyak mainan yang bisa ia mainkan di sana,
sementara di rumah ini, tidak ada satupun mainan yang Rahmi miliki selain
boneka kelinci hadiah ulang tahun dari ayahnya beberapa tahun yang lalu. Aku
kadang miris juga jika mengingat hal itu. Rahmi dan Yana memang bukan anak-anak
yang selalu terpenuhi kebutuhan masa kanak-kanaknya. Waktu Mas Hasan masih ada,
sesekali kami memang pernah rekreasi ke kebun binatang, atau ke arena bermain
anak-anak. Tetapi sekarang, aku harus berpikir dua kali jika ingin melakukan
hal itu. Aku benar-benar harus mengetatkan ikat pinggang demi kelangsungan
hidup kami yang masih panjang.
Aku kembali mengalihkan perhatianku
pada pekerjaan membuat kue. Adonan kue ini baru akan aku buat menjelang subuh
nanti, karena aku tidak memiliki lemari pendingin yang bisa menyimpan adonan
lebih lama. Sejak aku berjualan keliling, penghasilanku lumayan bertambah. Itu
karena aku tidak perlu membagi keuntungan jualan dengan penjual lain jika aku
menitipkan dagangan padanya. Tetapi menitipkan dagangan di beberapa warung
masih aku jalani pula. Aku bersyukur Tuhan mempermudah jalanku.
Aku mulai bisa menabung untuk keperluan
yang tidak terduga seperti biaya berobat kalau anak-anakku sakit, amplop
kondangan, dan aku pun menyisihkan sedikit untuk sumbangan ke yayasan atau
panti asuhan. Aku berharap dengan membantu meskipun hanya sedikit bisa
meringankan beban orang lain. Keuntungan hasil jualan yang paling pokok aku
pakai untuk biaya sehari-hari, bayar kontrakan, biaya sekolah Rahmi. Dan sekali
lagi, aku sangat bersyukur Tuhan memberikanku kesehatan dan kekuatan untuk
menjalani semuanya.
--o0O0o-
Setahun
telah berlalu. Aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa pendamping. Bagiku
keberadaan anak-anak membuat Mas Hasan terasa selalu ada di sampingku. Aku
kadang berpikir Mas Hasan hanya sedang pergi tugas ke luar kota. Lucu memang,
tapi hanya dengan pikiran itu aku masih mendapat kekuatan dan keberanian untuk
menghadapi hari esok.
Saat malam tiba aku sempatkan
melakukan sholat malam dan berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, berikanlah kebahagiaan
untuk suamiku di alam sana. Dan berikanlah aku kesehatan dan umur panjang agar
bisa merawat anak-anak titipan-Mu sampai dewasa dan berhasil. Berikan mereka kebahagiaan dan jauhkan kami
dari segala malapetaka… amin..” Doa yang sangat sederhana, tetapi itulah
harapanku. Harapan satu-satunya yang selalu aku perjuangkan.
Tuhan telah menentukan garis hidup
seseorang: mau menjadi perempuan tegar, atau perempuan yang selalu meratapi
nasib; merasa Tuhan tidak adil, atau menganggap ini sebagai ujian yang kelak
setelah kita sabar menjalaninya akan berbuah manis, sebuah kebahagiaan. Tuhan
telah memberikan jalan untuk mencapai kebahagiaan itu. Tuhan telah mempermudah
semua langkah ketika kita benar-benar bisa menerimanya dengan ikhlas. Tuhan
telah menjadikan aku seorang single
parent yang tiada lelah berjuang untuk kebahagiaan anak-anakku. Terima
kasih Tuhan atas semua yang Kau percayakan padaku.
Terima kasih suamiku karena selama
hidupmu, engkau selalu memberikan cinta
dan mengajariku bagaimana cinta itu bisa merubah lelah menjadi indah, dan sakit
menjadi spirit. Hidup adalah jalan untuk menikmati dan mencapai bahagia. Dan
kematian pun menjadi jalan untuk menikmati semua yang sudah kita beri selama
hidup.
--o0O0o-
Biodata
Singkat :
Nama
saya Kamiluddin Azis, biasa disapa Kang Aming. Lama tidak menulis karena
kesibukan saya bekerja sebagai seorang akunting di sebuah perusahaan swasta
nasional, membuat saya merasa banyak
waktu yang terbuang. Karenanya di akhir tahun 2011 saya kembali bermain dengan
keyboard computer tua saya untuk membuat banyak karya. Belum banyak yang
dipublish, tetapi di tahun 2012 ini saya akan melesat bak meteor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar