Selasa, 31 Januari 2012

LELAH YANG INDAH




LELAH YANG INDAH


Mendung menggelayut. Awan pekat yang menggantung perlahan luruh menjadi rintik hujan yang membasahi tanah merah ini. Satu persatu orang-orang meninggalkan pemakanan. Meninggalkan aku dengan segala kepedihan dan rasa kehilangan yang amat. Mas Hasan, suamiku telah berpulang di saat aku masih membutuhkannya  sebagai tiang tempat aku bergantung dan bersandar dalam hidup ini. Namanya kini telah terukir abadi di atas batu nisan, tempat peristirahatan terakhirnya..
            Tinggalah aku dengan dua orang anak : Rahmi, yang pertama masih duduk di bangku sekolah dasar, sedangkan Yana, anakku yang kedua masih berumur empat tahun. Mas Hasan telah memilihkan Rahmi sekolah terbaik yang mampu kami jangkau dengan penghasilannya yang pas-pasan.  Aku sendiri berusaha membantu menambah penghasilan keluarga dengan berjualan makanan buatanku sendiri. Mengurus dua orang  anak yang masih memerlukan perhatian extra membuat gerak langkahku sedikit terbatas. Karenanya aku belum bisa melakukan banyak hal untuk membantu keuangan keluarga.
            Sejak Ayah - panggilan sayang untuk suamiku, meninggal, praktis akulah yang harus mengurus segalanya sendiri. Mulai dari menyediakan kebutuhan sandang, pangan, biaya sekolah, bahkan termasuk  keamanan dan kenyamanan hidup anak-anak. Apalagi aku dan suamiku sudah lama menetap di kota tempat suamiku bekerja, sedangkan keluarga besarku berada jauh di kota yang berbeda. Begitupun dengan keluarga dari pihak suami yang bahkan berada di luar pulau. Aku harus benar-benar bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari keluarga, baik dari pihak bapaknya anak-anak maupun dari pihakku sendiri.
            Hari-hari di minggu pertama Ayah tidak ada, rasanya jiwa ini benar-benar sepi dan merana. Apalagi kalau anak-anak masih sering menanyakan kapan ayah mereka pulang. Meskipun mereka sendiri tahu dan bahkan ikut mengantarkan jenazah ayah mereka, tetapi hati kecil mereka ragu apakah ayah mereka benar-benar telah tiada. Kerinduan yang sangat menyakitkan.
            “Tabah ya, Mi,”  aku mengelus kepala Rahmi, sambil memeluk Yana.
            Rahmi menggenggam tanganku, mencoba memberi  kekuatan melalui jemarinya yang mungil. Yana merengek dan aku mempererat dekapanku sehingga ia menjadi lebih tenang. Ternyata badannya hangat. Sepertinya ia demam. Seketika dadaku bergemuruh. Biasanya Mas Hasan akan panik bila mendapati badan Yana seperti ini. Dan dengan sigap ia akan menggendongnya setelah memberi Yana obat penurun panas.
            “Besok Rahmi aja yang antar gorengan itu ke kantor Ayah, ya , Bu?” Rahmi memang pintar dan sangat pengertian. Ia juga mandiri dan tidak cengeng. Pantas kalau ia selalu juara kelas dan mendapatkan beasiswa dari sekolah. Bahkan dari kantor Ayahnya pun  Rahmi sudah dua tahun berturut-turut ini mendapatkan bantuan dana pendidikan karena prestasinya itu. Program peduli dari kantor suamiku memang diperuntukkan  membantu biaya pendidikan anak-anak karyawan yang berprestasi, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Rahmi menjadi salah satu diantaranya.
            Keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya Rahmi menggantikanku mengantarkan makanan untuk dijual di koperasi kantor tempat ayahnya bekerja.  Pagi sebelum berangkat sekolah ia mampir dan menitipkan satu box gorengan di pos keamanan kantor, dan sorenya Rahmi datang lagi  untuk mengambil setoran hasil penjualan hari itu. Begitu Ia lakukan selama beberapa hari sampai suatu waktu Rahmi pulang lagi dengan membawa makanan dagangannya.
            “Koperasinya sudah tutup, Bu. Kata Pak Satpam sudah tidak akan dibuka lagi,” Rahmi menunduk, menutupi kesedihan yang kemudian juga menggelayut di dadaku. Kantor Ayahnya Rahmi  adalah lahan tetap untuk aku menjual penganan buatanku. Kalau koperasi itu tutup, lantas bagaimana dengan usahaku ini. Mungkin aku harus mulai berpikir untuk menawarkannya ke warung-warung atau mungkin aku sendiri yang harus menjajakannya berkeliling supaya keuntungan penjualan bisa lebih besar.  Mencari pekerjaan lain terasa lebih sulit. Tapi aku juga akan mencobanya semampuku.
            Keesokan harinya aku pun menambah extra waktu kerjaku. Kalau biasanya aku bangun jam empat untuk menggoreng penganan yang akan dijual, lalu mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, maka sekarang aku harus bangun lebih pagi lagi supaya bisa mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian, perabot, menyetrika, membersihkan rumah dan memperispkan sarapan Rahmi lebih awal pula. Setelah selesai menggoreng kue-kue, aku siap berkeliling dari rumah ke rumah untuk menjajakan kue-kue buatanku itu. Aku memang harus bisa mengatur waktu supaya sekolah Rahmi pun tidak terganggu karena harus mengantar jemput kue seperti ke kantor suamiku waktu itu.
            Waktu berjalan terasa sangat lambat.  Ternyata perjuangan menjadi seorang single parent tidak semudah yang aku bayangkan.  Lika-liku yang terasa amat pedih, menakutkan dan membuat aku salalu berpikir kenapa Tuhan tega merenggut suamiku lebih dulu. Tetapi aku yakin, ketika kita menjalaninya dengan cinta yang tulus untuk anak-anak kita, maka Tuhan selalu akan memberikan jalan. Jalan yang mudah dilalui dan jalan yang akan memberikan ketentraman batin ini.
            Aku menatap wajah anak-anakku lekat-lekat. Ada gurat wajah Mas Hasan di sana.  Dagunya, lengkung bibir dan senyumnya, kelopak matanya, mengisyaratkan ketegaran hidup. Mas Hasan memang seorang suami yang tegar. Ia kerapkali mendapat perlakuan kurang baik dari atasan dan teman-teman kerjanya, karena jabatan rendahnya yang hanya sebagai sopir kantor. Tetapi Mas Hasan tidak pernah mengeluh dan menganggap itu semua sebagai bagian dari resiko pekerjaan yang harus ditanggungnya.
            Kecintaannya terhadap pekerjaan itu pulalah yang telah merenggut  nyawanya akibat kecelakaan itu. Truk yang ia kemudikan bertabrakan dengan truk lain saat suamiku dalam perjalanan menuju kantornya setelah membawa barang-barang penting dari kantor pusat.  Hanya perlu satu hari saja untuk bisa menemani sisa hidupnya sebelum ajal benar-benar menjemputnya. Senyum terakhirnya begitu tulus, membuat aku pasrah dan ikhlas menerima semua cobaan ini.
            “Bu, Ayah kan sopir. Hampir setiap waktu berada di jalan. Pasti resikonya gede loh, Bu,” celoteh Mas Hasan, semalam sebelum kejadian nahas itu menimpanya.
            “Iya, Ibu tahu. Makanya Ayah hati-hati, ya. Banyak berdoa. Jangan ngebut dan jangan banyak pikiran kosong,” pesanku disambut candaan Mas Hasan.
            “Mikirin apa sih Bu? Palingan juga mikirin Ibu sama anak-anak,” Mas Hasan melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu mengecup kepala bagian belakangku. Kedamaian sekaligus keresahan menyelimuti hatiku kala itu. Aku tidak memiliki firasat khusus, karena perbincangan seperti ini sering kami bahas hanya untuk saling mengingatkan dan mendoakan.
            “Kalau Ayah kenapa-kenapa, jaga anak-anak dengan baik ya, Bu,” celoteh Mas Hasan . Aku tidak menjawab dan menganggapnya sebagai angin lalu.
            Rupanya itulah wasiat terakhir dari suamiku : Menjaga dan merawat anak-anak dengan baik.

--o0O0o-

Rinai kembali luruh. Aku menatap foto keluarga kami. Aku, Mas Hasan dan dua anak kami sedang bercengkrama penuh kebahagiaan. Kini kenangan itu hanya bisa aku simpan dalam memori indah kami. Kini aku harus berani menatap masa depan. Masa depan untuk anak-anakku, meski tanpa kehadiran suamiku lagi.
            Aku masih sibuk mempersiapkan adonan penganan untuk dijual besok waktu handphoneku berbunyi. Rahmi memberikan handphone peninggalan ayahnya itu. Ternyata telepon dari Mas Bayu, kakakku dari luar kota. Ia menanyakan kabarku dan kedua ponakannya. Ia juga menawariku untuk tinggal di rumahnya bersama keluarganya. Ini adalah penawarannya yang kesekian kali setalah aku berkali-kali pula menolaknya dengan lembut. Bukan aku tidak mau menerima bantuan karena aku sudah mampu menghidupi keluargaku, tetapi aku tidak mau menjadi beban bahkan benalu di keluarga Mas Bayu yang aku tahu sendiri juga belum terlalu mapan. Niat baik dan perhatiannya sudah sangat membuatku senang dan bersyukur.
            “Cobalah untuk lebih realistis, Ti. Anak-anakmu memerlukan biaya hidup yang tidak sedikit. Kamu pun masih tinggal di rumah kontrakan. Bagaimana nasib mereka kelak?” Mas Bayu berusaha merubah pendirianku.
            “Aku masih bisa bekerja dengan membuat dan menjual kue-kue , juga menjadi tukang cuci-seterika, Mas. Ya, gajinya memang tidak seberapa, tapi aku tidak perlu meninggalkan anak-anak karena semua pekerjaan itu aku bawa ke rumah,” ucapku mencoba menenangkan pikiran Mas Bayu yang khawatir terhadap nasib kami.
            “Nastiti, dari dulu kamu memang keras kepala. Ya sudah, bagaimana baiknya kamu saja. Tapi ingat, kalau kamu perlu apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku. Kamu masih punya kakak yang bisa kamu mintai pertolongan,” Mas Bayu akhirnya menyerah. Tapi aku senang karena ia menunjukkan sikap penuh tanggung jawab terhadap adiknya yang sedang menghadapi kesulitan ini.
            Dari awal aku bertekad bahwa aku harus bisa mandiri. Menjadi ibu sekaligus ayah memang bukan perkara mudah, tetapi aku harus sanggup berdiri di atas kakiku selama aku mampu. Dan aku masih sanggup menangani semua permasalahan hidupku sendiri tanpa melibatkan saudara-saudaraku dan orang lain. Aku akan berusaha membesarkan anak-anakku sampai mereka berhasil dengan keringat dan usahaku sendiri. Aku yakin, aku pasti mampu.
            “Kenapa kita tidak ikut keluarga Uwak Yu saja Bu?” tanya Rahmi sambil mengerjakan tugas sekolahnya. Uwak Yu adalah panggilan akrab anak-anakku untuk Mas Bayu.
            Aku menatap Rahmi yang kehilangan masa bahagia bersama ayahnya. Bahkan ia pun harus merelakan waku bermainnya untuk membantu aku membuat kue-kue dan berjualan. “Rahmi, akan lebih baik bagi kita untuk tetap berusaha semampu kita, tanpa mengharap belas kasihan orang lain,” jawabku.
            “Tapi Kan Uwak Yu bukan orang lain, Bu,” ucap Rahmi lagi. Lalu ia mulai membereskan buku-bukunya, dan menghampiriku untuk membantu pekerjaanku.
            “Iya, Uwak kamu itu memang bukan orang lain, tapi Uwak juga kan punya keluarga sendiri yang harus diurus. Kalau kita tinggal di sana, bisa-bisa malah membuat Uwak kamu tambah repot,” jawabku lagi,
            Rahmi mengangguk penuh pengertian. Aku tahu, Rahmi pasti senang bisa bermain dengan sepupu-sepupunya, anak-anak Mas Bayu yang seumuran dengannya. Banyak mainan yang bisa ia mainkan di sana, sementara di rumah ini, tidak ada satupun mainan yang Rahmi miliki selain boneka kelinci hadiah ulang tahun dari ayahnya beberapa tahun yang lalu. Aku kadang miris juga jika mengingat hal itu. Rahmi dan Yana memang bukan anak-anak yang selalu terpenuhi kebutuhan masa kanak-kanaknya. Waktu Mas Hasan masih ada, sesekali kami memang pernah rekreasi ke kebun binatang, atau ke arena bermain anak-anak. Tetapi sekarang, aku harus berpikir dua kali jika ingin melakukan hal itu. Aku benar-benar harus mengetatkan ikat pinggang demi kelangsungan hidup kami yang masih panjang.
            Aku kembali mengalihkan perhatianku pada pekerjaan membuat kue. Adonan kue ini baru akan aku buat menjelang subuh nanti, karena aku tidak memiliki lemari pendingin yang bisa menyimpan adonan lebih lama. Sejak aku berjualan keliling, penghasilanku lumayan bertambah. Itu karena aku tidak perlu membagi keuntungan jualan dengan penjual lain jika aku menitipkan dagangan padanya. Tetapi menitipkan dagangan di beberapa warung masih aku jalani pula. Aku bersyukur Tuhan mempermudah jalanku.         
            Aku mulai bisa menabung untuk keperluan yang tidak terduga seperti biaya berobat kalau anak-anakku sakit, amplop kondangan, dan aku pun menyisihkan sedikit untuk sumbangan ke yayasan atau panti asuhan. Aku berharap dengan membantu meskipun hanya sedikit bisa meringankan beban orang lain. Keuntungan hasil jualan yang paling pokok aku pakai untuk biaya sehari-hari, bayar kontrakan, biaya sekolah Rahmi. Dan sekali lagi, aku sangat bersyukur Tuhan memberikanku kesehatan dan kekuatan untuk menjalani semuanya.
           
--o0O0o-

Setahun telah berlalu. Aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa pendamping. Bagiku keberadaan anak-anak membuat Mas Hasan terasa selalu ada di sampingku. Aku kadang berpikir Mas Hasan hanya sedang pergi tugas ke luar kota. Lucu memang, tapi hanya dengan pikiran itu aku masih mendapat kekuatan dan keberanian untuk menghadapi hari esok.
            Saat malam tiba aku sempatkan melakukan sholat malam dan berdoa kepada Tuhan. “Tuhan, berikanlah kebahagiaan untuk suamiku di alam sana. Dan berikanlah aku kesehatan dan umur panjang agar bisa merawat anak-anak titipan-Mu sampai dewasa dan berhasil.  Berikan mereka kebahagiaan dan jauhkan kami dari segala malapetaka… amin..” Doa yang sangat sederhana, tetapi itulah harapanku. Harapan satu-satunya yang selalu aku perjuangkan.
            Tuhan telah menentukan garis hidup seseorang: mau menjadi perempuan tegar, atau perempuan yang selalu meratapi nasib; merasa Tuhan tidak adil, atau menganggap ini sebagai ujian yang kelak setelah kita sabar menjalaninya akan berbuah manis, sebuah kebahagiaan. Tuhan telah memberikan jalan untuk mencapai kebahagiaan itu. Tuhan telah mempermudah semua langkah ketika kita benar-benar bisa menerimanya dengan ikhlas. Tuhan telah menjadikan aku seorang single parent yang tiada lelah berjuang untuk kebahagiaan anak-anakku. Terima kasih Tuhan atas semua yang Kau percayakan padaku.
            Terima kasih suamiku karena selama hidupmu, engkau  selalu memberikan cinta dan mengajariku bagaimana cinta itu bisa merubah lelah menjadi indah, dan sakit menjadi spirit. Hidup adalah jalan untuk menikmati dan mencapai bahagia. Dan kematian pun menjadi jalan untuk menikmati semua yang sudah kita beri selama hidup.

--o0O0o-

Biodata Singkat :
Nama saya Kamiluddin Azis, biasa disapa Kang Aming. Lama tidak menulis karena kesibukan saya bekerja sebagai seorang akunting di sebuah perusahaan swasta nasional, membuat saya merasa  banyak waktu yang terbuang. Karenanya di akhir tahun 2011 saya kembali bermain dengan keyboard computer tua saya untuk membuat banyak karya. Belum banyak yang dipublish, tetapi di tahun 2012 ini saya akan melesat bak meteor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar