Selasa, 10 Januari 2012

Cerpen - TANAH RETAK

oleh Kamiluddin Azis pada 19 November 2011 pukul 23:27 

TANAH RETAK
Kamiluddin Azis


  Terik. Bagaimana tidak, matahari dengan garangnya berdiri di atas ubun-ubun, dan aku menantangnya dengan berjalan di tengah pematang sawah kering, tanpa penutup kepala sama sekali. Rambutku yang nyaris menipis seperti pasrah tak mampu melindungi kulit kepalaku yang mencuat licin. Hanya semilir angin yang dihembuskan pohon-pohon penghasil oksigen itu saja yang bersahabat denganku siang ini.
     Tanah retak, adalah gambaran kampungku yang mulai dilanda kekeringan. Sawah tak terairi yang kemudian mati sengsara. Sayuran yang semestinya tumbuh subur dengan pupuk dan perawatan tangan-tangan tapis para petani yang menanamnya, gelisah dan lalu lunglai tak berdaya. Di sela tanah retak itu bermunculan gulma dan pohon-pohon kecil yang merintih berharap langit mendengar teriakannya, "air... air...., kapan kami akan mendapatkan air.." Juga cacing yang  meringkuk gosong.
     Apa yang salah, seharusnya hujan sudah turun sejak tiga bulan yang lalu. Tetapi kemarau seperti enggan menanggapi keluh dan kesah makhluk bumi yang kehausan. Air sudah sulit dijumpai. kalau pun ada, warga harus berbondong-bondong meniti pematang sawah menuju sebuah sumur yang jaraknya bisa lima sampai sepuluh kilometer. Di sana mun masih harus antre dan bersabar menahan amarah manakala ada saja orang yang berbuat curang dengan memotong antrian.
     Itulah hidup, ketika hujan turun dengan derasnya ke bumi, membasahi sawah dan ladang, memenuhi sumur-sumur bening, mengendap diantara akar dan bebatuan, manusia lupa bersyukur. Bahkan lalu mengeluh dan berharap musim hujan segera berhenti. Padahal alam sudah punya periodenya sendiri. Kendati manusia bisa membacanya, sebenarnya alam pun bisa saja tidak taat dengan jadwal yang seharusnya.
      Seperti yang terjadi sekarang. Akibat kemarau yang kelamaan, manusia mulai mengeluhkan banyak hal. Mencela, mencaci alam, bahkan mengutuk Tuhan tidak adil.
       Aku memenuhi rongga dadaku dengan udara yang segar. Tidak ada bau jerami terbakar, karena tidak ada jeramiyang harus dibakar. Panen terkahir entah kapan, aku sudah tidak lagi mengingatnya. Kembali kutatap tanah retak itu. Dulu setelah panen usai, dan sawah dikeringkan, tanah-tanah pun menjadi retak-retak, tetapi tidak terlalu kering seperti ini. Aku dan adik-adik sering bermain perang-perangan dengan saling melempari gundukan tanah pekat itu sebagai bomnya. Sembari bersembunyi di antara jerami kering atau pohon padi yang tidak terpotong, kami menghindari jatuhnya bom tanah itu ke badan kami masing-masing, sambil terus saling lempar. Masa kecil yang menyenangkan.
       "Woy, Midi.....' "sebuah teriakan lantang terdengar di kejauhan. Seorang lelaki berperawakan tinggi, mendekat membuat ia tampak semakin besar di depanku.
      Mataku memicing karena silau,"Hey Hamad," balasku setelah yakin lelaki itu adalah Hamad, teman masa kecilku.
      "Kapan kau datang, gila tambah sukses rupanya," kalimat itu biasa terucap dari lelaki yang aku kenal selalu ceria itu. Setiap pulang kampung dan kebetulan aku berpapasan dengan Hamad, pasti ia akan bicara seperti itu, seolah itu adalah password supaya aku lalu bisa melanjutkan obrolan kami.
      "Baru datang ini. Dari sawah, Mad?"
      "Hahahaha, bukan sawah, Mid. Kemarau ini sudah mengubah wajah kita dari karpet hijau menjadi keset sabut kelapa. Kasar dan hangus. Aku tidak lagi punya sawah. Warga sini semuanya sudah merelakan lahan mereka untuk dijadikan pusat pertokoan itu," lanjut Hamad melengkapi potongan-potongan informasi yang sempat aku dengar beberapa bulan yang lalu.
      Warga yang putus asa dengan alam, tidak lagi sanggup bertahan dalam diam. Mereka terpaksa melepas lahan mereka pada investor yang memang sejak dulu mengincar daerah pesawahan ini untuk dijadikan wall. Iming-iming uang besar masih berlaku rupanya. Dan itu yang membuat warga sini merasa tertolong dan kemudian lebih baik pindah ke tempat lain, mengadu nasib, dan berharap ada perubahan hidup yang lebih baik.

     "Kamu?" tanyaku apakah Hamad juga melepas sawah warisan dari orang tuanya yang selama ini ia bangga-banggakan itu.

     "Apa yang aku tunggu. Untuk apa aku tinggal di sini sendiri, sementara kawan-kawanku, tetangga-tetanggaku yang semuanya sudah kuangga sebagai sodara sudah lebih dulu pergi," Hamad menunduk mempermainkan ranting kering di atas tanah. "Apa yang kalian pertahankan, aku tidak habis pikir," lanjutnya seperti berbicara pada diri sendiri.
      Tapi Hamad tidak sedang bertanya. Ia hanya menegaskan kenapa aku dan bapak masih berkutat dengan pendirian kami.  Dan sesering apapun ia bertanya atau meminta,aku dan bapak tetap diam.
      Kubawa  pertanyaan Hamad yang menggantung di udara. Kulewati sisa pematang menuju sebuah gubuk yang masih mengepulkan asap diatap jeraminya. Itulah gubuk tempat dua puluh tahun aku dilahirkan, dibesarkan dan dibuai dengan masa-masa kecil yang tidak akan pernah terlupakan. Itulah gubuk tempat bapakku ingin menghabiskan masa tuanya tanpa merasa merana.
      Gubug panggun.Tak ada sentuhan modernisasi di sana. Apalagi seni. Bangunan reyot itu seperti menolak segala bentuk usaha aku untuk memperindah penampilannya. Ia tidak ingin menjadi berbeda dengan dirinya yang dulu, ia tidak ingin menjadi berbeda dengan gubuk-gubuk lain yang ada di kampungku itu. Padahal dengan semua penolakan itu kemudian ia malah jadi berbeda dengan sendirinya. Tidak ada gubuk seperti itu lagi di kampungku. Semuanya sudah dipermak, direnov menjadi bangunan permanen atau semi permanen dengan gaya kota atau model rumah asing yang menyerupai gambar dalam iklan rumah yang akan dijual di koran-koran.
      Penghuni  gubuk itu adalah lelaki tua dengan pipa yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Batuk kering dan asap yang keluar dari mulutnya adalah dua hal yang kawin. Dialah bapakku yang kuat pada pendiriannya.
      "Kenapa pulang?"alih-alih menyambutku, lelaki itu malah menunjukkan ekspresi tidak suka kalau aku menemuinya.
      "Kangen," jawabku singkat. Aku sebenarnya ingin bilang kalau aku cemas dan khawatir dengan keadaan bapak. Puluhan warga sudah pindah karena tanah mereka akan dijadikan tempat pusat perbelanjaan besar. Tanah yang di atasnya berdiri rumah-rumah, dan tanah yang sebelumnya tumbuh subur padi dan berbagai jenis sayuran lainnya. Tapi untuk apaberpanjang-panjang bicara dengan bapak. Ujung-ujungnya kami akan berdebat, dan tidak ada satupun kata sepakat atas hal apapun.
      "Kuliahmu?" bapak kembali bertanya singkat.
      "Lancar, Pak. Sebentar lagi sidang," kabar gembira itupun akhirnya aku sampaikan. Selain ingin menengok bapak dan memastikan kabar yang sempat aku dengar tentang kepindahan warga,aku juga ingin menyampaikan kabar gembira kalau aku akan segera menjadi sarjana, dan tentu saja memohon doa restu dari bapak.
      "Bapak?" tanyaku memberanikan dir.
      "Aku masih tetap pada pendirianku. Di tanah ini kakek dan buyutmu menghidupi kita. Di tanah ini banyak pejabat lahir dan menjadi besar. Kamu salah satunya. Bapak ingin kita menjadi bagian dari sejarah tanah ini untuk anak cucu kita kelak."Bapak terbatuk, amarah di dadanya sepertinya terpercik karena pertanyaanku. Padahal aku hanya bertanya masalah kesehatan bapak, dan bapak menjawab pertanyaan lain yang tidak kuajukan.
      "Sampai kapan, Pak?" akhirnya aku bertanya agar bapak bisa mengekspresikan apa yang selama ini bapak pendam.
      "Sampai di tanah ini mengalir air lagi,  dan kamu sudah menjadi orang besar. Baru aku akan melepasnya,"
     Aku tidak perlu memperdebatkan banyak hal lebih jauh. Aku yakin  bapak sudah mafhum kalau warga sini sudah pada pindah dan mencari peruntungan di tempat lain. Bapak juga sudah tahu pasti bahwa pembangunan mal besar itu akan segera dijalankan, begitu bapak melepas tanah peninggalan keluarganya.  Dan bapak pasti sangat tahu juga bahwa aku baru akan lulus beberapa bulan lagi dan akan menjadi besar seperi apa entah kapan. Tapi aku tidak ingin mengecewakan Bapak dengan terus mendebatnya. Biarlah ini menjadi doa yang harus aku amini.

*

      Tanah Retak. Aku menggenggam sebongkah tanah keras dan melemparkannya ke tengah sawah yang baru ditumbuhi padi hijau. Keciprak air menimbulkan suara yang sudah akrab di telingaku. Suara alam yang sejak kecil menemaniku bermain dan tumbuh menjadi sahabat setianya.
       Kulemparkan pandanganku pada sebuah gubuk tua tidak jauh dari tempatku berdiri. Di sanalah  bapakku pernahbernazar akan melepas tempat ini jika aku sudah berhasil menjadi seseorang.Di sana bapakku mati-matian mempertahankan gubuk tuanya dari jamah dan rayuan  investor kaya demi mempertahankan pendiriannya. Tiga tahun yang lalu.
      Gubug itu masih tetap berdiri, tetapi bapak sudah melepaskannya setahun kemudian dengan hembusan nafas terakhirnya. Bapak melepas tanah dan gubuk itu dengan ikhlas setelah aku resmi menjadi seorang sarjana pertanian dan menyumbangkan banyak haluntuk kemajuan dunia pertanian di negara ini.
      Di belakang gubuk itu berdiri bangunan besar bertingkat. Itulah kantor tempatku bekerja sebagai peneliti. Kantor yang dibangun atas prakarsa pemerintah daerah dan pengembang pariwisata beserta pengusaha yang akhirnya bisa membangun mal besar di tanah yang sudah dibelinya beberapa tahun silam itu.
      Mal yang megah dengan berbagai fasilitas modern, sangat kontras berdampingan dengan sebuah lembaga penelitian agrikurtura yang dikelilingi onjek wisata alam sawah tradisional. Di bagian samping mal besar itu berjejer rumah makan sunda yang menghadap ke area pesawahan yang menjadi pusat pengembangan penelitian berbagai varietas baru yang aku ciptakan.
     Bapak telah membayar mahal semua keberhasilan ini, dan jerih payah bapak sudah mencatat sejarahnya sendiri di tanah ini,seperti yang bapak inginkan.

*

                                                                                                                                                 Bandung,16 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar