“Pokoknya
Rara nggak mau makan sayur!” Rara melipat tangannya sambil cemberut.
“Sayur
itu bagus untuk kesehatanmu, Ra,” rayu Ibu. Disodorkannya semangkuk sup hangat ke
depan Rara.
“Ayo
makan, Ra, supaya tubuh kamu segar dan kuat,” tambah Adit. Ia menyeruput kuah
sup ayam untuk memancing selera makan adiknya.
Namun
Rara bergeming.
Daripada
Rara tidak makan gara-gara dipaksa menghabiskan sayurnya, Ibu memilih
membiarkannya.
*
Ibu
bingung, kenapa Rara tidak suka sayur. Padahal di sekolah Bu Guru pasti sudah
menjelaskan manfaat sayuran untuk tubuh kita. Banyak kandungan vitaminnya. Tapi
Rara bilang perutnya mual kalau makan sayur. Katanya, rasanya aneh. Rara lebih
suka tempe dan tahu yang dimasak dengan bumbu kecap.
“Coba masak dengan variasi lain,
Bu,” usul Ayah pada suatu sore.
“Ibu sudah coba, Yah. Di-stup,
dibumbu santan, pakai saus tiram, pokoknya semua resep Ibu praktekkan. Tapi
Rara tetap saja nggak mau.”
“Ya sudah, nanti Ayah bujuk lagi.”
Ayah menenangkan.
Malam itu, seperti biasa Ibu
menyiapkan makan malam dengan menu lengkap. Ada ayam goreng, tempe orak-arik,
dan tumis kangkung. Ayah, Adit dan Rara sudah mengelilingi meja. Aroma masakan
Ibu yang lezat meruap.
“Emh… enak banget tumis kangkungnya,
Bu!” seru Adit.
“Iya, enak sekali,” timpal Ayah.
“Cobain deh, Ra.” Ayah mengambil sesendok tumisan ke piring Rara. Ibu
menatapnya penasaran. Tumben, gadis kecil itu tidak menolak. Biasanya ia akan
merengek, lalu mogok makan. Tapi kali ini, Rara menyuapkan sayuran itu ke
mulutnya.
Setelah selesai makan, Ibu
menghampiri Ayah.
“Dibujuk pakai apa nih, Yah, kok
Rara mau makan sayur?” tanya Ibu penasaran.
“Ada deh…,” canda Ayah, “pokoknya
mulai besok Ibu boleh memasukkan sayuran ke bekelnya Rara.”
Ibu tersenyum senang, meskipun dalam
hatinya masih bertanya-tanya.
*
Keesokan
harinya Ibu menambahkan sayuran ke dalam bekal makan siang Rara. Sepulang
sekolah, Ibu memeriksa bekal makan Rara sudah habis. Ibu senang sekali. Rupanya
bujukan Ayah Rara yang entah bagaimana caranya itu sangat manjur.
Selama seminggu penuh Rara
menghabiskan bekal makan sayurnya. Tapi anehnya, pada saat makan malam, Rara kembali
menolak makan sayur. Katanya, makan sayurnya cukup siang saja. Ibu sedikit
curiga. Tapi Ayah menanggapinya dengan santai.
Pada suatu hari, Ibu harus ke
sekolah Rara karena ada suatu urusan. Tanpa sengaja Ibu memergoki Rara sedang
menumpahkan sesuatu dari kotak makan siangnya ke bak sampah. Yang membuat Ibu
kaget, masakan Ibu yang berwarna hijau-hijau berjatuhan ke sana. Jadi, selama
ini Rara tidak memakan sayuran, dan malah membuangnya?
Ibu membicarakan kejadian itu kepada
Ayah.
Sambil
geleng-geleng kepala, Ayah bilang, “Padahal Rara dan Ayah sudah buat
perjanjian. Kalau Rara makan sayur, Ayah akan membelikannya rumah Barbie.”
“Sebaiknya minggu besok, kita ajak
Rara ke perkebunan Kak Ratih di Cianjur.”
Ayah setuju. Siapa tahu jika melihat
perkebunan sayuran secara langsung, Rara tertarik untuk makan sayuran.
*
Tepat
hari Minggu, Ayah dan Ibu mengajak Rara dan Adit bermain ke kebun milik
kakaknya Ibu di Cipanas, Cianjur.
Di
perbukitan kecil, Rara dan Adit berlarian dengan riang. Sejauh mata memandang,
terhampar perkebunan sayur-mayur. Ada wortel, sawi, bayam, tomat, cabai dan
sayuran lainnya. Kebetulan saat itu sedang panen wortel. Rara dan Adit ikut
membantu mencabuti wortel dari dalam tanah.
Di
kejauhan ada seorang petani yang sedang beristirahat karena kelelahan. Ia
mengipasi keringatnya yang bercucuran, dengan topinya. Lalu ia berdiri dan
memanggul hasil panennya dengan susah payah. Rara dan Adit memperhatikan petani
tua itu.
“Kasihan
ya, Pak Tani tua itu, Ra,” bisik Adit.
Rara
mengangguk. Hati kecilnya merasa bersalah.
“Sudah
susah payah mereka menanam sayuran, tapi masih saja ada orang yang nggak suka,
dan malah membuangnya,” lanjut Adit.
Rara
mendongak. Jantungnya berdebar. Apakah Adit tahu kalau Rara suka membuang
sayuran bekal sekolahnya?
“Tapi
Rara nggak suka sayuran, Kak,” sesal Rara. Ia pernah makan sayuran masakan Ibu,
enak memang, tapi Rara belum terbiasa.
“Kalau
nggak suka sih, nggak apa-apa. Tapi sayuran itu jangan dibuang-buang.” Adit
teringat apa yang dilakukan Rara pada suatu siang saat ia hendak ke toilet di
sekolah. Ia melihat Rara sedang membuang sayurannya ke tempat sampah. Adit tidak
memberi tahu Ibu mengenai kejadian itu. Adit tak mau Ibu kecewa. Ia berencana
mengingatkan Rara untuk tidak melakukan hal itu, tapi waktunya belum tepat.
Rara
terdiam. Di wajahnya tergambar penyesalan yang sangat dalam. Ia bukan saja
sudah membohongi Ayah dan Ibu, tapi juga tidak menghargai jerih payah Pak Tani
yang sudah menanam dan merawat sayur-sayuran untuk dimakan. Ia berjanji, untuk
tidak membuang lagi sayuran. Ia akan mencoba menikmati sayuran yang Ibu masak.
*
“Nambah
lagi boleh, Bu?” Rara menyodorkan piringnya.
“Boleh
dong, Sayang,” balas Ibu senang. Ia menambahkan cah kangkung ke piring Rara.
“Enak
kan, Ra? Apalagi ditambah ebi dan tauco ini,” timpal Adit.
Rara
mengacungkan jempol.
“Cah
kangkung buatan Ibu memang paling top!” puji Ayah.
“Rumah
barbie-nya jadi kan, Yah?” Rara melirik ke arah Ayah.
“Rumah
Barbie?” Ibu balik bertanya, pura-pura tidak tahu.
***
Dimuat di Radar Bojonegoro, 22 Februari 2015