3
SEBUAH MIMPI ANEH
Keringat
bercucuran di kening Anissa. Napasnya
hampir habis. Ia berlari dengan kaki terpincang-pincang. Tak peduli darah terus
merembes dari luka di telapak kakinya. Anissa terus berlari. Hanya ada satu
dalam pikirannya, jangan sampai binatang itu menerkam dan memakannya.
Gua
itu... ia harus segera sampai ke gua itu.
Setelah
sepakat untuk menunda ekspedisi ke gua bersama teman-temannya tadi sore, Anissa
awalnya mengikuti langkah keempat temannya menuruni bukit. Tetapi ketika hendak
menyeberangi sungai ia sendiri membelokkan arah langkahnya ke jalan setapak
lain yang penuh semak belukar. Ia sendirian menyusuri jalan itu dengan satu
keinginan untuk bisa mencapai gua itu. Anissa penasaran sekali dengan cerita
seputar gua itu. Cerita yang menyeramkan, juga cerita lain yang menyenangkan.
Siang
pun berganti senja. Anissa masih belum juga mendekati gua itu. Ternyata jalan
yang dilalui tidak semudah yang ia bayangkan. Selain licin dan banyak semak
berduri, Anissa juga harus melompati aliran sungai kecil dan bibir jurang yang
curam. Sesekali ia tergelincir dan hampir terjatuh ke dalam jurang. Tidak bisa
dibayangkan bagaimana jadinya kalau sampai ia jatuh ke sana.
Anissa
hanya ingin membuktikan bahwa dalam keadaan terluka pun ia bisa berhasil menuju
gua itu. Ini akan menjadi kebanggaan tersendiri buat Anissa ketika
teman-temannya pulang karena takut kemalaman, ia sendirian yang bisa mencapai
gua itu.
Tapi
di tengah jalan, ketika Anissa menyeret kaki kirinya yang terluka, sepasang
mata hijau menyala menatapnya dari kejauhan. Tidak terlalu jauh sebenarnya,
apalagi dengan sekali lompat siempunya mata api itu bisa kapan saja berdiri di
depan Anissa. Anissa mendengar dengkuran halus seperti suara kambing qurban
yang pasrah menghadapi kematiannya.
Bulu kuduk Anissa tiba-tiba berdiri. Membayangkan
darah mengucur di belahan leher binatang qurban membuat Anissa merinding
sekaligus mual. Tetapi apa yang dihadapinya kali ini tidak nampak di depan
matanya. Hanya sebuah suara, dan gerakan-gerakan dedaunan tersibak
sesuatu. Mungkin angin, tapi mungkin juga yang lain.
Semakin Anissa mempercepat langkahnya
suara itu semakin terdengar jelas. Dengkuran itu malah semakin membuat
Anissa yakin sesuatu yang hidup tengah mengikutinya. Seekor binatang mungkin sedang
mengincarnya. Harimau kah? Atau seekor beruang yang besar. Mungkinkah ada
kingkong di bukit ini?
Dugaan
Anissa ternyata benar, seekor harimau dengan ekor yang tebal dengan awas
menatapnya. Mungkin ia mencium bau
amis darah Anissa. Menyadari hal itu Anissa mulai berlari.
Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalannya ia sikut. Anissa berhasil
memungut sebatang ranting yang kuat sehingga dengan ranting itu ia bisa
membabat rumput liar dan cabang pohon kecil yang menghalangi pandangannya.
Tapi
langkah binatang itu lebih cepat dari perhitungannya. Anissa nyaris diterkam
kalau saja ia tidak tergelincir dan jatuh ke dalam jurang.
Anissa
berteriak sekeras-kerasnya, sehingga ibu yang menungguinya sedari tadi
terlonjak kaget.
“Istighfar,
Nis….
Istighfar…” ibu berbisik ke kuping Anissa.
“Coba ganti kompresnya, Bu,” saran ayah.
Ridwan
datang membawa air dingin dalam baskom kecil dengan handuk bersih di dalamnya.
Ridwan juga menemani ibu menunggu Anissa adiknya, kalau-kalau ia dibutuhkan
untuk mengambilkan sesuatu yang diperlukan.
Ibu
mengganti handuk kompresan di kening Anissa dengan handuk dingin yang baru. Ia kelihatan cemas sekali.
“Apa kata dokter, Bu?” bisik ayah.
“Mungkin karena luka di kakinya yang
banyak mengeluarkan darah. Untung tadi dokter menyuntikkan obat anti tetanus,
kalau tidak ibu tidak tahu lukanya akan separah apa.” Jawab ibu sambil menyeka
air yang menetes di matanya.
Ridwan menggenggam tangan ibu. “Biar
Ridwan yang jagain Nissa ya, Bu. Ibu istirahat saja.”
“Kenapa Anissa masih membandel ya, Bu,”
keluh ayah. Sedikit kecewa dengan tingkah Anissa sekaligus bingung mesti
bagaimana menasehati anak perempuannya yang satu itu. Ayah tidak mau terlalu
keras pada Anissa, tetapi dampaknya malah seperti ini.
“Ibu juga tidak tahu. Kata teman-temannya
mereka tidak pernah memaksa Anissa untuk ikut. Tapi Anissa sendiri yang
bersikeras. Malah mereka bilang kita sudah mengizinkan Anissa.”
“Ayah
tidak tahu kalau Anissa mau pergi ke bukit itu.” desah ayah tidak habis pikir
kenapa bisa-bisanya Anissa berbohong seperti itu, padahal tidak ada yang
memberi contoh perbuatan tidak baik itu di keluarganya.
“Sudahlah,
Yah. Yang penting Anissa tidak kenapa-napa,” hibur ibu.
“Kakinya luka dan bisa terkena tetanus,
dan sekarang ia panas dan mengigau, ibu bilang ia tidak kenapa-napa?” ayah
berusaha menahan emosinya. Emosi sedih sekaligus khawatir.
Ibu mulai menangis. Ia tidak bisa
membayangkan kejadian yang lebih buruk yang mungkin menimpa anaknya. Anissa
masih kecil, tapi kelakuannya sudah membuat ibu ketakutan setengah mati. Ya
Allah, sembuhkanlah anak hamba, doa ibu.
Ayah pun meninggalkan ibu untuk
menunaikan sholat sunnat supaya Anissa lekas sembuh.
*
Hari Senin Anissa terpaksa tidak
berangkat sekolah. Kakinya masih sakit, dan kepalanya terasa pusing. Ia
berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Apakah ia benar terpisah dari
teman-temanya dan melanjutkan ekspedisi seorang diri? Apakah benar ia dikejar
harimau ketika hendak menuju gua itu? Apakah benar ia terjatuh ke dalam jurang
dan selamat dari kejaran binatang buas itu?
Apakah semua itu hanya mimpi? Sebuah
mimpi aneh yang terjadi karena Anissa terlalu lelah bermain, atau dikarenakan
luka di kakinya yang menyebabkan badannya panas? Apakah mimpi itu memiliki
makna tertentu? Apakah ini balasan untuk Anak yang pergi tanpa sepengetahuan
orang tuanya, dan bahkan berbohong atas nama mereka? Anissa terlalu pusing
untuk memikirkan semua itu.
Yang
jelas, teman-teman Anissa pun ikut merasa bersalah. Andrian, Doni, Edo dan Mayang berkali-kali berkunjung ke rumah Anissa
untuk melihat kondisi temannya itu. Tetapi ibu meminta mereka untuk kembali
lagi nanti kalau Anissa sudah membaik.
“Memangnya
kalian pergi ke mana sih?” Tanya Ridwan pada Doni dan teman-temannya.
Doni
tidak menjawab. Yang lain pun tidak berani angkat bicara. Mereka merasa malu
atas kejadian ini.
“Kalian
tahu, Anissa itu masih kecil, sangat berbahaya pergi ke tempat asing tanpa
didampingi orang dewasa. Dan kalian juga masih anak-anak kan?” lanjut Ridwan. Gaya bicara Ridwan sudah bukan seperti anak
kelas enam SD lagi.
“Dan
Kamu Andrian, Kamu kan
anak paling besar diantara kawan-kawanmu itu. Semestinya memberi contoh yang
baik dan menjaga mereka, bukan malah mengajak mereka bermain yang tidak-tidak. Lebih baik belajar, bukankah sebentar lagi
kita ujian nasional?” Ridwan berusaha menahan emosi supaya tidak tampak marah
di depan teman-teman Anissa.
“Tapi semua ini juga salahku. Aku tidak
bisa menjaga adikku dengan baik. Aku tidak bisa menjadi teman bermain yang
menyenangkan. Sedangkan dengan kalian sepertinya Anissa merasa senang dan
bebas.” Setitik air mata menetes di pipi Ridwan. Untuk apa ia merasa malu
menangis di depan Andrian dan teman-teman Anissa. Ridwan hanya ingin mereka
tahu kalau Ridwan juga menyayangi Anissa.
Diam-diam Andrian merasa malu dengan
kedewasaan Ridwan. Ia pun sama sudah kelas enam, tapi ia masih merasa seperti
anak-anak yang tidak berpikir terlalu jauh dalam melakukan sesuatu.
Sejenak suasana tampak sepi. Semua
sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Kami
pergi ke bukit di desa sebelah,” akhirnya Mayang memecah keheningan itu.
Ridwan
menarik napas, benar juga, pikirnya. Ia memang sudah menduga waktu melihat luka
di kaki Anissa. Ia jadi teringat waktu mengikuti pelantikan anggota PMR di
sekolahnya. Pelantikan itu diadakan di bukit batu itu. Salah seorang anggota
PMR yang dilantik terluka waktu menyeberangi sungai besar. Kakinya tergores
ranting patah runcing yang hanyut di sungai. Lukanya menganga dan cukup parah.
Ia bahkan tidak bisa masuk sekolah lebih dari tiga hari.
Bukit
itu bisa dibilang masih asli. Hutannya lebat dengan tumbuhan-tumbuhan tua yang
langka. Mungkin di sana
banyak juga binatang buas seperti dalam mimpi Anissa. Ridwan jadi khawatir
kalau membayangkan Anissa dan teman-temannya pergi ke sana. Untung saja Anissa tidak hanyut ke
sungai dan terbawa arus yang cukup deras itu.
“Anissa
terpeleset, dan kakinya berdarah,” balas Edo.
Ridwan
menganggukkan kepala. Itu sudah jelas. Luka di kaki Anissa menampakkan ada
benda tajam yang mengiris kulitnya. Tapi Ridwan tidak habis pikir kenapa Anissa
tiba-tiba mengigau dan menjerit-jerit setelah pulang ke rumah.
“Eh, kalian sudah datang, masuk
yuk,” tiba-tiba ibu muncul dari dalam rumah dan menyuruh teman-teman Anissa
masuk. Tadi siang ibu menyuruh teman-teman Anissa untuk pulang dulu dan datang
kembali sore ini.
Setelah ibu memberi nasehat supaya anak-anak
tidak bermain terlalu jauh, apalagi ke tempat-tempat yang berbahaya,
teman-teman Anissa diperbolehkan masuk ke kamar Anissa.
Kamar Anissa berukuran tiga kali
empat meter. Tempat tidur Anissa terbuat dari besi yang dicat mengkilat. Kasur empuknya
dilapisi kain seprai motif bunga matahari yang senada dengan warna dinding
kamarnya. Di atas meja belajar Anissa terdapat komputer dengan monitor warna
pink dan abu-abu, persis sama dengan warna keyboard dan mousenya. Buku-buku
pelajaran berderet rapi. Ibu yang merapikannya karena sepulang sekolah Anissa
biasanya langsung pergi lagi bermain.
Di samping tempat tidur Anissa
terdapat meja kecil yang merupakan rak buku. Koleksi buku Anissa kebanyakan
komik Naruto, conan dan komik olahraga. Komik terbaru yang Anissa beli minggu
lalu adalah Naruto edisi 43.
Edo,
Doni, Andrian dan Mayang takjub melihat isi kamar Anissa. Rapi. Tapi pasti yang
merapikan ini semua bukan Anissa, begitu kompakan isi kepala teman-teman Anissa
menduga. Untung Anissa mempunyai ibu yang baik dan pengertian. Sabar dan sangat
menyayangi anak-anaknya. Padahal Anissa termasuk anak yang susah diatur.
“Kamu kenapa, Nis? Perasan kemarin cuma luka di kaki doang,”
celetuk Edo sambil menyomot kue brownies yang
disuguhkan ibu.
“Iya nih.. dengar-dengar dari Kak
Ridwan, Kamu teriak-teriak kayak orang kesurupan ya…” timpal Mayang.
“Aku cuma mimpi.. mimpi seram
banget. Tapi anehnya koq mimpi itu seperti nyata banget. Aku sampai
terengah-engah dibuatnya.” Jawab Anissa sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding
kamar. Ia mengganjal punggungnya dengan bantal yang empuk.
“Seram gimana, Nis?” Doni antusias mendengarkan cerita
Anissa.
“Aku dikejar harimau waktu aku mau
ke goa itu. Kalian tahu, pas mau nyeberang sungai waktu mau pulang itu aku
balik lagi dan penasaran ingin pergi ke gua itu. Lalu aku ke sana. Di tengah jalan aku dibuntuti sesuatu?”
“Suku kanibal?” potong Doni sambil
membayangkan film-film horror yang sering ia tonton.
“Harimau besar dengan taring tajam
dan liur membasahi mulutnya yang lapar. Siap menerkam kapanpun kita lengah. Aku
lari terbirit-birit begitu tahu harimau itu sudah ada di belakangku.” lanjut
Anissa.
“Dasar mimpi, waktu itu kan Kamu pingsan, Nis,” ucap Andrian yang
tidak begitu suka mendengar cerita tentang mimpi-mimpi seram.
“Kita semua juga tahu, Bang…. Tapi
selama Anissa pingsan itu apa yang terjadi kan cuma Anissa yang merasakan. Makanya
sekarang kita dengerin kelanjutan ceritanya. Seru nih,” protes Mayang.
Anissa pun melanjutkan ceritanya. Ia
lalu minta pendapat teman-temannya apakah rencana mereka untuk pergi ke gua itu
lain kali dibatalkan saja?
“Iya sih, mimpi Kamu itu pertanda
buruk. Kalau sampai kita jadi ke sana,
bisa tamat kita, the end…” tukas Edo.
“Ah dasar penakut Kamu, Do. Itu kan cuma mimpi. Mimpi
itu kata orang tua kembangnya tidur. Justru sekarang ini saatnya buat kita menepis
perasaan takut kita, gara-gara mimpi itu.” Doni tidak setuju.
“Ini memang tantangan besar buat
kita. Tapi…. gimana kalau di sana
beneran ada harimaunya?” Mayang jadi ragu.
“Itu kan cuma bukit biasa. Mana ada binatang buas
di sana. Kita
harus ke sana,”
Anissa meyakinkan teman-temannya.
Perasaan ragu, takut, bersemangat,
ingin membuktikan sesuatu, berkecamuk dalam masing-masing benak anak-anak itu.
Apalagi Anissa jiwa petualangannya terpancing, dan ia ingin segera sembuh
supaya nanti bisa pergi lagi ke bukit itu.
Lihat Cerita sebelumnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar