INVISIBLE
LOVE
Penghujung malam belum berakhir. Angin yang menggelitik kulit
membuat bulu-bulu halus yang tumbuh di atasnya berdiri tegak, berontak tak mau
lepas dari dekapan hangatnya selimut.
Jam dinding masih
bertahan di pukul setengah tiga pagi,
tetapi Nina sudah terjaga untuk memulai aktivitas rutinnya. Setiap hari, selama
setahun belakangan ini. Di saat orang-orang masih dibuai mimpi dan bergulung di
atas tempat tidur, Nina sudah bergelut dengan pekerjaan rutin demi
mempertahankan hidup banyak orang.
Setelah selesai
mandi air hangat, Nina menyalakan kompor dan memanaskan wajan untuk menggoreng
aneka makanan yang semalam sudah disiapkannya.
Adonan jajanan seperti pisang goreng, risole, pastel, dan sebagainya
menjadi sahabat setianya sejak ia berkomitmen akan mengurus sendiri yayasan
kecil itu.
Bukan yayasan
seperti yang mungkin ada di benak banyak orang. Hanya ada beberapa orang tua
terlantar yang ia layani dan cukupi kebutuhannya. Sumber dana pun terbatas dari
penghasilan usaha yang dijalani Nina saja. Dari hasil usaha membuat dan menjual
kue-kue, serta magang di sebuah warung internet untuk mengisi kekosongan karyawan
yang berganti shift.
“Coba Kamu buat
sebuah blog atau website pribadi yang berisi tentang kegiatanmu itu, Nin,” usul
Gyan sambil menyerahkan kunci kasir sesaat setelah ia membereskan
barang-barangnya dan bersiap meninggalkan warung internet yang seharian ia
jaga. Sekilas diliriknya jam di pergelangan tangannya. Baru pukul tiga. Ia
masih punya waktu satu jam sebelum ia benar-benar harus membiarkan Nina sendiri
menjalankan tugasnya. Dan tidak ada salahnya kalau satu jam ini ia habiskan
bersama Nina, untuk membimbingnya membuat blog atau sekedar menanyakan kabar
para penghuni panti jompo Nina. Kebersamaan yang mungkin jarang terjadi secara
kebetulan.
“Ribet nggak, Mas
bikinnya?” Nina menerima kunci kasir dan memberikan lembar tanda serah terima
tugas dan saldo kas kepada Gyan. “Pernah sih kepikir untuk membuat semacam blog
pribadi. Tapi saya belum sempat. Dan..
nggak pede juga, mau diisi dengan apa,” Nina menyambut usul Gyan. Ditatapnya
mata lelaki itu. Pertemanan yang dijalinnya selama ia bekerja di warnet ini
telah membuat Nina percaya bahwa Gyan adalah lelaki yang baik dan sangat
perhatian.
“Gampang koq,
Nin. Tuh di laci ada buku petunjuk praktis untuk membuat blog. Atau perlu aku
buatkan website aja sekalian.” lanjut Gyan. Ia sudah membayangkan kalau Nina
mau membuat blog dan bercerita tentang kegiatan yang dijalaninya selama ini,
akan banyak orang yang peduli dan mau membantu. Gyan kadang miris kalau harus
membayangkan bagaimana Nina bisa mengurus lebih dari 5 orang tua jompo di
rumahnya, dengan penghasilan Nina yang pas-pasan.
Gyan membuka buku
dan menunjukkan cara praktis membuat blog gratis untuk sekedar belajar dulu.
Nina langsung mempraktekkannya dengan sungguh-sungguh. Beruntung ia bisa
bekerja di warnet sehingga bisa menggunakan layanan internet secara gratis,
sambil menjalankan tugas melayani para tamu yang menggunakan jasa warnet itu,
pastinya. Gyan juga orangnya asyik. Selain pintar dan mau berbagi ilmu, ia juga
kadang membantu Nina dengan memberikan bantuan materi untuk meringankan beban
Nina mengurus para manula itu. Terutama kalau pada saat gajian tiba. Yah,
itung-itung sedekah, katanya.
“Nah, Sekarang,
mulai deh Kamu isi blog Kamu ini dengan postingan tentang kegiatan-kegiatan
pribadi Kamu, nanti aku bantu upload foto, dan iklanin blog ini,” ucap Gyan
puas memberikan tutorial singkat dengan hasil yang lumayan. Nina memang punya
daya tangkap yang cepat, jadi apa yang Gyan jelaskan bisa langsung dia
praktekkan tanpa ada kesalahan yang berarti.
“Makasih ya, Mas,” balas Nina tak kalah puas. Dalam benaknya
menari-nari berbagai inspirasi yang ingin ia tuangkan ke dalam blognya. Ia
semakin bersemangat mendengar Gyan masih mau membantu memperindah blognya itu
di kemudian hari.
Gyan kembali melirik jam di tangannya. Ia lalu
mengenakan jaket dan siap untuk pulang. “Saya suka banget nama blog Kamu, Nin.
Saya bisa jadi penggemar fanatic nih,” ucapnya sambil mengacungkan jempol dan
berlalu.
Nina tersenyum
menanggapi ucapan Gyan.
Ada waktu sekitar
empat jam sebelum Arnold datang untuk shift malam, yang bisa Nina gunakan untuk
mengisi Blognya yang masih kosong. Sambil menarik nafas dan menghempaskannya
perlahan, jemari Nina mulai menari di atas keyboard.
*
Invisible
Love, sebuah Blog yang akan menuntun Anda mencurahkan rasa cinta Anda
tanpa ada orang lain yang tahu bila Anda berbagi. Nina tersenyum sendiri
melihat bagaimana pikirannya kembali menerawang mengingat satu persatu orang
tua itu berdatangan dan mengisi rumah sederhananya. Nina tidak perlu mengundang
mereka, tetapi Tuhan telah mengirim mereka dengan jalan yang tidak terduga sama
sekali.
Sejak orang tua
Nina meninggal belasan tahun yang lalu karena kecelakaan, Nina praktis diasuh
dan dirawat oleh neneknya dari pihak ibu yang sudah lama menjanda. Nina adalah
anak tunggal, sehingga semua warisan peninggalan orang tua Nina, jatuh ke
tangannya. Sebuah rumah dan sejumlah investasi menjadi hak Nina sepenuhnya.
Dari bekal uang asuransi dan tabungan itulah, Nina tumbuh dan dibesarkan dengan
baik oleh neneknya. Tetapi sayang, dua tahun yang lalu neneknya meninggal duNadia
dan tidak bisa menyaksikan acara wisuda Nina beberapa bulan kemudian.
Tinggalah Nina
sendirian di sebuah rumah besar bergaya Belanda dengan teras asri dan halaman
yang luas itu. Dua buah pohon mahoni besar berdiri kekar di bagian depan rumah seolah menjadi pelindung dan penjaga setia di
sana. Ada taman kecil yang terdiri dari kolam ikan hias dan beberapa koleksi
bunga anggrek dan bonsai peninggalan nenek Nina.
Di tengah
kesendirian itulah tiba-tiba Nina
kedatangan tamu, seorang pengemis tua. Teringat neneknya yang sudah meninggal,
Nina lalu mengajak perempuan tua itu tinggal bersamanya. Bukan sebagai
pembantu, tetapi sebagai seseorang yang Nina ingin berbagi kebahagiaan
bersamanya. Ketika neneknya masih ada, Nina memang jarang bermanja-manja,
apalagi mengurus neneknya itu. Kesibukan kuliah waktu itu benar-benar menguras
waktu dan tenaga Nina sampai nyaris tak bersisa. Makanya untuk menebus
kesalahan itu, Nina ingin membantu pengemis tua itu supaya punya tempat tinggal
dan kehidupan yang layak. Dialah Nenek Ngatiyem asal Semarang yang terlunta di
Jakarta sejak bertahun-tahun silam. Entah
apa yang hendak Tuhan sampaikan pada Nina, tidak lama waktu berselang Nina
menemukan seorang nenek bernama Natiah yang sedang meringis menahan sakit, di
tepi jalan. Rupanya nenek gelandangan itu adalah korban razia gepeng yang
berhasil melarikan diri. Rumah kardusnya sudah habis diobrak-abrik petugas
taman kota karena memang kebanyakan gelandangan menggunakan lahan taman untuk
tempat mukim mereka. Nina lalu membawa Nenek Natiah, ke rumahnya. Dan bersama
Nenek Ngatiyem, Nenek Natiah pun mengisi satu kamar kosong bekas neneknya Nina.
Untuk mengurus
kedua nenek itu Nina akhirnya menggunakan jasa pembantu rumah tangga paruh
waktu. Gaji yang ia peroleh selama bekerja di sebuah perusahaan asing, ia
sisihkan untuk kehidupan kedua nenek itu. Makanan, pakaian, obat-obatan, semua
sudah dianggarkan, termasuk untuk menggaji pembantu rumah tangga yang pada
akhirnya harus menetap di situ. Nina sama sekali tidak pernah mengeluh dengan
membengkaknya pengeluaran Nina. Kadang ia sendiri harus menggunakan sisa
tabungannya, dan merelakan semua gajinya untuk keperluan mengurus kedua nenek
itu.
Rupanya Tuhan
masih memberikan kepercayaan pada Nina dengan mengirimkan sepasang orang tua
yang kehilangan bekal karena dirampok ketika mereka baru tiba di Jakarta. Uang
dan semua perbekalan mereka raib, termasuk alamat sang anak yang hendak
ditemuinya di ibukota ini. Nenek Mirah
dan Kakek Sadikun pun diajak Nina menetap di rumahnya. Kebetulan masih ada satu
lagi kamar kosong di dekat dapur yang tidak terpakai.
Bersama para
jompo itu Nina merasa rumahnya kembali hangat dan ramai. Masa-masa ketika kedua
orang tuanya masih ada kembali hadir. Cinta dan kasih yang tercurah dari para
orang tua itu membuat Nina merasa tidak memiliki beban hidup apapun. Nenek
Mirah dan Kakek Sadikun saja begitu betah sehingga tidak kepikiran lagi untuk
mencari anaknya atau meminta Nina untuk mengiklankan keberadaan mereka sehingga
keduanya bisa ditemukan oleh anaknya. Tinggal bersama Nina dan orang tua jompo
lainnya di sini sudah membuatnya jauh lebih tenang.
“Kami senang bisa
tinggal di sini bersama-sama. Kalau ada yang bisa Kami lakukan untuk
meringankan beban Nak Nina, katakan saja, Nenek dan Kakek tidak bisa tinggal
diam dan hanya merepotkan Nak Nina saja,“ ucap Nenek Mirah suatu waktu ketika
dilihatnya Nina duduk sendirian di teras.
“Nina nggak
kenapa-naka koq, Nek. Nina senang Nenek dan Kakek, juga nenek-nenek yang lain
bisa hidup tenang di sini. Kalau saja nenek Nina masih ada, ia pasti juga akan
senang punya banyak teman,” balas Nina. Kegundahan perlahan sirna mendengar
pengakuan Nek Mirah.
Mungkin Nina
mulai keteter menangani banyaknya orang tua jompo di rumahnya. Mereka memang
tidak terlalu merepotkan. Kondisinya masih sehat, tidak pikun dan tidak
sakit-sakitan, tetapi tetap saja ia membutuhkan banyak biaya untuk perawatan
mereka. Bahkan Nina kadang harus merelakan bolos kerja demi mengantar mereka ke
dokter untuk pemeriksaan kesehatan.
Akhirnya Nina memutuskan
berhenti bekerja dan mencari pekerjaan dengan waktu yang lebih fleksibel. Nina
pun mendapatkan pekerjaan baru menjadi marketing
freelance dengan penghasilan yang tidak terlalu jauh berbeda dibanding
dengan gaji di perusahaan lamanya. Ia juga mengajar di sebuah lembaga
pendidikan berbasis bimbel.
Sebulan
sejak Nina menjalani pekerjaan barunya,
ia dipertemukan lagi dengan seorang nenek yang sedang menangis di suatu tempat.
“Nenek kenapa
menangis?” tanya Nina iba. Dilihatnya Nenek itu sendiri tanpa membawa apa-apa.
Nenek itu tidak lantas menjawab sehingga Nina mendekatinya dan memegang
tangannya yang dingin dan gemetaran.
“Saya diusir anak
saya, Neng..” jawabnya terisak.
“Koq bisa, Nek?”
tanya Nina lagi, prihatin.
“Mungkin saya
bisanya cuma ngerepotin anak saya saja. Sedangkan dia sendiri sudah berkeluarga
dan harus mengurus anak dan isterinya yang cerewet itu,” lanjut perempuan tua
itu semakin terisak.
Tanpa sedikit pun
rasa canggung Nina memeluk Nenek itu. “Ya sudah, Nenek tinggal dengan saya aja
ya, Nek,” Nina lalu mengajak perempuan tua itu dan membawanya ke rumah.
Kedatangannya disambut oleh semua penghuni rumah yang kemudian menghiburnya
sehingga kesedihan Nenek Fat, panggilan kecil Nenek Fatimah, nama perempuan
itu, seketika sirna.
Nenek Fat tinggal
di kamar bekas Nina, sedangkan Nina terpaksa pindah kamar ke lantai atas bekas
perpustakaan pribadi dan ruang kerja ayahnya dulu.
Nina merekam
semua kejadian itu dan memostingnya satu persatu di blog yang belum lama ia
buat. Semua profil para jompo yang ada di rumahnya lengkap dengan foto yang
sempat ia ambil melalui kamera hand
phonenya pun ia upload. Beberapa peristiwa menarik seperi saat salah satu
diantara mereka berulang tahun Nina buatkan cerita tersendiri dengan aneka foto
berbagai ekspresi bahagia di gurat wajah tua mereka. Judul artikelnya ‘Bahagia
Bersama Tak akan Sirna’ . Saat Nina membuat kue pesanan orang untuk menambah
penghasilan rumah jomponya juga ia posting. Sebuah foto jepretan Nek Fat yang
bagus melengkapi tulisan yang ia beri judul ‘Lovely Cookies’. Dan foto ketika
Kakek Sadikun bersama dengan pegawai kebun Nina menanam pohon mangga hasil
cangkokak mereka di pojok halaman rumah, Nina posting dengan judul ‘Pohon
Mangga cangkokak Kakek Sadikun’
Dalam waktu hanya
beberapa jam saja Nina sudah membuat postingan yang menarik. Biar nanti Nina
tanyakan ke Mas Arnold bagaimana supaya blognya kemudian banyak dibaca orang.
Tadi Mas Gyan sempat ngasi tahu, tapi karena terburu-buru, Nina belum sempat
memahami cara-caranya.
Senja beranjak
malam. Dan Malam memang akan datang sesuai waktu yang semestinya. Nina bersiap
pulang saat Mas Arnold datang.
“Wah tumben
datangnya telat, Mas,” sapa Nina sambil memperbaiki penampilannya supaya lebih
rapi pas pulang nanti.
“Iya, sorry Nin,
macet nih. Sumringah banget kelihatannya,” balas Mas Arnold. Dilihatnya segaris
senyum mengembang di wajah Nina.
“Ini Mas, Nina
barusan buat blog, diajarin Mas Gyan. Lucu aja, cerita-cerita di blog seru juga
ya. Tapi Nina nggak tahu nih caranya supaya blog ini banyak yang baca dan
comment, gimana,” lanjut Nina.
“Itu sih soal
gampang, biar Mas-mu ini yang ngurus, jangan diclose dulu ya,” canda Arnold sambil mengucek-ucek rambut Nina yang
baru saja disisir. Nina menepisnya dengan candaan juga, lalu diambil lagi sisir
dan dirapikannya kembali rambut sebahunya itu.
Nina kemudian
pamit karena ia harus segera membuat brownies untuk dipasarkan besok.
Arnold lalu
membuka blog yang Nina buat tadi dan tersenyum-senyum sendiri begitu membaca
tulisan-tulisan Nina. Tetapi di balik itu semua Arnold merasa salut dan bangga
dengan apa yang sudah Nina perjuangkan. Ia sama sekali tidak menyangka kalau
gadis ceria seperi Nina mau melakukan hal besar dan merepotkan seperti itu. Arnold lalu menyebarkan link Invisible Love melalui facebook dan
twitter. Ia juga membuatkan linknya di
blog pribadi dia sendiri dengan ulasan yang berisi rasa takjubnya terhadap
ketulusan hati Nina.
-o-
Gyan baru selesai
makan malam, dan baru sempat menyalakan laptopnya sekitar satu jam kemudian
karena teringat dengan blog yang Nina buat tadi sore. Sebuah blog dengan tittle unik pasti berisi kisah-kisah
yang juga unik dari seorang Nina, perempuan cantik yang belakangan ini menyita
perhatiannya.
Sebuah puisi
dalam blog itu membuat Gyan termanggu cukup lama.
CINTA TAK KASAT MATA
Cinta
tersampaikan melalui aliran udara,
Melalui
rongga-rongga tanah
Melalui
desiran air di tiap buih ombak
Dan riak
sungai pada muara
Cinta tak
perlu bahasa
Kata, puja
ataupun rayuan
Cinta hanya
perlu sehalus sentuhan
Setulus
senyuman
Dan setitik
pengabdian
Cinta hanya
terjamah oleh perasaan yang sama
Cinta hanya
terukir dalam hati yang sama
Cinta hanya
bermuara pada samudera yang sama
Ketika
cinta bertebaran bak kunang-kunang di sekitar kita
Ke mana
kita mengikuti arah cahayanya
Ketika
cinta bersembunyi seperti kepik
yang hanya
terdengar kepaknya
Ke mana
kita akan mencari
Cinta tak
kasat mata
Kita hanya
perlu sedikit merasa.
Gyan tidak
menyangka dengan apa yang sudah Nina lakukan selama ini. Ia pikir Nina hanya
membantu memberi tempat tinggal dan makan seadanya. Ternyata ia juga mengurus
semua keperluan penghuni rumah jomponya. Cinta yang berkobar di dalam
dirinya,sama sekali tidak ada artinya dibandingkan dengan cinta Nina terhadap
para manula itu. Nina menyalurkan cintanya tanpa harus berfikir apakah cinta
itu akan berbalas atau tidak. Hanya Tuhan yang menuntun dan Nina sungguh
merupakan ciptaan-Nya yang sempurna.
Hanya dalam waktu
beberapa jam saja, blog itu ternyata sudah banyak yang mengunjungi, terlihat
dari jumlah comment yang masuk. Tak perlu konfirmasi dari yang punya blog,
hanya dengan memasukkan kata sandi tertentu, maka comment-comment itu akan
bermunculan dengan sendirinya. Kebanyakan dari pengunjung blog itu merasa
takjub dan tertarik dengan kegiatan Nina. Malah ada yang minta alamat untuk
memberikan bantuan materi, minta nomor telepon dan alamat email, minta akun facebook dan twitter, dan yang lebih menarik ada yang membalas puisi Nina dengan
puisi juga.
Mas Gyan
tersenyum kembali. Blog Invisible Love
bukan saja sudah memberinya banyak inspirasi, tetapi juga sebuah kekuatan untuk berani mencurahkan
cintanya, meskipun dengan cara yang tak kasat mata. Nina memberinya cara
bagaimana ia bisa meraih cinta itu dan berharap seseorang bisa menjamahnya
dengan perasaan yang sama. Nina.
-o0o-