KIMI GA DAISUKI DESU
Aku
memasang penutup kepala dari jaket tebal yang kukenakan, saat butiran salju
menerpa wajahku. Dingin menusuk hingga ke persendian tulangku. Tapi aku tetap berdiri dengan khusyu diantara
belasan orang yang juga tengah tertunduk dalam doa. Chichi[1]
yang berdiri di samping haha[2]
melirik ke arahku. Bening matanya seolah bisa menangkap gurat kesedihan yang tergambar
di wajahku. Aku membalas tatapannya dengan seulas senyum, lalu kembali larut
dalam khidmat doa yang kulantunkan dalam hati untuk obaasan[3]
tercinta.
Dua tahun sudah beliau wafat.
Bersama dengan ratusan orang lain, tubuh ringkihnya tak pernah lagi ditemukan
setelah tersapu badai tsunami yang melanda Jepang 11 Maret 2011. Saat itu
adalah awal musim semi yang indah. Ayah dan Ibu berencana mengajak kami
liburan ke sini. Kami akan merayakan Hari Ekuinoks Musim Semi[4]
dan melakukan upacara Shunki Higan-e[5]
di makam okaasan[6].
Tetapi tepat sepuluh hari sebelum botamochi[7]
kami sajikan di altar keluarga, bencana dahsyat itu terjadi. Seluruh dunia
pasti tahu karena televisi menyiarkannya secara ekslusif siang dan malam. Kami
yang berada di Indonesia hanya bisa menangisi kepergian nenek tercinta yang
sangat mendadak itu.
Di
sini, di depan sebuah Tugu Peringatan Tsunami di Perfectur Miyagi mataku
menggenang. Rintik hangat mulai berjatuhan dari sana, menelusuri palung wajahku
yang berusaha tegar setiap mengingat kejadian itu. Kepedihan seperti tak pernah
hilang dari diriku. Bayangan wajah nenek selalu menarikku pada masa-masa indah
saat beliau masih ada. Saat liburan musim semi ataupun musim gugur yang selalu
kami lewati bersama. Tapi, sudah tiga tahun ini kami tak pernah merayakan higan
bersamanya. Ayah dan Ibu hanya mengajakku setahun sekali ke Jepang, itupun
untuk melakukan ziarah pada leluhur kami yang sudah tiada. Selebihnya,
kesibukan mereka mengurus restoran Jepang di Indonesia telah menenggelamkan
kehidupan mereka masing-masing.
“Hana,
kamu kenal anak laki-laki itu?” bisik ayah membuat kelopak mataku perlahan
membuka, dan mengikuti arah yang ditunjuk dagunya.
Sedikit
kupicingkan mataku, berharap bisa mengingat cowok jangkung dengan rambut coklat
lurus agak gondrong, seadainya aku memang pernah mengenalnya. Tapi kepalaku
repleks menggeleng, seolah memberikan jawaban atas pertanyaan ayahku.
“Setahun
yang lalu, bukannya dia ngobrol sama kamu di sini?” sambung ayah masih dengan
bisik paraunya.
Aku
memutar memoriku sesaat, lalu ingatanku terdampar pada 11 Maret tahun lalu.
Iya, cowok itu juga berada di depan tugu ini, berdiri dan khusyu berdoa. Kalau
tidak salah, ia kehilangan ayah dan ibunya pada saat bencana itu terjadi. Tapi
sepertinya cowok itu sudah banyak berubah. Tambah tinggi, berotot, dan semakin … hansamuna[8].
“Hai…,” suara bernada bass menyedot lamunaku. Aku
mendongak dan sedikit tersentak saat cowok itu tiba-tiba sudah berdiri tidak
jauh dariku. Ia menyapa dengan senyum lebar yang membuat wajahnya semakin
tampan.
“Kenji
Himura?” Entah kenapa nama itu terlontar begitu saja. Nama itu seolah hanya dimiliki
oleh satu orang sehingga dengan mudah aku bisa menghafal dan menyebutkannya
pada orang yang tepat. Tentu saja, selama lima tahun tinggal di Indonesia, tak
ada seorang pun temanku yang memiliki nama seperti itu.
“Ya,
it’s me. Hana-chan, genki desu ka[9]?”
tanya Kenji seraya memamerkan barisan gigi putihnya. Matanya menyipit
membuatnya tampak semakin cute. Aku tersanjung, karena ternyata ia masih
ingat namaku.
“Aku
baik, kamu gimana?” jawabku sekalian bertanya, dalam bahasa Indonesia. Aku
ingat waktu itu ia memintaku mengajarkan satu-dua kalimat dalam bahasa
Indonesia. Aku yakin Kenji juga pasti ingat itu.
“Baik-baik…,”
nyaris ia menderai tawa senang kalau saja tidak ingat di mana kami berada. “Shibaraku
deshita![10]”
“Iya,
setahun nggak kerasa, ya?” bisikku sambil mencuri pandang ke arah Ayah. Ayah
menganggukkan kepala, seolah memberi izin kepada kami untuk meninggalkan tugu. Aku
dan Kenji lalu berjalan ke arah sebuah pohon sakura dengan bunga-bunga putih
dan ungu muda yang masih kuncup.
“Aku sudah bisa bicara bahasa Indonesia
sekarang. Sedikit-sedikit tapi,” lanjutnya girang. Kenji memang pernah bilang
kalau ia ingin sekali mengambil kuliah sastra Indonesia jika sudah lulus
SMA nanti. Dan aku saat itu menyarankan untuk membeli buku-buku berbahasa
Indonesia, bahkan aku memberikan novel remaja yang sengaja kubawa untuk teman
dalam perjalananku, padanya. Kenji tampak senang sekali. Hanya saja, karena
terburu-buru, perkenalanku dengannya tidak berlanjut. Kami lupa saling tukar
nomor telepon ataupun akun di situs pertemanan. Tetapi beruntung sekali Tuhan
mempertemukan kami kembali di sini.
Obrolan
pun berlanjut hangat. Aku menceritakan bagaimana serunya melewati masa-masa
SMA-ku di Bandung, dan Kenji juga bercerita tentang kegiatannya di SMA Yamoto.
Sesekali kami tertawa karena mencampur-adukkan bahasa Jepang dan Indonesia
dengan bahasa Inggris saat kebingungan mencari kata yang tepat. Tapi karena tampaknya
Kenji sangat pintar, jadi ia bisa dengan cepat merespon apapun tema pembicaraan
yang aku lontarkan dalam bahasa Indonesia. Kulihat kesedihan di matanya
perlahan memudar.
*
Sore harinya kami janji bertemu di depan sebuah
kafe, tidak jauh dari hotel tempatku menginap. Dari sini kami akan pergi ke Sendai
Mediatheque yang kebetulan bisa diakses dengan berjalan kaki. Aku penasaran
dengan cerita Kenji yang selalu membangga-banggakan museum pusat seni dan film terhebat
di Miyagi yang luput dari terjangan tsunami saat itu. Sayang, aku hanya
mengambil izin sekolah tanggal 11 saja, jadi besok yang kebetulan merupakan
hari libur nasional di Indonesia kami harus pulang karena lusanya aku harus
kembali sekolah.
Kenji
datang dengan switer putih dan topi rajut coklat menutup kepalanya. Rambut
gondrongnya menyembul ke depan dan samping. Senyumnya mengembang saat matanya
beradu pandang denganku.
“Maaf
ya, lama,” ucapnya dengan nada menyesal.
“It’s
okey. Arukimasho[11]!
Nggak jauh kan?” ajakku.
“Chikai
desu[12],
kita bisa jalan-jalan sambil menikmati cuaca sore ini. Kamu sudah cek ramalan
hari ini, kan?” balas Kenji sambil mengiringi jalan di sampingnya.
“Iya
sudah,“ sahutku. “Cuaca sangat mendukung. Mantap!” lanjutku membuat kening Kenji berkerut.
Sepertinya ia tidak begitu paham maksudku.
Angin
lembut memainkan anak rambutku yang menjuntai dari balik topi jaket yang
menutupi kepalaku. Sayang aku hanya bisa melewati bangunan segi empat
transparan yang terkenal itu, dan tak bisa masuk ke sana. Ayah hanya memberiku
izin beberapa jam saja untuk keluar dan menikmati cuaca indah sore ini. Tapi
sore ini aku bisa menikmati pemandangan indah bunga sakura yang mulai
bermekaran di sebuah taman. Aku tak segan meminta Kenji mengabadikan gambarku
diantara bunga-bunga aneka warna indah itu dengan kamera analog yang kubawa.
Aku tersenyum lebar dan bergaya ala model. Kenji tertawa melihat kelakuanku yang
kekanak-kanakkan. Lalu aku pun meminta ia berfose diantara hujan salju yang
luruh perlahan saat ranting-ranting pohon sakura kusenggol dengan tubuhku.
Kenji melompat, menghindari butiran salju mengenai tubuhnya. Ia mengejarku
karena tak berhasil melakukan hal yang sama padaku. Kami tertawa seperti anak
kecil yang sudah lama tak bertemu dan tak ingin berpisah lagi. Setelah lelah
saling kejar, kami lalu duduk di atas bangku taman yang dikelilingi pohon
sakura berwarna putih kemerahan.
“Hana…
Kamu tahu, sejak pertemuan kita tahun lalu, aku tidak bisa melupakanmu,” ucap
Kenji sambil menatap mataku. Di bawah alis tebal yang meliuk sempurna itu aku
melihat pancaran bola yang berkilat menyejukkan.
Aku
tersentak mendengarnya. Tak kusangka obrolan singkat kami waktu itu bisa
menyimpan kesan mendalam buat Kenji.
“Bodohnya
aku saat itu karena tak sempat meminta nomor teleponmu. Jadi kita bisa saling
berhubungan lewat telepon, atau melalui email,” lanjutnya.
“Aku
tidak tahu, kalau saja aku tak bertemu denganmu saat itu, mungkin hari ini aku
tidak akan pernah ada di sini. Kata-katamu menguatkanku. Kehilangan bukanlah
sebuah perpisahan, Kenji. Tapi itu adalah cara Tuhan agar kita bisa menunjukkan
cinta kita dan membalas cinta mereka yang meninggalkan kita. Kehilangan adalah
cara terbaik untuk belajar lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi hidup ini.
Kamu bicara seolah umurmu lebih tua daripada aku. dan aku merasa sangat tak
berguna karena sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku. Aku tak lagi pernah
merasa punya arti bagi siapapun.”
Aku
terpaku mendengar pengakuan Kenji. Kehilangan ayah dan ibu dalam waktu yang
bersamaan membuat Kenji sangat terpukul. Apalagi tidak ada sanak familinya yang
juga selamat, harta dan tempat tinggal pun musnah. Sejak kejadian itu Kenji tinggal
bersama para pengungsi dari Fukushima yang terkena efek radiasi nulkir di
daerah Iwate. Ia baru bisa bersekolah kembali setelah setahun berlalu. Tetapi
trauma itu masih sulit lepas dari hidup Kenji. Dan pertemuan kami saat itu ternyata
sangat berarti baginya.
“Hana…,
aku benar-benar berharap bisa terus bersamamu. Menikmati indahnya musim semi dan
kuncup sakura, meramaikan karnaval selama liburan musim panas, atau
berfoto-foto di bawah pemandagan momiji yang indah, dan bermain ski saat musim
dingin tiba. Tapi itu tak mungkin. Kamu punya kehidupan yang nyaman bersama keluargamu
di negeri katulistiwa. Sedangkan aku…,” Kenji tertunduk. Memainkan butiran
saldu yang luruh lembut di lahunannya.
“Kenji,”
suaraku sedikit bergetar. Kuraih tangan cowok yang dibungkus sarung tangan
lembut berwarna coklat muda itu. “Aku mungkin lupa pernah bilang apa sama kamu
mengenai rasa kehilangan, perpisahan, ataupun kesedihanmu. Tapi aku melihat
Kamu jauh lebih kuat melebihi bayanganmu sendiri. Sejauh ini, Kamu sudah melewati
masa-masa sulit dengan sangat tegar. Aku, atau orang lain belum tentu mampu
melakukannya.” Aku berusaha tersenyum, dan mencoba meresapi apa yang Kenji
rasakan. Sebuah harapan dan keinginan yang entah dia ataupun aku bisa
mewujudkannya. Hatiku tiba-tiba diliputi sebuah perasaan aneh. Pelan, namun
pasti, rasa itu seperti merambat melalui
pembuluh darahku. Hangat menyelimuti hatiku. Aku tak tahu apakah Kenji bisa
merasakan itu saat ia menatap wajahku tanpa kedip. Aku yakin, rona merah membundar
di pipiku.
“Kamu
baru enam belas tahun, sedangkan aku dua tahun lebih tua darimu. Tapi
pemikiranmu sudah sangat matang. Aku malu sekaligus salut sama kamu, Hana,”
desisnya tulus.
Aku
semakin yakin kalau kini pipiku lebih merah daripada sebelumnya, sebab perasaan
panas kembali bergelora di dada ini. Kata-kata Kenji ibarat pujian, rayuan,
atau entah istilah apa yang tepat, yang telah membuatku terbuai. Bunga sakura
dan rinai salju yang turun menjadi saksi rasa ini. Senyum dan tatap mata Kenji
seketika membuat dadaku bergemuruh hebat. Tak pernah aku merasakan semua ini
saat aku bersama cowok lain. Aku takut. Aku takut malah membuatnya merasakan
kembali kehilangan itu. Atau justru aku yang kini akan merasakannya?
*
Kenji
masih mematung memandangku. Tatap matanya yang sayu dihias senyum sangat
menawannya, sungguh menghanyutkanku. Aku tak tahu apakah keindahan bunga sakura
di musim semi bisa mengalahkan binar lembut dan senyum merekah di wajah Kenji.
“Jangan
melihatku seperti itu dong,” pintaku tak kuasa menahan malu karena tingkah
Kenji selama di taman tadi. Aku merapatkan jaketku, berharap dingin tak lagi
mengusikku.
“Terus
terang, aku tak ingin kamu pulang besok. Dan aku tak mau menunggu setahun lagi
agar bisa bertemu dengamu,” ucapnya lirih. Bibir tipisnya yang merah bergetar.
“ Kimi ga daisuki desu [13],
Hana-chan.”
Dalam
sepersekian detik, jantungku berhenti berdetak saat Kenji mengutarakan kalimat
itu. Kimi ga daisuki? Apakah ia benar-benar menyukaiku? Apakah ia hanya
menebak-nebak perasaanku padanya saja? Aku juga suka sama kamu Kenji. Aku tak
tahu apakah makna ‘suka’ sama dalamnya dengan makna ‘cinta’ yang kurasakan? Ini
di Jepang, Hana, hatiku berbisik. Tak akan ada cowok yang menyatakan cinta
padamu sampai ia benar-benar yakin kamulah yang akan ia jadikan pendamping dalam
hidupnya. Tak aka nada aishiteru[14],
karena untuk remaja yang sedang dimabuk cinta, kimi ga daisuki atau suki
deshita adalah kata-kata paling romantis buat mereka.
Kalau
saja bukan Kenji yang menyatakan sukanya duluan padaku, mungkin aku yang akan
melakukannya. Apalagi jika aku dan dia satu sekolah, aku berani meminta daini[15]
kedua seragam sekolahnya. Mungkin Kenji tak akan sungkan melepas kancing
seragam sekolahnya dan memberikannya. Karena aku yakin dia memang menyukaiku.
Senja
di Miyagi mungkin tak akan seindah ini lagi setelah aku kembali ke Indonesia.
Tapi aku janji, Kenji tak akan lagi melewati malam dan dingin seorang diri.
Meskipun jauh, kami masih bisa bertukar canda dan tawa. Saling memberi gambar
terbaru untuk mengobati rindu manakala kami belum tentu bisa bertemu. Mungkin
tahun depan aku akan kembali ke Tugu Peringatan Tsunami di Miyagi dan bertemu
dengan Kenji, lalu berjalan-jalan mengitari Sendai Mediatheque dan
menikmati setiap karya seni spektakuler yang dipajang di sana. Atau saling
lempar butiran salju yang berguguran menerpa wajah dan tubuh masing-masing.
Tertawa dan kembali menyatakan suka satu sama lain. Dan merasakan kembali
debar-debar indah saat Kenji menyatakan sukanya padaku.
Atau… mungkin Kenji yang jutru
berkunjung ke Indonesia. Ke Dago Bandung dan menikmati minuman hangat dari jahe
di sana bersamaku. Aku akan menyuapinya jagung bakar yang sudah dilumuri saus
pedas hingga membuat mata indah Kenji mengerjap-ngerjap kepedasan. Tapi
sejujurnya, aku ingin kembali ke Miyagi, menikmati indahnya suara Kenji saat
bilang Kimi ga daisuki.
*
[1] Chichi = Ayah
[2]
Haha = Ibu
[3] Obaasan = Nenek
[4] Hari Ekuinoks =
Hari libur resmi di Jepang yang di rayakan pada 20 Maret atau 21 Maret untuk
Musim Semi, dan tanggal 23 September untuk Musim Gugur sebagai ucapan rasa
syukur kepada Tuhan
[5] Shunki Higan-e = Higan (Ziarah) Musim
Semi ke makam-makam para leluhur
[6] Okaasan = Kakek
[7] Botamochi =
Makanan yang terbuat dari beras ketan dan selai kacang merah yang dijadikan
sebagai sajen untuk acara higan
[8] Hansamuna =
Tampan
[9] Genki desu ka?
= Apa kabar?
[10]
Shibaraku deshita!=Sudah lama, ya tak bertemu!
[11]
Arukimasho = Ayo kita jalan
[12]
Chikai desu = dekat
[13]
Kimi ga daisuki desu = aku suka sama kamu
[14]
Aishiteru = aku cinta padamu
[15]
Daini = Kancing