Senin, 02 Januari 2012

Flash Fiction - Tirani Untuk Mami

oleh Kamiluddin Azis pada 18 Oktober 2011 pukul 0:18
 
“Kamu gimana sih, Jo, malu-maluin mami aja!” gerutu mami sambil membantu Jo mengeluarkan pakaian dari travel bag.
            Jo tidak mengucapkan sepatah katapun. Selama di perjalanan dari bandara, mami tidak henti-hentinya memberikan wejangan, menumpahkan kekesalan dan kekecewaan terdalam yang pernah ia rasakan sejak Jo memutuskan pertunangannya dengan anak rekan bisnis mami di Belanda.
            “Kamu dengerin mami gak sih, Jo?” habis kesabaran mami.
            “Iya, Mam, dari tadi juga Jo dengerin koq. Jo cuma lagi nunggu giliran bicara,” balas Jo lembut.
            “Sudah. Kamu gak usah ngomong apa-apa lagi. Sekarang biar mami yang simpan cincin Kamu. Besok kalian akur, bisa rujuk lagi,” pinta mami setengah memaksa.
            “Mam, Jo tidak mencintai Iriana. Kami tidak pernah cocok. Jadi untuk apa Jo menikahi dia, Mam?” Jo menatap mami penuh harap, bebas dari cengkeraman skenario hidup yang sudah mami tentukan.
            Apa arti cinta bagi mami? Apa makna kebahagiaan bagi orang tua yang telah merencanakan masa depan buat anaknya. Bahkan sebelum ia lahir.
            Mami tidak pernah bisa menjawabnya. Mami tidak pernah bisa membuktikan kalau ia bahagia, padahal Jo selalu menuruti semua kata mami. Mengikuti jadwal yang mami buat mulai dari bangun pagi sampai tidur lagi. Selama 25 tahun sejak Jo bisa hafal syair  Bintang Kecil dengan benar.
            Tapi, Bintang kecil mami kini sudah dewasa. Entah mami menyadarinya.
#
            Jo mengecup kening mami untuk yang terakhir kalinya sebelum kereta itu berangkat menuju tempat peristirahatan mami yang terakhir. Setitik air mata bergulr mengiringi kepergian mami yang selalu menjaga dan merawatnya. Saya berjanji akan mendapatkan istri yang bisa merawat saya sebaik mami, bisik hati Jo.
            “Kami turut berduka cita, Mas,” suara merdu itu bagaikan udara segar yang mengusir sesak dari dada Jo. Kehangatan menjalar ke sekujur tubuh Jo tatkala melihat keteduhan mata seorang perempuan yang kini sedang menatapnya lirih.
            “Terima kasih,” balas Jo nyaris terbata-bata. Seulas senyum mengembang, mengusir kesedihan yang bergelayut di hati Jo.
            “Mami orang yang sangat bijak. Selalu mengajarkan cinta kasih dengan tulus. Saya Tirani. Selama ini saya membantu dokter yang merawat mami Mas. Kami semua sangat kehilangan,” lanjut perempuan itu masih dengan raut muka yang sedih, tetapi memancarkan aura yang menyejukkan sekaligus menghangatkan bathin Jo.
            “Terima kasih,” kembali hanya kalimat itu yang berhasil keluar dari bibir Jo yang takjub menatap cantik dan anggunnya sosok perempuan itu. Dadanya berdetak lebih cepat. Desiran angin lembut meresap jauh lebih ke dalam jiwanya. Kehangatan dan kedamaian membuat Jo tidak ingin perempuan itu berada jauh darinya.

#

            Ternyata tak perlu jauh menyelam lautan hanya untuk mencari mutiara. Tak perlu terbang melintas langit hanya untuk menikmati pelangi. Di pelupuk matanya pelangi yang indah memancar. Dan jauh di dalam hatinya berkilau mutiara yang tiada ternilai. Cinta ada pada pandangan pertamanya. Tirani untuk mami.

**** beberapa tahun silam ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar