TANAH RETAK
Kamiluddin Azis
Kamiluddin Azis
Terik.
Bagaimana tidak, matahari dengan garangnya berdiri di atas ubun-ubun,
dan aku menantangnya dengan berjalan di tengah pematang sawah kering,
tanpa penutup kepala sama sekali. Rambutku yang nyaris menipis seperti
pasrah tak mampu melindungi kulit kepalaku yang mencuat licin. Hanya
semilir angin yang dihembuskan pohon-pohon penghasil oksigen itu saja
yang bersahabat denganku siang ini.
Tanah retak, adalah
gambaran kampungku yang mulai dilanda kekeringan. Sawah tak terairi yang
kemudian mati sengsara. Sayuran yang semestinya tumbuh subur dengan
pupuk dan perawatan tangan-tangan tapis para petani yang menanamnya,
gelisah dan lalu lunglai tak berdaya. Di sela tanah retak itu
bermunculan gulma dan pohon-pohon kecil yang merintih berharap langit
mendengar teriakannya, "air... air...., kapan kami akan mendapatkan
air.." Juga cacing yang meringkuk gosong.
Apa yang salah,
seharusnya hujan sudah turun sejak tiga bulan yang lalu. Tetapi kemarau
seperti enggan menanggapi keluh dan kesah makhluk bumi yang kehausan.
Air sudah sulit dijumpai. kalau pun ada, warga harus berbondong-bondong
meniti pematang sawah menuju sebuah sumur yang jaraknya bisa lima sampai
sepuluh kilometer. Di sana mun masih harus antre dan bersabar menahan
amarah manakala ada saja orang yang berbuat curang dengan memotong
antrian.
Itulah hidup, ketika hujan turun dengan derasnya ke
bumi, membasahi sawah dan ladang, memenuhi sumur-sumur bening, mengendap
diantara akar dan bebatuan, manusia lupa bersyukur. Bahkan lalu
mengeluh dan berharap musim hujan segera berhenti. Padahal alam sudah
punya periodenya sendiri. Kendati manusia bisa membacanya, sebenarnya
alam pun bisa saja tidak taat dengan jadwal yang seharusnya.
Seperti yang terjadi sekarang. Akibat kemarau yang kelamaan, manusia
mulai mengeluhkan banyak hal. Mencela, mencaci alam, bahkan mengutuk
Tuhan tidak adil.
Aku memenuhi rongga dadaku dengan udara
yang segar. Tidak ada bau jerami terbakar, karena tidak ada jeramiyang
harus dibakar. Panen terkahir entah kapan, aku sudah tidak lagi
mengingatnya. Kembali kutatap tanah retak itu. Dulu setelah panen usai,
dan sawah dikeringkan, tanah-tanah pun menjadi retak-retak, tetapi tidak
terlalu kering seperti ini. Aku dan adik-adik sering bermain
perang-perangan dengan saling melempari gundukan tanah pekat itu sebagai
bomnya. Sembari bersembunyi di antara jerami kering atau pohon padi
yang tidak terpotong, kami menghindari jatuhnya bom tanah itu ke badan
kami masing-masing, sambil terus saling lempar. Masa kecil yang
menyenangkan.
"Woy, Midi.....' "sebuah teriakan lantang
terdengar di kejauhan. Seorang lelaki berperawakan tinggi, mendekat
membuat ia tampak semakin besar di depanku.
Mataku memicing karena silau,"Hey Hamad," balasku setelah yakin lelaki itu adalah Hamad, teman masa kecilku.
"Kapan kau datang, gila tambah sukses rupanya," kalimat itu biasa
terucap dari lelaki yang aku kenal selalu ceria itu. Setiap pulang
kampung dan kebetulan aku berpapasan dengan Hamad, pasti ia akan bicara
seperti itu, seolah itu adalah password supaya aku lalu bisa melanjutkan
obrolan kami.
"Baru datang ini. Dari sawah, Mad?"
"Hahahaha, bukan sawah, Mid. Kemarau ini sudah mengubah wajah kita dari
karpet hijau menjadi keset sabut kelapa. Kasar dan hangus. Aku tidak
lagi punya sawah. Warga sini semuanya sudah merelakan lahan mereka untuk
dijadikan pusat pertokoan itu," lanjut Hamad melengkapi
potongan-potongan informasi yang sempat aku dengar beberapa bulan yang
lalu.
Warga yang putus asa dengan alam, tidak lagi sanggup
bertahan dalam diam. Mereka terpaksa melepas lahan mereka pada investor
yang memang sejak dulu mengincar daerah pesawahan ini untuk dijadikan
wall. Iming-iming uang besar masih berlaku rupanya. Dan itu yang membuat
warga sini merasa tertolong dan kemudian lebih baik pindah ke tempat
lain, mengadu nasib, dan berharap ada perubahan hidup yang lebih baik.
"Kamu?" tanyaku apakah Hamad juga melepas sawah warisan dari orang tuanya yang selama ini ia bangga-banggakan itu.
"Apa yang aku tunggu. Untuk apa aku tinggal di sini sendiri, sementara
kawan-kawanku, tetangga-tetanggaku yang semuanya sudah kuangga sebagai
sodara sudah lebih dulu pergi," Hamad menunduk mempermainkan ranting
kering di atas tanah. "Apa yang kalian pertahankan, aku tidak habis
pikir," lanjutnya seperti berbicara pada diri sendiri.
Tapi
Hamad tidak sedang bertanya. Ia hanya menegaskan kenapa aku dan bapak
masih berkutat dengan pendirian kami. Dan sesering apapun ia bertanya
atau meminta,aku dan bapak tetap diam.
Kubawa pertanyaan
Hamad yang menggantung di udara. Kulewati sisa pematang menuju sebuah
gubuk yang masih mengepulkan asap diatap jeraminya. Itulah gubuk tempat
dua puluh tahun aku dilahirkan, dibesarkan dan dibuai dengan masa-masa
kecil yang tidak akan pernah terlupakan. Itulah gubuk tempat bapakku
ingin menghabiskan masa tuanya tanpa merasa merana.
Gubug
panggun.Tak ada sentuhan modernisasi di sana. Apalagi seni. Bangunan
reyot itu seperti menolak segala bentuk usaha aku untuk memperindah
penampilannya. Ia tidak ingin menjadi berbeda dengan dirinya yang dulu,
ia tidak ingin menjadi berbeda dengan gubuk-gubuk lain yang ada di
kampungku itu. Padahal dengan semua penolakan itu kemudian ia malah jadi
berbeda dengan sendirinya. Tidak ada gubuk seperti itu lagi di
kampungku. Semuanya sudah dipermak, direnov menjadi bangunan permanen
atau semi permanen dengan gaya kota atau model rumah asing yang
menyerupai gambar dalam iklan rumah yang akan dijual di koran-koran.
Penghuni gubuk itu adalah lelaki tua dengan pipa yang tidak pernah
lepas dari bibirnya. Batuk kering dan asap yang keluar dari mulutnya
adalah dua hal yang kawin. Dialah bapakku yang kuat pada pendiriannya.
"Kenapa pulang?"alih-alih menyambutku, lelaki itu malah menunjukkan ekspresi tidak suka kalau aku menemuinya.
"Kangen," jawabku singkat. Aku sebenarnya ingin bilang kalau aku cemas
dan khawatir dengan keadaan bapak. Puluhan warga sudah pindah karena
tanah mereka akan dijadikan tempat pusat perbelanjaan besar. Tanah yang
di atasnya berdiri rumah-rumah, dan tanah yang sebelumnya tumbuh subur
padi dan berbagai jenis sayuran lainnya. Tapi untuk
apaberpanjang-panjang bicara dengan bapak. Ujung-ujungnya kami akan
berdebat, dan tidak ada satupun kata sepakat atas hal apapun.
"Kuliahmu?" bapak kembali bertanya singkat.
"Lancar, Pak. Sebentar lagi sidang," kabar gembira itupun akhirnya
aku sampaikan. Selain ingin menengok bapak dan memastikan kabar yang
sempat aku dengar tentang kepindahan warga,aku juga ingin menyampaikan
kabar gembira kalau aku akan segera menjadi sarjana, dan tentu saja
memohon doa restu dari bapak.
"Bapak?" tanyaku memberanikan dir.
"Aku masih tetap pada pendirianku. Di tanah ini kakek dan buyutmu
menghidupi kita. Di tanah ini banyak pejabat lahir dan menjadi besar.
Kamu salah satunya. Bapak ingin kita menjadi bagian dari sejarah tanah
ini untuk anak cucu kita kelak."Bapak terbatuk, amarah di dadanya
sepertinya terpercik karena pertanyaanku. Padahal aku hanya bertanya
masalah kesehatan bapak, dan bapak menjawab pertanyaan lain yang tidak
kuajukan.
"Sampai kapan, Pak?" akhirnya aku bertanya agar bapak bisa mengekspresikan apa yang selama ini bapak pendam.
"Sampai di tanah ini mengalir air lagi, dan kamu sudah menjadi orang besar. Baru aku akan melepasnya,"
Aku tidak perlu memperdebatkan banyak hal lebih jauh. Aku yakin bapak
sudah mafhum kalau warga sini sudah pada pindah dan mencari peruntungan
di tempat lain. Bapak juga sudah tahu pasti bahwa pembangunan mal besar
itu akan segera dijalankan, begitu bapak melepas tanah peninggalan
keluarganya. Dan bapak pasti sangat tahu juga bahwa aku baru akan lulus
beberapa bulan lagi dan akan menjadi besar seperi apa entah kapan. Tapi
aku tidak ingin mengecewakan Bapak dengan terus mendebatnya. Biarlah
ini menjadi doa yang harus aku amini.
*
Tanah Retak. Aku menggenggam sebongkah tanah keras dan melemparkannya
ke tengah sawah yang baru ditumbuhi padi hijau. Keciprak air menimbulkan
suara yang sudah akrab di telingaku. Suara alam yang sejak kecil
menemaniku bermain dan tumbuh menjadi sahabat setianya.
Kulemparkan pandanganku pada sebuah gubuk tua tidak jauh dari tempatku
berdiri. Di sanalah bapakku pernahbernazar akan melepas tempat ini jika
aku sudah berhasil menjadi seseorang.Di sana bapakku mati-matian
mempertahankan gubuk tuanya dari jamah dan rayuan investor kaya demi
mempertahankan pendiriannya. Tiga tahun yang lalu.
Gubug itu
masih tetap berdiri, tetapi bapak sudah melepaskannya setahun kemudian
dengan hembusan nafas terakhirnya. Bapak melepas tanah dan gubuk itu
dengan ikhlas setelah aku resmi menjadi seorang sarjana pertanian dan
menyumbangkan banyak haluntuk kemajuan dunia pertanian di negara ini.
Di belakang gubuk itu berdiri bangunan besar bertingkat. Itulah kantor
tempatku bekerja sebagai peneliti. Kantor yang dibangun atas prakarsa
pemerintah daerah dan pengembang pariwisata beserta pengusaha yang
akhirnya bisa membangun mal besar di tanah yang sudah dibelinya beberapa
tahun silam itu.
Mal yang megah dengan berbagai fasilitas
modern, sangat kontras berdampingan dengan sebuah lembaga penelitian
agrikurtura yang dikelilingi onjek wisata alam sawah tradisional. Di
bagian samping mal besar itu berjejer rumah makan sunda yang menghadap
ke area pesawahan yang menjadi pusat pengembangan penelitian berbagai
varietas baru yang aku ciptakan.
Bapak telah membayar mahal
semua keberhasilan ini, dan jerih payah bapak sudah mencatat sejarahnya
sendiri di tanah ini,seperti yang bapak inginkan.
*
Bandung,16 November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar