Rabu, 23 Januari 2013

MEMEDI VESNING


MEMEDI VESNING

Kok ada ya cowok yang tergila-gila dengan warna kuning. Apa saja yang ia pakai mesti mengandung warna kuning. Tas, sepatu, topi, sampai geretan harus ada ornamen yang mengandung warna kuning. Entah berupa strip, buletan atau sekedar gambar-gambar tidak jelas pun tak masalah, yang penting ada unsur warna kuningnya.
            “Aturan ya, yang gue tahu, cowok itu sukanya warna hitam, biru atau coklat. Ini apaan kuning?”  Eko menggerutu saat Monti, cowok si penyuka warna kuning itu mengajaknya hunting motor bekas. Tentu saja Monti mencari motor dengan bodi berwarna kuning.
            “Lo tau, Ko, warna kuning itu seger, cerah, membuat mata melek. Membuat gue kelihatan awet muda dan full imajinasi,” bantah Monti sambil celingukan, menelusuri deretan motor bekas yang dipajang di areal Bursa Kendaraan Bekas di depan gedung TVRI Jogja, jalan Magelang, Yogyakarta.
            “Gue kalo masuk kamar lo yang kuning kaya di tengah sawah itu, nggak pernah tuh ngerasa dapat imajinasi apa-apa. Lo bilang kuning bisa meningkatkan konsentrasi, nggak ngepek tuh ke gue,” elak Eko tidak mau kalah.
            “Itu sih dasar elonya aja kali yang udah ilfil duluan dengan warna kuning. Jadi bawaannya males jadi otak lo lemot. Gue kasih tau, ya. IPK gue mana pernah anjlok coba, selalu di atas 3. Itu lo tau kenapa…”
            Karena warna kuning itu meningkatkan energi dan  mood belajar, bosen gue dengernya,” potong Eko menirukan kalimat yang sering sekali Monti ucapkan kalau mereka berdebat soal warna kuning. Eko memang kerap dibuat malu kalau jalan dengan sahabatnya ini. Bagaimana tidak, warna kuningnya itu loh yang selalu menjadi pusat perhatian orang-orang. Sudah berapa kali ia dicap sebagai pasangan gay Monti gara-gara ulah Monti yang narsis dan sok kepedean itu.
            “Horee… akhirnya ada juga motor kuning. Terereng….” Monti menunjuk sebuah motor tua dengan seluruh bodi nya berwana kuning mencolok.
            “Gila! Vespa? Ciuz, lo!” Ledek Eko tak percaya kalau temannya sudah semakin gila kuning itu. Ia tidak bisa membayangkan kalau Monti memakai vespa tua kuning itu ke kampus. Orang akan memicingkan matanya  karena silau melihat warna matahari yang terang benderang itu tiba-tiba berjejer diantara motor-motor keren di tempat parkir. Tidaaaak…. Jerit Eko sambil nginjak bumi tiga kali. Hiks.
*
            Jadilah vespa kuning itu pindah garasi ke rumah omnya Monti yang ia dan Eko tempati selama mereka kuliah di Jogja.
            Eko melirik sepeda kuning yang selama ini menjadi teman jalan-jalan sore Monti sudah digantung di pojokan. Padahal itu hadiah ultah dari Eko yang dengan susah payah ia cari di jalan Supeno beberapa bulan lalu.
            “Sori, Ko, sepeda dari lo pensiun dulu yak!”
             “Bodo amat! Hati-hati lo bawa vespa. Lo gowes aja masih sempoyongan. Nabrak truk sayur baru nyaho, lo.” Belum hilang gemetaran Eko saat Monti membawa vespa kuning itu dari TVRI sampai rumah kemarin siang.
            “Di sini aman, Ko, nggak ada geng motor,” kilahnya sambil ngutak-ngatik motor baru tapi bekasnya itu dengan gaya sok tahunya yang selangit itu.
            “Gue gak tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan lo.” Eko cuek dengan diktat di tangannya. Besok hari terakhir UTS.
            “Tenang aja, kalau gue mati nyungseb got atau nubruk andong, gue bakalan pura-pura tetep hidup dan nemenin lo, deh. Dan kalo itu beneran kejadian, si Vesning gue warisin ke elo. Lo urus deh, ya, baik-baik!”
            “Sekate-kate, lo. Kualat tau!” Eko merinding membayangkan Monti nabrak becak atau andong, atau kendaran lain yang lebih gede. Amit-amit …. Ia mengetuk-ngetuk jarinya ke kepala.
            “Eh, Ko, anter gue yuk ke Beringharjo. Gue mau cari batik kuning, kan bentar lagi yayang tika gue ultah, gue mau pake batik baru nih,” Monti malah mengalihkan pembicaraan.
            “Ogaaahhh….” Eko buru-buru meraup semua diktatnya dan ngacir ke kamar. Tobat, gue… batinnya.
            Sore itu terpaksa Monti jalan-jalan ke pasar Beringharjo dengan vesning, alias vespa kuningnya sendirian. Dan, sayang sekali… apa yang Eko takutkan ternyata kejadian juga. Monti yang memang belum terlalu mahir mengendarai vespa bertabrakan dengan sebuah truk kuning pengangkut sayuran, saat ia meleng, gara-gara takjub melihat andong yang seluruh roda kayunya dicat warna kuning. Eko yang dihubungi pihak rumah sakit langsung datang dengan perasaan bersalah. Coba gue temani lo, Mon, kejadiannya nggak akan begini, sesal Eko.
            “Teman Anda meninggal di tempat,” jelas dokter dari pihak rumah sakit.    Tangis Eko pecah begitu melihat tubuh Monti yang sudah ditutupi kain putih dengan noda darah di mana-mana.
            “Monti, maafin gue. Gue nyesel nggak nemenin lo pergi…” raung Eko sambil menatap sahabatnya yang sudah terbujur kaku.
            “Ngapain lo nangis? Lo nyesel ya nggak nemenin gue nyari batik kuning?”
            Eko merasa ada suara Monti di belakangnya. Ia lalu menoleh dan seketika itu juga ia terperanjat. “Mon, elo…? Bukannya …?” Eko melihat jasad Eko lagi.
            “Sssttt… biasa aja, kali. Kan gue udah bilang kalau gue mati, gue bakalan pura-pura hidup. Terereng… sekarang gue bisa pura-pura hidup, seru kan?” sosok hantu Monti cengengesan di depan muka Eko.
            Eko yang masih tak percaya kalau sekarang ia bersahabat dengan hantu Monti. Sesuai permintaan Monti, Eko merahasiakan keberadaannya pada orangtua dan saudara-saudaranya. Hantu Monti selalu berada dekat Eko selama Eko mengurusi ini itu yang berkaitan dengan kematiannya. Bahkan saat upacara pemakamannya di Jakarta, hantu Monti berdiri di samping Eko dan menatap jenazahnya dimasukkan ke liang lahat.
            “Lo kok nggak nangis sih, Ko?” bisik Monti saat ia melihat raut wajah Eko tidak menampakkan kesedihan sama sekali, sedangkan saudara-saudara dan teman-temannya yang lain menitikkan air mata melihat tubuh Monti ditutupin tanah.
             Eko mendengus cuek.
            By the way, kok kain kafan gue nggak kuning sih, Ko?” celetuknya sambil nyengir.
            Gigi lo tuh kuning! Dengus Eko dalam hati.
            “Ko, suruh pelan-pelan dong nurunin badan guenya, ngilu gue takut jatoh!”  lanjut Eko. Ia menutup mata saat melihat jasadnya yang mulai ditimbun tanah merah.
            “Berisik!” Gertak Eko.
            Seorang cewek yang sedang menangis di sebelah Eko, berhenti terisak. Ia melotot kea rah Eko dengan heran. Menyadari hal itu, Eko buru-buru menyingkir dari kerumunan orang-orang di pemakaman. Dan tanpa dikomando Monti mengikutinya dari belakang.
            “Bisa nggak sih, lo nggak ngoceh terus, Mon! Gue bisa jadi pusat perhatian dan disangka nggak waras nih gara-gara elo!” Semprot Eko saat mereka sudah agak jauh dari para pelayat.
            “Iya, iya, sori… Tapi lo janji ya, temenin gue cari batik kuning sampe dapet?”
            “Iya, bawel. Dasar memedi vesning rese, bikin pal ague tambah pening aja, lo!”
            Monti ketawa terbahak mendengar julukan barunya. Memedi Vesning yang berarti hantu vesning, alias hantu vespa kuning. Dari mana coba Eko bisa tahu istilah memedi itu.
*
            Sejak kematian Monti akibat kecelakaan saat mengendarai vespa kuning itu, kehidupan Eko jadi berubah. Ia jadi sering kelihatan bicara sendiri, ketawa sendiri, malah kadang-kadang Eko bertingkah seperti kebiasaan Monti yang ngebet warna kuning. Dan yang lebih mencolok lagi, nilai-nilai ujian Eko selalu paling tinggi. Kamu pasti tahu kenapa…. Iya benar, itu ulah si hantu vesning.
            Memedi penggila warna kuning itu memang selalu membantu Eko mengerjakan soal ujiannya. Mula-mula sih Monti tidak mau membantu Eko berbuat curang dan lebih suka membantunya belajar, tapi karena si Eko yang super malas itu mengancam akan membocorkan keberadaan dirinya dan berhenti menemani Monti jalan-jalan dengan vesningnya, Monti kalah telak.
            “Tapi lo janji ya, nemenin gue ngapel ke yayang gue,” ucap Monti saat Eko minta Monti mengerjakan tugas makalahnya.
            “Iya, gue janji. Waktu itu aja gue mau-mauan  kasrak-kusruk masuk pasar cuma buat nemenin lo cari batik kuning yang langka itu. Gue rela dikatain wong gendeng  gara-gara ngeladenin lo yang bawel ampun,” balas Eko sambil berpikir bagaimana caranya supaya Monti sadar kalau dunianya kini sudah berbeda dengan dunianya dulu. Mana bisa dia pacaran dengan cewek di dunia nyata. Kasihan Tika, kalau sampai dia tahu Monti masih gentayangan, pasti dia tidak akan mau berteman dengan Eko lagi. Mahasiswi paling cantik sekampus itu pasti masih  waras, tidak mungkin ia mau ngobrol dengan bayangan Monti berbentuk casper itu. Meski ganteng-gantengnya masih ada, hantu tetap saja hantu. Tidak akan bisa disentuh apalagi diajak pacaran.
            Ahha… Eko menjentikkan jari. Ada gambar lampu menyala di ekor matanya.
            “Kenape lo?” lirik Monti.
            “Gue tau gimana caranya tuh batik kuning bisa lo pake ngapel ke rumah Tika!” Seru Eko. Ngeles, seperti biasa.
            “Gimana?” Monti antusias saat nama cewek gebetannya disebut.
            “Malam Minggu besok lo coba pake tuh batik kuning baru lo. Terus lo tunggu di Alkid deket pohon beringin,” usul Eko.
            “Terus? Lo mau nyuruh gue jalan lurus dengan mata tertutup lagi sambil berharap gue hidup kembali dan bisa pacaran sama yayang Tika gue, gitu?” ketus Monti. Ia masih ingat kejadian konyol saat awal-awal semester pertama mereka datang ke Jogja. Di Alun-alun Kidul alias Alkid, orang-orang percaya kalau bisa jalan lurus melewati dua pohon beringin kembar yang ada di sana, maka keinginannya akan terkabul. Dan atas saran Eko, Monti melakukan hal itu sambil berharap keinginannya untuk menjadi pacar ratu kampus itu terwujud. Dan Monti memang bisa berjalan lurus melewati kedua beringin itu, tetapi menjadi pacar Tika belum juga kesampaian. Baru saja tahap pedekate, eh keburu ajal menjemput. Padahal segala jurus nyaris meluluhkan hati Tika yang ternyata juga penyuka warna kuning itu.
            “Ya, itu juga kalau lo, mau. Udah waktunya lo sadar kalau lo ini udah nggak ada. Udah koit. Dunia kita udah berbeda. Dunia lo, dunia Tika. Rencananya sih nanti gue mau bilang ke Tika kalau selama ini lo masih gentayangan, gangguin gue, dan masih berharap bisa pacaran sama dia.”
            “Terus gue mesti bilang apa ke Tika nanti?”
            “Lo bilang aja Wow, sambil jumpalitan sana,” jawab Eko sambil berlalu meninggalkan Monti yang terpekur menyelami kenyataan hidup, eh, matinya ini.
            Diam-diam Monti menyesal karena tidak buru-buru menyatakan cintanya ke Tika. Semua ini gara-gara vespa kuning sialan itu. Gara-gara andong beroda kuning sialan itu. Gara-gara batik kuning aneh, gara-gara warna kuning taik itu! Setetes air hangat jatuh dari kelopak mata Monti. Air mata pertama sejak ia menjadi memedi.
            Monti lalu berdiri. Ia berjalan menyusuri jalanan beraspal. Malam itu udara sedang bagus. Langit Jogja sangat cerah. Bintang-bintang bertaburan dengan indahnya. Menghiasi cakrawala seolah seluruh penghuninya tengah berpesta pora.
            Langkah gontai Monti membawanya ke Alun-alun Kidul Jogja. Di sana ramai sekali wisatawan yang bolak-mandir. Ada yang berjalan dengan mata ditutup kain menuju beringin kembar, ada juga yang sudah sampai dan berfoto ria di sana. Ingin sekali Monti nimbrung dan menampakkan diri dengan seringai lima jari ala Indra Bekti-nya, tapi ia takut membuat panik dan kacau suasana. Nanti Alkid malah berubah jadi angker gara-gara ulahnya.
            Sambil bersenandung : Yesterday, all my troubles seemed so far away... Now it looks as though they’re here to stay…  Oh, I believe in yesterday. Monti melihat betapa riangnya pasangan muda-mudi yang sedang naik odong-odong dengan lampu kerlap-kerlip ceria. Ia cemburu dan merasa sangat sial dengan hidupnya. Ingin ia bunuh diri, ah tapi bukannya ia sudah mati duluan.
            Tanpa disadari ternyata Monti tengah berdiri lurus di hadapan pohon beringin kembar itu. Ingin ia melakukannya sekali lagi. Jadi sebenanya, beberapa hari setelah menjadi hantu,  Monti pernah jalan-jalan sendirian di Alkid. Malam itu kebetulan Jumat kliwon. Monti mencoba berjalan lurus melewati beringin itu dengan mata tertutup sambil berharap ia bisa hidup lagi. Ia memang berhasil melakukannya. Tapi saat membuka mata, ia terperanjat mendapati sesosok hantu berwajah kuning. Saat ditanya siapa dia, hantu berbentuk pocong itu malah menyeringai, memperlihatkan sederetan gigi yang juga berwarna kuning. Waktu ditanya lagi kenapa mukanya kuning, hantu itu bilang, ia mati ketindih truk pengangkut tinja yang terguling menimpa motor (bukan vespa kuning) yang dikendarainya. Seketika itu Monti ngacir dan tidak mau lagi keluyuran sendirian.
            Ia tidak menceritakan kejadian itu ke Eko. Ia malah bereksperimen menggunakan tubuh Eko sebagai media arwahnya, supaya ia bisa merasakan hidup dalam tubuh manusia lagi. Lalu menyampaikan perasaan suka ke Tika dan setelah itu terserah Tika mau menerima atau tidak. Untung percobaannya gagal. Coba kalau berhasil, enak saja si Eko yang akan menjadi pacar Tika., si bintang kampus itu.
            Tapi malam ini ia ingin melakukannya lagi. Mencoba keberuntungannya lagi. Mencari tahu apakah Tika akan menerima cintanya atau tidak. Ia ingin sekali saja berubah wujud menjadi manusia. Lalu ia akan memakai batik kuning itu, mengendarai vespa kuning, lalu menemui gadis pujaan hatinya, dan menyatakan cintanya itu dengan sungguh-sungguh. Oh alangkah indahnya hidup, eh mati ini…
            Monti mulai menutupi matanya dengan sebuah syal berwarna kuning. Lalu perlahan-lahan ia berjalan seolah takut tertabrak orang lain yang padahal tidak ada yang bisa melihatnya itu . Monti melangkah dengan penuh konsentrasi. Hingga tanpa terasa ia sudah hampir sampai. Tetapi tiba-tiba tubuhnya seolah menabrak sesuatu. Apakah ini artinya ia bisa merasakan benda-benda seperti saat ia masih hidup? Apakah ia memang sungguhan hidup lagi?  Monti membuka syalnya pelan-pelan. Dan seraut wajah Eko menyeringai nakal di hadapannya.
            “Sialan, lo!” bentaknya. Kedua alis Monti bertaut, heran kenapa Eko bisa berada di sini. Matanya yang sensi terhadap warna kuning mendapati si vesning sudah nangkring tidak jauh dari tempat parkir odong-odong heboh itu.
            “Gue udah ceritain semuanya ke Tika. Gue tunjukin batik kuning lo ke dia, gue kasiin kado ulang tahun lo ke dia, dan gue juga bawa dia ke sini. Dia lagi nangis di sana,” Eko menunjuk salah satu sudut taman. Di sana Tika sedang menangis sambil memegang sebuah buku agenda.
            “Lo, apa-apan sih, Ko? Itu kan diary gue?”
            “Sori, gue nggak sengaja nemuin diary lo. Udah deh, Mon, sekarang Tika udah tahu kok, lo sayang sama dia. Dan dia … mau pacaran sama lo!”
            “Cius? Wow… ” Monti koprol-koprol di lapangan saking girangnya.
            Eko menggaruk kepalanya bingung. Terserah deh, mau percaya atau tidak. Sepertinya memedi Vesning akan bikin ulah yang lebih heboh lagi.
*

Sabtu, 19 Januari 2013

Bocah Pelindung




Bocah itu berdiri di ujung tebing terjal. Dengan sesibak angin, tubuh ringkihnya bisa saja terpelanting hingga dasar karang. Memecah batok kepalanya, mencabik tulang belulang, dan memburai seluruh isi raganya. Lalu ombak ganas menelannya hingga lumat, membuih dengan jentik lautan. Jiwa mungil itu pun terbang ke angkasa setelah puas menyelami lautan terdalam yang belum pernah sekalipun terpikir mampu ia rengkuh.
            Tak sedikitpun rasa takut bercokol dalam dirinya. Kematian hanyalah sebuah proses untuk mencapai titik awal kehidupan baru di dunia berikutnya. Baginya, kematian hanyalah masalah waktu. Dan waktu takkan pernah bisa didustai oleh akal, terjenius sekalipun. Bukankah lebih baik mati daripada hidup hanya untuk menjadi penonton setiap adegan kotor yang mereka lakoni. Orang-orang bejat yang telah menyihirnya dari tikus got menjadi seekor anak hamster berkulit bersih dan menarik.
            “Aku tidak mungkin duduk dan memaksa otakku merekam semuanya. Aku terlalu kerdil untuk memahami apa yang mereka sebut sebagai kenikmatan yang di mataku hanyalah aksi binatang yang menjijikan,” bocah itu berurai air mata, mengadukan kesahnya pada dewa penguasa langit. Bahasa jiwanya jauh lebih dewasa ketimbang rengek kanak-kanak raganya. Dewasa lantaran tertempa derita yang sekian lama bersahabat dengannya. Yang sekian lama telah merenggut kebahagiaan masa kanak-kanaknya yang indah.
            “Tapi kau tak perlu mati sia-sia di usia ranummu,” protes sang dewa, menyayangkan keputusan bocah ingusan itu.
            Anak itu tidak tahu, manakah yang lebih baik: menjadi buta dan tuli, atau mati? Ia sudah berusaha lari, sejauh yang ia mampu, tapi selalu saja ada cara bagi mereka untuk membawanya kembali. Lalu setiap ia berhasil ditangkap, tangannya akan diikat lebih kuat, mulutnya disumpal. Bahkan hampir saja ia dipaksa melakukan hal tidak waras seperti yang mereka pertontonkan di depan matanya. Biadab!
            Bocah lelaki sepuluh tahun itu meronta dengan lelehan air mata. Setiap ia berusaha memejamkan matanya, tamparan hebat akan mendarat di pipinya. Lelaki dengan telapak tangan kayu, nyaris membuat ia terpelanting hingga membentur lantai. Tapi ia tidak akan pernah puas sebelum membenamkan kemaluan bengkoknya ke muka si bocah lalu memaksanya memuntahkan semua isi perut yang seharian dibiarkan kosong di atasnya. Lalu laki-laki lain yang berjalan gontai dari arah panggung penuh cahaya, memainkan peran protagonis sebagai dewa pelindung sang bocah. Baginya, tangis iba anak itu seperti sebuah permohonan yang sangat indah, yang membuatnya merasa menjadi dewa sungguhan. Bocah itu dipeluk dan dielusnya penuh kasih sayang. Ia tidak akan membiarkan lelaki bertangan gempal yang menjadi pasangan hidupnya selama ini, memperlakukan anak pungut mereka begitu rupa.
            “Sudah sayang, sudah saatnya kita biarkan anak ini melakukan apa yang ia inginkan. Ia tidak pernah sekalipun berterima kasih pada kita. Lihat kelakuannya?” sorot mata lelaki bengis itu membara menahan amarah.  Tapi sorot itu kemudian berubah teduh saat beradu dengan lelaki gontai, sang aktor baik.
            Lelaki gontai itu berhasil menenangkannya. Ia melepas tali yang mengikat tangan anak angkat mereka. Membuka sumpalan kain di mulutnya, dan membiarkan anak itu menjerit histeris sambil menghambur ke luar rumah.  Kaki kecilnya terus berlari menjauh sejauh-jauhnya dari rumah yang berdiri mewah di atas sebuah tebing tinggi di sebuah pulau terpencil. Lalu ia terhenti  saat telinganya menangkap deburan alam memanggilnya. Memanggil jiwa mungilnya untuk melebur bersama.
*
            “Seseorang telah menemukan Rian, Andika, dan Fadli. Sialan! Mereka bisa saja buka mulut,” pekik Jimbon sambil menjambaki rambutnya kalut. Laki-laki bertubuh gempal itu menyalakan sebatang kretek dengan gelisah. Butiran-butiran bening sebesar biji jagung  berkerumun di keningnya. Ia sudah kehabisan akal bagaimana caranya menutupi semua yang pernah ia lakukan pada anak-anak jalanan itu. Orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak kepolisian sudah pasti akan segera meringkuknya.
            “Semua sudah diatur,” Haris malah menanggapi ketakutan Jimbon dengan santai. Dengan gemulai, Haris menghampiri Jimbon dan mengelap keringat yang membanjir di wajah kekasihnya.
            “Maksudmu?” kedua alis Jimbon bertaut. “Jangan bilang kalau kamu melakukannya lagi!” Bola mata Jimbon nyaris loncat membayangkan Haris mengulang perbuatan paling nista yang membuat tidurnya dihantui mimpi buruk berminggu-minggu lamanya. Bahkan obat-obatan setan itu pun tak mampu menghilangkan bayangan bocah-bocah riang yang menari telanjang sepanjang hari di hadapannya, lalu menjerit-jerit kesakitan, bahkan berlari lintang pukang saat dirinya hendak memaksakan nafsu binatangnya pada mereka.
            Haris tersenyum. Senyum paling menakutkan yang selalu Jimbon tangkap usai ia menghilangkan jejak-jejak biadabnya.
*
            Zul adalah satu-satunya pengamen jalanan yang memiliki perawakan lumayan. Tidak kurus, tidak juga gemuk. Badannya berotot, hasil tempaan pekerjaannya sehari-hari menjadi kuli di pasar, dan tak jarang sebagai pengangkut ikan hasil tangkapan nelayan sebelum dijual ke pasar lelang. Meski usianya masih 10 tahun tapi ia kelihatan lebih dewasa dibanding anak-anak sebayanya. Pembawaannya tenang, setenang wajahnya yang tampan. Anak ini murah senyum hingga siapapun yang pertama bertemu dengannya tak sabar untuk mengajaknya berteman.
            Zul bukan keturunan timur tengah, tetapi wajah tampannya sangat mirip dengan anak-anak arab. Dengan rambut ikal kecil dan bulu mata lentik, Zul sangat mencolok diantara teman-temannya sesama anak jalanan, yang keseharian hidupnya mereka habiskan di bawah terik mentari. Zul hanya seorang anak miskin pembuat jaring ikan yang hidup di rumah kayu di belakang pasar tradisional, tak jauh dari balai lelang, dan stasiun kereta yang menghubungkan desa nelayan dengan pusat kota dan pasar kulakan. Tidak jelas siapa bapaknya, dan mungkin ibu yang selama ini hidup seatap dengannya, bukanlah ibu kandungnya. Kesepian hidup membuat Zul lebih suka menghabiskan waktunya di jalanan beraspal, mengais rezeki menjadi pengamen ataupun kuli angkut. Meskipun kehidupan di jalanan sangat keras, tetapi Zul tidak punya pilihan yang lebih baik dalam hidupnya. Dan inilah hidup yang ada dalam benaknya.
            “Zul, dicari Bang Jimbon,” seru Fadli seraya melepas tali gitar mungil yang menyampir di pundaknya. Ia lalu duduk di samping Zul yang sedang menikmati debur ombak yang sepi.
            Zul mendongak, ada perasaan cemas merayapi dirinya. Laki-laki bertubuh gempal itu mencarinya? Apakah tidak jelas jawaban Zul kemarin saat lelaki itu membujuknya untuk menjadi anak angkatnya. Zul pernah mendengar kalau Bang Jimbon itu adalah duda yang ditinggal mati istrinya. Bertahun-tahun mereka menikah, tetapi belum juga dikaruniai anak,  sampai kecelakaan maut itu merenggut nyawa istrinya. Tapi Zul juga mendengar kisah lain tentang kelakuan Bang Jimbon yang kerap mengajak anak-anak jalanan ke rumahnya, memberinya makanan yang enak-enak, bahkan tak jarang dibelikan baju baru dan mainan, lalu anak-anak itu tak lagi muncul di pasar karena sakit dan kemudian meninggal. Beberapa anak tak benar-benar pulang ke rumah atau kembali ke jalanan. Entah ke mana, Zul berpikir mereka mungkin pindah atau disekolahkan oleh Bang Jimbon ke luar kota.
            Seperti kebanyakan anak-anak miskin lainnya di kampung nelayan itu, Zul juga tidak bersekolah. Tapi ia cukup pandai membaca dan berhitung. Itu cukup membuatnya tampak lebih pintar dibanding anak-anak lainnya. Dan itu pula yang membuat ia sulit didekati oleh orang seperti Jimbon, yang memberikan perhatian khusus pada anak-anak dengan sikap yang menurut pandangan Zul, mencurigakan.
            “Kamu dari rumah Bang Jimbon? Hari ini dikasi apa?” selidik Zul.
            Fadli menggeleng lesu. Mukanya pucat pasi. Bibirnya gemetar seolah menahan rasa takut yang ia sembunyikan begitu lama.
            “Kamu kenapa? Sakit?” tanya Zul cemas. “Mukamu pucat, Dli. Kita ke puskesmas, ya!”
            Kembali Fadli menggeleng. Wajahnya tertunduk lesu. Butiran-butiran air mata berguguran dari kelopak matanya yang sembab. Zul merasa heran dengan sikap kawannya. Hendak dipaksanya bertanya lebih jauh pada Fadli, tetapi anak itu malah berlari, meninggalkan Zul dengan seribu tanya yang menggantung di langit-langit hatinya. Melihat sikap Fadli, Zul tergerak untuk mencari tahu ada apa gerangan. Langkah kakinya pun terbawa hingga ke rumah di tepi tebing itu. Rumah indah yang hanya orang-orang tertentu bisa memasukinya. Mungkin seseorang bisa membukakan pintu untuknya, melongok seisi rumahnya yang selama ini hanya ada dalam bayangannya saja, dan mungkin ia bisa menikmati hidangan ikan laut bumbu special yang tak pernah menyentuh lidahnya itu.
            “Zul!” seorang lelaki kurus, agak feminim, berdiri di ambang pintu saat Zul hendak mengetuk pintu rumah besar itu.
            Zul tersenyum dengan raut penuh tanya. Siapa lelaki feminism ini, bagaimana ia bisa mengetahui namanya sedangkan ia belum pernah sekalipun bertemu dengannya.
            “Owh, saya Revan, teman baiknya Bang Jimbon,” laki-laki itu mengulurkan tangannya. Baru sekali ini Zul bersentuhan dengan tangan laki-laki dewasa yang begitu lembut. Terlalu lembut untuk ukuran seorang pria dewasa. “Bang Jimbon sering cerita tentang kamu. Masuk, sini,” Revan menuntun Zul memasuki rumahnya yang bukan saja bersih dan wangi, tetapi terang dan penuh dengan hiasan dinding yang indah memukau. Mata Zul takjub melihat foto-foto besar bergantungan di hampir semua dinding dalam rumah itu. Belum lagi sebuah perpustakaan mini di pojok ruangan dengan koleksi buku-buku bagus yang ditata rapi di dalam rak berkaca.
            Revan membuka sebuah kotak dan mengeluarkan foto-foto berukuran kecil dari dalamnya. Ternyata itu adalah gambar Zul yang karena kualitas gambarnya, kemungkinan besar diambil oleh fotografer profesional dari jarak jauh melalui sebuah kamera analog. “Ini foto-foto kamu, Bang Jimbon yang motret. Katanya mau ditunjukkan ke kamu kalau kamu mau datang ke sini dan menerima tawarannya menjadi anak angkatnya,” jelas Revan.
            “Apa enaknya jadi anak angkat Bang Jimbon? Bukankah Bang Jimbon sudah punya anak angkat?” tanya Zul polos. Benaknya masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Foto-foto dirinya yang tampak sangat bagus, dengan fose alami.
            “Apa enaknya? Hemh, kamu bisa sekolah lagi, dan mungkin bisa belajar fotografi kayak Bang Jimbon. Atau kamu suka melukis?”
            “Foto?” mata Zul berbinar. Entah kenapa ia langsung jatuh hati begitu melihat foto-foto yang terpampang di dinding rumah Bang Jimbon. Begitu indah dan sangat kaya warna. Coba ia bisa memoto objek seindah itu, atau paling tidak ia bisa mencoba menggunakan kamera untuk membidik pemandangan-pemandangan indah di pantai.
            Revan tersenyum sambil mengangguk.
            Sore itu Zul tidak bertemu dengan Jimbon karena lelaki itu sedang ke kota untuk menjual hasil lukisannya, dan mencetak beberapa foto yang belakangan ia ambil. Tetapi sejak saat itu Zul tidak sungkan berkunjung ke rumah Jimbon. Meminjam kamera Jimbon dan belajar memotret benda apa saja yang menarik hatinya. Jimbon dan Revan memberikan perhatian penuh pada Zul. Meskipun Zul kadang merasa tidak nyaman, tetapi ia berusaha menerima perlakuan mereka dengan sopan. Hingga pada suatu waktu, karena cuaca yang tidak bersahabat, Zul terpaksa menginap di rumah Jimbon.
            Dan drama dalam kehidupan Zul mendadak berubah.
            Malam itu ia melihat pribadi lain dalam diri Jimbon dan Revan. Kedua lelaki itu tidak menunjukkan sikap seperti biasanya. Mula-mula Zul diminta memotret Revan yang sedang bertelanjang dada. Lalu Revan membuka jins-nya lalu melepaskan pakaian dalam lainnya hingga membuat jantung Zul berdegup tak menentu. Bahkan Zul tetap dipaksa memotret Revan yang sedang dicumbu oleh Jimbon, seolah mereka pasangan suami istri yang sedang melakukan hubungan intim. Zul berusaha menolak, tetapi Jimbon memaksanya. Tubuh Zul bergetar hebat. Apa yang sedang terjadi dengan dirinya malam itu membuat ia tidak bisa tidur dan hanya menangis semalaman.
            Keesokan harinya, sikap kedua lelaki itu kembali biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan mereka. Saking biasanya Zul mengira ia hanya bermimpi karena pengaruh omongan miring orang-orang tentang kedua lelaki yang sudah lama hidup seatap itu. Tetapi pada kesempatan-kesempatan lain, Jimbon menjemputnya dan memintanya membantu pekerjaannya menyelesaikan lukisan atau objek foto dan menjanjikan bayaran yang lumayan. Zul tentu tertarik mengingat ia sedang membutuhkan biaya untuk ibunya yang sedang sakit. Ia juga bisa kembali mendalami ilmu fotografi dan membaca banyak buku menarik di rumah Jimbon. Tak peduli omongan orang tentang kedua lelaki berbeda karakter itu, ataupun mimpi buruknya malam itu.    
            Tetapi Zul tidak bermimpi malam itu. Kejadian itu kembali berulang. Kali ini bahkan Zul dipelakukan dengan kasar. Ancaman bahkan intimidasi membuat bocah lelaki ini sangat ketakutan. Tapi ia tidak bisa melarikan diri. Ke manapun ia pergi, kedua lelaki itu selalu saja bisa membawanya kembali. Kembali memaksanya melihat adegan mesum mereka, lalu mengabadikannya dalam foto ataupun rekaman video.
            Zul hanya bisa menangis, menyesali keputusannya menerima tawaran anak angkat kedua lelaki sinting itu. Laki-laki gila yang bisa memanfaatkan kelemahan anak-anak jalanan.
*
            Tubuh Zul bergetar hebat,
            Tetapi lelaki gontai itu berhasil menenangkannya. Ia melepas tali yang mengikat tangan anak angkat mereka. Membuka sumpalan kain di mulutnya, dan membiarkan anak itu menjerit histeris sambil menghambur ke luar rumah.  Kaki kecilnya terus berlari menjauh sejauh-jauhnya dari rumah yang berdiri mewah di atas sebuah tebing tinggi di sebuah pulau terpencil. Lalu ia terhenti  saat telinganya menangkap deburan alam memanggilnya. Memanggil jiwa mungilnya untuk melebur bersama.
            “Aku tidak akan mati sia-sia. Aku akan berkelana, menjadi pelindung bagi bocah-bocah malang yang mengalami nasib tragis sepertiku. Di jalanan, di kolong jembatan, di gerbong kereta api, banyak anak-anak menjerit dan merintih kesakitan. Berdarah, terluka, robek hati dan jiwa mereka. Lalu mereka bungkam, karena sekali buka suara, tubuh mereka akan remuk dilibas kereta. Aku akan membawa mereka ke sini, atau lari semakin jauh. Aku tahu jalan mana yang bisa mereka tempuh tanpa harus mengalami siksaan yang lebih perih.” Ucap bocah itu,  seraya menatap dewa langit yang tiada henti mengulum senyum bangga.
            Perih. Amarah menggunung setiap mendengar masih banyak terjadi pelecehan terhadap anak-anak jalanan, trafficking, bahkan pembunuhan. Zul tak akan pernah mati untuk diam.
*


Jumat, 18 Januari 2013

BROKEN NIGHT



Willy tidak beringsut dari tempatnya duduk. Sudah setengah jam lebih ia membolak-balik sebuah name card di tangannya. Sebuah nama yang mungkin bisa mengubah hidupnya. Hidup yang ia jalani dengan lumuran dosa dari keringat malam yang pengap. Keraguan yang masih bercokol membuat Willy belum bisa memutuskan apakah ia perlu menghubungi contact number yang ada dalam kartu kecil itu atau membiarkannya begitu saja.  Toh nama yang tertera di situ tidak memiliki arti khusus sama sekali untuknya. Hanya saja, entah mengapa Willy tidak bisa melupakan perempuan yang telah memberinya kartu itu.
            Talita –nama yang tercetak dalam kertas kecil itu, adalah seorang excecutive officer sebuah perusahaan perbankan yang sudah menjomblo bertahun-tahun. Di awal usia tiga puluh tahunan, perempuan ini sangat sibuk mengejar karier. Tetapi pergaulannya di kalangan jetset yang luas membuat ia tidak pernah bisa memiliki sebuah komitmen dalam setiap hubungannya dengan seorang  lelaki. Saat ia membutuhkan kehangatan, maka ia lebih suka memilih laki-laki instant ketimbang menjalin sebuah hubungan layaknya sepasang kekasih. Dengan mereka Talita bisa menentukan long term hubungan mereka. Mungkin hanya semalam atau malah bisa dikontrak berbulan-bulan. Tergantung service dari laki-laki  penghangat kamar sepinya itu. Begitu yang sempat Willy dengar dari obrolan santai beberapa teman di tempatnya bekerja.
            Perempuan itu menjentikkan jemari lentiknya, memberi isyarat agar pelayan bar itu menghampiri dan melayani pesanannya. Willy merasa ialah yang perempuan bergaun minim itu panggil, karena hanya ia satu-satunya waiter yang berdiri tidak jauh dari table perempuan itu. Senyum mengembang dari bibir merah yang ranum menyambut kedatangan Willy. Kedip matanya yang genit sempat membuat Willy gelagapan tak menentu.
            Malam itu kali pertama Willy bertemu dengan Talita. Perempuan itu memberikan kesan tersendiri di hati Willy. Perlakuannya sangat berbeda dengan kebanyakan pengunjung lain yang berlagak sok raja dan menganggap waiter itu tiada lain hanya sebagai pelayan atau budak mereka. Tetapi Talita begitu sopan, dan dari caranya berbicara -walaupun agak setengah mabuk- menunjukkan kalau dia adalah seorang perempuan berkelas yang tahu bagaimana cara bergaul dan beretika. Saat berada di bawah lampu disko dan alunan musik yang hingar pun, liuk tubuhnya tidak seronok, tetapi kesexi-annya yang memikat membuat para lelaki tidak betah duduk berdiam diri.
“Bisa ... bantu saya?” Talita menyerahkan sebuah zippo bergambar bendera negara adikuasa setelah beberapa kali gagal menyalakannya. Ditatapnya pelayan bar itu dengan senyum menggoda. Dalam sekali hentak Willy berhasil mengeluarkan api, lalu menyalakan rokok yang bertengger lemas di bibir Talita.
Willy tidak banyak bicara kala itu. Laki-laki berusia duapuluh tiga tahun itu hanya menggangguk, membalas ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut Talita. Ia tidak sanggup menatap gerak bibir itu terlalu lama.  Hasrat kelaki-lakiannya mulai terusik.
Ketika esok malamnya datang lagi, Talita hanya mau dilayani oleh Willy. Dengan Willy ia bisa menenggak Jack Daniel dicampur madu arab dan sedikit coke dengan perasaan gembira. Berkali-kali tawa renyahnya mengundang mata para pengunjung lain beralih padanya. Hampir setiap malam kunjungannya, Talita tak pernah lupa memberi tip yang lumayan besar untuk Willy yang baru bekerja beberapa bulan. Waiter lain kadang merasa iri atas kedekatan Willy dengan Talita. Manager Willy sendiri malah pernah menegur agar Willy tidak terlalu dekat dengan tamu barnya supaya tidak menimbulkan pembicaraan yang tidak pantas.
Tapi Willy tidak saja merasa sudah sangat dekat dengan Talita, ia bahkan merasa perempuan itu seolah menginginkan pertemanan mereka tidak hanya berlangsung di dalam bar, saat seorang waiter menjadi pelayan untuk tamunya. Tetapi lebih daripada itu. Masih banyak tempat lain di luar sana yang akan memberinya kebebasan.
Dan malam tadi, Talita memberikan sebuah kartu nama berwarna pink, dengan tinta emas mengukir namanya. Bagi Willy itu adalah sebuah undangan, ajakan untuk lebih mengenalnya lebih jauh. Atau sebuah peluang yang bisa mengubah hidup dan kehidupannya.
Willy tahu betul apa yang dicari perempuan itu. Dari obrolannya dengan beberapa temannya sesama waiter, Talita kerap kali mengajak cowok-cowok ABG ke bar dan mabuk bersama sambil saling rangkul. Tapi apakah Willy akan diperlakukan seperti cowok-cowok itu? Hanya sebatas pemuas kebutuhan birahinya semata? Willy bukan sekali ini melayani perempuan yang hanya membutuhkan seorang laki-laki dalam satu malam. Tapi ia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana seandainya dirinya berada bersama Talita dalam sebuah kamar. Semalam suntuk. Hanya berdua.
Akhirnya Willy meraih kembali handphone-nya dan menekan nomor Talita.
“Hai, Honey….. I’m waiting Your calling...” desah Talita di seberang sana.
Willy menelan ludah dan segera meninggalkan kamar kostnya.

*

            Willy berdiri di depan pintu sebuah apartemen mungil di bilangan Jakarta Selatan. Kakinya gemetar saat membuka pintu apartemen yang sengaja tidak dikunci pemiliknya. Dalam pembicaraannya lewat telepon tadi, Talita menyuruh Willy langsung membuka pintu apartemennya karena Talita akan membuka kuncinya tigapuluh menit setelah pembicaraan terputus.
            Dengan perlahan Willy memasuki apartemen mungil dengan desain interior minimalis tetapi memamerkan keanggunan dan selera tinggi penghuninya. Warna ungu muda mendominasi wall paper bergambar bunga tulip putih yang tengah mekar. Beberapa lukisan abstrak menggantung dalam pelukan dinding dengan lampu ruangan yang remang.
            Seorang perempuan bertubuh tinggi, mengenakan gaun tipis berdiri di depan cermin dengan rambut lurus menebar aroma bunga mawar yang membangkitkan gairah siapapun yang mencium wanginya. Senyum manis kembali mengembang, menyambut kehadiran lelaki yang sudah membuat gundah malam-malam sepinya. Membuat liar imajinasi dan fantasi akan kehangatan dekapan tubuhnya.
            Willy masih tertegun di depan perempuan itu. Untuk apa ia berdiri dan memandang Talita seperti itu? Bukankah ia hanya terpesona  dengan keindahan bahasa dan pribadinya yang menawan? Lalu untuk apa ia menemui perempuan itu sementara ia sudah tahu betul sepak terjang perempuan yang sudah lama menjomblo itu? Apakah Willy pun menginginkan dirinya dijadikan laki-laki pemuasnya seperti yang sering menjadi gunjingan orang-orang? Ataukah ia hanya menginginkan sekian rupiah saja untuk menutupi kebutuhan hidupnya yang masih serba kurang?
            “Ayolah, nggak usah malu-malu,” Talita menarik lengan Willy dan mengajaknya duduk di atas sofa yang empuk. Ditatapnya wajah laki-laki muda berkulit bersih yang selalu menyunggingkan senyum lugu itu.
            Willy merebahkan punggungnya di atas sofa tepat di samping Talita. Dadanya bergemuruh hebat. Ia tak kuasa melepaskan genggaman tangan Talita dan membiarkan jemarinya dielus dengan penuh kelembutan.
            Malam itu berlalu begitu lambat, seolah bumi lupa harus terus berputar pada porosnya. Desir dan wangi asmara bergelora memenuhi kamar yang ditata sedemikian hangat agar siapapun bisa menikmati saat-saat melepas hasrat duniawinya dengan penuh kebahagiaan.
            Willy terbangun di samping tubuh Talita yang lelah, tetapi masih tetap memancarkan kehangatan malam yang indah. Ditatapnya lekat perempuan yang masih berbalut selimut itu. Sungguh, setelah mereguk manisnya kebersamaan dengan Talita, Willy semakin kagum dan sayang dengannya. Ia berharap ini bukan malam pertama yang juga sekaligus malam terakhir baginya.
            Sejak kejadian malam itu Willy tidak bisa melupakan bayangan wajah Talita walaupun hanya sekejap. Dalam setiap kedip matanya Talita berdiri seraya mengulurkan tangan mengajaknya bermesraan. Setiap hela napasnya Willy seolah bisa mencium wangi bibir Talita dan mengulumnya penuh gairah. Willy hampir kehilangan dirinya yang dulu begitu polos dan lugu.
            Ia kini telah jatuh ke dalam dekapan buaian malam sang ratu. Ia jatuh cinta.

**

            Bersama Willy, Talita merasakan kehangatan berbeda bila dibanding dengan lelaki lain. Willy membuatnya merasa menjadi seorang perempuan seutuhnya, yang dihargai dan dihormati. Bukan untuk ditelanjangi dan direbut hak-haknya. Willy tidak pernah meminta kecuali Talita memberinya kesempatan.
            Lelaki muda itu sudah membuat hidup Talita berubah. Tidak ada lelaki lain dalam bayangan dan mimpi Talita. Tidak ada cowok-cowok ABG liar, yang hanya menukar keringat malam mereka dengan materi. Tetapi sanggupkah Willy mengubah gaya hidup Talita yang glamour dan penuh hura-hura? Clubbing, mabuk dan bahkan judi, serta kebiasaan buruk lain yang belum bisa dihilangkannya?
            Kebersamaannya malam itu telah menciptakan pertemuan-pertemuan berikutnya. Malam-malam dingin telah berubah hangat dan penuh gairah. Willy semakin memperlihatkan sikap dewasa dan penuh perhatian. Dan itu membuat Talita semakin jatuh, jauh ke dalam perasaan yang sulit diselaminya. Ia tidak menyadari maknanya, tetapi kehadiran Willy selalu membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.
            “Will, kenapa kamu begitu baik padaku?” bisik Talita saat kepalanya bersandar pada dada Willy yang kekar. “Kamu kan tahu bagaimana pergaulanku selama ini?”
            Willy meraih jemari Talita dan mengecupnya. “Asalkan setelah bersamaku kau mau berubah, aku akan selalu bersamamu. Aku sangat bahagia, Tha. Aku mencintaimu. Kamu tahu itu kan?”
            Talita mengangguk. Setitik kristal nyaris menetes dari kelopak matanya. Sudah sangat lama ia tidak mendengar seseorang mengungkapkan perasaan cinta padanya. Dan kini seorang laki-laki muda yang dengan kesungguhan hatinya mengutarakan perasaan terdalamnya. Perasaan cinta yang begitu murni.
            “Aku juga mencintaimu, Will...”
            Talita larut dalam manisnya cinta yang Willy taburkan. Ia tidak pernah sebahagia itu. Saat ia menceritakan semuanya pada teman-teman clubbing-nya, dan mengutarakan niatnya untuk menyudahi petualangan malamnya demi Willy, teman-teman clubbing Talita memintanya untuk mengadakan pesta terakhir. Semacam pesta perpisahan atau bachelor party seolah Talita hendak mengakhiri masa lajangnya.
            Saat Willy sedang bekerja di club malam biasa, Talita berkumpul bersama teman-temannya. Usai pesta minum-minum, ia lalu beralih pada permainan lain. Permainan yang sudah lama menjadi hobi beratnya, pocker dengan taruhan uang puluhan juta bahkan kadang bisa mencapai ratusan. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Talita tampak tengah kebingungan karena sudah kehabisan bekal di meja judi. Uang tunai ratusan juta yang ia bawa kini sudah berpindah tangan ke pemain yang lain. Seorang perempuan yang sama-sama memiliki kedudukan tinggi di sebuah perusahaan bergengsi, sama-sama penggila judi, dan selalu berkeliaran malam mencari lelaki muda yang bisa dibayar untuk memuaskan nafsu liarnya, kini menjadi ratu malam itu. Malam yang Talita nobatkan sebagai malam terakhirnya di dunia gemerlap.
            “Brengsek!” Talita melempar kartu di tangannya ke atas meja. Ia pasrah menerima kekalahan telak. Tapi wajah penasarannya masih tetap tertangkap oleh lawan mainnya. Dan ini adalah umpan yang segar untuk menghancurkan Talita yang selama ini dianggap sebagai perempuan sombong dan sok perkasa itu. Rival dalam dunia bisnis yang mereka geluti.
            Don’t worry Baby…. Bukankah kamu masih punya sesuatu yang berharga untuk dipertaruhkan?” pancing Merry, the winner malam itu dengan nada mengejek.
            What is…?” balas Talita lemah. Alkohol sudah membuat otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih.
            Your sweatheart, of course…”
            Pening di kepala Talita semakin menjadi.

***
           
Willy membuka ikatan di kepalanya. Setelah lepas sudah kerinduan yang membuncah di dadanya, Willy ingin mengecup kening Talita dan memeluknya erat agar perempuan itu tidak pernah bisa jauh lagi dari sisinya. Matanya yang sedari tadi tertutup rapat, perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar.
“Kamu siapa?” Willy tersentak mendapati perempuan lain terkulai di sampingnya. Mana Talita? Kenapa perempuan ini tiba-tiba berada dalam dekapannya, dan bahkan…. Oh Tuhan, tidak… apa maksud dari semua ini? Mana Talita? Mana perempuan yang seharusnya merasakan betapa Willy mencintai dan menginginkannya malam ini.
“Tenang, ganteng…” goda perempuan itu sambil mencolek dagu Willy dan membuatnya merasa jijik dan sangat kotor.
“Mana Talita?” ulang Willy sambil bergegas mengenakan pakaian dan mengemasi barang-barangnya.
“Dia ada di kamar sebelah, “ jawab perempuan itu sambil menarik bed cover bergambar bunga mawar dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Diraihnya sebatang rokok dan menyalakannya tanpa memedulikan betapa Willy sangat shock setelah menyadari dirinya tidur dengan perempuan lain yang sama sekali tidak dikenalnya.
Lalu berkelebat di kepalanya bagaimana ia bisa menghabiskan segelas vodka dingin dalam rayuan Talita yang terus menerus mengiang di telinganya. Karena bukan kebiasaan Willy meminum minuman keras, segelas saja sudah membuatnya lupa banyak hal. Ia bahkan meracau dan berkali-kali mengucapkan kata-kata di luar kesadarannya. Tapi ia masih ingat kalau Talita menuntunnya ke dalam kamar, membaringkannya, membuka kancing bajunya, dan mengikatkan syal lembut ke kepalanya sehingga matanya tertutup dan ia berharap bisa merasakan sensasi lain malam itu.
Willy tidak memperhatikan lagi bagaimana perempuan itu menghembuskan asap rokok dengan puasnya. Ia segera keluar dari kamar itu dan melangkahkan kakinya menuju kamar sebelah yang ternyata tidak tertutup rapat. Sebuah desah napas dan rintihan kecil bisa ia dengar dengan jelas dari luar kamar. Willy mematung cukup lama di depan kamar itu tanpa bisa berbuat apapun.
Ingin sekali Willy teriak dan menendang pintu kamar itu. Tapi yang bisa ia lakukan hanya menyaksikan betapa Talita begitu bahagia di dalam sana. Talita menikmati kebersamaannya dengan lelaki itu. Desah napasnya seperti sebuah irama yang begitu syahdu. Memburu, seperti berlari dengan hasrat yang bergelora. Tersengal-sengal kelelahan tetapi tampak puas dan bebas.
Lalu untuk apa ia marah atas semua yang ia sudah alami malam ini.
Willy meninggalkan kamar itu dengan hati remuk dan perasaan hancur. Berkelebat berbagai kenangan yang Willy lalui bersama Talita dalam canda dan tawa. Berbagi malam di bawah ribuan kerlip bintang, berbagi kecup, pagut, desah, rintih dalam satu napas yang sama. Semua berputar berulang-ulang menyisakan perih dan kecewa.
Kenapa ia begitu berharap banyak bisa mendapatkan cinta Talita, sementara perempuan itu sudah menjual harga dirinya dan membuatnya sangat terhina.
Dari dalam kamar sepasang mata meneteskan penyesalan dan kepedihan yang dalam. Tapi kepedihan buat apa? Kepedihan untuk siapa? Ini adalah sebuah kekalahan yang sangat besar dalam hidupnya.


****

Rintik-rintik air berlompatan di atas tanah, menari disapu angin malam yang menusuk, mengiringi kepedihan hati Willy. Tapi Willy yakin, rintik hujan, bahkan badai sekalipun tidak akan membuat Talita absen melantai. Tubuh perempuan itu akan tetap meliuk meski gempa besar mengguncang tempatnya berdiri. Atau badai tsunami memorakporandakan gedung tempatnya berjingkrak penuh sensasi.
Come on, honey!” bisik Talita di telinga Willy, suatu ketika, saat mereka berduaan di apatemen Talita. Alunan musik lembut pengantar tidur menjadi latar yang membuat suasana terasa lebih romantis.
Willy masih merasakan desah napas Talita, bisikan lembutnya yang membuat hasrat kelelakiannya menggeliat. Tapi apakah masih ada hasrat di hatinya setelah kejadian itu? Tubuhnya telah ditukar dengan tubuh lelaki lain yang lebih memikat hati Talita. Atau mungkin Talita telah menjualnya dengan paksa? Mendadak perut Willy terasa mual setiap kali mengingat hal itu.
Kebencian semakin menggunung setiap kali Willy teringat bagaimana Talita tampak bahagia bersama lelaki lain. Malam itu hatinya benar-benar telah hancur. Talita berhasil meremukredamkan harapan dan impian yang selama ini Willy bangun. Terjawab sudah keraguan hatinya selama ini. Ternyata memang benar, Talita tidak pernah mencintainya dengan sepenuh hati?
Dan malam ini, Willy kembali menanti kehadirannya. Tetapi penantiannya kali ini bukan untuk menerima tip atau berharap mendapat undangan makan malam di atas ranjangnya yang hangat, melainkan cukup beralasan jika malam ini Willy ingin menyudahi hubungannya dengan perempuan yang sudah membuat dirinya menjadi seorang pelacur yang nista. Dan mengubah hidupnya dalam satu malam yang paling sulit Willy lupakan dalam hidupnya.
Seperti biasa, malam itu Talita hanya ingin dilayani oleh Willy. Sebagai seorang waiter, Willy pun menghampiri dan mencatat pesanannya. Tidak ada perbincangan sama sekali, seolah Willy tidak pernah mengenal perempuan itu sebelumnya. Talita merasa sedih dan sangat bersalah. Ingin sekali ia menjelaskan semua dan meminta maaf padanya. Daripada ia harus kehilangan saham dan obligasinya, bukankah lebih mudah mengajak Willy pada permainan yang menurutnya bisa memberikan sensasi lain dalam hidup Willy. Mempertaruhkan Willy bukanlah keputusan yang mudah. DanTalita pikir ia tidak akan kalah dalam taruhan itu. Kalaupun sampai kalah, ia sempat berpikir Willy tidak akan menolak ajakan Merry atau perempuan lain yang lebih tajir daripada dirinya. Tapi ternyata Willy memang berbeda dengan lelaki lain. Willy tidak pernah peduli dengan harta dan kekayaan yang Talita miliki. Yang penting bagi Willy cinta dan kesetiaan dirinya. Itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.
Seharusnya Talita tidak memperlakukan Willy sekejam itu, setelah semua yang Willy lakukan untuknya. Willy yang telah mengelupas rasa angkuh dalam diri Talita. Willy yang kemudian menanamkan benih cinta di hati Talita. Dan Talita malah menghianati perasaannya sendiri tanpa memedulikan bagaimana perasaan Willy sama sekali.
Willy berdiri tidak jauh dari tempat Talita menghabiskan berbotol-botol alkohol. Perempuan itu terus mengoceh dan memanggil-manggil nama Willy dalam penyesalan yang tidak berkesudahan. Ia tidak menyadari kalau racun sedang menjalar dalam tubuhnya, dan dalam hitungan detik akan segera menghancurkan jantung dan pembuluh darahnya. Bahkan seluruh hidup dan harapannya akan cinta Willy.
Tapi Willy tidak peduli. Sejak malam itu, ia sudah tidak peduli lagi seberapa besar rasa cinta, rindu yang membuncah dan hasrat untuk kembali memeluk Talita bergelora di dadanya. Rasa sakit yang teramat dalam telah membunuh semua perasaan itu. Telah membuatnya buta, sebagaimana Talita yang buta karena tidak bisa membaca betapa Willy sangat mencintainya

*