Senin, 01 April 2013

KIMI GA DAISUKI DESU


KIMI GA DAISUKI DESU


Aku memasang penutup kepala dari jaket tebal yang kukenakan, saat butiran salju menerpa wajahku. Dingin menusuk hingga ke persendian tulangku.  Tapi aku tetap berdiri dengan khusyu diantara belasan orang yang juga tengah tertunduk dalam doa. Chichi[1] yang berdiri di samping haha[2] melirik ke arahku. Bening matanya seolah bisa menangkap gurat kesedihan yang tergambar di wajahku. Aku membalas tatapannya dengan seulas senyum, lalu kembali larut dalam khidmat doa yang kulantunkan dalam hati untuk obaasan[3] tercinta.
            Dua tahun sudah beliau wafat. Bersama dengan ratusan orang lain, tubuh ringkihnya tak pernah lagi ditemukan setelah tersapu badai tsunami yang melanda Jepang 11 Maret 2011. Saat itu adalah awal musim semi yang indah. Ayah dan Ibu berencana mengajak kami liburan  ke sini. Kami akan merayakan Hari Ekuinoks Musim Semi[4] dan melakukan upacara Shunki Higan-e[5]  di makam okaasan[6]. Tetapi tepat sepuluh hari sebelum botamochi[7] kami sajikan di altar keluarga, bencana dahsyat itu terjadi. Seluruh dunia pasti tahu karena televisi menyiarkannya secara ekslusif siang dan malam. Kami yang berada di Indonesia hanya bisa menangisi kepergian nenek tercinta yang sangat mendadak itu.
            Di sini, di depan sebuah Tugu Peringatan Tsunami di Perfectur Miyagi mataku menggenang. Rintik hangat mulai berjatuhan dari sana, menelusuri palung wajahku yang berusaha tegar setiap mengingat kejadian itu. Kepedihan seperti tak pernah hilang dari diriku. Bayangan wajah nenek selalu menarikku pada masa-masa indah saat beliau masih ada. Saat liburan musim semi ataupun musim gugur yang selalu kami lewati bersama. Tapi, sudah tiga tahun ini kami tak pernah merayakan higan bersamanya. Ayah dan Ibu hanya mengajakku setahun sekali ke Jepang, itupun untuk melakukan ziarah pada leluhur kami yang sudah tiada. Selebihnya, kesibukan mereka mengurus restoran Jepang di Indonesia telah menenggelamkan kehidupan mereka masing-masing.
            “Hana, kamu kenal anak laki-laki itu?” bisik ayah membuat kelopak mataku perlahan membuka, dan mengikuti arah yang ditunjuk dagunya.
            Sedikit kupicingkan mataku, berharap bisa mengingat cowok jangkung dengan rambut coklat lurus agak gondrong, seadainya aku memang pernah mengenalnya. Tapi kepalaku repleks menggeleng, seolah memberikan jawaban atas pertanyaan ayahku.
            “Setahun yang lalu, bukannya dia ngobrol sama kamu di sini?” sambung ayah masih dengan bisik paraunya.
            Aku memutar memoriku sesaat, lalu ingatanku terdampar pada 11 Maret tahun lalu. Iya, cowok itu juga berada di depan tugu ini, berdiri dan khusyu berdoa. Kalau tidak salah, ia kehilangan ayah dan ibunya pada saat bencana itu terjadi. Tapi sepertinya cowok itu sudah banyak berubah. Tambah tinggi, berotot,  dan semakin … hansamuna[8].
            “Hai…,”  suara bernada bass menyedot lamunaku. Aku mendongak dan sedikit tersentak saat cowok itu tiba-tiba sudah berdiri tidak jauh dariku. Ia menyapa dengan senyum lebar yang membuat wajahnya semakin tampan.
            “Kenji Himura?” Entah kenapa nama itu terlontar begitu saja. Nama itu seolah hanya dimiliki oleh satu orang sehingga dengan mudah aku bisa menghafal dan menyebutkannya pada orang yang tepat. Tentu saja, selama lima tahun tinggal di Indonesia, tak ada seorang pun temanku yang memiliki nama seperti itu.
            “Ya, it’s me. Hana-chan, genki desu ka[9]?” tanya Kenji seraya memamerkan barisan gigi putihnya. Matanya menyipit membuatnya tampak semakin cute. Aku tersanjung, karena ternyata ia masih ingat namaku.
            “Aku baik, kamu gimana?” jawabku sekalian bertanya, dalam bahasa Indonesia. Aku ingat waktu itu ia memintaku mengajarkan satu-dua kalimat dalam bahasa Indonesia. Aku yakin Kenji juga pasti ingat itu.
            “Baik-baik…,” nyaris ia menderai tawa senang kalau saja tidak ingat di mana kami berada. “Shibaraku deshita![10]      
            “Iya, setahun nggak kerasa, ya?” bisikku sambil mencuri pandang ke arah Ayah. Ayah menganggukkan kepala, seolah memberi izin kepada kami untuk meninggalkan tugu. Aku dan Kenji lalu berjalan ke arah sebuah pohon sakura dengan bunga-bunga putih dan ungu muda  yang  masih kuncup.     
             “Aku sudah bisa bicara bahasa Indonesia sekarang. Sedikit-sedikit tapi,” lanjutnya girang. Kenji memang  pernah bilang  kalau ia ingin sekali mengambil kuliah sastra Indonesia jika sudah lulus SMA nanti. Dan aku saat itu menyarankan untuk membeli buku-buku berbahasa Indonesia, bahkan aku memberikan novel remaja yang sengaja kubawa untuk teman dalam perjalananku, padanya. Kenji tampak senang sekali. Hanya saja, karena terburu-buru, perkenalanku dengannya tidak berlanjut. Kami lupa saling tukar nomor telepon ataupun akun di situs pertemanan. Tetapi beruntung sekali Tuhan mempertemukan kami kembali di sini.
            Obrolan pun berlanjut hangat. Aku menceritakan bagaimana serunya melewati masa-masa SMA-ku di Bandung, dan Kenji juga bercerita tentang kegiatannya di SMA Yamoto. Sesekali kami tertawa karena mencampur-adukkan bahasa Jepang dan Indonesia dengan bahasa Inggris saat kebingungan mencari kata yang tepat. Tapi karena tampaknya Kenji sangat pintar, jadi ia bisa dengan cepat merespon apapun tema pembicaraan yang aku lontarkan dalam bahasa Indonesia. Kulihat kesedihan di matanya perlahan memudar.
*
Sore harinya kami janji bertemu di depan sebuah kafe, tidak jauh dari hotel tempatku menginap. Dari sini kami akan pergi ke Sendai Mediatheque yang kebetulan bisa diakses dengan berjalan kaki. Aku penasaran dengan cerita Kenji yang selalu membangga-banggakan museum pusat seni dan film terhebat di Miyagi yang luput dari terjangan tsunami saat itu. Sayang, aku hanya mengambil izin sekolah tanggal 11 saja, jadi besok yang kebetulan merupakan hari libur nasional di Indonesia kami harus pulang karena lusanya aku harus kembali sekolah.
            Kenji datang dengan switer putih dan topi rajut coklat menutup kepalanya. Rambut gondrongnya menyembul ke depan dan samping. Senyumnya mengembang saat matanya beradu pandang denganku.
            “Maaf ya, lama,” ucapnya dengan nada menyesal.
            It’s okey. Arukimasho[11]! Nggak jauh kan?” ajakku.
            Chikai desu[12], kita bisa jalan-jalan sambil menikmati cuaca sore ini. Kamu sudah cek ramalan hari ini, kan?” balas Kenji sambil mengiringi jalan di sampingnya.
            “Iya sudah,“ sahutku. “Cuaca sangat mendukung. Mantap!”  lanjutku membuat kening Kenji berkerut. Sepertinya ia tidak begitu paham maksudku.
            Angin lembut memainkan anak rambutku yang menjuntai dari balik topi jaket yang menutupi kepalaku. Sayang aku hanya bisa melewati bangunan segi empat transparan yang terkenal itu, dan tak bisa masuk ke sana. Ayah hanya memberiku izin beberapa jam saja untuk keluar dan menikmati cuaca indah sore ini. Tapi sore ini aku bisa menikmati pemandangan indah bunga sakura yang mulai bermekaran di sebuah taman. Aku tak segan meminta Kenji mengabadikan gambarku diantara bunga-bunga aneka warna indah itu dengan kamera analog yang kubawa. Aku tersenyum lebar dan bergaya ala model. Kenji tertawa melihat kelakuanku yang kekanak-kanakkan. Lalu aku pun meminta ia berfose diantara hujan salju yang luruh perlahan saat ranting-ranting pohon sakura kusenggol dengan tubuhku. Kenji melompat, menghindari butiran salju mengenai tubuhnya. Ia mengejarku karena tak berhasil melakukan hal yang sama padaku. Kami tertawa seperti anak kecil yang sudah lama tak bertemu dan tak ingin berpisah lagi. Setelah lelah saling kejar, kami lalu duduk di atas bangku taman yang dikelilingi pohon sakura berwarna putih kemerahan.
            “Hana… Kamu tahu, sejak pertemuan kita tahun lalu, aku tidak bisa melupakanmu,” ucap Kenji sambil menatap mataku. Di bawah alis tebal yang meliuk sempurna itu aku melihat pancaran bola yang berkilat menyejukkan.
            Aku tersentak mendengarnya. Tak kusangka obrolan singkat kami waktu itu bisa menyimpan kesan mendalam buat Kenji.
            “Bodohnya aku saat itu karena tak sempat meminta nomor teleponmu. Jadi kita bisa saling berhubungan lewat telepon, atau melalui email,” lanjutnya.
            “Aku tidak tahu, kalau saja aku tak bertemu denganmu saat itu, mungkin hari ini aku tidak akan pernah ada di sini. Kata-katamu menguatkanku. Kehilangan bukanlah sebuah perpisahan, Kenji. Tapi itu adalah cara Tuhan agar kita bisa menunjukkan cinta kita dan membalas cinta mereka yang meninggalkan kita. Kehilangan adalah cara terbaik untuk belajar lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi hidup ini. Kamu bicara seolah umurmu lebih tua daripada aku. dan aku merasa sangat tak berguna karena sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku. Aku tak lagi pernah merasa punya arti bagi siapapun.”
            Aku terpaku mendengar pengakuan Kenji. Kehilangan ayah dan ibu dalam waktu yang bersamaan membuat Kenji sangat terpukul. Apalagi tidak ada sanak familinya yang juga selamat, harta dan tempat tinggal pun musnah. Sejak kejadian itu Kenji tinggal bersama para pengungsi dari Fukushima yang terkena efek radiasi nulkir di daerah Iwate. Ia baru bisa bersekolah kembali setelah setahun berlalu. Tetapi trauma itu masih sulit lepas dari hidup Kenji. Dan pertemuan kami saat itu ternyata sangat berarti baginya.
            “Hana…, aku benar-benar berharap bisa terus bersamamu. Menikmati indahnya musim semi dan kuncup sakura, meramaikan karnaval selama liburan musim panas, atau berfoto-foto di bawah pemandagan momiji yang indah, dan bermain ski saat musim dingin tiba. Tapi itu tak mungkin. Kamu punya kehidupan yang nyaman bersama keluargamu di negeri katulistiwa. Sedangkan aku…,” Kenji tertunduk. Memainkan butiran saldu yang luruh lembut di lahunannya.
            “Kenji,” suaraku sedikit bergetar. Kuraih tangan cowok yang dibungkus sarung tangan lembut berwarna coklat muda itu. “Aku mungkin lupa pernah bilang apa sama kamu mengenai rasa kehilangan, perpisahan, ataupun kesedihanmu. Tapi aku melihat Kamu jauh lebih kuat melebihi bayanganmu sendiri. Sejauh ini, Kamu sudah melewati masa-masa sulit dengan sangat tegar. Aku, atau orang lain belum tentu mampu melakukannya.” Aku berusaha tersenyum, dan mencoba meresapi apa yang Kenji rasakan. Sebuah harapan dan keinginan yang entah dia ataupun aku bisa mewujudkannya. Hatiku tiba-tiba diliputi sebuah perasaan aneh. Pelan, namun pasti, rasa itu seperti merambat  melalui pembuluh darahku. Hangat menyelimuti hatiku. Aku tak tahu apakah Kenji bisa merasakan itu saat ia menatap wajahku tanpa kedip. Aku yakin, rona merah membundar di pipiku.
            “Kamu baru enam belas tahun, sedangkan aku dua tahun lebih tua darimu. Tapi pemikiranmu sudah sangat matang. Aku malu sekaligus salut sama kamu, Hana,” desisnya tulus.
            Aku semakin yakin kalau kini pipiku lebih merah daripada sebelumnya, sebab perasaan panas kembali bergelora di dada ini. Kata-kata Kenji ibarat pujian, rayuan, atau entah istilah apa yang tepat, yang telah membuatku terbuai. Bunga sakura dan rinai salju yang turun menjadi saksi rasa ini. Senyum dan tatap mata Kenji seketika membuat dadaku bergemuruh hebat. Tak pernah aku merasakan semua ini saat aku bersama cowok lain. Aku takut. Aku takut malah membuatnya merasakan kembali kehilangan itu. Atau justru aku yang kini akan merasakannya?
*
            Kenji masih mematung memandangku. Tatap matanya yang sayu dihias senyum sangat menawannya, sungguh menghanyutkanku. Aku tak tahu apakah keindahan bunga sakura di musim semi bisa mengalahkan binar lembut dan senyum merekah di wajah Kenji.
            “Jangan melihatku seperti itu dong,” pintaku tak kuasa menahan malu karena tingkah Kenji selama di taman tadi. Aku merapatkan jaketku, berharap dingin tak lagi mengusikku.
            “Terus terang, aku tak ingin kamu pulang besok. Dan aku tak mau menunggu setahun lagi agar bisa bertemu dengamu,” ucapnya lirih. Bibir tipisnya yang merah bergetar. “ Kimi ga daisuki desu [13], Hana-chan.”
            Dalam sepersekian detik, jantungku berhenti berdetak saat Kenji mengutarakan kalimat itu. Kimi ga daisuki? Apakah ia benar-benar menyukaiku? Apakah ia hanya menebak-nebak perasaanku padanya saja? Aku juga suka sama kamu Kenji. Aku tak tahu apakah makna ‘suka’ sama dalamnya dengan makna ‘cinta’ yang kurasakan? Ini di Jepang, Hana, hatiku berbisik. Tak akan ada cowok yang menyatakan cinta padamu sampai ia benar-benar yakin kamulah yang akan ia jadikan pendamping dalam hidupnya. Tak aka nada aishiteru[14], karena untuk remaja yang sedang dimabuk cinta, kimi ga daisuki atau suki deshita adalah kata-kata paling romantis buat mereka.
            Kalau saja bukan Kenji yang menyatakan sukanya duluan padaku, mungkin aku yang akan melakukannya. Apalagi jika aku dan dia satu sekolah, aku berani meminta daini[15] kedua seragam sekolahnya. Mungkin Kenji tak akan sungkan melepas kancing seragam sekolahnya dan memberikannya. Karena aku yakin dia memang menyukaiku.
            Senja di Miyagi mungkin tak akan seindah ini lagi setelah aku kembali ke Indonesia. Tapi aku janji, Kenji tak akan lagi melewati malam dan dingin seorang diri. Meskipun jauh, kami masih bisa bertukar canda dan tawa. Saling memberi gambar terbaru untuk mengobati rindu manakala kami belum tentu bisa bertemu. Mungkin tahun depan aku akan kembali ke Tugu Peringatan Tsunami di Miyagi dan bertemu dengan Kenji, lalu berjalan-jalan mengitari Sendai Mediatheque dan menikmati setiap karya seni spektakuler yang dipajang di sana. Atau saling lempar butiran salju yang berguguran menerpa wajah dan tubuh masing-masing. Tertawa dan kembali menyatakan suka satu sama lain. Dan merasakan kembali debar-debar indah saat Kenji menyatakan sukanya padaku.
            Atau… mungkin Kenji yang jutru berkunjung ke Indonesia. Ke Dago Bandung dan menikmati minuman hangat dari jahe di sana bersamaku. Aku akan menyuapinya jagung bakar yang sudah dilumuri saus pedas hingga membuat mata indah Kenji mengerjap-ngerjap kepedasan. Tapi sejujurnya, aku ingin kembali ke Miyagi, menikmati indahnya suara Kenji saat bilang Kimi ga daisuki.
*




[1] Chichi = Ayah
[2] Haha = Ibu
[3] Obaasan = Nenek
[4] Hari Ekuinoks = Hari libur resmi di Jepang yang di rayakan pada 20 Maret atau 21 Maret untuk Musim Semi, dan tanggal 23 September untuk Musim Gugur sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan
[5] Shunki Higan-e = Higan (Ziarah) Musim Semi  ke makam-makam para leluhur
[6] Okaasan = Kakek
[7] Botamochi = Makanan yang terbuat dari beras ketan dan selai kacang merah yang dijadikan sebagai sajen untuk acara higan
[8] Hansamuna = Tampan
[9] Genki desu ka? = Apa kabar?
[10] Shibaraku deshita!=Sudah lama, ya tak bertemu!
[11] Arukimasho = Ayo kita jalan
[12] Chikai desu = dekat
[13] Kimi ga daisuki desu = aku suka sama kamu
[14] Aishiteru =   aku cinta padamu
[15] Daini = Kancing