Jumat, 28 September 2012

Novelet : Rembulan Singgah Sesaat

Rembulan Singgah Sesaat

Penulis: Kamiluddin Azis, Wirasatriaji, Iruka Danishwara, Gagak Sandoro, Petra Shandi, Poery Permata, dkk, Kategori: Kumpulan Cerpen


ISBN: 978-602-225-526-0
Terbit: Oktober 2012
Halaman : 218, BW : 219, Warna : 0
Harga: Rp. 45.000,00

Deskripsi:
Rembulan Singgah Sesaat, menepis keraguan yang selama ini bergelayut di hati Suhadi. Laki-laki itu dengan setia menanti mantan istrinya yang pergi bekerja menjadi TKW di luar negeri. Setelah menceraikannya, tepat pada hari keberangkatannya, Suhadi berharap bisa kembali rujuk saat Warsih, mantan istrinya pulang dua tahun kemudian.

Setiap malam dipandangnya langit pekat. Berharap rembulan akan singgah di atas Kampung Sukadamai. Singgah di hatinya yang diliputi rasa rindu tiada tara. Ia sangat berharap Warsih akan kembali ke pangkuannya sebagaimana rembulan selalu setia bertengger di cakrawala malam. Sekelam apapun. Tetapi, akankah nasib berpihak kepadanya. Akankah perempuan berwajah rembulan itu kembali singgah di hati Suhadi untuk selamanya? Ataukah Tuhan memiliki rencana lain, yang sama sekali tak pernah diduganya? Sebuah novelet indah karya Kamiluddin Azis, yang akan mempermainkan perasaan Anda saat dan setelah membacanya.

Dalam buku ini juga terdapat serangkaian kisah singkat dan puisi-puisi indah yang disajikan dengan begitu memesona. Kisah penuh makna yang digali dengan sepenuh hati ini dirangkai oleh penulis-penulis yang tergabung dalam grup Pustaka Inspirasi-ku, yakni : Kamiluddin Azis ~ Wirasatriaji ~ Iruka Danishwara W ~ Gagak Sandoro ~ Petra Shandi ~ Poery Permata ~ Roma DP ~ Annisa Ramadona ~ Nimas Kinanthi ~ Vinny Erika Putri ~ Fitria Handayani Meilana Sari ~ Remunggai M ~ Asep Fauzi Sastra ~ Ali Bachtiar ~ Emma Marlinah ~ Harry Gunawan ~ Muhammad Dede Firman ~ Ken A. Rion ~ Fanny YS ~ Prast Respati Zenar ~ Arini Riesha Septiana ~ Eleazar Latif ~ Aliyah Maulidah ~ Atika Nur Sabrina ~ Vysel Arina ~ Elsa Aprilia ~ Junita Susanti ~ Ayesha Syarif ~ Marlyn Christ ~ Rivyana Intan Prabawati ~ Septiani Ananda Putri ~ Aldy Istanzia Wiguna

Kamis, 27 September 2012

Jurus Baru : Menendang Koruptor


Kamiluddin Azis

Rafa dan Nafa adalah sepasang anak kembar yang sekolah di SD yang sama, yaitu SD Mandiri. Mereka sekarang sudah duduk di bangku  kelas V. Meskipun kembar, sifat Rafa dan Nafa agak berbeda. Karena Rafa anak laki-laki, ia suka bermain jauh dari rumah, cenderung galak, dan suka menjahili temannya. Rafa juga kadang suka berbohong pada Ibu. Berbeda dengan Nafa, karena ia perempuan, Nafa lebih senang main di rumah. Nafa juga anak yang penyayang kepada sesama teman, rajin belajar dan suka membantu Ibu.
            Sepulang sekolah Rafa menarik tangan Nafa supaya bisa berjalan lebih cepat. Hari itu ia akan membeli bola baru karena bola lamanya hanyut di kali  saat bermain di lapangan pinggir kali kemarin sore. Ibu sudah memberinya uang jajan lebih untuk membeli bola baru.
            “Ayo dong, Na…” teriak Rafa sambil menarik-narik tangan Nafa. “Tokonya keburu penuh, nanti pulangnya kesiangan,” lanjut Rafa tidak sabar. Mereka akan pergi ke toko mainan Koh Acun yang terkenal murah itu.
            “Iya, Kak…” Nafa mengimbangi langkah Rafa. “Emang kenapa harus beli bola di Toko Koh Acun sih, Kak? Di toko lain juga kan banyak,” lanjut Nafa.
            “Di sana tuh bolanya bagus-bagus,” jawab Rafa.
            “Bagus-bagus atau murah-murah, kak?” Tanya Nafa lagi sambil tersenyum.
            “Ya, dua-duanya… ayo!” Rafa mempercepat langkahnya.
            “Ibu ngasih uang berapa, Kak? Kalau ada lebih, beliin Nafa boneka ya, Kak!”
            “Uangnya pas-pasan.” Jawab Rafa dengan cepat.
            Sesampainya di toko Koh Acun, benar saja tokonya sedang dipenuhi pembeli. Rafa dan Nafa menyelinap diantara para pembeli yang sedang memilih-milih barang. Mereka langsung menuju box tempat bola berbagai ukuran dipajang. Setelah memilih-milih bola mana yang bagus dan melihat-lihat label harganya, Rafa memutuskan untuk membeli bola karet berukuran besar. Ia membayangkan dirinya beratraksi menendang bola tinggi-tinggi seperti si Madun. Teman-teman pasti iri melihat bola bliter barunya.
            “Ada lebihnya gak, Kak, Nafa pengen beli boneka  shaun the sheep ini. Murah kok,” pinta Nafa sambil memeluk boneka kambing kecil yang sedang menggigit dot.
            “Uangnya pas-pasan, Nafa…” jawab Rafa sambil bergegas menuju kassa.
            Koh Acun tersenyum menerima uang berwarna biru dari tangan Rafa. Setelah memasukkan angka-angka ke mesin kasirnya, mesin itu terbuka dan suara printer berbunyi.  Koh Acun memberikan kembalian uang kepada Rafa, sambil tetap tersenyum ramah, “Discount buat penggemar Tendangan si Madun,” ucapnya.
            Melihat Rafa menerima uang kembalian, wajah Nafa langsung cemberut. “Kakak bohong! Awas kalau uangnya ngga dibalikin ke Ibu!” Ucapnya ketus.
            Rafa tidak memedulikan sikap saudara kembarnya yang kecewa karena tidak jadi membeli boneka pilihannya. Ia berlari-lari kecil di atas trotoar jalan, lalu berbelok menuju gang rumahnya. Sedangkan Nafa berjalan gontai jauh di belakangnya.
*
            Sore hari, saat semua anggota keluarga berkumpul, Ibu menyuguhkan teh hangat untuk Ayah yang sedang asyik membaca majalah kesehatan. Kue-kue sudah lebih dulu diletakkan di atas meja. Nafa sedang sibuk mengerjakan PR matematika, sedangkan Rafa baru selesai mandi dan dengan malas membawa buku PRnya.
            “Rafa jadi beli bola baru?” tanya Ayah sambil menyeruput tehnya.
            “Jadi, Yah,” jawab Rafa sambil mendelik ke arah Nafa. Nafa menjulurkan lidahnya dengan sebal.
            “Uangnya ada kembalian kan?” timpal Ibu.
            “Pas kok, Bu. Harganya memang segitu,” jawab Rafa  sambil mencomot biskuit dan mengunyahnya.
            “Loh, kan di toko Koh Acun suka dapat discount. Kirain Ibu ada kembaliannya…” lanjut Ibu.
            “Memang ada kembaliannya, Bu. Koh Acun memang ngasih discount kok, Bu. Udah gitu harga bolanya juga murah,” potong Nafa membuat Rafa mendadak kesedak. Nafa merasa puas bisa mengatakan hal ini kepada Ibu. Ia sebal bukan karena gagal mendapatkan boneka shaun the sheep itu, tapi ia tidak suka kalau Rafa berbohong dan tidak menyerahkan uang kembalian itu kepada Ibu.
            “Loh, tadi kata Rafa…”
            “Kakak bohong. Kecil-kecil sudah jadi koruptor!” Nafa teringat saat Bu Guru menjelaskan bahwa tindakan seperti itu dinamakan korupsi. Dan orang yang melakukannya disebut koruptor. Di negara kita banyak sekali koruptor yang mengeruk uang rakyat. Menghambur-hamburkannya untuk kepentingan pribadi. Korupsi itu merugikan banyak orang. Karenanya korupsi termasuk perbuatan dosa dan terlarang. Kalau terbukti melakukan korupsi, para koruptor itu akan dimasukkan kedalam penjara. Nafa bergidik begitu mendengar kata penjara. Ia tidak ingin saodara kembarnya masuk penjara gara-gara mengorupsi uang yang diberikan Ibu untuk membeli bola.
            “Benar, Rafa  uangnya lebih?” Ayah menatap Rafa yang kini tertunduk malu. Rafa mengangguk. Ayah geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak lelakinya itu. “Rafa, apa yang Rafa lakukan itu tidak baik. Kalau harga bolanya itu lebih murah dari perkiraan Ibu, Rafa kembalikan kepada Ibu sisa uangnya. Kalau engga, rafa bisa minta izin dulu sama Ibu. Mengatakan kalau uangnya pas itu sama artinya dengan Rafa mengorupsi uang pemberian Ibu. Ayah ngga mau punya anak koruptor.”
            “Rafa tahu kan kalau di televisi suka ditayangkan para koruptor yang diburu oleh polisi? Itu karena mereka sudah mencuri uang rakyat. Mengatakan biaya pembuatan kantornya sekian ratus milyar, padahal kenyataannya tidak sebesar itu. Amit-amit deh kalau sampai ada koruptor di rumah ini,” tambah Ibu.
            Rafa semakin tertunduk. Air mata menetes di pipinya. Ia merasa sangat bersalah sudah membohongi Ibu dan Ayahnya. Ia tidak mau dikatakan sebagai seorang koruptor. Nafa merasa kasihan kepada Kakak kembarnya. Semua ini Nafa lakukan bukan karena ia suka mengadu, melainkan demi kebaikan Rafa juga.
*
            “Kak, maafin Nafa, ya,” ucap Nafa saat ia dan Rafa berjalan beriringan sepulang sekolah.
            “Iya, Kakak juga minta maaf, ya. Nafa ngga salah kok. Malah Kakak yang salah ngga dengerin apa kata Nafa kemarin. Kakak ngga ngasi contoh yang baik.” Rafa tersenyum sambil menarik tangan adiknya. “Sekarang ikut Kakak, ya!”
            “Ke mana, Kak?” teriak Nafa sambil ikut berlari karena pegangan tangan Rafa yang kuat.
            Rupanya Rafa membawa Nafa ke toko Koh Acun. Lalu ia masuk ke dalam toko dan langsung mengambil sebuah boneka kambing yang lucu. “Yang ini, kan?” tanyanya sambil mengacungkan boneka itu ke arah Nafa?” Lalu Rafa bergegas menuju kassa.
            Nafa mengangguk. “Tapi, Kak…”
            “Sudah tenang aja, Kakak nggak korupsi kok. Kakak sudah bilang sama Ibu kalau kembalian uangnya mau dibelikan boneka shaun the sheep buat Nafa.”
            Nafa tersenyum senang, ”Iya, Kak?” ucapnya tak percaya.
            “Iya Kakak ngga bohong. Tapi nanti sore lihat Kakak latihan bola di lapangan, ya,”  jawab Rafa.
            “Emangnya kenapa, Kak?” Nafa mengernyitkan dahinya.
            “Kakak mau menunjukkan jurus tendangan baru.”
            “Jurus baru?” tanya Nafa penasaran.
            “Iya… Menendang Koruptor…”  Jawab Rafa sambil berlagak menendang bola.
            Keduanya lalu tertawa bersama-sama sambil berjalan pulang menuju rumah mereka. *end*           

Rabu, 12 September 2012

INVISIBLE LOVE



INVISIBLE LOVE

Penghujung malam belum berakhir. Angin yang menggelitik kulit membuat bulu-bulu halus yang tumbuh di atasnya berdiri tegak, berontak tak mau lepas dari dekapan hangatnya selimut.
            Jam dinding masih bertahan di pukul setengah tiga  pagi, tetapi Nina sudah terjaga untuk memulai aktivitas rutinnya. Setiap hari, selama setahun belakangan ini. Di saat orang-orang masih dibuai mimpi dan bergulung di atas tempat tidur, Nina sudah bergelut dengan pekerjaan rutin demi mempertahankan hidup banyak orang.
            Setelah selesai mandi air hangat, Nina menyalakan kompor dan memanaskan wajan untuk menggoreng aneka makanan yang semalam sudah disiapkannya.  Adonan jajanan seperti pisang goreng, risole, pastel, dan sebagainya menjadi sahabat setianya sejak ia berkomitmen akan mengurus sendiri yayasan kecil itu.
            Bukan yayasan seperti yang mungkin ada di benak banyak orang. Hanya ada beberapa orang tua terlantar yang ia layani dan cukupi kebutuhannya. Sumber dana pun terbatas dari penghasilan usaha yang dijalani Nina saja. Dari hasil usaha membuat dan menjual kue-kue, serta magang di sebuah warung internet untuk mengisi kekosongan karyawan yang berganti shift.
            “Coba Kamu buat sebuah blog atau website pribadi yang berisi tentang kegiatanmu itu, Nin,” usul Gyan sambil menyerahkan kunci kasir sesaat setelah ia membereskan barang-barangnya dan bersiap meninggalkan warung internet yang seharian ia jaga. Sekilas diliriknya jam di pergelangan tangannya. Baru pukul tiga. Ia masih punya waktu satu jam sebelum ia benar-benar harus membiarkan Nina sendiri menjalankan tugasnya. Dan tidak ada salahnya kalau satu jam ini ia habiskan bersama Nina, untuk membimbingnya membuat blog atau sekedar menanyakan kabar para penghuni panti jompo Nina. Kebersamaan yang mungkin jarang terjadi secara kebetulan.
            “Ribet nggak, Mas bikinnya?” Nina menerima kunci kasir dan memberikan lembar tanda serah terima tugas dan saldo kas kepada Gyan. “Pernah sih kepikir untuk membuat semacam blog pribadi. Tapi saya belum sempat.  Dan.. nggak pede juga, mau diisi dengan apa,” Nina menyambut usul Gyan. Ditatapnya mata lelaki itu. Pertemanan yang dijalinnya selama ia bekerja di warnet ini telah membuat Nina percaya bahwa Gyan adalah lelaki yang baik dan sangat perhatian.
            “Gampang koq, Nin. Tuh di laci ada buku petunjuk praktis untuk membuat blog. Atau perlu aku buatkan website aja sekalian.” lanjut Gyan. Ia sudah membayangkan kalau Nina mau membuat blog dan bercerita tentang kegiatan yang dijalaninya selama ini, akan banyak orang yang peduli dan mau membantu. Gyan kadang miris kalau harus membayangkan bagaimana Nina bisa mengurus lebih dari 5 orang tua jompo di rumahnya, dengan penghasilan Nina yang pas-pasan.
            Gyan membuka buku dan menunjukkan cara praktis membuat blog gratis untuk sekedar belajar dulu. Nina langsung mempraktekkannya dengan sungguh-sungguh. Beruntung ia bisa bekerja di warnet sehingga bisa menggunakan layanan internet secara gratis, sambil menjalankan tugas melayani para tamu yang menggunakan jasa warnet itu, pastinya. Gyan juga orangnya asyik. Selain pintar dan mau berbagi ilmu, ia juga kadang membantu Nina dengan memberikan bantuan materi untuk meringankan beban Nina mengurus para manula itu. Terutama kalau pada saat gajian tiba. Yah, itung-itung sedekah, katanya.
            “Nah, Sekarang, mulai deh Kamu isi blog Kamu ini dengan postingan tentang kegiatan-kegiatan pribadi Kamu, nanti aku bantu upload foto, dan iklanin blog ini,” ucap Gyan puas memberikan tutorial singkat dengan hasil yang lumayan. Nina memang punya daya tangkap yang cepat, jadi apa yang Gyan jelaskan bisa langsung dia praktekkan tanpa ada kesalahan yang berarti.
“Makasih ya, Mas,” balas Nina tak kalah puas. Dalam benaknya menari-nari berbagai inspirasi yang ingin ia tuangkan ke dalam blognya. Ia semakin bersemangat mendengar Gyan masih mau membantu memperindah blognya itu di kemudian hari.
            Gyan  kembali melirik jam di tangannya. Ia lalu mengenakan jaket dan siap untuk pulang. “Saya suka banget nama blog Kamu, Nin. Saya bisa jadi penggemar fanatic nih,” ucapnya sambil mengacungkan jempol dan berlalu.
            Nina tersenyum menanggapi ucapan Gyan.
            Ada waktu sekitar empat jam sebelum Arnold datang untuk shift malam, yang bisa Nina gunakan untuk mengisi Blognya yang masih kosong. Sambil menarik nafas dan menghempaskannya perlahan, jemari Nina mulai menari di atas keyboard.
*
            Invisible Love, sebuah Blog yang akan menuntun Anda mencurahkan rasa cinta Anda tanpa ada orang lain yang tahu bila Anda berbagi. Nina tersenyum sendiri melihat bagaimana pikirannya kembali menerawang mengingat satu persatu orang tua itu berdatangan dan mengisi rumah sederhananya. Nina tidak perlu mengundang mereka, tetapi Tuhan telah mengirim mereka dengan jalan yang tidak terduga sama sekali.
            Sejak orang tua Nina meninggal belasan tahun yang lalu karena kecelakaan, Nina praktis diasuh dan dirawat oleh neneknya dari pihak ibu yang sudah lama menjanda. Nina adalah anak tunggal, sehingga semua warisan peninggalan orang tua Nina, jatuh ke tangannya. Sebuah rumah dan sejumlah investasi menjadi hak Nina sepenuhnya. Dari bekal uang asuransi dan tabungan itulah, Nina tumbuh dan dibesarkan dengan baik oleh neneknya. Tetapi sayang, dua tahun yang lalu neneknya meninggal duNadia dan tidak bisa menyaksikan acara wisuda Nina beberapa bulan kemudian.
            Tinggalah Nina sendirian di sebuah rumah besar bergaya Belanda dengan teras asri dan halaman yang luas itu. Dua buah pohon mahoni besar berdiri kekar di bagian depan rumah  seolah menjadi pelindung dan penjaga setia di sana. Ada taman kecil yang terdiri dari kolam ikan hias dan beberapa koleksi bunga anggrek dan bonsai peninggalan nenek Nina.
            Di tengah kesendirian itulah tiba-tiba  Nina kedatangan tamu, seorang pengemis tua. Teringat neneknya yang sudah meninggal, Nina lalu mengajak perempuan tua itu tinggal bersamanya. Bukan sebagai pembantu, tetapi sebagai seseorang yang Nina ingin berbagi kebahagiaan bersamanya. Ketika neneknya masih ada, Nina memang jarang bermanja-manja, apalagi mengurus neneknya itu. Kesibukan kuliah waktu itu benar-benar menguras waktu dan tenaga Nina sampai nyaris tak bersisa. Makanya untuk menebus kesalahan itu, Nina ingin membantu pengemis tua itu supaya punya tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Dialah Nenek Ngatiyem asal Semarang yang terlunta di Jakarta sejak bertahun-tahun silam.    Entah apa yang hendak Tuhan sampaikan pada Nina, tidak lama waktu berselang Nina menemukan seorang nenek bernama Natiah yang sedang meringis menahan sakit, di tepi jalan. Rupanya nenek gelandangan itu adalah korban razia gepeng yang berhasil melarikan diri. Rumah kardusnya sudah habis diobrak-abrik petugas taman kota karena memang kebanyakan gelandangan menggunakan lahan taman untuk tempat mukim mereka. Nina lalu membawa Nenek Natiah, ke rumahnya. Dan bersama Nenek Ngatiyem, Nenek Natiah pun mengisi satu kamar kosong bekas neneknya Nina.
            Untuk mengurus kedua nenek itu Nina akhirnya menggunakan jasa pembantu rumah tangga paruh waktu. Gaji yang ia peroleh selama bekerja di sebuah perusahaan asing, ia sisihkan untuk kehidupan kedua nenek itu. Makanan, pakaian, obat-obatan, semua sudah dianggarkan, termasuk untuk menggaji pembantu rumah tangga yang pada akhirnya harus menetap di situ. Nina sama sekali tidak pernah mengeluh dengan membengkaknya pengeluaran Nina. Kadang ia sendiri harus menggunakan sisa tabungannya, dan merelakan semua gajinya untuk keperluan mengurus kedua nenek itu.
            Rupanya Tuhan masih memberikan kepercayaan pada Nina dengan mengirimkan sepasang orang tua yang kehilangan bekal karena dirampok ketika mereka baru tiba di Jakarta. Uang dan semua perbekalan mereka raib, termasuk alamat sang anak yang hendak ditemuinya di ibukota ini. Nenek  Mirah dan Kakek Sadikun pun diajak Nina menetap di rumahnya. Kebetulan masih ada satu lagi kamar kosong di dekat dapur yang tidak terpakai.
            Bersama para jompo itu Nina merasa rumahnya kembali hangat dan ramai. Masa-masa ketika kedua orang tuanya masih ada kembali hadir. Cinta dan kasih yang tercurah dari para orang tua itu membuat Nina merasa tidak memiliki beban hidup apapun. Nenek Mirah dan Kakek Sadikun saja begitu betah sehingga tidak kepikiran lagi untuk mencari anaknya atau meminta Nina untuk mengiklankan keberadaan mereka sehingga keduanya bisa ditemukan oleh anaknya. Tinggal bersama Nina dan orang tua jompo lainnya di sini sudah membuatnya jauh lebih tenang.
            “Kami senang bisa tinggal di sini bersama-sama. Kalau ada yang bisa Kami lakukan untuk meringankan beban Nak Nina, katakan saja, Nenek dan Kakek tidak bisa tinggal diam dan hanya merepotkan Nak Nina saja,“ ucap Nenek Mirah suatu waktu ketika dilihatnya Nina duduk sendirian di teras.
            “Nina nggak kenapa-naka koq, Nek. Nina senang Nenek dan Kakek, juga nenek-nenek yang lain bisa hidup tenang di sini. Kalau saja nenek Nina masih ada, ia pasti juga akan senang punya banyak teman,” balas Nina. Kegundahan perlahan sirna mendengar pengakuan Nek Mirah.       
            Mungkin Nina mulai keteter menangani banyaknya orang tua jompo di rumahnya. Mereka memang tidak terlalu merepotkan. Kondisinya masih sehat, tidak pikun dan tidak sakit-sakitan, tetapi tetap saja ia membutuhkan banyak biaya untuk perawatan mereka. Bahkan Nina kadang harus merelakan bolos kerja demi mengantar mereka ke dokter untuk pemeriksaan kesehatan.
            Akhirnya Nina memutuskan berhenti bekerja dan mencari pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel. Nina pun mendapatkan pekerjaan baru menjadi marketing freelance dengan penghasilan yang tidak terlalu jauh berbeda dibanding dengan gaji di perusahaan lamanya. Ia juga mengajar di sebuah lembaga pendidikan berbasis bimbel.
            Sebulan sejak  Nina menjalani pekerjaan barunya, ia dipertemukan lagi dengan seorang nenek yang sedang menangis di suatu tempat.                 
            “Nenek kenapa menangis?” tanya Nina iba. Dilihatnya Nenek itu sendiri tanpa membawa apa-apa. Nenek itu tidak lantas menjawab sehingga Nina mendekatinya dan memegang tangannya yang dingin dan gemetaran.
            “Saya diusir anak saya, Neng..” jawabnya terisak.
            “Koq bisa, Nek?” tanya Nina lagi, prihatin.
            “Mungkin saya bisanya cuma ngerepotin anak saya saja. Sedangkan dia sendiri sudah berkeluarga dan harus mengurus anak dan isterinya yang cerewet itu,” lanjut perempuan tua itu semakin terisak.
            Tanpa sedikit pun rasa canggung Nina memeluk Nenek itu. “Ya sudah, Nenek tinggal dengan saya aja ya, Nek,” Nina lalu mengajak perempuan tua itu dan membawanya ke rumah. Kedatangannya disambut oleh semua penghuni rumah yang kemudian menghiburnya sehingga kesedihan Nenek Fat, panggilan kecil Nenek Fatimah, nama perempuan itu, seketika sirna.
            Nenek Fat tinggal di kamar bekas Nina, sedangkan Nina terpaksa pindah kamar ke lantai atas bekas perpustakaan pribadi dan ruang kerja ayahnya dulu.
            Nina merekam semua kejadian itu dan memostingnya satu persatu di blog yang belum lama ia buat. Semua profil para jompo yang ada di rumahnya lengkap dengan foto yang sempat ia ambil melalui kamera hand phonenya pun ia upload. Beberapa peristiwa menarik seperi saat salah satu diantara mereka berulang tahun Nina buatkan cerita tersendiri dengan aneka foto berbagai ekspresi bahagia di gurat wajah tua mereka. Judul artikelnya ‘Bahagia Bersama Tak akan Sirna’ . Saat Nina membuat kue pesanan orang untuk menambah penghasilan rumah jomponya juga ia posting. Sebuah foto jepretan Nek Fat yang bagus melengkapi tulisan yang ia beri judul ‘Lovely Cookies’. Dan foto ketika Kakek Sadikun bersama dengan pegawai kebun Nina menanam pohon mangga hasil cangkokak mereka di pojok halaman rumah, Nina posting dengan judul ‘Pohon Mangga cangkokak Kakek Sadikun’
            Dalam waktu hanya beberapa jam saja Nina sudah membuat postingan yang menarik. Biar nanti Nina tanyakan ke Mas Arnold bagaimana supaya blognya kemudian banyak dibaca orang. Tadi Mas Gyan sempat ngasi tahu, tapi karena terburu-buru, Nina belum sempat memahami cara-caranya.
            Senja beranjak malam. Dan Malam memang akan datang sesuai waktu yang semestinya. Nina bersiap pulang saat Mas Arnold datang.
            “Wah tumben datangnya telat, Mas,” sapa Nina sambil memperbaiki penampilannya supaya lebih rapi pas pulang nanti.
            “Iya, sorry Nin, macet nih. Sumringah banget kelihatannya,” balas Mas Arnold. Dilihatnya segaris senyum mengembang di wajah Nina.
            “Ini Mas, Nina barusan buat blog, diajarin Mas Gyan. Lucu aja, cerita-cerita di blog seru juga ya. Tapi Nina nggak tahu nih caranya supaya blog ini banyak yang baca dan comment, gimana,” lanjut Nina.
            “Itu sih soal gampang, biar Mas-mu ini yang ngurus, jangan diclose dulu ya,” canda Arnold sambil mengucek-ucek rambut Nina yang baru saja disisir. Nina menepisnya dengan candaan juga, lalu diambil lagi sisir dan dirapikannya kembali rambut sebahunya itu.
            Nina kemudian pamit karena ia harus segera membuat brownies untuk dipasarkan besok.
            Arnold lalu membuka blog yang Nina buat tadi dan tersenyum-senyum sendiri begitu membaca tulisan-tulisan Nina. Tetapi di balik itu semua Arnold merasa salut dan bangga dengan apa yang sudah Nina perjuangkan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau gadis ceria seperi Nina mau melakukan hal besar dan merepotkan seperti itu.            Arnold lalu menyebarkan link Invisible Love melalui facebook dan twitter.  Ia juga membuatkan linknya di blog pribadi dia sendiri dengan ulasan yang berisi rasa takjubnya terhadap ketulusan hati Nina.
-o-
            Gyan baru selesai makan malam, dan baru sempat menyalakan laptopnya sekitar satu jam kemudian karena teringat dengan blog yang Nina buat tadi sore. Sebuah blog dengan tittle unik pasti berisi kisah-kisah yang juga unik dari seorang Nina, perempuan cantik yang belakangan ini menyita perhatiannya.
            Sebuah puisi dalam blog itu membuat Gyan termanggu cukup lama.

CINTA TAK KASAT MATA
Cinta tersampaikan melalui aliran udara,
Melalui rongga-rongga tanah
Melalui desiran air di tiap buih ombak
Dan riak sungai pada muara
Cinta tak perlu bahasa
Kata, puja ataupun rayuan
Cinta hanya perlu sehalus sentuhan
Setulus senyuman
Dan setitik pengabdian
Cinta hanya terjamah oleh perasaan yang sama
Cinta hanya terukir dalam hati yang sama
Cinta hanya bermuara pada samudera yang sama
Ketika cinta bertebaran bak kunang-kunang di sekitar kita
Ke mana kita mengikuti arah cahayanya
Ketika cinta bersembunyi seperti kepik
yang hanya terdengar kepaknya
Ke mana kita akan mencari
Cinta tak kasat mata
Kita hanya perlu sedikit merasa.

            Gyan tidak menyangka dengan apa yang sudah Nina lakukan selama ini. Ia pikir Nina hanya membantu memberi tempat tinggal dan makan seadanya. Ternyata ia juga mengurus semua keperluan penghuni rumah jomponya. Cinta yang berkobar di dalam dirinya,sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan cinta Nina terhadap para manula itu. Nina menyalurkan cintanya tanpa harus berfikir apakah cinta itu akan berbalas atau tidak. Hanya Tuhan yang menuntun dan Nina sungguh merupakan ciptaan-Nya yang sempurna.
            Hanya dalam waktu beberapa jam saja, blog itu ternyata sudah banyak yang mengunjungi, terlihat dari jumlah comment yang masuk. Tak perlu konfirmasi dari yang punya blog, hanya dengan memasukkan kata sandi tertentu, maka comment-comment itu akan bermunculan dengan sendirinya. Kebanyakan dari pengunjung blog itu merasa takjub dan tertarik dengan kegiatan Nina. Malah ada yang minta alamat untuk memberikan bantuan materi, minta nomor telepon dan alamat email, minta akun facebook dan twitter, dan yang lebih menarik ada yang membalas puisi Nina dengan puisi juga.
            Mas Gyan tersenyum kembali. Blog Invisible Love bukan saja sudah memberinya banyak inspirasi, tetapi juga  sebuah kekuatan untuk berani mencurahkan cintanya, meskipun dengan cara yang tak kasat mata. Nina memberinya cara bagaimana ia bisa meraih cinta itu dan berharap seseorang bisa menjamahnya dengan perasaan yang sama. Nina.
-o0o-

Jumat, 07 September 2012

BATHROOM IDOL




Kamiluddin Azis

Sejak dulu aku memang hobi menyanyi. Meski tidak satu pun alat musik yang benar-benar kukuasai, tetapi menyanyi sudah menjadi terapi buatku. Di kamar mandi, sambil mencuci atau menyetrika pakaian, bahkan selama mengendarai motor pulang-pergi kerja aku selalu menyenandungkan lagu, apa saja. Setiap kali menyanyi, beban hidup yang menghimpit kadang terasa menjadi lebih ringan. Tapi.. kalau menyanyi di atas panggung besar dan ditonton oleh ratusan orang, wah gimana rasanya ya?
            Pada sebuah acara gathering karyawan yang diadakan perusahaan setahun yang lalu, aku terpaksa harus menyanyi di depan ratusan karyawan se-Jawa Barat. Acara yang diadakan di sebuah taman wisata di daerah Dago Bandung itu memang baru pertama kali digelar. Tentu saja acaranya heboh bin seru karena lebih dari 600 karyawan dari berbagai divisi dan kantor cabang tumplek dalam satu tempat, menikmati kebersamaan dan bersilaturahmi secara langsung satu sama lain.  Untuk meningkatkan keakraban antar sesama karyawan diadakan pula berbagai lomba ala 17 Agustusan, termasuk lomba menyanyi dengan tajuk Company Idol.  Aku yang kebetulan berkantor di Bandung, didaulat menjadi panitia sekaligus peserta lomba idol-idolan sebagai wakil dari kantor Branch Office (BO) Jawa Barat.
            Berbagai persiapan sudah aku lakukan sejak seminggu sebelum acara dimulai. Latihan bernyanyi -meski itu dilakukan di kamar mandi- secara intens aku lakukan. Karena akan ada dua kali babak penyisihan, aku pun mempersiapkan dua buah lagu. Pede aja lagi, siapa tahu aku lolos dan menjadi Company Idol. Kan lumayan, selain tambah beken aku juga bisa dapat hadiah. Rencananya aku akan menyanyikan lagu ‘Satu Jam Saja’-nya ST-12 dan lagu ‘C i n t a’–nya D’Bagindas. Selain mudah dihafal, lagu itu masih menjadi TOP 20 di radio Bandung saat itu. Kedua lagu itu secara berulang-ulang aku dengarkan melalui MP3 player di telepon genggamku. Pagi, siang, bahkan malam. Anak-anak sampai hafal semua liriknya. Mereka juga ikut-ikutan bernyanyi saat aku menyanyikannya dengan suara keras di kamar mandi.
       “Jadi curiga nih, kok ayah nyanyinya lagu itu-itu terus,” celetuk istriku saat mendengar aku dan anak-anak menyanyikan lagu CINTA sambil menyusun puzzle baru bergambar tokoh kartun kesukaan mereka.
            Aku hanya tersenyum menanggapi celoteh istriku itu. Sebenarnya aku agak malu untuk berterus terang tentang rencana mengikuti lomba idol itu. Padahal istriku tahu betul kalau aku memang hobi menyanyi dan bahkan sempat nekat mau ikut audisi Indonesian Idol kalau saja tidak segera sadar karena umurku tidak lagi memenuhi syarat. Hiks... aku selalu tutup muka setiap kali ingat hal itu. Narsis yang tidak tahu diri!
*
Taman Ir. H. Djuanda Bandung tampak sibuk di hari Minggu itu. Saat matahari belum sempurna terbit di ufuk timur, rombongan karyawan dari berbagai kota sudah mulai berdatangan. Dari Bogor, Cibinong, Sukabumi dan Cianjur, Juga dari daerah Tasikmalaya, Garut dan Banjar. Sepertinya mereka semua berangkat pagi-pagi sekali.
            Sebagai panitia pelaksana, kami sudah mempersiapkan segala hal dengan baik sehari sebelumnya. Tenda-tenda istirahat, properti lomba, doorprize, dan banyak lagi. Kami bahu membahu menyelesaikan semua tugas panitia. Lumayan capek juga, sampai-sampai konsentrasiku terpecah antara mengurus tetek-bengek kepanitiaan dengan persiapan menjadi peserta lomba. Untungnya pada malam Minggu, Manajer Personalia menyuruhku untuk istirahat lebih dulu dibanding panitia lainnya. Aku pun melewatkan tugas membungkus hadiah-hadiah untuk doorprize dan pemenang lomba.
            Aku sudah siap tempur. Suara emasku akan menggegerkan seisi taman, dan aku akan menjadi Company Idol yang pertama. Oh iya, aku lupa memberitahukan bahwa untuk menentukan pemenang Company Idol itu dilakukan metode vouting penonton seperti halnya Indonesian Idol atau ajang pencarian bakat lainnya yang mengandalkan sms dari penonton. Bedanya penonton Company Idol ini memberikan dukungan dengan cara membeli produk perusahaan berupa minuman dalam kemasan botol dan mengisi satu vouting card dengan nama idol pilihan mereka. Semakin banyak vouting card berisi nama peserta idol yang diserahkan ke vouting corner, semakin besar pula peluang dia menjadi seorang Company Idol. Semoga aku mendapat dukungan paling banyak.  
             Setelah semua karyawan kumpul, acara pun dibuka dengan berdoa bersama,  yel-yel perusahaan, pengarahan tekhnis, dan sambutan dari General Manager. Kemudian ratusan karyawan itu menyebar, saling bersilaturahmi, dan bersiap-siap mengikuti aneka lomba yang diadakan di beberapa titik berbeda.
Matahari merangkak garang. Acara demi acara lomba sudah selesai dilakukan. Setelah makan siang, semua karyawan berkumpul di depan panggung yang berdiri di tengah-tengah taman. Mereka duduk di bangku taman, menatap pada satu titik yang sama : panggung besar dengan ratusan doorprize, dan seorang penyanyi dangdut yang membuka acara dengan suara merdu dan goyangan mautnya. Aku ikut bergoyang sekedar untuk mengusir demam panggung yang mendadak kambuh. Dalam hati aku meneriakkan kata-kata pembangkit semangat : narsis.. narsis.. narsis.. pasti bisa!
Tiba saatnya Lomba Idol! Satu persatu peserta tampil dengan hebohnya. Apalagi  peserta yang menyanyikan lagu dangdut dan diikuti goyangan dari para pendukungnya. Giliranku pun tiba. Bismillah, ilmu narsis kusemat di dada. Tak kusangka efek lagu ‘Saat Terakhir’ ST-12 yang kunyanyikan membuat suasana berubah hening. Riuh tepuk tangan membahana usai aku bernyanyi. Lega rasanya. Terlebih setelah hasil vouting diumumkan, aku lolos ke babak selanjutnya! NARSIS, eh.. SERU!
Setelah diselingi dengan pembagian doorprize, babak final pun dimulai. Pada penampilan kedua itu, kuajak audience bernyanyi bersama. Lagu D’Bagindas pun kembali melejit hari itu, dan tepuk tangan penonton jauh lebih dahsyat daripada sebelumnya. Tapi sayang, di akhir acara aku harus puas menjadi runner up 2 alias juara ke-3 karena kalah vouting. Sebuah bingkisan besar, yang kupikir berupa alat elektronik seperti halnya doorprize, menjadi hadiah yang membuatku penasaran. Aku sudah membayangkan mendapat magic com yang akan aku hadiahkan untuk istriku. Pasti ia akan senang sekali. Apalagi kebetulan alat penanak nasi di rumah sedang rusak.
Tetapi saat kubuka hadiah itu.. OOW? Kotak besar itu ternyata berisi sekantong besar keripik singkong. Fantastis, iseng-iseng kutimbang, kira-kira beratnya mencapai 5 kg!! Kandas deh harapan memberikan hadiah kejutan untuk istri di rumah.
Keesokan harinya, keripik itu aku makan rame-rame bersama teman-teman kantor. Sambil saling melempar ledekan dan banyolan seputar even kemarin, kami seruangan menikmati kebersamaan makan bareng keripik singkong idola. Seru.. tidak akan pernah kulupakan betapa narsisnya aku. Apalagi setelah melihat foto-foto dan video rekaman penampilanku, alamak… narsis tingkat dewa! Padahal kalau diingat-ingat studio latihanku selama ini hanya ruangan dingin tanpa pengedap suara berukuran  2x2 meter. Ya, kamar mandi itu! Makanya,  aku mungkin lebih cocok menyandang gelar Bathroom Idol ketimbang Company Idol.
*