Lomba Flash Fiction “Aku Pecandumu” - KAN KUDEKAP MIMPI YANG LAIN
oleh Kamiluddin Azis pada 11 November 2011 pukul 20:41
KAN KUDEKAP MIMPI YANG LAIN
Terinspirasi oleh sebuah puisi karya M.F. Riphat berjudul “Meniduri Bayangmu”
Dalam hitungan langkah kecilmu, dunia akan segera berubah. Kau akan berdiri di sana, mengucap janji di depan Tuhan, pendeta, dan ratusan pasang mata manusia. Sementara aku masih tetap duduk dalam diam.
Membiarkan kaki ini lumpuh demi menjadi saksi dibukanya lembar bahagiamu, adalah hal paling absurd yang pernah aku lakukan. Tapi tidak mengapa, toh, seulas senyum saja biasanya bisa menjadi penawar rasa pahit ini. Dan itu sudah cukup bagiku.
Seulas senyum dengan ragam makna yang tidak pernah bisa aku ungkap. Senyum yang selalu mengembang setiap kali mata kita beradu. Setiap desir angin yang mempermainkan rambutmu dan menyihirku dengan aroma asmara. Senyum dari kerlip mata, dan senyum dari belahan dadamu yang menggentarkan maskulinku.
Itu sudah sangat cukup bagiku. Kecuali malam tiba, senyummu tidak akan pernah sama artinya.
Malam ini, di saat purnama terhalang gumpalan pekat, aku melepas gairahku. Bintang bukan saja mencemooh dengan kerlipnya yang genit, tetapi dari sudut panas nun ribuan mil jauhnya itu, ada sebentuk wajah yang mengikat hati dengan senyumnya. Menggantung harap dan memuai di antariksa bersama mimpi-mimpi yang tidak berkesudahan.
Semestinya kurebut hatimu sejak dulu. Semestinya tidak kubiarkan hanya siluetmu yang memenuhi ruang sunyiku, dan menarikku dengan gravitasi melebihi kecepatan yang seharusnya. Mestinya kubiarkan semua berjalan apa adanya. Rindu yang membuncah, cinta yang tidak pernah tumpah pada relungnya, binar mata yang menggelinding penuh harap, semestinya juga kau rasakan. Semestinya kita rasakan.
Tapi apa? Hasrat ini malah menggeliat tanpa arah. Kau pura-pura buta, ataukah memang kau tuli rasa? Kau pura-pura mati, ataukah kau hanya takut kalau aku patah hati, lalu bunuh diri, dan kemudian menggerayangimu dalam mimpi-mimpi buruk?
Malam ini, lelaki yang berdiri di sana dan mengucap janji setia itu mungkin sedang menumpahkan cintanya pada ragamu yang rapuh. Cinta yang mungkin jauh lebih besar daripada cinta yang tengah tumbuh dalam dada ini. Aku tidak sanggup membayangkan dia mendekap, dan bersamamu menyatu hingga kalian terpejam.
Lalu saat kau terjaga, kau dapati dirimu sendiri dalam sepi. Kembali menjalar dalam nadimu tanya yang kau tidak tahu jawabnya. Ya, apakah dia sungguh bisa mencintaimu, seperti berpuluh rasa yang menyebar dalam sendi ini? Apakah bisa lelaki yang kau kenal kemarin sore itu, membunuh benih cinta yang tumbuh lama dalam jiwa kita? Apakah bisa kau relakan desahmu menembus ke dalam darahnya dan bersarang bersama ribuan tanya di sana? Bahagiakah kelak....
Aku tidak ingin membayangkan. Kali ini, sungguh aku ingin merasakan. Menyentuh, meraba, meski aku tidak yakin bagaimana bedanya. Ilusi dan kenyataan. Apa bedanya hingar di tengah sendiri malam ini, atau sepi di antara gelak bahagia ratusan pasang mata siang tadi. Apa bedanya tuli, buta, dan tidak punya rasa?
Mungkin aku memang tuli. Setuli-tulinya, sampai suara hatiku sendiri tidak bisa kudengar. Apalagi suara hatimu. Tetapi aku tidak buta. Aku bisa menangkap sepasang mata dalam tirus wajah itu membelai angin, melepas cinta yang tidak akan pernah bisa bersatu. Jenjang lehernya menjulurkan asa yang tidak pernah bisa kuraih.
Malam ini, biarlah menjadi malam seperti malam-malam sebelumnya. Aku melepas hasrat dengan bayangmu, dan kau menelisik cinta yang barangkali tertinggal di bawah ranjangmu. Kalau sudah dapat, beritahu aku, karena aku tidak akan lagi meniduri bayangmu.
Aku hanya akan mendekap mimpi yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar