TINI PENGAIT CILIK
Kamiluddin SM Azis
Hanya
Tini anak Bu Rum satu-satunya. Sejak ayahnya meninggal, Tini terpaksa
putus sekolah sampai kelas 5 SD. Pekerjaannya kini membantu ibunya di
perusahaan kecil pemintalan wol milik Tuan Tohir, ayah Dian, teman Tini.
Seperti biasa, pagi itu Tini dan ibunya berangkat bekerja. Digendongnya
sebuah tas yang berisi seperangkat alat sholat dan makanan untuk
berdua. Mereka bekerja sampai pukul empat sore, dan imbalannya hanya
cukup untuk makan mereka sehari-hari.
“Bu, apakah kita akan terus begini?” di perjalanan Tini bertanya pada ibunya.
“Maksudmu, Nak?” Ibu Tini tidak mengerti dengan pertanyaan anaknya.
“Tini sudah bosan memintal wol. Sedangkan upah dari Tuan Tohir hanya
cukup untuk makan kita. Tini ingin sekolah lagi, Bu!” Tini menjelaskan.
“Tini, kita harus bersyukur karena kita masih bisa makan. Tabah ya, Nak!” Ibu Tini menyabarkan anaknya.
Sampailah mereka di pabrik pemintalan wol Tuan Tohir. Mereka kemudian langsung menuju tempat biasa mereka bekerja.
“Hey, Tini,” tiba-tiba ada yang menyapa Tini. Ditengoknya arah suara itu.
“Oh, Kau Dian. Berangkat sekolah, ya?” balas Tini setelah tahu itu
adalah Dian, anak Tuan Tohir yang dulu satu kelas dengannya.
“Iya,” jawab Dian sambil mendekati Tini. “Nanti sore aku akan main ke rumahmu. Boleh?” lanjut Dian.
“Boleh. Tapi ada apa, ya?” Tini agak heran.
“Ah, lihat saja nanti! Aku berangkat dulu, ya, Tin.” Jawab Dian sambil berlalu meninggalkan Tini.
Dalam hati Tini bertanya-tanya, mau apa Dian main ke rumahnya. Sambil
berjalan menyusul ibunya yang sudah mulai memintal wol, pertanyaan itu
masih belum terjawab.
Sore harinya Dian benar-benar dating ke rumah ini. Ia membawa beberapa pintal wol berwarna-warni.
“Buatkan aku pakaian hangat ya, Tin!” jelas Dian, ketika Tini menanyakan untuk apa ia membawa wol sebanyak itu.
“Yang biru ini untuk garis bagian bawahnya,” Dian tak ragu-ragu lagi
karena ia tahu Tini pandai mengait wol ketika masih sekolah dulu. Ia dan
teman-temannya pun sempat Tini ajarkan bagaimana cara mengait wol yang
benar dan cepat. Cuma, karena Dian tak serajin Tini, maka ia tidak
begitu terampil mengait wol.
“Aku takut gagal Dian.
Sudah lama aku tidak mengait, Rasanya aku sudah kupa polanya,” elak Tini
khawatir hasilnya tidak akan sebagus waktu ia masih rajin mengait.
“Aku pasti membayarmu koq, Tin. Jangan takut gagal. Optimis dong!” desak Dian.
“Baiklah akan kucoba,” akhirnya Tini tidak tega mendengar desakan Dian.
Diterimanya tawaran itu walaupun ia masih agak sedikit ragu.
*
Selepas Sholat Maghrib, Tini mulai mengait. Mula-mula ia mengait pola
bagian depannya, lalu ke bagian belakang sesuai dengan ukuran tubuh Dian
yang sore tadi ia ukur. Kaitan pertama mengalami kegagalan. Tetapi
dengan jeli Tini berusaha mengulang-ulangnya, sampai akhirnya ia ingat
kembali rancangan pola yang benar. Sampai larut malam Tini masih terus
mengait walaupun sebentar-sebentar ia menguap karena mengantuk.
“Kalau sudah ngantuk, tidur sana, Tin! Besok kan kita harus bekerja,”
saran Ibu Tini yang sedari tadi memperhatikan anaknya.
“Besok Tini nggak berangkat kerja deh, Bu. Mau menyelesaikan pesanan Dian. Boleh kan, Bu?”
“Terserah Kamu. Kalau begitu sekarang tidur sana!” Ibu Tini mengiyakan
sambil kembali menyuruh anaknya agar segera tidur.
“Baik, Bu,” Tini segera membereskan benang-benang wol dan jarum kait
aneka ukuran ke tempatnya, yaitu sebuah bakul plastik kecil bertutup.
Besoknya sepulang sekolah Dian datang ke rumah Tini untuk melihat hasil pesanannya.
“Wah, bagus sekali, Tin. Rapi,” puji Dian sambil mengacung-acungkan
baju hangat pesanannya yang sungguh bagus menurutnya.
“Berapa, Tin?” Dian menanyakan upah untuk Tini.
“Nggak usah, Dian. Selama ini Kamu sudah banyak berbuat baik padaku dan ibuku,” jawab Tini polos.
“Nggak apa-apa. Berapa?” Dian bertanya lagi.
“Sisa-sisa wolmu ini saja sudah cukup untuk membayar hasil kerjaku,” Tini menunjuk pintalan wol sisa.
“Itu untukmu saja. Oh kalau begitu dua ribu cukup, ya?” Dian
mengeluarkan dua lembar ribuan dari dalam tasnya. Semula Tini menolak
keras. Tapi Dian memaksanya dan menyarankan agar uang itu ditabungkan
saja.
Setelah pesanan Dian ternyata dapat
diselesaikan Tini dengan hasil yang begitu memuaskan, Dian
mempromosikannya ke keluarga dan kawan-kawannya yang lain.
Rupanya keluarga Dian memangmenyukai pakaian-pakaian yang terbuat dari
wol kaitan. Buktinya ayah Dian meminta ini supaya dibuatkan syal
penghangat leher. Bu Dian ingin kerudung tebal yang lebar kaitan Tini.
Tante Dian pun tak mau ketinggalan. Ia minta dibuatkan baju-baju kecil
unuk bayinya lengkap dengan sepatu dan kaos kakinya.
Banyak sekali pesanan itu sehingga Tini sibuk karenanya.Tetapi Tini
senang sekali menerima pesanan-pesanan itu. Dan memang hasil kerja Tini
sangat disukai, bukan hanya oleh keluarga Dian, melainkan juga
tetangga-tetangganya yang lain. Jadi terkenallah nama Tini. Semua itu
membuat Tini rajin bekerja dan menabungkan upah hasil kerjanya untuk
melanjutkan sekolahnya tahun depan.
Pekerjaan Tini
kini mengait aneka pakaian dan keperluan lainnya. Ia tidak lagi bekerja
tergantung dari pesanan orang-orang karena, atas izin Tuan Tohir, Ibu
Tini diperbolehkan libur 2 hari dalam seminggu untuk menjualkan
kaitan-kaitan kreasi Tini ke kota.
Tini dan ibunya
sangat bahagia karena masa depan Tini tak akan sesuram yang mereka
bayangkan. Mereka mengisi hari-hari mereka dengan harapan akan
cemerlangnya hari esok. Hingga akhirya Tini dapat kembali sekolah dengan
tetap menjadi pengait cilik yang sukses.
*
Cerita Anak ‘Tini Pengait Cilik’ merupakan salah satu hasil karya penulis yang pernah dimuat di Harian Sinar Pagi tgl 20 Agustus 1993, saat
penulis masih duduk di bangku kelas 2 SMU. Saat ini penulis bekerja
sebagai accounting di sebuah perusahaan swasta nasional sambil tetap
giat menulis cerita anak, cerpen remaja, novel dan buku-buku literatur.
Penulis juga mengelola sebuah Taman Bacaan di komplek Perumahan
Margaasih Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar