My Special Gift
Kamiluddin Azis
“Yara?“
mataku nyaris loncat saat melihat perempuan cantik berambut sebahu itu tiba-tiba
muncul di hadapanku. Sudah lebih dari tiga tahun aku dan Yara tidak bertemu.
“Apa
kabar, Rud?” Mata bulat gadis itu menari. Yara lalu meletakkan sebuah kantong kertas di atas meja kecil dekat mesin kasir dan sebuah notebook yang baru saja kumatikan.
Yara, gadis
mungil berkulit coklat itu, adalah sahabatku sejak kami sama-sama duduk di
kelas V SD. Waktu itu Yara adalah anak baru pindahan dari Jakarta yang selalu menjadi pusat perhatian banyak siswa. Ia sangat baik
dan perhatian. Kecocokan satu sama lain
membuat kami dekat sampai kami masuk SMP, bahkan kelas yang sama selama tiga
tahun berturut-turut.
Lepas SMP, aku dan Yara memilih sekolah
yang berbeda. Yara masuk SMU terkemuka di Jawa,
sedangkan aku sekolah kejuruan otomotif, dengan harapan
setelah lulus nanti aku bisa langsung bekerja dan membantu orangtuaku. Dan
sejak saat itu praktis komunikasi kamu terputus. Tapi kami saling memberi kabar
melalui chatingdi situs jejaring
sosial. Saling berbagi support
dan semangat saat salah satu diantara kami sedang down. Semua berjalan sampai Yara masuk kuliah dan aku membuka usaha
kecil-kecilan ini. Rasanya
tidak ada yang berubah sama sekali dengan persahabatan kami selain
jarak yang terbentang cukup jauh. Yara
masih memberiku spirit untuk terus maju, untuk tidak mengeluh dalam menghadapi
kesulitan hidup dan tetap berjuang di saat cobaan tak henti mendera. “Tambah maju sekarang kamu, Rud!” UcapYara sambil memperhatikan ruangan kecil tempatku bekerja.
Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan montir, spare part kendaraan dan lantai belepotan oli. Aku tersenyum
menanggapi komentar pertama Yara saat melihat kondisiku. Dalam beberapa chating kami, aku sudah banyak bercerita
tentang bengkel kecil-kecilan yang kubuka sejak lulus SMK. Pinjaman modal dari
temannya Bapak sangat membantuku. Karena tidak
memiliki cukup pengalaman, aku tidak percaya diri untuk memulai usaha ini. Tapi
Yara yang saat itu baru masuk kuliah jurusan manajemen memberikanku suntikan keyakinan, sehingga secara perlahan aku
mulai bangkit.
Dan dibukalah bengkel kecil ini di salah satu sudut pinggiran kota Bandung.
Sejak dulu Yara memang sangat baik dan perhatian padaku. Cuma Yara yang
tahu kalau isi dompetku hanya cukup untuk membayar
ongkos berangkat sekolah saja. Sedangkan untuk pulang, sudah bisa dipastikan
aku bakalan nebeng truk pengangkut sayuran atau binatang ternak. Jadi,
boro-boro jajan apalagi traktir teman, aku saja lebih sering puasa dan
pura-pura sibuk di perpus supaya tidak ketahuan kalau aku super bokek. Aku
adalah cowok kutu buku yang tongpes alias kantong
kempes,
cupu dan kurang gaul. Dan, cuma Yara yang
tahu kalau aku setengah mati menahan sabar karena selalu jadi bahan ledekan
teman-teman sekelas. Cuma Yara yang lalu datang menghibur dan sesekali membagi
separuh sandwich makan siangnya
padaku. Dan sampai sekarang Yara tidak pernah berubah. Itulah yang membuatku
semakin kagum padanya. Aku tak pernah berhenti menyayanginya.
“Kamu yang hebat, sebentar lagi mau jadi sarjana,”
balasku sambil memperhatikan raut Yara yang tiba-tiba sedikit berubah. “Kenapa,
Yar? Emh,
gimana kalau kita makan bakso, yuk!” ajakku, mencoba mencairkan atmosfer yang tiba-tiba membeku.
Setelah menitipkan bengkel pada anak buahku, aku dan Yara
menuju sebuah kedai bakso tidak jauh dari workshop-ku.
“Berapa lama liburannya, Yar?” tanyaku sambil memasukkan potongan bakso urat ke mulutku.
“Aku
tidak sedang liburan, Rud. Lagi cuti.” Yara memainkan sendok dan garfunya tanpa
minat.
“Cuti?
Kenapa? Bukannya kamu ingin lulus lebih cepat, Yar?” aku heran melihat sikap Yara
yang tiba-tiba berubah seperti itu. Tidak biasanya dia malas-malasan. Libur
semester kemarin saja dia mengambil kuliah semester pendek.
“Ayahku
terkena masalah.” Yara membuang pandangannya ke jalan raya yang mulai ramai. “Ayah
dituduh terlibat korupsi oleh pihak manajemen perusahaan tempatnya bekerja.
Sudah lima bulan ini ia dinonaktifkan. Bahkan, Ayah tidak mendapatkan gaji
sepeserpun, padahal semua tuduhan itu belum terbukti sama sekali. Aku bahkan
yakin, Ayah tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.” Suara Yara berubah
parau.
Aku
meletakkan sendok dan mengalihkan semua perhatianku pada Yara. Gadis itu tampak
sedih. Aku tidak melihat binar semangat di matanya. Senyumnya meredup. Butiran
es bisa luruh setiap saat ia berkedip. Kupegang erat tangan Yara. Kristal
itupun berguguran. Kurebahkan kepala Yara ke pundakku, berharap bisa membuatnya
merasa lebih nyaman. Gadis itu menangis hebat, tak peduli orang lain di sekitar
bertanya-tanya kenapa.
Ayah
Yara adalah seorang deputi keuangan di sebuah perusahaan besar yang bergerak di
bidang jasa asuransi. Ia orang kedua setelah CEO (Chief Executive Officer) dan
memiliki tugas yang sangat kompleks. Itulah sebabnya secara financial Yara tampak sangat mapan
dibanding aku, dan aku tidak pernah berpikir sekalipun jika suatu waktu
kehidupannya akan berubah seperti ini.
“Kamu
tahu, Rud, sudah dua semester ini aku kuliah sambil kerja. Meskipun hasilnya
tidak seberapa, tetapi minimal aku sudah bisa belajar mandiri. Maafkan aku ya, Rud
karena tak pernah bisa jujur padamu. Aku malu, sebenarnya aku menyemangatimu
sekalian juga menyemangati diri sendiri. Dan itu cukup berhasil untuk membuatku
tidak down.”
Aku
salut sama Yara. Dari dulu, meskipun anak orang kaya, tapi dia tak pernah
sombong dan merendahkan orang lain.
“Terus
rencanamu apa, Yar?” tanyaku saat kulihat Yara sudah lebih bisa menguasai diri.
“Aku
akan mencari pekerjaan di sini, Rud. Mudah-mudahan di Bandung aku bisa
mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Aku akan tinggal di rumah tanteku karena rumah
orangtuaku yang dulu sudah dijual untuk menutupi biaya hidup kami selama Ayah
tidak bekerja.”
“Kalau
kamu mau, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak, kamu bisa
bantu-bantu pembukuan bengkelku. Gimana, Yar?” tiba-tiba sebuah ide segar
mampir di kepalaku.
“Serius,
Rud?” Yara nyaris berteriak kalau saja tidak keburu sadar kami berada di tempat
umum. Matanya kembali bersinar.
Aku
mengangguk. “Asal kamu terbiasa saja dengan bau oli dan keringat penghuni
bengkel,” godaku membuat bibir Yara melengkung indah.
“Itu
sih sudah biasa. Selama di Jawa aku pernah turun ke tempat yang jauh lebih bau.
Pokoknya kalau Kamu ngasi aku kesempatan kerja di bengkelmu, aku akan jadikan
bengkelmu lebih ramai. Aku mau buatkan situs atau blog dan promo di facebook supaya Bengkel Rudiana Surya semakin
terkenal.” Celotehnya penuh semangat.
Begitulah
Yara, kesedihan tidak akan pernah mampir lama dalam hidupnya, karena gadis ini
memang dilahirkan untuk menikmati semua kebahagiaan yang Tuhan ciptakan. Aku
baru ingat kalau ini adalah bulan Desember, dan sebentar lagi Yara akan
berulang tahun. Semoga apa yang kulakukan bisa membuatnya bahagia. Anggap saja
ini sebagai kado ulang tahun yang belum pernah kuberikan padanya. Semacam Special
Gift dari seorang sahabat sekaligus secret
admirer-nya. Aku senang bisa mengusir sedikit lara di hatinya. Dan kalau
mungkin aku ingin bisa membuatnya selalu tersenyum dan bahagia.
“Hey,
kenapa, Kamu?” Yara mencubit lenganku dan membuyarkan semua lamunanku.
“Eng…
enggak… Ayo kita mulai beraksi!” Aku menarik tangan Yara. Setelah membayar
makanan dan minuman kami, kugenggam tangan Yara, dan selama perjalanan menuju
bengkel tak kulepaskan meski sedetik. Tidak ada percakapan diantara kami.
Kepalaku sibuk memikirkan hari-hari yang akan kami jalani ke depan. Entah apa
yang ada dalam benak Yara. Semoga sesuatu yang bisa membuat hubungan kami
semakin erat.
*
Baca
puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus,
Anda juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan
untuk penderita gagal ginjal.
Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)