Jumat, 30 November 2012

KARIB



K A R I B

Aku urung melangkah. Kakiku mendadak berat saat berdiri di depan pagar besi yang menjulang. Rumah itu terlalu besar, jauh dari bayanganku sebelumnya. Bentuk bangunan semi kuno dipadu desain modern membuat rumah itu tampak anggun dan megah. Kalau aku diizinkan masuk melalui pagar kokoh ini, aku masih harus berjalan beberapa ratus meter lagi untuk sampai ke halaman utama rumah itu. Tapi -sekali lagi- aku ragu.  Apakah alamat rumah ini benar seperti yang tertulis dalam kertas kecil yang sedari tadi kupegang. Satu-satunya harapanku tertulis dalam secarik kecil yang sejak beberapa minggu terakhir kusimpan dengan baik.
            Seorang lelaki berkumis dan berseragam keamanan putih beremblem aneka instansi menatapku sambil menyentuh ujung topinya. Seolah ia sedang memberi hormat pada atasannya. Sikap aneh untuk ukuran satpam penjaga rumah mewah. Seharusnya ia waspada dan curiga dengan kehadiranku. Laki-laki dengan kemeja kusut, celana model sepuluh tahun lalu dan topi belel, celingak-celinguk seperti maling sedang mencari celah aman untuk masuk ke rumah yang ia jaga. Tapi ia malah memberiku bonus senyum.
            “Selamat pagi, Pak. Silakan masuk,” sapanya  ramah sambil membuka pintu pagar melalui sebuah alat yang ia pencet dari meja pos kerjanya. “Bapak sudah ditunggu.”
            Aku pun melangkahkan kaki dengan ragu. Sudah ditunggu? Apa benar begitu? Seperti orang penting saja aku ini. Hatiku mendadak ciut membayangkan siapa pemilik rumah sangat besar nan megah ini. Sepanjang jalan kecil menuju pintu rumah megah itu, tak henti aku berdecak kagum. Keindahan arsitektur, perpaduan antara gaya eropa dan timur tengah, dikelilingi hutan kecil dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh melebihi tinggi rumah bertingkat tiga yang anggun itu.  Rumah unik di sebuah bukit di daerah Cisarua Bogor.
            “Ari Sanjaya…” pekik seorang lelaki yang menghambur keluar dari dalam rumah, membuyarkan kemelut di kepalaku. Kini ia berdiri di puncak anak tangga, persis di depan salah satu tiang penyangga rumahnya. Senyum dari raut yang sulit dilupakan itu mengembang menyambut kehadiranku. Seperti menyambut calon besan saat upacara lamaran. Begitu sumringah dan bahagia.
            Mataku seketika membelalak. Benar ternyata, aku tidak salah alamat. Dan lagi-lagi benar, aku nyaris linglung saking tidak percaya saat mengetahui dengan pasti siapa pemilik rumah gedong dengan taman luas yang sangat indah ini. “Joko?” mulutku menganga, menampakkan kedunguan yang sudah sangat dikenal Joko sejak belasan tahun silam.
            Tawa kami berderai. Kami berpelukan sambil meloncat-loncat seperti anak kecil yang berhasil memenangkan permainan galah. Permainan masa kecil kami yang tidak pernah kami lewatkan setiap sore menjelang maghrib tiba. Joko menepuk-nepuk punggungku penuh semangat. Aku nyaris batuk dibuatnya. Tapi aku bahagia bisa bertemu Joko lagi setelah lebih dari enam belas tahun  tahun lamanya lost contact.
            “Kamu kok jadi kurus, Ri?” Joko menilik-nilik penampilanku dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Ya ampun, kamu diet atau kehabisan bahan makanan sih?” candanya membuat dadaku tiba-tiba sesak. Hatiku perih mendengar candaan lama yang selalu aku lontarkan pada Joko ketika masih kurus dan miskin. Joko menarik pundakku dan membawaku ke sebuah ruangan bernuansa abu-abu dengan dinding penuh mozaik berwarna warni yang setiap beberapa menit sekali tampak memancarkan cahaya.
            “Kita makan dulu,” Joko menarik kursi dan mempersilakan aku duduk. Dua orang pelayan dengan pakaian khusus koki bercelemek menyuguhkan berbagai makanan. Mereka bolak-balik membawa jenis masakan berbeda dan menatanya di atas meja makan yang besar. Mereka juga menyajikan minuman dingin di gelas Kristal yang ada di depanku. Tersenyum ramah lalu kembali menghilang. Aku berasa dilayani di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta.
            “Ayo dimakan, Ri, jangan sungkan,” ucap Joko ketika dilihatnya aku belum juga menggerakkan tanganku untuk meraih makanan-makanan lezat yang tersaji di atas meja. Karena aku masih diam, Joko lalu berdiri dan mengisi piringku dengan sesendok nasi dan menunjuk-nunjuk lauk pauk supaya aku memutuskan lauk mana yang harus ia ambil. Aku memilih ayam goreng berwarna coklat muda dengan bumbu khas Priangan, kesukaanku. Joko memilih bagian dada, yang -ia tahu persis itu- juga kesukaanku.
            “Sekarang sibuk apa, Ri?” kembali Joko bertanya. Dan lagi-lagi aku tidak memiliki sebuah jawaban basa-basi untuk memenuhi pertanyaan itu. Aku masih diam. Diam tanpa benak apapun. Tanpa tendensi apapun. Aku hanya tidak tahu harus berkata apa. Menjawab apa. Kehidupan begitu mudah berubah. Orang yang dulu miskin kini bisa kaya raya seperti Joko. Dan orang yang dulu kaya raya, bisa bangkrut seperti yang dialami keluargaku. Orang yang dulunya jongos sekarang bisa menjadi bos. Begitupun sebaliknya, dulu aku bos, sekarang malah mengemis pekerjaan pada orang yang dulu menjadi pembantu rumah tangga di keluargaku.
            “Nambah, Ri!”
            Joko tidak berubah. Masih ramah, bersahabat. Ia sama sekali tidak pernah merasa bahwa dirinya anak kacung, dan aku anak bos. Kami yang bersahabat sejak kecil tidak mengenal status sosial seperti itu. Kami bersahabat layaknya dua anak laki-laki berteman dan bersahabat. Tidak ada anak kacung. Tidak ada anak bos. Tapi sikap Joko yang selalu melayaniku itu lebih karena ia memang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Aku yakin Joko tidak pernah menempatkan dirinya sebagai orang kelas bawah yang harus selalu hormat dan manut pada mereka yang kaya, terlebih yang mempekerjakan mereka dan mengayomi hidupnya.
            “Dulu, sejak Bapak dan Ibu berhenti kerja di rumah Pak Pram, di rumahmu, kehidupan kami sangat.. jauh dari sejahtera. Masih lebih bagus tinggal di rumah kecil di belakang gudang rumahmu, Ri. Kami sempat hidup terlunta-lunta, bahkan beberapa bulan kami masuk panti karena kena razia gepeng.” Meskipun aku jelas menunggu momen saat Joko mau bercerita tanpa pernah kuminta, tapi hati ini mendadak berontak. Kupingku sama sekali tidak ingin mendengar. Kesedihan perlahan merambat menuju jantungku, setelah menelusuri paru-paru dan membuatnya sesak. Mengalahkan rasa bangga yang sejak tadi menyelimuti diri ini. Tapi takjub yang terbentuk justru semakin tebal.
            “Tapi, kamu bisa lihat sekarang. Ah.. nanti saja aku cerita, kalau kamu sudah mau makan, hehe. Itu pun kalau kamu mau dengar ceritaku, dan kamu juga mau bercerita tentang kehidupanmu yang tiba-tiba lenyap ditelan bumi.” Joko menusukkan garfunya ke dalam mangkuk salad yang beberapa saat lalu diantarkan perempuan muda bercelemek putih tadi. Mengunyah buah-buahan segar itu perlahan, tetapi  matanya tetap mengarah padaku. Seolah menunggu jawaban, atau kesanggupanku memenuhi permintaannya: makan, mendengarkan success story-nya, dan bercerita mengenai hidupku sejak kami tidak pernah bertemu lagi itu.
            Alih-alih mulai makan, aku malah melemparkan pandanganku pada sebuah lukisan yang tergantung di dinding abu-abu itu. Aku kenal betul gambar itu. Dulu aku dan Joko pernah berfoto di sekitar tempat pembuangan akhir. Saat itu aku mendapat tugas dari guru bahasaku untuk membuat sebuah tulisan tentang kehidupan anak-anak di Bantar Gebang. Joko yang mengusulkannya padaku untuk terjun langsung ke TPA. Meskipun aku sangat jijik, tapi Joko mendesak, dan akhirnya aku pergi juga ke sana. Melalui sebuah kamera analog aku menyuruh seorang pemulung memoto kami dengan background bukit sampah menjulang. Itu foto terakhir sebelum aku dan Joko berpisah. Rupanya Joko masih menyimpan foto itu dan bahkan membuatkannya sebuah lukisan besar yang ditempel di dinding rumahnya. Rumah megahnya.
            “Kamu masih ingat?” keheningan di kepalaku pecah mendengar tanya Joko.
            “Tentu saja,” akhirnya keluar juga suara dari mulutku.
            Joko tiba-tiba terkekeh. “Kirain kamu jadi gagu, Ri.” Celetuknya asal.
            Begitulah Joko. Ia tidak pernah membuat batas apakah ia pantas bicara seperti itu padaku atau tidak. Bapakku pasti akan marah besar jika melihat atau mendengar Joko berbuat kurang sopan padaku. Ia kan anak pembantu, sangat tidak sopan mengajak anak majikan becanda, begitu kata Bapak. Apalagi bernada meledek, yang padahal aku tahu pasti itu bukan sebuah ledekan, melainkan lelucon belaka. Aku tahu, Bapak punya pendapat lain tentang kehidupan orang-orang yang kurang beruntung yang karenanya mereka bersedia menjadi pembantu atau bahkan merendahkan diri di hadapan orang berduit. Apalagi banyak yang karena desakan ekonomi, mereka melakukan tindakan pencurian dan perampokan seperti yang pernah Bapak alami.
            Suatu waktu mobil yang membawa Bapak menuju kantornya di bilangan Semanggi dihadang beberapa motor. Penumpang motor itu lalu memaksa sopir kami membuka jendela, dan meskipun ia sudah menurutinya tetap saja bogem mentah mendarat di pipi Pak Karim, bapak Joko. Bapakku juga ditarik paksa keluar dari mobil. Jam tangan Bapak dipreteli. Tas kerja Bapak dirampas. Di dalam tas itu terdapat uang puluhan juta yang baru Bapak tarik dari bank. Entah dari mana perampok itu tahu kalau tas itu berisi uang banyak. Uang itu sedianya akan dijadikan sebagai uang muka pembebasan tanah di daerah pinggiran Jakarta yang akan Bapak jadikan sebuah supermarket besar. Bapak memiliki banyak bisnis di bidang retail. Supermarket, restauran, club malam, juga taman rekreasi di luar kota. Semua Bapak kelola dengan usaha keras lebih dari sepuluh tahun lamanya.           
            Beberapa minggu kemudian Bapak  melihat orang-orang yang merampok Bapak tempo hari sedang bermain kartu di sebuah kios rokok pinggir jalan. Bapak pun  melaporkannya pada polisi. Akhirnya mereka masuk bui. Bapak masih menyimpan dendam pada mereka yang telah merenggut jerih payah Bapak. Merenggut waktu dan mencuri keringat kerja kerasnya.  Kejadian ini membuat persepsi Bapak terhadap kemiskinan semakin negatif. Menurut Bapak, kemiskinan itu tercipta bukan karena sebuah kondisi ekonomi secara makro. Faktor internal individu seperti motivasi dan keinginan untuk maju merupakan modal yang telah disepelekan oleh orang-orang yang kemudian jatuh miskin. Miskin itu bukan nasib, tetapi lebih merupakan sebuah pilihan. Mereka tidak mau bekerja keras, dan karenanya mereka miskin. Mereka telah memilih kemiskinan itu.
            Gap yang tercipta antara si kaya dan si miskin, menurut Bapak tetap harus dipelihara. Orang miskin tetap harus sopan kepada orang yang secara materi lebih daripada mereka, supaya mereka tahu kalau hidup ini punya harga. Bahwa mereka harus membayar pilihan hidup mereka itu dengan cara-cara yang diterapkan oleh orang kaya, adalah wajar. Bapak tidak akan dengan mudah memberi uang sebelum seseorang bekerja padanya terlebih dahulu. Karenanya kerapkali Bapak dicap sebagai orang kaya yang pelit. Ungenerous.
            Aku sebenarnya tidak terlalu sependapat dengan Bapak. Bagiku, sebagai manusia derajat hidup kita sama di mata Tuhan. Kaya ataupun miskin hanyalah bentuk kasih sayang Tuhan yang harus disyukuri. Dengan melimpah harta Tuhan berharap manusia bisa berbagi kepada sesama. Dan dengan kondisi yang serba kekurangan Tuhan memberi pahala melalui kesabaran dan ketabahan hatinya. Miskin bukan berarti tidak bisa berbuat baik. Banyak hal yang bisa dilakukan orang miskin untuk menimba pahala Tuhan. Orang miskin pun masih bisa berbagi dengan caranya sendiri, asalkan ikhlas dan hanya mengharap ridlo-Nya. Tuhan hanya akan mengajak orang baik saja ke surganya yang indah. Dan menendang mereka yang tidak sayang pada Tuhan dan menyia-nyiakan karunianya ke neraka yang membara.
            Aku takut Bapak mendapat murka-Nya. Kesombongan Bapak melebihi apapun. Ia tidak mau bergaul dengan sembarang orang, terutama dari kalangan bawah. Aku tahu, kekayaan yang Bapak dapatkan bukanlah dengan cara mudah. Perlu belasan mungkun puluhan tahun untuk bisa menjadi seperti ini. Tapi hati kecilku juga berontak saat Bapak memperlakukan Pak Karim, Joko dan ibunya dengan seenaknya. Mereka sudah mengabdikan diri lebih dari dua puluh tahun lamanya, bahkan sebelum Bapak menikah dengan Ibu, Pak Karim sudah menjadi supir Kakek. Pak Karim mendapat jodohnya setelah nenekku mempertemukannya dengan pembantu rumah tangga salah seorang kerabatnya. Pernikahan Pak Karim hanya selisih beberapa minggu sebelum pernikahan Bapak dan Ibu. Lalu Nenek  meminta Pak Karim dan istrinya mengurus keluarga kecil Bapak dan pindah dari rumah Nenek di utara ke bagian selatan Jakarta.
            Bersama Ibu, Bapak merintis banyak usaha. Selain melanjutkan beberapa bisnis yang sebelumnya digeluti Kakek, Bapak juga membuka usaha baru. Ilmu yang ia dapat dari hasil sekolah di luar negeri ia terapkan di Indonesia. Dan Bapak menjadi orang yang berhasil hanya dalam kurun waktu beberapa tahun saja. Tetapi tabiat Bapak, seperti yang pernah aku dengar dari Kakek, memang sudah begitu sejak kecil. Terbiasa hidup enak, membuatnya tidak bisa berempati terhadap kerasnya kehidupan orang lain yang kurang beruntung. Ia kerapkali berbuat kasar pada para pembantu rumah tangganya.   Tak terkecuali pada Pak Karim dan Joko.
            “Kita ke balkon, Ri. Ada sesuatu yang mau aku tunjukkan padamu.”
            Aku mengikuti langkah Joko menuju sebuah balkon. Aku jadi ingat bagaimana kami menghabiskan waktu sepulang sekolah di atas balkon. Bermain layangan, mengerjakan PR, bahkan tidur siang di bawah terik matahari di sebuah rumah kardus yang kami buat sendiri.
            “Lihat, pemandangannya bagus kan?”
            Aku melepas retina mataku jauh ke depan sana. Sejauh mata ini memandang pohon teh terhampar seperti permadani hijau yang lembut. Hawa sejuk membelai mukaku yang tirus termakan kesedihan. Aku menghirup udara kebebasan di sini. Begitu damai.
            “Aku tahu apa yang sudah menimpa keluargamu. Aku turut prihatin dan berduka cita. Pak Pram sebenarnya orang baik. Tapi kenapa hidupnya bisa berakhir seperti itu,” desah Joko. Aku melihat kilat kesungguhan di matanya. Kesedihan yang menggenang, dan rasa kehilangan yang sama seperti yang aku rasakan.
            Kematian Bapak, pengusaha kaya yang mendadak bangkrut setelah terkena krisis moneter tahun 1998 lalu, ditambah kecurangan yang dilakukan beberapa koleganya, banyak diliput media. Bapak meninggal akibat stress berat. Bunuh diri menjadi pilihan terakhirnya. Hutang-hutang yang menggunung selama ia menjalankan bisnisnya menjadi satu-satunya warisan yang Ibu dan aku dapatkan.
            “Cukup, Joko. Itu semua masa lalu. Bapak sudah membayar keangkuhannya dengan caranya sendiri. “
            “Joko memeluk pundakku dengan tangan kirinya. Mencoba mengembalikan keteguhan hatiku yang telah hancur berkeping-keping. Aku yakin Joko mengetahui lebih banyak hal dari yang bisa aku duga tentang kehidupan kami setelah ia dan Bapaknya terpaksa diberhentikan bekerja.
            Joko lahir pada tahun yang sama dengan kelahiranku. Bahkan kami lahir dalam minggu yang sama, selang beberapa hari saja. Joko lahir hari Senin, dan aku hari Kamis. Joko lahir oleh bidan di sebuah klinik bersalin dengan biaya ditanggung oleh Nenek, sedangkan aku lahir di sebuah rumah sakit ternama. Kami tumbuh dalam satu atap dan tempat bermain yang sama. Bedanya hanya di tempat makan dan tempat tidur saja. Tapi masa kecil kami lewati bersama karena selain mengasuh Joko, Bu Karim  juga mengasuhku. Ibu terlalu sibuk mengurus bisnis Bapak di tempat lain.
            Karena tumbuh bersama, aku merasa bahwa Joko adalah satu-satunya orang yang paling mengerti aku. Saat aku marah Joko tahu dia harus berbuat apa. Saat aku sedih Joko selalu menunjukkan perannya sebagai seorang sahabat. Meskipun kadang Joko –mungkin untuk menuruti perintah orangtuanya- agak sungkan padaku, bahkan tampak seperti melakukan pelayanan akan apapun kebutuhanku, tapi aku sudah menganggapnya sebagai sahabat dan bukan anak pembantu seperti yang Bapak minta. Bahkan sampai kami sama-sama masuk sekolah dasar persahabatan itu masih berlanjut. Hingga akhirnya perpisahan itu terjadi. Aku tidak tahu kemana perginya Joko setelah itu. Bapak tidak pernah memberitahuku bahkan ia melarangku berhubungan lagi dengan anak pembantunya itu. Entahlah apa alasannya.
            Dan hidupku benar-benar hancur setelah Bapak bunuh diri akibat beban pikiran yang menderanya bertubi-tubi. Krisis moneter yang melanda negeri ini sejak beberapa tahun sebelum itu telah membuatnya benar-benar goyah. Aku dan Ibu kemudian menjadi korban karena semua harta peninggalan Bapak yang sudah tinggal sedikit itu disita oleh petugas bank dan beberapa investor. Tak tahan selalu disalahkah oleh Nenek dan Kakek sebagai penyebab kematian Bapak, Ibu dan aku pergi menjauh. Aku terpaksa pindah sekolah dari sebuah SMU favorit ke sekolah biasa yang biayanya terjangkau. Bahkan di tahun kedua Ibu menyerah. Aku tidak bisa memaksakan diri untuk terus berjuang. Mentalku sudah jatuh sejak lama. Bahkan mental itu rasanya tak pernah ada karena  Bapak tidak pernah menularkan mental wirausaha dan kerja kerasnya padaku. Yang diberikannya adalah segala kemudahan, seolah itu akan kekal adanya. Jadilah aku penambah beban pemerintah dengan status baru : pengangguran. Kalaupun mendapatkan pekerjaan paling banter aku jadi kenek bus atau tukang parkir. Aku bekerja serabutan. Apapun demi memenuhi kebutuhan perutku dan Ibu. Tanpa bekal ijazah SMU -apalagi perguruan tinggi-, aku terlunta-lunta di tanah kelahiranku sendiri. Tidak ada yang bisa membantu. Semua orang sepertinya menganggap layak bagi kami untuk merasakan penderitaan ini.
            Berbeda denganku, Joko malah memiliki semangat baru sejak keluar dari kehidupan kami. Meskipun ia bersekolah di sekolah biasa, tetapi kecerdasannya mengantarkan ia ke sekolah lanjutan dengan beasiswa. Bahkan selepas SMU ia masih bisa kuliah sambil bekerja. Setelah lulus ia mengelola bisnis sampah dan barang bekas, mendaur ulangnya menjadi barang baru yang lebih berguna. Bahkan beberapa hasil produksinya sudah diekspor ke manca negara. Aku membaca keberhasilan Joko ini di sebuah majalah bisnis yang aku temukan di tempat sampah saat aku memungut dus-dus bekas untuk dijual. Di usianya yang masih muda Joko Purwono menjadi salah seorang pengusaha sukses di Indonesia. Aku tersenyum saat melihat foto Joko dan judul besar tentang kesuksesannya terpampang di majalah edisi beberapa tahun silam itu. Joko sahabat karibku, kalau Tuhan mengizinkan pasti kita akan dipertemukan kembali. Dan rupanya Tuhan masih sayang padaku. Hari ini kami bertemu dan aku seperti mendapatkan energi baru untuk menghadapi hari esok. Energi dari seorang kawan setiaku. Karib sejatiku.
-o0o-

Minggu, 25 November 2012

Cerpen 'Sahabat Awan' buat Nian


Judul: A Moment To Feel
Penulis: Novela Nian and Beloved Friends

ISBN:
Tebal: 227 hlm ;14,8x21

Harga: 38.000

Sinopsis: 978-602-18832-8-0

Ibarat butirbutir gula pasir yang bermukim dalam secangkir teh hangat. Dia perlahanlahan melebur. Menyerahkan seluruh nyawanya untuk berbagi kemanisan. Begitu juga seharusnya kita, Kawan. Memaknai tanggal kelahiran yang bertandang dalam siklus kalender kehidupan kita. Membagi syukur atas nikmat usia yang masih percaya melekat erat dalam jiwa kita. Dengan membagi senyum kepada setiap ronggarongga yang diselimuti derai duka.

-Sandza-

Buku ini sudah bisa dipesan melalui sms ke 0856 4545 9192 dengan format esan judul buku-nama lengkap-alamat lengkap-jumlah buku-no hp

Selasa, 13 November 2012

AJARKAN AKU MENIKMATI CINTAMU



AJARKAN AKU MENIKMATI CINTAMU


Ini adalah hari pernikahanku dengan Bayu. Hubungan kami sebenarnya masih bisa dibilang baru seumur jagung. Selama pacaran itu aku berusaha lebih mengenal Mas Bayu, sekarang aku memanggilnya begitu. Apa yang dia sukai dan apa yang tidak dia sukai seolah merupakan pedoman untuk aku mengabdikan diri jika nanti sudah membina bahtera rumah tangga dengannya.
            Keputusanku menerima Mas Bayu menjadi pacarku waktu itu memang agak tergesa-gesa. Mungkin karena aku sudah terlalu lama menjomblo. Umurku sudah mau seperempat abad. Walaupun masih banyak wanita seusiaku yang belum menikah karena lebih mementingkan karier atau mengejar hal-hal lain yang tidak bisa dinikmati kalau sudah menikah, orangtuaku memiliki persepsi lain tentang makna sebuah pernikahan.
            “Dulu Ibu juga menikah dengan bapakmu waktu umur Ibu baru mau dua puluh tahun. Ibu sudah merasa ketuaan karena teman-teman ibu semuanya sudah punya anak,” kata Ibu waktu menceritakan putusnya hubunganku dengan Darwin, teman sekantorku, cowok terakhir sebelum Mas Bayu. Ibu nampak kecewa.
            “Kamu masih mau menunggu sampai berapa tahun lagi, Sekar. Adikmu Lastri kelihatannya sudah mulai berpikir ke arah situ. Koq Kamu malah tenang-tenang saja,” sindir Ibu.
            Aku hanya diam saja, tak tahu harus berkata apa. Baru putus, masa harus buru-buru cari cowok baru hanya karena Lastri adikku satu-satunya itu sudah kepikiran mau menikah. Itu pun baru dugaan Ibu, atau sekedar menakut-nakuti saja, supaya aku tidak dilangkah Lastri dan menjadi sial karenanya.
            Tapi kemudian aku malah jadi getol mencari pengganti Darwin. Bukan lantaran termakan bujuk rayu atau sindiran ibu, tapi entah kenapa aku jadi merasa sudah bosen hidup sendiri. Perasaan, semua keindahan masa remaja sudah aku nikmati. Nonton setiap malam minggu bareng teman atau pacar, jalan-jalan ke mall, makan di tempat nongkrongnya anak-anak gaul, baju-baju baru, tas, sepatu yang selalu branded. Apalagi? Alih-alih hidup senang, yang ada bisa-bisa aku terbawa arus pergaulan teman-teman, clubbing, drug, free sex.. Iihh amit-amit deh.
            Adalah Mas Bayu yang tiba-tiba hadir, atau lebih tepatnya dihadirkan Tuhan di tengah-tengah pencarian pasangan hidupku. Ia adalah Ketua sebuah organisasi sosial yang konsisten membantu  rakyat kecil, terutama yang tertimpa bencana. Pertemuanku dengan Mas Bayu terjadi secara tidak disengaja di sebuah seminar. Waktu itu aku iseng-iseng mengikuti seminar tentang bahaya Aids, pada perayaan Hari Aids sedunia. Undangannya pun aku dapatkan secara cuma-cuma dari seorang teman lama yang kebetulan menjadi panitia.
            Mas Bayu duduk di sebelahku. Ia tampil sederhana tapi kelihatan sangat tampan menurutku. Memang kebanyakan yang hadir adalah orang-orang dengan penampilan seperti layaknya executive. Mas Bayu tersenyum dan memperkenalkan dirinya dengan ramah. Aku langsung kepincut melihat lesung pipinya. Segaris tipis bulu rambut di atas bibirnya dan dagu licinnya yang baru dicukur menambah satu point macho buat Mas Bayu.
            Entah karena takdir atau aku yang sedang dikejar marriage dead line aku langsung merasa akrab dengan Mas Bayu. Bukannya kegatelan atau sok cari perhatian, aku bisa langsung tertawa mendengar beberapa joke ringan yang dilontarkan Mas Bayu. Dibalik penampilannya yang kelihatan serius, Mas Bayu tuh lucu juga orangnya. Ia memiliki selera humor yang bagus. Banyolannya orsinil dan nggak norak.
            “Saya sudah sering banget denger orang bicara di seminar seperti ini. Tapi yang satu ini yang paling bosenin,” katanya serius. Kelopak matanya menuntun saya melihat ke arah pembicara, seorang cowok dengan rambut gondrong diikat yang sedang menjelaskan bahwa penggunaan jarum suntik secara bergiliran oleh para pemakai narkoba adalah salah satu penyebab tersebarnya visur HIV yang paling sering ditemui..
            “Kenapa emang, Bay?” tanyaku. Menurutku sih cara presentasi cowok itu masih lebih bagus dari aku.
            “Naskah itu sudah puluhan kali ia baca. Dan yang menyusun naskah itu adalah aku, jadi pantes dong kalo aku bosen,” nada bicaranya seperti tidak sedang menyombongkan diri. Kharisma itu yang menyihir aku untuk terus berbagi cerita dan pengalaman mengenai apa saja. Wawasannya luas. Orangnya enak banget diajak diskusi. Sempurna buat dijadikan teman konselling.
            Tapi aku tidak mau hanya menjadikannya sebagai teman ngobrol saja. Aku pun menangkap sinyal serupa dari Mas Bayu. Pertemanan kami menjadi lebih dekat. Kami lebih sering meluangkan waktu bersama, sampai akhirnya dua bulan berikutnya kami jadian. Siapa yang memulai, aku pun lupa. Yang jelas perasaan saling mencintai sudah terpancar dari bola mata kami masing-masing. Dan setiap genggaman tangan kami itu adalah ungkapan perasaan cinta yang menggelora..
            Aku pun memperkenalkan Mas Bayu kepada kedua orangtuaku. Mereka semua setuju. Mas Bayu rupanya sang negosiator yang hebat.
            Sejak pacaran dengan Mas Bayu, frekuensi aku jalan bareng sama teman-teman kantor pun berkurang. Jelas, waktuku hanya kufokuskan pada satu hal : Menikah. Dan itu sudah aku putuskan dengan Mas Bayu sejak pertama jadian. Aku berusaha lebih mengenal dan mengimbangi sifat dan karakter Mas Bayu. Aku bahkan seringkali terlibat dalam kegiatan sosial Mas Bayu.
            Motivasi kami untuk segera menikah adalah sama, yaitu karena sudah bosen melajang. Plus sudah saling cocok, tentunya. Tapi walaupun begitu,Mas Bayu kelihatannya tidak seantusias aku dalam menghadapi pernikahan ini. Ia terlihat lebih santai, bahkan cenderung cuek. Sikapnya menunjukkan seolah aku hanya sesuatu dan menikah adalah sebuah formalitas sosialnya.
            Akupun suatu waktu menanyakan hal itu pada Mas Bayu.
            “Mas koq kayaknya nggak serius sih sama aku?”
            “Nggak serius bagaimana?” Mas Bayu balik bertanya.
            “Kita kan akan segera menikah, tapi saya tidak melihat Mas sibuk mempersiapkan itu” jawabku.
            “Jadi maunya kamu bagaimana. Kamu kan tahu sendiri aku hanya bekerja di LSM. Penghasilanku berapa sih? Jadi apa yang bisa aku persiapkan. Kita ke KUA saja sudah cukup, nggak perlu pake resepsi segala, nanti keluarga Kamu malu undangan di pihakku hanya pencari dana semua,” Mas Bayu tiba-tiba ketus. Itu kali pertama aku melihat Mas Bayu tersinggung dengan perkataanku.
            “Bukan begitu maksudku, Mas. Tapi dari pihak laki-laki kan biasanya sudah punya persiapan tertentu. Atau Mas  Bayu sengaja merahasiakannya supaya aku surprise ya….?” candaku berusaha mencairkan suasana.
            “Sekar, aku hanya punya cinta. Tak ada harta yang bisa aku persembahkan. Tapi kalau Kamu ragu, kita bisa lupain rencana pernikahan kita.” Mas Bayu melepaskan genggaman tanganku dari lengannya. Sepertinya ia benar-benar marah atas ucapanku. Padahal mengenai rencana pernikahan ini dan menjalani hidup berumah tangga nanti sudah sering kami bahas. Kadang kami tertawa bersama saat berangan-angan kalau kami memiliki beberapa orang anak yang pintar dan lucu-lucu. Usaha kecil-kecilan akan kami rintis bersama mengingat pendapatan Mas Bayu sebagai pengurus LSM kemungkinan belum cukup untuk hidup kami berdua. Sedangkan aku bisa jadi berhenti bekerja karena harus mengurus rumah tangga.
            Tak terasa air mata meleleh waktu itu. Keraguan hampir saja muncul di benakku, tetapi aku sudah kadung janji sama ibu dan bapak untuk menikah tahun ini. Ibu bahkan sudah menyusun daftar undangan. Bapak ikut-ikutan sibuk nyarter penata rias kerabat bapak, sekalian hiburan organ tunggal terkenal di daerahku. Adikku membantu mendesain undangan dan beberapa diantaranya yang aku pilih aku tunjukkan pada Mas Bayu untuk diseleksi. Anak Omku memaksa kami menerima tawaran gratisnya untuk membuat fhoto pre wedding. Dan di kantorku, semua teman sudah tahu kalau aku akan segera menikah. Jadi aku tidak akan sanggup membayangkan bagaimana jadinya seandainya aku mengikuti egoku sendiri untuk membatalkan rencana besar ini.
            Mas Bayu pun sebenarnya sengaja ingin membuat sendiri souvenir pernikahan kami, yaitu berupa kendi kecil yang ia buat dari tanah liat yang ia ambil dari gunung waktu ia dan teman-temannya berkunjung ke pegunungan di daerah Cianjur. Ia sudah membuat lebih dari seratus buah. Di kendi kecil itu ia ukirkan nama Bayu Perdana Kusumah & Sekar Ayu Prasetyaningrum dan tulisan Today & Forever karena kami belum tahu persis kapan tanggal pernikahan kami. Lagi pula kata-kata itu menyiratkan sebuah janji sehidup semati. Sekarang dan selamanya.
            “Maafkan aku ya, Mas. Aku mencintai mas apa adanya koq,” kembali lengan Mas Bayu aku gandeng. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia.
            Dalam hitungan menit, ikrar itu akan segera diucapkan oleh Mas Bayu, di depan penghulu, para saksi, keluarga dan undangan yang hadir. Dunia menjadi saksi sahnya ikatan cinta kami di mata Tuhan dan Negara. Aku menatap Mas Bayu yang tampak sangat tampan dengan balutan jas pengantinnya. Ia pun mebalas tatapan ini dengan rona bahagia terpancar dari wajahnya.
-o0o-

            Rupanya janji Tuhan dalam Al-Quran memang benar, siapa yang menikah maka akan bertambah rezekinya. Setelah pernikahan kami berjalan lebih dari bulan, Mas Bayu akhirnya mendapat pekerjaan. Walaupun hanya menjadi seorang agen asuransi, tetapi penghasilan Mas Bayu jauh lebih besar dibanding ketika ia masih mengurus organisasi sosial itu. Namun demikian Mas Bayu juga masih suka ikut dalam kegiatan LSM dan ia sendiri masih menjabat ketua di sana.
            Hal ini menyebabkan kegiatan Mas Bayu semakin padat sehingga waktu untuk kami bersama semakin jarang. Mas Bayu berangkat kerja pagi sekali, dan pulang sudah larut. Kebanyakan waktu pagi ia gunakan untuk prospek dan mencari nasabah atau menyelesaikan pekerjaan asuransinya, sore sampai malam seringkali Mas Bayu ngantor di LSMnya. Karena sering kelelahan Mas Bayu menjadi sensitive, mudah tersinggung dan marah. Kalau aku ingatkan supaya jangan terlalu capai, Mas Bayu malah membentakku dan mengataiku sebagai istri tidak tahu diuntung karena suami mencari nafkah malah dihalangi.
            Berulang kali aku mengelus dada karena Mas Bayu bukan saja mudah marah, tetapi sering melarangku melakukan kegiatan-kegiatan yang biasanya aku lakukan. Ia menjadi lebih protektif, malah kadang diktator. Aku semakin frustasi dan mulai tidak percaya kalau Mas Bayu benar-benar sayang sama aku.
            Suatu waktu aku jatuh sakit, tetapi aku berusaha tidak menunjukkannya sama Mas Bayu karena kebetulan waktu itu Mas Bayu akan ikut training dari perusahaan asuransinya di luar kota. Aku tidak ingin menghambat karier Mas Bayu ataupun membuatnya kepikiran dengan aku sehingga tidak konsentrasi mengikuti kegiatan trainingnya. Aku pun melepas kepergian Mas Bayu - untuk training selama 2 minggu - dengan perasaan berat.
            Hari pertama jauh dengan Mas Bayu membuat sakitku semakin parah. Panas dingin badanku ditambah pusing dan mual. Apalagi Mas Bayu tidak juga memberikan kabar mengenai keadaannya di sana, apalagi  menanyakan kabarku di sini. Hari kedua pun berlalu. Apakah Mas Bayu tidak kangen dengan aku? Ketika hari ketiga Mas Bayu telpon, aku menerimanya dengan perasaan sangat bahagia karena kerinduan yang membuncah ini siap meledak. Aku bahkan mungkin merasa akan mati sengsara jika sampai hari ketiga Mas Bayu tidak juga menghubungiku lewat handphone.
            “Iya, Mas. Aku baik-baik saja,” aku sangat senang bisa mendengar suara Mas Bayu. Itu sudah membuat sakitku berangsur pulih.
            “Kamu bohong, suaramu menunjukkan Kamu tidak sedang sehat,” rupanya Mas Bayu curiga mendengar suaraku.
            “Aku agak kurang sehat saja, Mas, tapi aku baik-baik saja,” kilahku.
            “Aku tahu Kamu sakit sejak sebelum aku pergi. Kenapa Kamu tidak bisa jujur kalau selama ini Kamu menahan kecewa telah menikah dengan aku, Sekar?” tiba-tiba Mas Bayu bicara lebih banyak dibanding jika ia sedang berada di rumah.
            “Apa maksud, Mas?” aku menggigil, merasa takut harus menjawab bagaimana.
            “Aku sangat mencintai Kamu, Sekar. Apa Kamu tidak menyadari hal itu? Hanya mungkin aku belum bisa menunjukkan itu.” Mas Bayu diam, aku bisa mendengar desah napasnya yang berat dan tertahan. Apakah ia sedang merasa bersalah atau justru kecewa dengan sikapku.
            “Kalau Mas benar mencintaiku, aku perlu bukti, Mas,” dengan sekuat tenaga aku berkata demikian karena aku memang benar-benar mengharapkan jawaban itu.
            Tiba-tiba hening. Hanya desah napasku saja yang tertahan, dan mungkin desah napas  berat Mas Bayu di seberang sana.
            “Apa ini belum cukup bukti, Sekarku?” Suara Mas Bayu kembali memecah keheningan itu. Dan bukan hanya itu, sosok Mas Bayu tiba-tiba muncul dan berdiri tepat di ambang pintu kamarku yang terbuka.
            Hatiku menjerit bahagia. Seketika aku bisa bangun dari tempat tidurku setelah dua hari ini hanya sanggup berbaring karena semua sendiku serasa ngilu dan sakit.
            Mas Bayu merangkul dan mencium keningku. Segera aku menciumi pipi dan bibirnya seolah itu adalah obat yang dianjurkan dokter untuk kesembuhan sakitku. Dan ajaibnya aku merasa jauh lebih baik. Dicintai sepenuh hati oleh seseorang akan memberimu kekuatan, sedangkan mencintai seseorang sepenuh hati akan memberimu keberanian, demikian kata Lao Tzu, seorang filsuf Yunani.
            Aku menyadari satu hal, bahwa aku belum bisa belajar bagaimana memahami dan menikmati cinta Mas Bayu. Aku yakin Mas Bayu akan mampu menuntunku untuk selalu mencintainya.
            Dan aku pasti akan selalu menikmati cinta Mas Bayu karena keesokan harinya, ketika Mas Bayu mengantarku memeriksa kesehatanku, dokter menyatakan bahwa emosiku yang tidak stabil belakangan ini ditambah dengan kesehatanku yg selalu tidak menentu, itu dikarenakan adanya perubahan hormon yang terjadi dalam diriku. Aku, positif hamil! Aku pun menangis terisak mendengar kabar yang sudah sekian lama aku tunggu itu. Bahagia, sangat bahagia rasanya aku bisa hidup bersama Mas Bayu yang sebentar lagi akan menjadi ayah. Dan aku akan segera menjadi seorang ibu. Perempuan mana yang tidak akan merasa sempurna bisa melahirkan keturunan dari rahimku sendiri.
Kami sekeluarga akhirnya bisa menikmati cinta kami yang selalu bersemi. Biarlah cinta ini seperti hujan berkabut yang turun perlahan, namun mampu membanjiri sungai hati kami jauh lebih lama.
            -oOOo-