Senin, 05 Januari 2015

Batu Akik Pengasihan

“Saya punya batu akik yang bisa menyala.”
Laki-laki tampan berkemeja rapi memanjangkan lehernya.
“Jadi kalau saya masukkan ke dalam air seperti ini, akan muncul cahaya.”
Si Tampan melinting lengan kemejanya. Lebih dekat ia menyelidik.
“Betul, kan?”
Cahaya kekuningan berpendar dari dalam baskom. Pedagang batu akik itu merekah senyum sebab calon pembelinya belum berkedip.
“Ini khasiatnya apa, Pak?” akhirnya laki-laki perlente itu buka suara. Matanya yang sejak tadi berloncatan dari satu batu akik ke batu akik lainnya, kini fokus pada satu batu yang bersinar seperti kunang-kunang di malam hari.
“Jangan bilang pada yang lain, ini kecubung pengasihan.” Gigi kehitaman berderet saat saat Pak Tua tersenyum. Rambut putihnya menjadi kontras.
“Berapa?” Si Tampan berbisik.
“Jangan bilang pada yang lain, ini hanya satu-satunya. Berapapun Aden berani bayar, itu akan sebanding dengan apa yang Aden dapat. Sesuai keinginan Aden sekarang ini.”
Tangan Si Tampan menggaruk-garuk kepala. Ia memang sedang membutuhkan sesuatu yang bisa membuat hidupnya berubah. Sesuatu, dan seseorang tepatnya. Bosan ia hidup susah. Setiap hari hanya kepelikan yang mendera. Maka saat seorang kawan menunjukkan batu akik di jarinya, dan berpanjang lebar memprovokasinya –dengan testimoni-testimoni yang kerap dilebih-lebihkan--, laki-laki itu mulai terpikat.
Belakangan memang sedang mewabah : jari jemari para lelaki dihiasi batu akik. Sudah sejak puluhan tahun sebetulnya. Ia pun tahu, ketika kecil bapaknya doyan menjejerkan macam-macam model dan warna batu akik di kelima, bahkan kesepuluh jarinya. Dari jempol, hingga kelingking.  Tapi tak pernah sekali pun dirinya jatuh hati melihat kilatan warna-warni batu-batu mungil itu. Ia juga tak peduli dengan berbagai kisah yang lahir seiring dengan kehadiran batu-batu itu.
Kini, saat dirinya beranjak dewasa dan mulai dijejali permasalahan hidup yang sangat berat, mencari solusi untuk meringankan beban itu, jadi wajib. Berharap kemujuran pada batu kecil itu, berlaku kah?
“Jangankan kita yang awam, ahli agama saja banyak yang pakai,” kata teman sepekerjaannya, saat ia meragu.
“Tak perlu percaya khasiat dan gunanya. Kau pakai saja sebagai hiasan. Ikut trend masa kini lah,” timpal yang lain.
“Bos kita pun pakai.”
Ia bergeming. Pernah ia mendengar kedua temannya itu saling tukar pengalaman berbau mistis yang lalu dihubung-hubungkan dengan kepemilikan batu akik yang mereka pakai. Katanya ikut trend, buntut-buntutnya tetap saja percaya begituan.
“Selama ini kan kau susah naik jabatan, coba saja kau cari pasangan kau, mungkin kau perlu penjaga, atau pemikat. Ya semacam begitulah.”
“Tidak semua batu akik cocok di tangan kita. Jodoh-jodohan, seperti juga kita dengan istri atau pacar-pacar kita.“
“Pasangan? Aku kan sudah beristri, Bang?”
“Pasangan yang dimaksud abang ini, cincin. Batu akik. Pergi kau ke Surya Kencana. Di sana banyak berjejer tukang batu akik. Kau telusuri sepanjang trotoarnya, sampai ketemu pasangan kau di sana!”
“Betul itu!”
Maka di sini, laki-laki itu sekarang berada. Diantara kerumunan pembeli yang menjejali para pedagang batu akik. Riuhnya obrolan pedagang dan pembeli berbaur dengan suara motor dan mobil yang melaju di jalan raya. Seperti lebah pekerja mengerubuti sang ratu.
“Jadi pastinya berapa, Pak?” si Tampan menyelidik.
“Sejuta itu kemurahan.” Pak Tua bertingkah seumpama pelelang barang antik yang mahal.
Sejuta? Itu hampir setengah gajiku, pekik si Tampan dalam hati. Tapi seperti kata Pak Tua pedagang batu akik, dan kawan-kawan di kantornya, perlu pengorbanan untuk mencapai apa yang kita mau. Perlu umpan khusus untuk menangkap kakap besar.
Sepuluh lembar uang merah ia tukar dengan benda sebesar buku jarinya. Kuning keemasan, dibingkai cincin perak yang pas dengan jari manisnya. Seringai hitam, melepas kepergian si Tampan yang menaruh banyak harap pada benda ajaib itu.
*
Saat jingga merebak di ufuk barat, Si Tampan baru tiba di rumah. Istrinya yang sedang tergolek sakit hanya dilirik sekilas. Ada ipar, adik perempuan istrinya yang seharian mengurus perempuan itu. Begitu, sejak lima-enam bulan terakhir ini.
            “Pulang, Bang?” sapa istrinya lemah.
            “Iya, makanya ada di rumah juga aku sudah pulang.”
            “Makan, Bang?”
            “Tidak lapar.” Lalu mengambil salin, dan menggantinya di kamar sebelah. Tanpa banyak cakap, ia rebahkan diri di ranjang, mengacungkan jari-jemarinya yang dililit cincin-cincin berbatu akik. Mengangkatnya ke udara hingga dari balik cahaya lampu, berpendaran cahaya menembus batu-batu itu. Senyumnya merekah.  Samar terdengar istrinya batuk-batuk.
            Pikiran Si Tampan mengembara. Ia tidak menyesal menikahi istrinya yang beberapa bulan kemudian  ketahuan punya penyakit kanker paru-paru dan bulan-bulan berikutnya semakin parah. Menuruti perjodohan orang tua, baginya adalah bakti. Tapi ia menyesal tak bisa memiliki perempuan lain yang selama ini ia cintai. Tidak mudah melupakannya, meski sekarang tiga tahun telah lewat dan ia tak tahu di mana pujaan hatinya itu berada.
            Untuk ukuran lelaki setampan dia, mendapatkan perempuan cantik, kaya, seharusnya bukan perkara susah. Tapi kenyataannya, ia tak pernah dilirik wanita lain. Apakah mungkin karena dia tak berduit? Ah, banyak teman sekantornya yang masih muda, tampang lumayan, duit tak seberapa tapi selalu berganti  pasangan. Meskipun Si Tampan belum berniat mendua, tapi batinnya selalu bertanya, apa yang salah dengan dirinya?
            “Kamu itu kurang pengasihan. Ketampananmu tertutup debu negatif.”
            “Makanya jangan lepaskan akik kuning itu.” Lagi-lagi kedua karibnya itu memanasi.
            “Aku belum lepas.”
“Bagus! Besok kau tambah satu jari lagi.”
“Uangku sudah habis, Bang.”
“Gadai saja motor kau. Kemarin aku lihat sekretaris bos, si rambut londo itu,  melirik-lirik ke arah kau. Sudah terbuka rupanya aura ketampanan kau ini. Apalagi kalau kau penuhi jari kau yang sebelas itu dengan akik-akik. bisa naik pangkat kau!”
“Serius, Bang?”
“Dua jari. Eh dua rius-lah!”
Si Tampan tak menunda-nunda waktu. Siang tadi ia menyimpan BPKB motornya di bank. Dan sepulang kerja langsung membeli sepasang cincin berbatu akik dari lelaki tua kemarin. Cahaya berkilauan di dalam batu itu seolah pertanda bertemu jodohnya. Sisa uang hasil gadai ia simpan untuk keperluan hari-hari, termasuk membeli obat China untuk istrinya.
“Jangan bilang pada yang lain, kalau Aden beli di sini, ya.”
Si Tampan memang bungkam. Tak ada niat mengumbar apa yang ia miliki dan dari mana didapatkan, kepada siapapun. Apalagi istrinya. Hanya kedua teman dekatnya saja yang tahu, karena merekalah yang pertama mengojok-ojok dirinya.
Batu-batu itu ditatapnya. Benar kata teman-temannya, bukan hanya sekretaris bos yang mulai menyapa dan memberi perhatian padanya. Perempuan-perempuan sekantor lainnya pun sepertinya mulai terpikat. Tapi kenapa Bos belum memperlihatkan gelagat akan menawarinya kenaikan jabatan. Apakah akik pengasihan ini belum bekerja dengan baik?
*
“Bang, obat Kakak habis.”
“Aku tak ada uang, Dik.”
“Tapi Kakak harus segera kontrol.”
“Uang Abang habis, Dik. Kau dengar tidak?!”
Si Tampan meninggalkan adik iparnya yang tertunduk lunglai. Lalu ia ke kamar sebelah, dan menyimpan sepasang batu akik --yang hari ini dilepas dari jemarinya, dan diganti dengan yang baru— ke dalam kotak khusus. Ia tak pernah menyadari, seiring dengan bertambahnya koleksi batu akik miliknya, ada sesuatu yang justru berkurang, bahkan lambat laun menghilang dalam dirinya. Cinta kepada istri yang sudah ia nikahi dan menemaninya di kala susah.
Yang ia tahu, dirinya kini menjelma menjadi pusat perhatian. Terutama atasannya. Sejak memakai batu akik di kesepuluh jarinya –sebab jari kesebelas berukuran kecil dan tak mungkin dilingkari batu akik— Si Bos sering mengajaknya bicara. Bertukar pikiran tentang koleksi akik mereka. Juga tentang pencapaian kerja Si Tampan yang sejak sebulan terakhir meningkat.
Ya, rasa percaya diri Si Tampan tumbuh dengan cepat. Akik-akik itu seolah sudah memberinya tambahan enerji sehingga bisa bekerja lebih produktif. Penjualan properti perusahaan meningkat tajam di tangannya. Buai kata Si Tampan meluncur deras seperti anggur manis yang dituang ke dalam gelas. Klien berbondong-bondong membeli produk perusahaan. Si Tampan semakin yakin, batu akik itulah penyebabnya.
Atas saran kedua temannya,  Si tampan mengganti cincin-cincin lamanya dengan yang baru, yang lebih menjanjikan kedigjayaan. Sedangkan cincin lama, sebagian ia simpan, sebagian lagi ia diberikan kepada mereka dan bosnya.
Sebulan kemudian,  Si Tampan benar-benar mendapatkan kenaikan jabatan. Gajinya pun melonjak dua kali lipat. Ia mulai bisa membayar sebagian pinjaman bekas membeli akik-akik. Dan berani main perempuan. Ia manfaatkan jabatannya untuk mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Harta yang bisa mengusir kesialan hidupnya, dan wanita yang bisa membuat cinta di hatinya kembali bermekaran. Batu akik-batu akik itu berhasil mengikis tabir aura ketampanannya.
*
Suatu pagi, langit tampak murung. Udara seperti enggan membangunkan Si Tampan dari tidurnya. Tapi gejolak laki-laki itu untuk berangkat kerja tak bisa dibendung. Hari ini ia janji akan membelikan sekretaris bos perhiasan –setelah apa yang mereka lakukan semalam di sebuah hotel. Tanpa menengok bagaimana kondisi istrinya di kamar sebelah, Si Tampan gegas berangkat. Mobil mewah melaju tanpa suara.
Tiba di kantor, Sekteraris Bos tak ada. Si Tampan masuk ruang kerjanya dengan wajah kecewa. Tak lama, telepon berdering, Bos memintanya menghadap ke ruang kerjanya di lantai atas. Si Tampan berlari. Kabar kenaikan jabatan menari-nari dalam benaknya.
“Kamu saya pecat!” dilemparkannya ke atas meja, setumpuk bukti-bukti penggelapan uang perusahaan yang telah dilakukan Si Tampan.
“Tapi, Pak…” Mata Si Tampan nyaris lepas dari sarangnya.
“Anda tak bisa mengelak. Silakan pulang dan tunggu surat penangkapan dari kepolisian di rumah Anda!” Tegas, penuh wibawa. Dan mematikan.
Si Tampan tak berkutik. Apa yang selama ini ia lakukan terbongkar sudah. Penyetoran hasil penjualan properti perusahaan yang selalu ia tunda, mark-up pengeluaran, dan segudang penyimpangan lainnya yang tersembunyi, terungkap dengan cepat.
Matahari belum tegak berdiri. Si Tampan berada di atas trotoar, mencari Pak Tua, si penjual batu akik. Tapi laki-laki itu tak nampak. Si Tampan lalu pulang dengan setumpuk penyesalan di pundaknya. Tiba di rumah, bahunya makin melorot. Warga membopongnya ke tengah rumah. Jenazah istrinya baru saja selesai dikafani.
Sambil mengucapkan bela sungkawa, seorang perempuan berambut merah menyerahkan telepon genggam pada Si Tampan.
* * *