Kamis, 28 Februari 2013

Cuplikan cerpen "My Special Gift" dalam buku " Sepanjang Rel Kereta"


My Special Gift
Kamiluddin Azis



“Yara?“ mataku nyaris loncat saat melihat perempuan cantik berambut sebahu itu tiba-tiba muncul di hadapanku. Sudah lebih dari tiga tahun aku dan Yara  tidak bertemu.
“Apa kabar, Rud?” Mata bulat gadis itu menari. Yara lalu meletakkan sebuah kantong kertas di atas meja kecil dekat mesin kasir dan sebuah notebook yang baru saja kumatikan.
            Yara, gadis mungil berkulit coklat itu, adalah sahabatku sejak kami sama-sama duduk di kelas V SD. Waktu itu Yara adalah anak baru pindahan dari Jakarta yang selalu menjadi pusat perhatian banyak siswa. Ia sangat baik dan perhatian.  Kecocokan satu sama lain membuat kami dekat sampai kami masuk SMP, bahkan kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut.
            Lepas SMP, aku dan Yara memilih sekolah yang berbeda. Yara masuk SMU terkemuka di Jawa, sedangkan aku sekolah kejuruan otomotif, dengan harapan setelah lulus nanti aku bisa langsung bekerja dan membantu orangtuaku. Dan sejak saat itu praktis komunikasi kamu terputus. Tapi kami saling memberi kabar melalui chatingdi situs jejaring sosial. Saling berbagi support dan semangat saat salah satu diantara kami sedang down. Semua berjalan sampai Yara masuk kuliah dan aku membuka usaha kecil-kecilan ini. Rasanya tidak ada yang berubah sama sekali dengan persahabatan kami selain jarak yang terbentang cukup jauh. Yara masih memberiku spirit untuk terus maju, untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan tetap berjuang di saat cobaan tak henti mendera.            “Tambah maju sekarang kamu, Rud!” UcapYara sambil memperhatikan ruangan kecil tempatku bekerja. Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan montir, spare part kendaraan dan lantai belepotan oli. Aku tersenyum menanggapi komentar pertama Yara saat melihat kondisiku. Dalam beberapa chating kami, aku sudah banyak bercerita tentang bengkel kecil-kecilan yang kubuka sejak lulus SMK. Pinjaman modal dari temannya Bapak sangat membantuku. Karena tidak memiliki cukup pengalaman, aku tidak percaya diri untuk memulai usaha ini. Tapi Yara yang saat itu baru masuk kuliah jurusan manajemen memberikanku suntikan keyakinan, sehingga secara perlahan aku mulai bangkit. Dan dibukalah bengkel kecil ini di salah satu sudut pinggiran kota Bandung.
Sejak dulu Yara memang sangat baik dan perhatian padaku. Cuma Yara yang tahu kalau isi dompetku hanya cukup untuk membayar ongkos berangkat sekolah saja. Sedangkan untuk pulang, sudah bisa dipastikan aku bakalan nebeng truk pengangkut sayuran atau binatang ternak. Jadi, boro-boro jajan apalagi traktir teman, aku saja lebih sering puasa dan pura-pura sibuk di perpus supaya tidak ketahuan kalau aku super bokek. Aku adalah cowok kutu buku yang tongpes alias kantong kempes, cupu dan kurang gaul. Dan, cuma Yara yang tahu kalau aku setengah mati menahan sabar karena selalu jadi bahan ledekan teman-teman sekelas. Cuma Yara yang lalu datang menghibur dan sesekali membagi separuh sandwich makan siangnya padaku.  Dan sampai sekarang Yara tidak pernah berubah. Itulah yang membuatku semakin kagum padanya. Aku tak pernah berhenti menyayanginya.
“Kamu yang hebat, sebentar lagi mau jadi sarjana,” balasku sambil memperhatikan raut Yara yang tiba-tiba sedikit berubah. “Kenapa, Yar? Emh, gimana kalau kita makan bakso, yuk!” ajakku, mencoba mencairkan atmosfer yang tiba-tiba membeku.
Setelah menitipkan bengkel pada anak buahku, aku dan Yara menuju sebuah kedai bakso tidak jauh dari workshop-ku.
“Berapa lama liburannya, Yar?” tanyaku sambil memasukkan potongan bakso urat ke mulutku.
“Aku tidak sedang liburan, Rud. Lagi cuti.” Yara memainkan sendok dan garfunya tanpa minat.
“Cuti? Kenapa? Bukannya kamu ingin lulus lebih cepat, Yar?” aku heran melihat sikap Yara yang tiba-tiba berubah seperti itu. Tidak biasanya dia malas-malasan. Libur semester kemarin saja dia mengambil kuliah semester pendek.
“Ayahku terkena masalah.” Yara membuang pandangannya ke jalan raya yang mulai ramai. “Ayah dituduh terlibat korupsi oleh pihak manajemen perusahaan tempatnya bekerja. Sudah lima bulan ini ia dinonaktifkan. Bahkan, Ayah tidak mendapatkan gaji sepeserpun, padahal semua tuduhan itu belum terbukti sama sekali. Aku bahkan yakin, Ayah tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.” Suara Yara berubah parau.
Aku meletakkan sendok dan mengalihkan semua perhatianku pada Yara. Gadis itu tampak sedih. Aku tidak melihat binar semangat di matanya. Senyumnya meredup. Butiran es bisa luruh setiap saat ia berkedip. Kupegang erat tangan Yara. Kristal itupun berguguran. Kurebahkan kepala Yara ke pundakku, berharap bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Gadis itu menangis hebat, tak peduli orang lain di sekitar bertanya-tanya kenapa.
Ayah Yara adalah seorang deputi keuangan di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang jasa asuransi. Ia orang kedua setelah CEO (Chief Executive Officer) dan memiliki tugas yang sangat kompleks. Itulah sebabnya secara financial Yara tampak sangat mapan dibanding aku, dan aku tidak pernah berpikir sekalipun jika suatu waktu kehidupannya akan berubah seperti ini.
“Kamu tahu, Rud, sudah dua semester ini aku kuliah sambil kerja. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi minimal aku sudah bisa belajar mandiri. Maafkan aku ya, Rud karena tak pernah bisa jujur padamu. Aku malu, sebenarnya aku menyemangatimu sekalian juga menyemangati diri sendiri. Dan itu cukup berhasil untuk membuatku tidak down.”
Aku salut sama Yara. Dari dulu, meskipun anak orang kaya, tapi dia tak pernah sombong dan merendahkan orang lain.
“Terus rencanamu apa, Yar?” tanyaku saat kulihat Yara sudah lebih bisa menguasai diri.
“Aku akan mencari pekerjaan di sini, Rud. Mudah-mudahan di Bandung aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Aku akan tinggal di rumah tanteku karena rumah orangtuaku yang dulu sudah dijual untuk menutupi biaya hidup kami selama Ayah tidak bekerja.”
“Kalau kamu mau, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak, kamu bisa bantu-bantu pembukuan bengkelku. Gimana, Yar?” tiba-tiba sebuah ide segar mampir di kepalaku.
“Serius, Rud?” Yara nyaris berteriak kalau saja tidak keburu sadar kami berada di tempat umum. Matanya kembali bersinar.
Aku mengangguk. “Asal kamu terbiasa saja dengan bau oli dan keringat penghuni bengkel,” godaku membuat bibir Yara melengkung indah.
“Itu sih sudah biasa. Selama di Jawa aku pernah turun ke tempat yang jauh lebih bau. Pokoknya kalau Kamu ngasi aku kesempatan kerja di bengkelmu, aku akan jadikan bengkelmu lebih ramai. Aku mau buatkan situs atau blog dan promo di facebook supaya Bengkel Rudiana Surya semakin terkenal.” Celotehnya penuh semangat.
Begitulah Yara, kesedihan tidak akan pernah mampir lama dalam hidupnya, karena gadis ini memang dilahirkan untuk menikmati semua kebahagiaan yang Tuhan ciptakan. Aku baru ingat kalau ini adalah bulan Desember, dan sebentar lagi Yara akan berulang tahun. Semoga apa yang kulakukan bisa membuatnya bahagia. Anggap saja ini sebagai kado ulang tahun yang belum pernah kuberikan padanya.  Semacam Special Gift dari seorang sahabat sekaligus secret admirer-nya. Aku senang bisa mengusir sedikit lara di hatinya. Dan kalau mungkin aku ingin bisa membuatnya selalu tersenyum dan bahagia.
“Hey, kenapa, Kamu?” Yara mencubit lenganku dan membuyarkan semua lamunanku.
“Eng… enggak… Ayo kita mulai beraksi!” Aku menarik tangan Yara. Setelah membayar makanan dan minuman kami, kugenggam tangan Yara, dan selama perjalanan menuju bengkel tak kulepaskan meski sedetik. Tidak ada percakapan diantara kami. Kepalaku sibuk memikirkan hari-hari yang akan kami jalani ke depan. Entah apa yang ada dalam benak Yara. Semoga sesuatu yang bisa membuat hubungan kami semakin erat.

*

 Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda  juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.

Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)

Cerpen Perempuan Setia dalam Kumcer "Kesetiaan Hati Sang Bintang"


Perempuan Setia




Pagi merayap saat kabut tipis beringsut tertiup angin. Mentari tersenyum, menyambut puluhan, bahkan ratusan orang yang dengan penuh semangat melakukan aktivitas harian mereka sejak subuh tadi. Pedagang sayuran, tengkulak buah-buahan, pengecer ayam, daging, dan berbagai jenis kebutuhan lain tumplek bersama para pembeli langganan mereka. Semua berlomba dengan waktu, menjemput rezeki yang sudah Tuhan persiapkan.
                Pada sepertiga malam terakhir, pasar Anyar Bogor  sudah menggeliat. Orang-orang seperti Bu Rima, pun sudah terbangun. Perempuan berusia empat puluh tahunan itu sudah menyalakan kompor, membuat adonan kue-kue dan menggorengnya. Selepas salat subuh baru ia menjajakan dagangannya di pasar. Pelanggannya yang kebanyakan para pemilik warung sudah menunggunya di sana.
                Sudah lebih dari sepuluh tahun Bu Rima menjalankan usahanya. Usaha kecil-kecilan yang dirintisnya sejak Pak You, berhenti dari jabatannya sebagai manager produksi sebuah pabrik  kaos kaki karena penyakit diabetes yang tak kunjung sembuh. Uang pesangon Pak You hanya bertahan sekitar satu tahun sejak ia pensiun. Kehidupan keluarga Pak You dengan dua orang anak yang masih remaja berubah secara perlahan. Segala kebutuhan keluarga yang semula serba terpenuhi, kini harus diatur sedemikian rupa agar cukup untuk waktu yang sudah ditentukan. Belum lagi untuk biaya pengobatan suaminya yang tentu tidak sedikit.
                Sebagian besar uang jasa dari perusahaan memang diinvestasikan oleh Pak You pada sebuah usaha yang dijalankan oleh rekan-rekannya secara patungan. Tetapi usaha itu baru berjalan beberapa bulan sehingga belum terasa hasilnya. Dengan kepiawaiannya mengatur keuangan rumah tangga Bu Rima menggunakan sebagian uang lainnya sebagai modal usaha catering kue-kue. Kebetulan Bu Rima memang pandai membuat aneka kue basah dan kering, juga  menghias kue-kue pesta. Ia memiliki banyak relasi yang bisa dijadikan sebagai pelanggan.
                “Maafin Papa, ya, Ma. Gara-gara penyakit Papa ini, Mama jadi repot,” bisik Pak You sambil menggenggam jemari istrinya, saat Bu Rima menyuguhkan teh hangat sore itu.
                “Tidak apa-apa, Pa. Sudah menjadi kewajiban Mama untuk merawat Papa dan mengambil alih semuanya saat Papa sakit seperti ini. Papa tak perlu minta maaf.” Bu Rima menatap mata suaminya yang berkaca-kaca, dengan penuh kasih sayang. Ia masih ingat saat mereka mengikat janji di pelaminan dulu. Bagaimanapun keadaannya, susah ataupun senang, ia dan suaminya sudah berikrar untuk saling mencintai. Menerima segala kekurangan dan menjalani apapun kesulitan yang menghadang dalam biduk rumah tangga mereka. Mereka sudah berjanji untuk saling setia.
                Bu Rima menjalani cobaan ini dengan penuh ikhlas dan sabar. Ia setia pada janji itu. Sebagaimana ia setia saat suaminya masih Berjaya dulu. Kehidupan itu ibarat roda berputar. Ada kalanya berada di atas seperti saat Pak You masih memiliki kedudukan penting di perusahaan tempat ia bekerja dulu, dan ada saatnya berada di bawah. Seperti sekarang ini. Keadaan ekonomi keluarga Pak You dan Bu Rima  tengah dilanda krisis. Ryan, anak pertama mereka  terpaksa hanya bisa mengenyam pendidikan sampai SMU. Keinginannya untuk kuliah di tekhnik sipil terpaksa ditunda entah sampai kapan. Sedangkan Wiwin, adiknya masih duduk di bangku SMP. Dan dengan sekuat tenaga Bu Rima memperjuangkan agar anak gadisnya itu tidak sampai putus sekolah.
                Ryan dan Wiwin sangat mengerti kondisi keuangan keluarga. Mereka bahu membahu saling membantu. Dari uang tabungannya Ryan mulai merintis usaha rental play station di ruang depan rumahnya. Sementara Wiwin membantu Bu Rima mengurus usaha catering makanan dan membuka kios nasi goreng di halaman rumah yang kebetulan menghadap ke jalan raya. Semua mereka lakukan demi kelangsungan hidup keluarga. Demi cinta mereka pada Pak You yang saat ini tengah didera sakit yang cukup parah, dan nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Demi kesetiaan pada hidup dan cinta yang mengalir dalam darah mereka.

*



Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda  juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.
Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)



Cuplikan cerpenku dalam kumcer "Berbagi Abi"


Seliter Bensin, Sepenggal Nyawa
Kamiluddin Azis



Laki-Laki setengah baya itu terkulai tak berdaya. Seluruh tubuhnya dibalut perban akibat luka bakar yang dialaminya kemarin. Kios bensin eceran tempatnya selama ini mengais rezeki secara tidak sengaja terbakar gara-gara ember berisi bensin terjatuh. Cairan bensin mengalir dan mengenai setumpuk sampah  tidak jauh dari kios itu. Sebuah puntung rokok yang belum padam betul menjadi pemicu kebakaran. Dan nahasnya, lelaki itu kesulitan menyelamatkan diri karena api dengan mudah melahap kiosnya yang terbuat dari kayu dan triplek.
            “Luka bakar 85% membuat Pak Imron harus mendapatkan perawatan intensif. Saluran pernafasannya menyempit. Kami harus melakukan operasi supaya oksigen bisa masuk ke paru-parunya.” Seorang dokter menjelaskan kondisi lelaki penjual bensin itu pada istrinya. Perempuan berpenampilan sangat sederhana itu hanya bisa menangis mendengar penjelasan dokter. Ia tidak tahu bagaimana nasib suami dan dirinya jika ia tidak bisa tertolong. Saat kejadian itu, si Ibu sedang berjualan makanan keliling di pasar.
            Betapa hidup sangat berat dan tidak adil. Setidaknya itu yang ada dalam benak Bu Inah saat menghadapi cobaan ini. Ia dan Pak Imron terpaksa berjualan bensin eceran sejak suaminya pensiun dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Uang pensiun yang diberikan perusahaan itu hanya mampu menyambung hidup mereka berdua selama beberapa bulan saja. Sebagian kecil disisihkan untuk modal usaha.  Sejak pernikahan mereka 30 tahun lalu Tuhan memang belum juga memberikan mereka keturunan. Tapi ketika masih berjaya, mereka sempat mengadopsi beberapa keponakannya. Hanya saja setelah anak-anak itu cukup besar,  keluarganya memintanya kembali.
            Setelah berhari-hari Pak Imron dirawat di rumah sakit, Bu Inah mulai kebingungan. Selain biaya rumah sakit yang pastinya sangat besar, ia mulai mengkhawatirkan nasib mereka jika suaminya sudah pulih. Beberapa tetangga dan saudara dekatnya memang secara sukarela membantu. Ia juga mendapat keringanan biaya dengan jaminan kartu miskin yang dimilikinya. Tapi, tetap saja ia harus membayar beberapa jenis biaya yang tidak bisa ditanggung oleh kartu sakti itu. Seperti obat luka bakar dan penahan nyeri yang harganya sangat mahal. Bu Inah sudah mencoba mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi hasilnya nihil.
            Dalam solat malamnya Bu Inah meratap, mengadukan nasibnya kepada Sang Pemberi Kesabaran. Ia yakin, Tuhan tidak akan pernah tidur saat manusia yang tengah ditimpa kemalangan, tetapi selalu teringat pada-Nya. Melalui tangan Tuhan seribu satu keajaiban bisa saja terjadi hanya dalam satu kedipan mata.
“Permisi, Suster... kamar Pak Imron di mana ya?” tanya seorang lelaki muda pada suster yang bertugas di balik meja.
“Di sebelah sana, Pak. Itu istrinya  kebetulan ada di luar,” jelas suster itu dengan ramah sambil menunjuk Bu Inah yang kebetulan sedang berada di ruang tunggu.
Saat mendengar namanya disebut, Bu Inah lalu berdiri. Menyambut lelaki muda berwajah bersih yang kemudian menghampirinya, dengan raut penuh tanda tanya.
“Ibu, maaf, saya baru tahu kalau Bapak kena kecelakaan,” ujarnya seraya menyalami Bu Inah dengan raut sedih.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi maaf, Adik ini siapa ya?”
“Saya Tio, Bu. Beberapa bulan yang lalu saya pernah membeli bensin di tempat Bapak. Tapi karena dompet saya tertinggal, sementara saya buru-buru sekali, saya belum membayarnya. Bapak memang sudah mengikhlaskannya waktu itu, tetapi saya merasa sangat berhutang budi pada Bapak.”
 Saat itu, Tio harus menghadapi wawacara kerja penentuan. Nasibnya benar-benar ditentukan hari itu. Di tengah jalan, motor tua yang dikendarai Tio kehabisan bensin. Setelah berjalan cukup jauh ia menemukan kios bensin Pak Imron. Tapi sayang, ternyata dompetnya ketinggalan. Pak Imron mengerti dan dengan rela memberikan bensin dagangannya kepada Tio tanpa harus dibayar. Tetapi Tio bertekad akan segera membayarnya.
Rupanya Hari itu adalah hari keberuntungan Tio. Ia diterima bekerja di perusahaan itu, bahkan mendapat posisi yang sangat bagus. Keesokan harinya ia sudah langsung bekerja dan ditugaskan di luar kota untuk beberapa bulan ke depan. Saat ia kembali ke kantor pusat beberapa hari lalu, ia teringat akan jasa Pak Imron. Kalau saja ia tidak membeli bensin di kios Pak Imron hari itu, bagaimana mungkin ia bisa mengikuti wawancara tepat waktu sampai mendapatkan pekerjaan yang ia idam-idamkan itu. Ia pun segera menuju kios Pak Imron. Tapi apa yang ia dapatkan, kios itu sudah rata dengan tanah. Dalam keadaan hitam sisa terbakar. Setelah mencari tahu apa yang terjadi, Tio pun menyusul ke rumah sakt tempat Pak Imron dirawat.
“Saya ingin berterima kasih kepada Bapak. Saya akan membayar semua biatya rumah sakit Bapak. Mohon Ibu mengijinkannya,” ucap Tio seraya menggenggam tangan Bu Inah sebagai bentuk kesungguhannya.
Butiran-butiran bening berjatuhan dari kelopak mata Bu Inah. Allah memang Maha Pemurah. Doa-doanya kini terkabul. Pak Imron mendapat pertolongan dari orang yang pernah ia bantu, meskipun itu tidaklah seberapa. Tio mendapatkan posisi jabatan yang sangat menjanjikan di perusahaan itu. Dan kini ia mau berbagi rezekinya sebagaimana yang telah Pak Imron lakukan padanya tempo hari.
“Terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Nak Tio.” Tak henti-henti Bu Inah mengucap syukur pada Tuhan.
Kini, harapan itu kembali hadir. Setelah Pak Imron dioperasi dan berobat jalan secara rutin, kesehatannya berangsur pulih. Tio membiayai semuanya. Bahkan ia memberikan bantuan uang untuk modal usaha Bu Inah buka warung kecil-kecilan di rumahnya. Betapa kebaikan dan ketulusan hati Pak Imron yang telah memberikan secara cuma-Cuma seliter bensin telah menyelamatkan hidupnya. Itulah indahnya berbagi dalam hidup ini.

*


Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda  juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.
Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)

Salah satu cerpen dalam Kumcer "Keajaiban Bersyukur"


Saat Syukur, Saat Nikmat Berlipat
Kamiluddin Azis



Aku melipat kertas kecil itu dan memasukkannya kembali ke dalam dompet. Aku tak tahu bagaimana reaksi istriku saat melihat angka-angka dalam kertas itu. Apakah akan tertunduk lesu seperti diriku, atau seperti biasa, tersenyum lalu menepuk pipiku sambil membisikkan kata-kata menyejukkan : ‘Alhamdulillah, Kang, kita harus selalu bersyukur atas semua yang Tuhan berikan pada kita. Ini hasil keringat Akang ?
            Setitik air bergulir dari sudut mataku. Kenapa nasib masih belum berpihak padaku. Segala usaha telah kukerahkan, tetapi sepertinya Tuhan masih enggan memberiku kesempatan untuk bisa hidup senang dan membahagiakan keluargaku. Ucapan istriku begitu perih menohok. Ia sangat sabar menghadapi semua cobaan ini, sementara aku, selalu saja merasa sulit untuk menerima. Mungkin benar, selama ini aku kurang bisa mensyukuri apa yang telah kuperoleh.
            “Ayo, anak-anak kita nikmati makan malam spesial ini,”  Neng Maya, Istriku menata masakan di atas tikar dan mengatur tempat duduk kedua anakku sambil menggendong bayi kami yang masih 8 bulan.
            “Spesial apanya, Ummi? Kok cuma telor dadar sama mie goreng doang,” celetuk Rana, anak keduaku yang sudah mulai masuk TPA, sambil mengunyah makanannya.
            “Iya, Ummi, lauknya juga sedikit. Padahal, ini kan tanggal gajian Abi,” tambah Rizky, anak sulungku yang sudah duduk di kelas 3 SD. Sepertinya kedua anakku sudah bosan dengan menu makanan yang itu-itu saja. Hatiku teriris melihatnya.
            “Sudah... sudah... kita harus selalu bersyukur dengan apa yang kita dapatkan hari ini. Orang lain belum tentu seberuntung kita. Kita juga harus berterima kasih kepada Abi karena ini semua hasil kerja keras Abi selama sebulan. Ya, ayo, Bi, kita berdoa dulu!”
            Aku membuka kedua telapak tanganku, menengadahkannya ke atas, lalu mulai memimpin doa. Bukan saja doa makan, tetapi doa syukur atas semua kenikmatan yang masih Tuhan berikan padaku dan keluargaku.
            Anak-anak tentu tidak tahu bagaimana rasanya membanting tulang siang dan malam menjadi pegawai sebuah agen sembako. Keringat tak pernah berhenti mengalir. Belum sempat mengering, aku harus segera menurunkan barang-barang kiriman dari supplier. Sedangkan gaji yang kuperoleh masih harus dipotong kasbon untuk ongkos dan makan siang jika kebetulan istriku tidak sempat membuatkanku bekal.
Sejak diberhentikan dari pekerjanku di sebuah perusahaan tekstil yang mengalami gulung tikar, praktis aku bekerja serabutan, sampai suatu waktu ada tetanggaku yang memberitahu kalau di tempatnya bekerja ada lowongan. Akupun diajaknya menemui Pak Sofyan pemilik grosir sembako itu, dan aku langsung diterima. Kini berbulan-bulan sudah aku bekerja padanya. Tetapi sayang, gaji yang kuperoleh hanya cukup untuk makan sehari-hari, bayar kontrakan dan biaya sehari-hari lainnya. Kalau saja istriku tidak membantu dengan menjadi kuli cuci, tentu anak-anak akan kesulitan mengikuti pendidikan. Istriku memang sangat baik dan pengertian.
“Yang penting Akang, dan kita semua sehat. Itu sudah lebih dari cukup. Dan ini adalah kenikmatan yang sangat mahal yang Tuhan berikan pada kita, Kang.”
Begitulah, istriku selalu mengingatkanku untuk terus berikhitar dan berdoa. Merutinkan sholat malam dan menyempatkan sholat duha itu yang akan membawa barokah dalam hidup kita. Itu semua bentuk syukur kita kepada Sang Pemberi Segalanya.
Selang beberapa minggu kemudian, aku dan istri mendapat penawaran untuk menjalankan bisnis ayam goreng dari tetangga yang selama ini sering meminta bantuan istriku untuk mengurus berbagai keperluan rumah tangganya. Sebuah warung nasi mungil di pinggir jalan pun mulai kami rintis. Dan Alhamdulillah usaha itu berkembang sesuai harapan. Bahkan kini aku bisa mulai menabung untuk masa depan anak-anak.
Begitulah kekuatan Bersyukur. Tuhan akan melipatgandakan apa yang sudah Dia berikan saat manusia menyusukuri nikmatnya. Saat syukur, saat nikmat berlipat.

*




Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda  juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.
Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)


Rabu, 27 Februari 2013

Cuplikan Cerpen 'Sesak Rindu Membisu' dalam Surat Kecil untuk Ibu'





Sesak Rindu Membisu
Kamiluddin Azis

Nimas mengelus perutnya yang kian hari terasa keras dan membesar. Sesekali ia meringis menahan sakit yang selalu muncul tak terduga. Mukanya berubah pucat jika tiba-tiba sesuatu seolah menohok dan memelintir dari dalam organ perutnya. Kalau sudah begitu, perempuan tiga puluhtahunan itu hanya bisa menahannya sambil terus berdoa.
            “Terasa lagi, Bu?” dengan cemas Radi, suami Nimas menghampiri istrinya sambil membawakan segelas air putih.
            Nimas mengangguk dengan raut kesakitan.
            “Besok kita ke dokter Dian lagi ya, Bu.” Lalu ia menuntun istrinya menuju kamar,  yang di sana sudah terbaring Aga, anak pertama mereka yang baru berusia empat tahun.
            Sudah dua bulan terakhir ini Nimas divonis terkena penyakit hepatitis C. Mungkin sebenarnya Nimas sudah terinfeksi virus ini sejak lama, tetapi karena kesibukannya bekerja, kerapkali ia tidak merasakan adanya hal aneh dalam tubuhnya. Baru pada suatu malam saat badannya demam tinggi, ulu hatinya terasa sangat sakit.
            Keesokan harinya Radi membawa Nimas berobat ke spesialis penyakit dalam di luar kota. Dan sejak saat itulah Nimas mulai merasakan berbagai keluhan sakit di sekujur tubuhnya.
            “Istri Anda sudah hampir terkena sirosis. Jika dibiarkan terlalu lama, pengerasan hati ini bisa memicu kanker,” ucap dokter Dani sambil memberikan resep dan melanjutkan dengan wejangan agar Nimas mengikuti jadwal pengobatannya secara berkala.           
            Radi terkulai lemas mendengar penjelasan dokter Dani. Ia tahu betul betapa berbahayanya penyakit yang diderita Nimas. Ayah dan Kakak perempuan Nimas juga meninggal karena penyakit yang hampir sama. Tapi Radi berjanji akan memperjuangkan kesembuhan istrinya. Demi cintanya pada Nimas. Juga pada Aga.
            “Ibu harus kuat,” bisik Radi. Seulas senyum menenangkan hati Nimas.
            “Kalau nanti Ibu sembuh, jadi ya, Yah, bulan depan kita pesta khitan Aga. Ibu ingin kita didandani seperti pengantin,” balas Nimas sambil membayangkan dirinya duduk di pelaminan bersama suami dan anaknya. Saat menikah dulu, mereka memang tidak mengadakan resepsi pernikahan seperti kebanyakan pasangan pengantin baru lainnya. Tetapi, kalaupun saat itu mereka memiliki cukup biaya, tentu Nimas akan menggunakan uang itu untuk biaya kuliahnya, agar ia bisa segera diangkat menjadi PNS. Lebih dari sepuluh tahun mengabdikan diri sebagai guru honor tidak lantas membuat Nimas dipertimbangkan menjadi Pegawai Negeri Sipil. Meski begitu, Nimas tetap bekerja dengan sungguh-sungguh, mengabdikan diri pada dunia pendidikan dan anak-anak. Dan prestasi kerjanya selama ini sangat mengagumkan pihak sekolah, dan orangtua murid.
            Hari berjalan sangat lambat, merangkak minggu demi minggu hingga bulan pun berganti dengan enggan. Penyakit Nimas semakin menjadi. Derita yang dirasakan Nimas sudah memengaruhi emosi dan semangat hidupnya. Silih berganti sahabat, rekan kerja, handai taulan, bahkan murid-murid dan orangtuanya menengok dan memberikan semangat pada Nimas. Tetapi itu tidak membuat Nimas semakin membaik. Tidak banyak makanan yang bisa masuk dan dicerna menjadi tenaga. Semuanya keluar lagi dalam bentuk yang berbeda. Kondisi kesehatan Nimas semakin memburuk.
            Semua usaha telah dikerahkan untuk kesembuhan Nimas. Selain berobat ke dokter Dani, Nimas juga dibantu terapi herbal dan alternative. Radi,  Mama Nimas juga kakak dan adik-adik Nimas tidak henti-henti berdoa. Begitupun dengan Neneknya. Pada suatu malam, sepulang berobat dari dokter Dani, Nimas terlihat sehat, bahkan ia berceloteh tentang rencana pesta khitan Aga dan baju pengantin yang akan ia kenakan nanti. Tentang dekorasi gedung, makanan, juga hiburan. Semua menanggapinya dengan antusias. Tetapi selang beberapa jam ia kembali mengeluhkan sakit di perutnya. Bahkan mukanya berubah pucat dan sangat mengkhawatirkan. Radi langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.
            Di sebuah rumah sakit umum, Nimas mendapat perawatan intensif dari dokter senior.
            “Yang kuat ya, Bu, nanti kan kita akan mengadakan syukuran khitan Aga, juga mengusahakan pengangkatan Ibu jadi PNS. Ibu mau kan?” Radi menggenggam tangan Nimas yang terkulai lemah. Diperhatikannya alat deteksi jantung di samping brankar Nimas yang bergerak ritmik.
            Dengan sisa tenaganya Nimas mengangguk sambil mengulas senyum. Gerak bibirnya memanggil Aga dan mamanya.
            “Ini Mama, Nimas. Nimas pasti sembuh kok. Besok Mama ajak Aga ke sini ya,” derai air berguguran di pipi Mama Nimas. Ia tak bisa menyembunyikan kesedihan dan rasa takut di hatinya. Nimas pasti sedang sangat kesakitan sekarang, dan mama mana yang tidak ikut merasakan penderitaan anaknya.
            Nimas tersenyum. Setitik air yang semula menggenang di pelupuk matanya, kini luruh perlahan. Mata teduhnya begitu damai menatap suami dan mama tercintanya berdiri di hadapannya. Kepalanya dengan lembut terkulai ke arah kanan. Napasnya terlepas dalam sekali hentakan. Denyut nadinya berhenti bersamaan dengan alat detak jantungnya yang membentuk satu garis lurus.
            “Nimaaaaassss,” pekik Radi yang disusul jerit Mama Nimas. Radi memeluk dan mengguncang tubuh Nimas yang sudah terbujur kaku. Derai air mata tak mampu lagi dibendungnya. Tumpah semua bersama kesedihan dan perasaan kehilangan. Separuh jiwanya seolah lepas, mengantar kepergian Nimas, istri tercintanya. Tubuh Radi nyaris ambruk dalam pelukan Nimas kalau saja dokter dan perawat tidak segera datang dan menenangkannya.
            Mama mencium kening Nimas dengan perasaan teramat perih. Ini adalah kehilangan yang ketiga kalinya setelah suami dan anak keduanya meninggal di rumah sakit yang sama. Kepergian Nimas membuatnya sangat terpukul, apalagi ia memiliki Aga, cucunya yang masih sangat kecil dan memerlukan perhatian ibunya.
*


Baca kelanjutan kisahnya dalam buku Kumcer Surat Kecil untuk Ibu' yang bisa dibeli di Deka Publisher
beserta cerita-cerita lainnya yang sangat menyentuh.
Membeli buku ini sekalian mengisi kesempatan beramal karena royalti akan disumbangkan pada keluarga penderita gagal ginjal.
Ada 6 judul paket buku dalam Here After Saving part II, silakan dicek di sini

 

Cuplikan cerpen 'Muara Insyafku' dalam 'Jantung Untuk Naya'









Muara Insyafku
Kamiluddin Azis


Mestinya aku tidak pernah melakukan hal itu. Dengan alasan apapun, perbuatan itu tetap saja salah. Dosa.
Sore itu, langit tampak muram. Lembayung enggan singgah di ufuk barat karena mendung menggelayut, seolah langit kan runtuh hanya dalam hitungan detik. Petir dan badai tak sabar mengantar rintik hujan menerobos atmosfer bumi.
Aku menengadahkan mukaku yang berlumur darah, berharap hujan akan menjilati perihku. Membasuh noda-noda yang melekat di setiap jengkal tubuhku. Menyucikan kembali setiap dosa yang teramat sulit kulepas.
Tuhan, andai Kauberikan satu saja pilihan untukku, aku tidak ingin terus menerus  berada dalam kubangan kotor ini. Kubangan penuh lumpur dalam labirin hidup yang sulit kulalui. Selalu saja terjebak pada jalan yang sama setelah aku berputar-putar putus asa. Lelah rasanya menghabiskan sisa hidupku yang kelam ini. Lelah dan putus asa.
“Ini malam terakhir. Aku janji, Sayang,” rayu laki-laki biadab itu. Rayu yang juga identik dengan sebuah ancaman. Sebab jika tak kuturuti apa maunya maka sekujur tubuhku bisa lebam tak karuan. Aku tahu, tak pernah ada malam terakhir. Selalu kalimat itu yang terucap. Dan esok, lusa, juga  seterusnya selalu saja ia memperlakukanku seperti binatang tanpa belas kasihan sedikitpun.
Laki-laki itu terus menghantui malamku. Menikam setiap rasa takut dan menghimpitku dalam dinding dingin dengan lengan besinya yang kokoh. Tak bisa kulukiskan lagi bagiamana relung ini tersiksa. Dalam gelap. Mencekam.
Aku ingin menyudahi semuanya.
“Tapi aku ingin menjadikan ini benar-benar sebagai malam terakhir, Pram!” bisikku sesaat setelah jiwa laki-laki itu mengembara dalam lelap. Aku yakin otakku tak lagi bekerja dengan jernih. Hanya bisik setan yang selalu berkawan denganku selama ini. Dan bisik itulah yang menguatkanku untuk menarik sebilah pisau yang sudah kusiapkan di bawah ranjang.
Dan malam ini, semua sudah tertunaikan.
*
Kubiarkan tubuhnya menggelepar dengan sisa darah yang masih mengalir dari celah atas tungkai kakinya. Sebagian tubuh itu tertutup selimut. Kaku dan pasrah. Seperti tubuhku yang menggigil di sampingnya. Pasrah. Kosong. Tak tahu apa lagi yang harus kulakukan
Mestinya aku bahagia, karena rasa sakit ini telah terbayar. Perih yang bersemanyam selama bertahun-tahun luruh perlahan. Sekerat daging bermandikan darah sebanding dengan Penghinaan yang selama ini  ia lakukan padaku. Ternyata semua itu adalah itulah obat mujarabku.
Butiran hujan masih mengguyur sekujur tubuhku. Dingin dan beku.Dalam sekejap dunia mendadak gelap. Tapi gelap ini jauh lebih indah dan sempurna dibanding kegelapan yang selama ini menyelemuti hidupku.
*


Baca kelanjutan kisahnya dalam Kumpulan Cerpen 'Jantung untuk Naya' bersama cerpen-cerpen lain yang sangat menyentuh.
Buku yang sangat bagus, mengiris hati, tetapi membuka hati dan pikiran untuk melakukan perbaikan dalam hidup ini. 
Membeli buku ini, berarti juga membantu saudara yang sedang didera musibah, karena royalti dari hasil penjualan ini akan disumbangkan untuk sebuah keluarga yang salah seorang anggotanya mengalami gagal ginjal.