Orang-orang
menyebut bukit kecil itu Gunung Kasur. Di
tengah-tengah bukit hijau itu tergeletak sehamparan batu berbentuk kasur,
lengkap dengan sepasang bantal dan sebuah guling di tengahnya. Dulu, aku sering menggali tanah liat atau mencari rotan di Gunung
Kasur untuk tugas sekolah. Menelusuri jalan setapak dengan belukar ilalang
setinggi kepala sambil berlomba mencapai puncak gunung itu, menjadi kegiatan
rutinku bersama teman-teman SD setiap Minggu pagi. Tak peduli panas, atau rinai memayungi langkah
kami. Memaku kincir sambil menatap Istana Presiden yang berdiri megah dari
kejauhan.
Langkahku
terhenti di depan sebuah rumah kayu yang nyaris lapuk termakan usia. Satu-satunya
rumah yang selalu kusinggahi jika hendak naik ke Gunung Kasur. Pemilik rumah
ini, Pak Mur. Laki-laki setengah baya, berkulit belang putih susu dan coklat,
menyerupai kulit yang baru sembuh dari luka tersiram air panas. Namun, setelah lebih
dari dua puluh tahun terlewati, apakah Pak Mur masih ada?
“Punten…[i]”
Kuketuk daun pintu yang tak tertutup sempurna itu. Tak ada sahutan. Hening.
Yang terdengar hanya suara tonggeret dan desau angin gunung yang menggelitik
telinga.
Sambil
menunggu seseorang membukakan pintu, kuedarkan pandangan. Tidak banyak yang berubah.
Dari tempatku berdiri, ada jalan setapak yang menurun, menuju sebuah tambak
ikan berair dangkal. Pepohonan buah-buahan menjadi pagar pembatas sungai jernih
yang mengalir di sampingnya. Ada saung kecil beratap jerami di pinggir balong[ii]. Dulu aku dan teman-teman diperbolehkan
tidur siang di sana setelah lelah bermain di atas bukit. Aku tersenyum mengingat masa-masa
menyenangkan itu.
“Milari saha, nyak?”[iii]
sebuah suara berat mengagetkanku.
Seorang lelaki berdiri tepat di depanku. Garis wajahnya yang tegas dengan
rahang kokoh tanpa senyum menyita ingatan masa kecilku.
Kuamati
mata kelereng laki-laki itu. Tak salah lagi, “Dulah?” pekikku. Kuukir sebuah
senyum yang sedari tadi tertahan. Ini pasti anak Pak Mur, yang juga kakak
kelasku di SD.
“Sanes,”
[iv]timpalnya,
sambil menyidikku dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Kang Kamal?” ia balik
memekik. Lalu terkekeh, yakin akan dugaannya.
Aku mengangguk heran. Aku kenal
betul tawa jahil itu.
“Arif, Kang. Ini Arif,” terangnya.
Mataku
membulat. Baru ingat, Dulah punya adik yang mirip sekali dengannya. Beda
umurnya sekitar dua tahun.
“Arif?
Kamu sudah segede ini?”
“Iya atuh[v],
Kang, kan dikasi makan sama Emak…”
Tawa kami pecah.
“Bapak sudah meninggal lima tahun
lalu. Kang Dulah bekerja jadi supir di Saudi. Saya sendiri tidak bisa ke
mana-mana, sebab Emak sudah mulai sakit-sakitan,” papar Arif setelah
mempersilakan aku masuk dan duduk di ruang tamunya yang sederhana.
“Oh begitu,” balasku, sedih karena
baru tahu Pak Mur sudah tiada. Kesibukanku kerja di Jakarta hanya menyisakan
pulang sehari dalam dua atau tiga bulan saja. Aku tidak pernah sempat
mengunjungi orang-orang yang dulu berjasa dalam hidupku. Termasuk Pak Mur.
Laki-laki kuat itu yang mengajariku
bagaimana menebang rotan dan mengubahnya menjadi sebuah bingkai foto, atau
anyaman keranjang. Bilah rotan yang tak terpakai, diubahnya menjadi sebuah
lukisan. Pak Mur juga mengajari aku dan teman-teman membuat sebuah kendi dan
benda-benda lain dari tanah liat. Karyaku dan teman-teman sekelompokku menjadi
juara saat diikutsertakan dalam lomba Kreasi Bumi antar sekolah. Bukan cuma
itu, Pak Mur dengan sabar selalu menyelipkan petuah agar kami taat beribadah, menghormati
orang tua dan guru-guru, juga sayang terhadap sesama, terutama kawan karib, dan
alam semesta.
Karena dedikasinya, Pak Mur diangkat
warga sebagai kuncen Gunung Kasur.
“Tapi, Bapak selalu ada kok untuk
menjaga Gunung Kasur,” bisik Arif sambil memicingkan mata bulatnya. Berkilatan
bening diantara remang cahaya lampu rumah yang seadanya.
“Maksudmu?”
“Iya, orang-orang yang berusaha
merusak Gunung Kasur dibuatnya lari tunggang langgang,” kekehnya pelan.
“Memang ada ya orang-orang yang
ingin merusak?” keningku berkerut.
“Banyak. Pengembang itu. Mereka
mendirikan vila-vila di kaki bukit dan menghalangi jalan menuju gunung. Menggali dinding bukit, bahkan
menebangi hutan. Banyak yang celaka.” Gigi Arif bergemeletuk. Geram.
Arif lalu bercerita tentang kematian
para pekerja yang membangun vila-vila mewah di bibir bukit. Juga para
pengebor, dan mandor yang selalu
berteriak jika melihat anak buahnya berleha-leha kelelahan. Menurutnya, Pak Mur
tak suka mereka melukai bukit yang sejak laki-laki itu muda, setia dijaganya.
Pak Mur tak ingin orang-orang yang hendak melihat batu kasur dari dekat urung
pergi lantaran pintu masuknya tertutupi benteng beton setinggi kepala orang
dewasa. Sedangkan jalan setapak lain, harus melewati sungai yang belakangan
santer dikabarkan dihuni buaya jadi-jadian. Petani-petani di perkampungan di balik bukit yang selama
ini melewati jalan utama juga mengeluh karena kesulitan jika harus melewati
sungai tanpa jembatan saat ia membawa hasil panen untuk dijual ke pasar
Cipanas.
Aku mengakhiri obrolan panjangku
dengan tengkuk meremang. Niat untuk menyusuri jalan setapak menuju batu kasur
dan menyentuhnya dari dekat, urung. Bagaimana kabar guling kesayanganku?
Mungkin pada kunjungan berikutnya, aku akan ke sana, memasang tiang tinggi yang
telah dipasangi kincir angin, lalu setelah lelah berlarian, aku akan berpura-pura
tidur di atas kasur batu itu, sambil berharap impianku akan terwujud kembali.
Seperti dulu. Tanpa saar aku tersenyum sendiri.
“Akang kenapa?”
“Tidak, Rif. Oh iya, kamu mau kan
kalau menemani saya naik? Saya ingin foto-foto dengan Gunung Kasur.”
“Siap, Kang.”.
Pada kunjungan kali berikutnya, Arif
menemaniku jalan menuju puncak Gunung Kasur. Hanya menapaki jalan setapak yang
dipenuhi ilalang dan belukar rotan, serta aneka pohon rambat berduri. Tidak banyak yang berubah. Jalanan terjal
licin karena mengandung tanah liat yang diguyur hujan semalam, membuat sol
sepatuku menebal. Langkahku semakin berat. Arif sesekali berlari dan
menantangku balapan. Aku hanya mengeluh sambil meletakkan kedua lenganku di
pinggang. Perjalanan menanjak tiga kilometer kali ini sangat berbeda dengan
yang pernah kulakukan semasa kecil dulu. Keringat mulai membanjiri kemejaku. Aku
semakin payah.
Desau angin menyambut saat kaki ini
pertama kali menginjak puncak gunung. Dua puluh tahun, cukup lama untuk setia
menyimpan semua yang pernah Gunung Kasur berikan padaku. Kenangan indah, rangkaian
puisi yang kutulis di dahan pohon pinus dengan pisau lipat, aneka bingkai foto
berotan yang menghiasi poster Presiden-Wakil Presiden dan burung Garuda di
dinding ruang kelas, serta macam-macam keramik buatan tangan sendiri. Dan kini,
ide-ide brilian pembangunan rumah modern di tepi bukit menari-nari di benakku.
“Bapak sakit apa, Rif?” tanyaku
sambil bersandar pada dahan pohon pinus. Kuluruskan kaki sambil menarik
sebatang ranting di tanah. Kutilik serat kambiumnya. Wangi kuhirup. Dulu aku
suka membuat gantungan kunci dari dahan pohon pinus yang digergaji miring, atau
diukir berbentuk siluet tumpahan air. Lalu dipernis setelah ditempeli nama orang
atau zodiac dari rugos. Lalu kami jual pada pelancong yang tak pernah sepi
memburu sayuran segar di daerah Simpang.
“Orang-orang menyebutnya sebagai
kutukan,” suara Arif berubah berat.
Aku menopang kaki dengan dagu, siap
mendengarkan cerita Arif.
“Sekitar enam tahun lalu,
orang-orang kota datang ke mari. Menikmati pemandangan di atas bukit, foto sana
foto sini, berceloteh tentang kekaguman mereka terhadap batu kasur. Bapak yang
menemani mereka hingga puncak.” Arif menghela napas. Kedipnya sayu, seolah di
pelupuk matanya berkilasan fragmen kehidupan Pak Mur.
“Lalu mereka menjadi sering
berkunjung. Dan entah mendapat izin dari mana, orang-orang itu mulai membangun
rumah. Mula-mula satu, lalu dua, tiga, hingga akhirnya berjejer rumah-rumah
bagus di kaki bukit, sampai ke badan gunung. Saat Bapak bertanya, mereka bilang
sedang ada proyek pemerintah, dan itu semua adalah rumah dinas. Entahlah. Bapak
tidak banyak bertanya setelah itu. Yang jelas sejak saat itu, Bapak sering
mengalami mimpi buruk. Dalam mimpinya, Bapak didatangi harimau besar yang turun
dari bukit. Lalu sekawanan burung terbang mengelilingi rumah. Bapak juga mimpi
dikejar-kejar sekelompok monyet bertaring. Semua itu Bapak ceritakan kepada
kami, seminggu sebelum beliau wafat.”
“Jadi Bapak tidak sakit dulu?”
Arif menggeleng. “Bapak jatuh ke
sungai. Jasadnya ditemukan sore hari.
Kami pikir seharian itu Bapak sedang pergi ke balai desa. Bapak bilang
akan membicarakan hal penting pada Pak Kades.”
Aku tersentak mendengar cerita Arif.
Kasihan Pak Mur. Aku tahu apa yang sedang Pak Mur perjuangkan: bukit berkasur
batu yang menjadi tanah kelahiran dan tempat sakral dalam hidupnya. Ia tak
ingin ada seorang pun yang menjamah dan merusak kelestarian bukit bersejarah
dalam hidupnya itu. Bahkan hingga kini pun, kata Arif, Bapak tidak akan
membiarkan siapa pun merusak cagar alam tercintanya. Orang yang melawannya, tak
akan pernah selamat.
Aku bangkit. Dadaku bergolak. Tak
kusangka, hidup Pak Mur berakhir. Darahku mendidih. Meletup-letup seperti lahar
gunung merapi yang siap dimuntahkan ke angkasa. Tak terasa setitik air hangat mengembun
di kelopak mataku. Kubuang pandangan menjauh dari hadapan Arif. Aku tak ingin
ia membaca perasaanku lewat mata dan gurat wajahku. Aku tak ingin Arif tahu
betapa aku menyesal dan merasa sangat bersalah.
Kuedarkan
bola mataku ke arah batu cadas yang menggantung di dinding tebing. Batu yang
tak pernah sekali pun aku dan teman-teman berani mendekatinya. Bahkan Dulah dan
Arif sekalipun. Tak boleh ada seorang pun yang menyentuh batu itu. Tidak jauh dari
kaki batu gantung itu, terhampar batu berbentuk persegi, menyerupai sebuah
kasur, lengkap dengan bantal dan guling yang tidak pernah bisa dipindahkan ke
manapun. Samar-samar kulihat seseorang tengah duduk di sana dengan kedua
telapak tangan membungkus wajahnya yang tertunduk. Kulit lengannya putih dengan
loreng-loreng coklat seperti belum lama tertumpahi cat kayu atau lumpur yang
baru mengering. Perlahan-lahan laki-laki itu melepaskan tangannya. Lalu
wajahnya menengadah dan menatap lurus ke arahku. Deg, jantungku terasa mau
lepas. Pak Mur?! Desisku.
*
Sebagian
dalam cerpen ini merupakan buah imajinasi penulis. Setting adalah daerah tempat
semasa kecil penulis bermain yang kini dijadikan sebagai Situs Budaya Gunung
Kasur yang terletak di daerah Gadog
Cipanas, Cianjur.
[i]
Punten = Permisi (bahasa Sunda)
[iii]
Milari saha, nyak? = Cari siapa, ya?