MEMEDI VESNING
Kok
ada ya cowok yang tergila-gila dengan warna kuning. Apa saja yang ia pakai
mesti mengandung warna kuning. Tas, sepatu, topi, sampai geretan harus ada
ornamen yang mengandung warna kuning. Entah berupa strip, buletan atau sekedar
gambar-gambar tidak jelas pun tak masalah, yang penting ada unsur warna
kuningnya.
“Aturan ya, yang gue tahu, cowok itu
sukanya warna hitam, biru atau coklat. Ini apaan kuning?” Eko menggerutu saat Monti, cowok si penyuka
warna kuning itu mengajaknya hunting
motor bekas. Tentu saja Monti mencari motor dengan bodi berwarna kuning.
“Lo tau, Ko, warna kuning itu seger,
cerah, membuat mata melek. Membuat gue kelihatan awet muda dan full imajinasi,” bantah Monti sambil
celingukan, menelusuri deretan motor bekas yang dipajang di areal Bursa
Kendaraan Bekas di depan gedung TVRI Jogja, jalan Magelang, Yogyakarta.
“Gue kalo masuk kamar lo yang kuning
kaya di tengah sawah itu, nggak pernah tuh ngerasa dapat imajinasi apa-apa. Lo
bilang kuning bisa meningkatkan konsentrasi, nggak ngepek tuh ke gue,” elak Eko
tidak mau kalah.
“Itu sih dasar elonya aja kali yang
udah ilfil duluan dengan warna
kuning. Jadi bawaannya males jadi otak lo lemot. Gue kasih tau, ya. IPK gue
mana pernah anjlok coba, selalu di atas 3. Itu lo tau kenapa…”
“Karena
warna kuning itu meningkatkan energi dan
mood belajar, bosen gue dengernya,” potong Eko menirukan kalimat
yang sering sekali Monti ucapkan kalau mereka berdebat soal warna kuning. Eko
memang kerap dibuat malu kalau jalan dengan sahabatnya ini. Bagaimana tidak,
warna kuningnya itu loh yang selalu menjadi pusat perhatian orang-orang. Sudah
berapa kali ia dicap sebagai pasangan gay Monti gara-gara ulah Monti yang
narsis dan sok kepedean itu.
“Horee… akhirnya ada juga motor
kuning. Terereng….” Monti menunjuk sebuah motor tua dengan seluruh bodi nya
berwana kuning mencolok.
“Gila! Vespa? Ciuz, lo!” Ledek Eko
tak percaya kalau temannya sudah semakin gila kuning itu. Ia tidak bisa
membayangkan kalau Monti memakai vespa tua kuning itu ke kampus. Orang akan
memicingkan matanya karena silau melihat
warna matahari yang terang benderang itu tiba-tiba berjejer diantara
motor-motor keren di tempat parkir. Tidaaaak…. Jerit Eko sambil nginjak bumi
tiga kali. Hiks.
*
Jadilah vespa kuning itu pindah
garasi ke rumah omnya Monti yang ia dan Eko tempati selama mereka kuliah di
Jogja.
Eko melirik sepeda kuning yang
selama ini menjadi teman jalan-jalan sore Monti sudah digantung di pojokan.
Padahal itu hadiah ultah dari Eko yang dengan susah payah ia cari di jalan
Supeno beberapa bulan lalu.
“Sori, Ko, sepeda dari lo pensiun
dulu yak!”
“Bodo amat! Hati-hati lo bawa vespa. Lo gowes aja masih sempoyongan. Nabrak truk
sayur baru nyaho, lo.” Belum hilang gemetaran Eko saat Monti membawa vespa
kuning itu dari TVRI sampai rumah kemarin siang.
“Di sini aman, Ko, nggak ada geng
motor,” kilahnya sambil ngutak-ngatik motor baru tapi bekasnya itu dengan gaya
sok tahunya yang selangit itu.
“Gue gak tanggung jawab kalau ada
apa-apa dengan lo.” Eko cuek dengan diktat di tangannya. Besok hari terakhir
UTS.
“Tenang aja, kalau gue mati nyungseb
got atau nubruk andong, gue bakalan pura-pura tetep hidup dan nemenin lo, deh.
Dan kalo itu beneran kejadian, si Vesning gue warisin ke elo. Lo urus deh, ya,
baik-baik!”
“Sekate-kate, lo. Kualat tau!” Eko
merinding membayangkan Monti nabrak becak atau andong, atau kendaran lain yang
lebih gede. Amit-amit …. Ia
mengetuk-ngetuk jarinya ke kepala.
“Eh, Ko, anter gue yuk ke
Beringharjo. Gue mau cari batik kuning, kan bentar lagi yayang tika gue ultah,
gue mau pake batik baru nih,” Monti malah mengalihkan pembicaraan.
“Ogaaahhh….” Eko buru-buru meraup
semua diktatnya dan ngacir ke kamar. Tobat,
gue… batinnya.
Sore itu terpaksa Monti jalan-jalan
ke pasar Beringharjo dengan vesning, alias vespa kuningnya sendirian. Dan, sayang
sekali… apa yang Eko takutkan ternyata kejadian juga. Monti yang memang belum
terlalu mahir mengendarai vespa bertabrakan dengan sebuah truk kuning
pengangkut sayuran, saat ia meleng,
gara-gara takjub melihat andong yang seluruh roda kayunya dicat warna kuning.
Eko yang dihubungi pihak rumah sakit langsung datang dengan perasaan bersalah. Coba gue temani lo, Mon, kejadiannya nggak akan
begini, sesal Eko.
“Teman Anda meninggal di tempat,”
jelas dokter dari pihak rumah sakit. Tangis
Eko pecah begitu melihat tubuh Monti yang sudah ditutupi kain putih dengan noda
darah di mana-mana.
“Monti, maafin gue. Gue nyesel nggak
nemenin lo pergi…” raung Eko sambil menatap sahabatnya yang sudah terbujur
kaku.
“Ngapain lo nangis? Lo nyesel ya
nggak nemenin gue nyari batik kuning?”
Eko merasa ada suara Monti di
belakangnya. Ia lalu menoleh dan seketika itu juga ia terperanjat. “Mon, elo…?
Bukannya …?” Eko melihat jasad Eko lagi.
“Sssttt… biasa aja, kali. Kan gue
udah bilang kalau gue mati, gue bakalan pura-pura hidup. Terereng… sekarang gue
bisa pura-pura hidup, seru kan?” sosok hantu Monti cengengesan di depan muka
Eko.
Eko yang masih tak percaya kalau
sekarang ia bersahabat dengan hantu Monti. Sesuai permintaan Monti, Eko merahasiakan
keberadaannya pada orangtua dan saudara-saudaranya. Hantu Monti selalu berada
dekat Eko selama Eko mengurusi ini itu yang berkaitan dengan kematiannya.
Bahkan saat upacara pemakamannya di Jakarta, hantu Monti berdiri di samping Eko
dan menatap jenazahnya dimasukkan ke liang lahat.
“Lo kok nggak nangis sih, Ko?” bisik
Monti saat ia melihat raut wajah Eko tidak menampakkan kesedihan sama sekali,
sedangkan saudara-saudara dan teman-temannya yang lain menitikkan air mata
melihat tubuh Monti ditutupin tanah.
Eko mendengus cuek.
“By
the way, kok kain kafan gue nggak kuning sih, Ko?” celetuknya sambil
nyengir.
Gigi
lo tuh kuning! Dengus Eko dalam hati.
“Ko, suruh pelan-pelan dong nurunin
badan guenya, ngilu gue takut jatoh!”
lanjut Eko. Ia menutup mata saat melihat jasadnya yang mulai ditimbun
tanah merah.
“Berisik!” Gertak Eko.
Seorang cewek yang sedang menangis
di sebelah Eko, berhenti terisak. Ia melotot kea rah Eko dengan heran. Menyadari
hal itu, Eko buru-buru menyingkir dari kerumunan orang-orang di pemakaman. Dan
tanpa dikomando Monti mengikutinya dari belakang.
“Bisa nggak sih, lo nggak ngoceh
terus, Mon! Gue bisa jadi pusat perhatian dan disangka nggak waras nih
gara-gara elo!” Semprot Eko saat mereka sudah agak jauh dari para pelayat.
“Iya, iya, sori… Tapi lo janji ya,
temenin gue cari batik kuning sampe dapet?”
“Iya, bawel. Dasar memedi vesning rese, bikin pal ague
tambah pening aja, lo!”
Monti ketawa terbahak mendengar
julukan barunya. Memedi Vesning yang
berarti hantu vesning, alias hantu vespa kuning. Dari mana coba Eko bisa tahu
istilah memedi itu.
*
Sejak kematian Monti akibat
kecelakaan saat mengendarai vespa kuning itu, kehidupan Eko jadi berubah. Ia
jadi sering kelihatan bicara sendiri, ketawa sendiri, malah kadang-kadang Eko
bertingkah seperti kebiasaan Monti yang ngebet warna kuning. Dan yang lebih
mencolok lagi, nilai-nilai ujian Eko selalu paling tinggi. Kamu pasti tahu
kenapa…. Iya benar, itu ulah si hantu vesning.
Memedi penggila warna kuning itu
memang selalu membantu Eko mengerjakan soal ujiannya. Mula-mula sih Monti tidak
mau membantu Eko berbuat curang dan lebih suka membantunya belajar, tapi karena
si Eko yang super malas itu mengancam akan membocorkan keberadaan dirinya dan
berhenti menemani Monti jalan-jalan dengan vesningnya, Monti kalah telak.
“Tapi lo janji ya, nemenin gue
ngapel ke yayang gue,” ucap Monti saat Eko minta Monti mengerjakan tugas
makalahnya.
“Iya, gue janji. Waktu itu aja gue mau-mauan kasrak-kusruk masuk pasar cuma buat nemenin
lo cari batik kuning yang langka itu. Gue rela dikatain wong gendeng gara-gara
ngeladenin lo yang bawel ampun,” balas Eko sambil berpikir bagaimana caranya supaya
Monti sadar kalau dunianya kini sudah berbeda dengan dunianya dulu. Mana bisa
dia pacaran dengan cewek di dunia nyata. Kasihan Tika, kalau sampai dia tahu
Monti masih gentayangan, pasti dia tidak akan mau berteman dengan Eko lagi.
Mahasiswi paling cantik sekampus itu pasti masih waras, tidak mungkin ia mau ngobrol dengan
bayangan Monti berbentuk casper itu. Meski ganteng-gantengnya masih ada, hantu
tetap saja hantu. Tidak akan bisa disentuh apalagi diajak pacaran.
Ahha… Eko menjentikkan jari. Ada
gambar lampu menyala di ekor matanya.
“Kenape lo?” lirik Monti.
“Gue tau gimana caranya tuh batik
kuning bisa lo pake ngapel ke rumah Tika!” Seru Eko. Ngeles, seperti biasa.
“Gimana?” Monti antusias saat nama cewek
gebetannya disebut.
“Malam Minggu besok lo coba pake tuh
batik kuning baru lo. Terus lo tunggu di Alkid deket pohon beringin,” usul Eko.
“Terus? Lo mau nyuruh gue jalan
lurus dengan mata tertutup lagi sambil berharap gue hidup kembali dan bisa pacaran
sama yayang Tika gue, gitu?” ketus Monti. Ia masih ingat kejadian konyol saat awal-awal
semester pertama mereka datang ke Jogja. Di Alun-alun Kidul alias Alkid,
orang-orang percaya kalau bisa jalan lurus melewati dua pohon beringin kembar yang
ada di sana, maka keinginannya akan terkabul. Dan atas saran Eko, Monti
melakukan hal itu sambil berharap keinginannya untuk menjadi pacar ratu kampus
itu terwujud. Dan Monti memang bisa berjalan lurus melewati kedua beringin itu,
tetapi menjadi pacar Tika belum juga kesampaian. Baru saja tahap pedekate, eh
keburu ajal menjemput. Padahal segala jurus nyaris meluluhkan hati Tika yang
ternyata juga penyuka warna kuning itu.
“Ya, itu juga kalau lo, mau. Udah
waktunya lo sadar kalau lo ini udah nggak ada. Udah koit. Dunia kita udah
berbeda. Dunia lo, dunia Tika. Rencananya sih nanti gue mau bilang ke Tika
kalau selama ini lo masih gentayangan, gangguin gue, dan masih berharap bisa
pacaran sama dia.”
“Terus gue mesti bilang apa ke Tika
nanti?”
“Lo bilang aja Wow, sambil
jumpalitan sana,” jawab Eko sambil berlalu meninggalkan Monti yang terpekur
menyelami kenyataan hidup, eh, matinya ini.
Diam-diam Monti menyesal karena tidak
buru-buru menyatakan cintanya ke Tika. Semua
ini gara-gara vespa kuning sialan itu. Gara-gara andong beroda kuning sialan
itu. Gara-gara batik kuning aneh, gara-gara warna kuning taik itu! Setetes
air hangat jatuh dari kelopak mata Monti. Air mata pertama sejak ia menjadi
memedi.
Monti lalu berdiri. Ia berjalan
menyusuri jalanan beraspal. Malam itu udara sedang bagus. Langit Jogja sangat
cerah. Bintang-bintang bertaburan dengan indahnya. Menghiasi cakrawala seolah
seluruh penghuninya tengah berpesta pora.
Langkah gontai Monti membawanya ke
Alun-alun Kidul Jogja. Di sana ramai sekali wisatawan yang bolak-mandir. Ada
yang berjalan dengan mata ditutup kain menuju beringin kembar, ada juga yang
sudah sampai dan berfoto ria di sana. Ingin sekali Monti nimbrung dan
menampakkan diri dengan seringai lima jari ala Indra Bekti-nya, tapi ia takut
membuat panik dan kacau suasana. Nanti Alkid malah berubah jadi angker
gara-gara ulahnya.
Sambil bersenandung : Yesterday, all my troubles seemed so far
away... Now it looks as though they’re here to stay… Oh, I believe in yesterday. Monti melihat
betapa riangnya pasangan muda-mudi yang sedang naik odong-odong dengan lampu
kerlap-kerlip ceria. Ia cemburu dan merasa sangat sial dengan hidupnya. Ingin
ia bunuh diri, ah tapi bukannya ia sudah mati duluan.
Tanpa disadari ternyata Monti tengah
berdiri lurus di hadapan pohon beringin kembar itu. Ingin ia melakukannya
sekali lagi. Jadi sebenanya, beberapa hari setelah menjadi hantu, Monti pernah jalan-jalan sendirian di Alkid.
Malam itu kebetulan Jumat kliwon. Monti mencoba berjalan lurus melewati
beringin itu dengan mata tertutup sambil berharap ia bisa hidup lagi. Ia memang
berhasil melakukannya. Tapi saat membuka mata, ia terperanjat mendapati sesosok
hantu berwajah kuning. Saat ditanya siapa dia, hantu berbentuk pocong itu malah
menyeringai, memperlihatkan sederetan gigi yang juga berwarna kuning. Waktu
ditanya lagi kenapa mukanya kuning, hantu itu bilang, ia mati ketindih truk
pengangkut tinja yang terguling menimpa motor (bukan vespa kuning) yang
dikendarainya. Seketika itu Monti ngacir dan tidak mau lagi keluyuran
sendirian.
Ia tidak menceritakan kejadian itu
ke Eko. Ia malah bereksperimen menggunakan tubuh Eko sebagai media arwahnya,
supaya ia bisa merasakan hidup dalam tubuh manusia lagi. Lalu menyampaikan
perasaan suka ke Tika dan setelah itu terserah Tika mau menerima atau tidak.
Untung percobaannya gagal. Coba kalau berhasil, enak saja si Eko yang akan
menjadi pacar Tika., si bintang kampus itu.
Tapi malam ini ia ingin melakukannya
lagi. Mencoba keberuntungannya lagi. Mencari tahu apakah Tika akan menerima
cintanya atau tidak. Ia ingin sekali saja berubah wujud menjadi manusia. Lalu
ia akan memakai batik kuning itu, mengendarai vespa kuning, lalu menemui gadis
pujaan hatinya, dan menyatakan cintanya itu dengan sungguh-sungguh. Oh alangkah
indahnya hidup, eh mati ini…
Monti mulai menutupi matanya dengan
sebuah syal berwarna kuning. Lalu perlahan-lahan ia berjalan seolah takut
tertabrak orang lain yang padahal tidak ada yang bisa melihatnya itu . Monti melangkah
dengan penuh konsentrasi. Hingga tanpa terasa ia sudah hampir sampai. Tetapi
tiba-tiba tubuhnya seolah menabrak sesuatu. Apakah ini artinya ia bisa
merasakan benda-benda seperti saat ia masih hidup? Apakah ia memang sungguhan
hidup lagi? Monti membuka syalnya
pelan-pelan. Dan seraut wajah Eko menyeringai nakal di hadapannya.
“Sialan, lo!” bentaknya. Kedua alis
Monti bertaut, heran kenapa Eko bisa berada di sini. Matanya yang sensi
terhadap warna kuning mendapati si vesning sudah nangkring tidak jauh dari
tempat parkir odong-odong heboh itu.
“Gue udah ceritain semuanya ke Tika.
Gue tunjukin batik kuning lo ke dia, gue kasiin kado ulang tahun lo ke dia, dan
gue juga bawa dia ke sini. Dia lagi nangis di sana,” Eko menunjuk salah satu
sudut taman. Di sana Tika sedang menangis sambil memegang sebuah buku agenda.
“Lo, apa-apan sih, Ko? Itu kan diary
gue?”
“Sori, gue nggak sengaja nemuin diary
lo. Udah deh, Mon, sekarang Tika udah tahu kok, lo sayang sama dia. Dan dia … mau
pacaran sama lo!”
“Cius? Wow… ” Monti koprol-koprol di
lapangan saking girangnya.
Eko menggaruk kepalanya bingung.
Terserah deh, mau percaya atau tidak. Sepertinya memedi Vesning akan bikin ulah
yang lebih heboh lagi.
*