KUTUNGGU
KAMU DI PARIS VAN JAVA
Wangi citrus menyeruak begitu Glen
menyemprotkan Canali Style pada dadanya yang bidang. Ia bersiul
riang, menyambut mentari pagi dengan penuh antusiasme. Lirik lagu You’re The Inspiration sedari tadi
memenuhi isi kepalanya, seolah ia sedang mendapatkan sebuah inspirasi besar
dalam hidupnya…. And I want you here with me, From tonight until the end of time… You Should know everywhere I go.. You’re
always on my mind, in my heart in my soul.. Glen
tidak sabar menanti saatnya bertemu dengan seseorang yang menjadi sumber
inspirasinya selama ini. Wanna have You
near me …
Ditatapnya
sekali lagi wajah cerianya melalui spion Peugeut
kesayangannya. Putih, tanpa setitik pun jerawat. Tidak sia-sia ia mengikuti tips perawatan
wajah pria yang ia baca di Men’s Healt. After shave
dengan wangi yang sama masih tercium di ujung hidungnya. Glen menatap dirinya
puas karena sudah tampil maksimal dengan jins dan kemeja coklat muda
bergaris-garis santainya. It’s happening!,
pekiknya.
Glen sadar
betul kalau sekarang ini bukan cuma perempuan yang wajib merawat kecantikan
wajahnya. Laki-laki pun wajib menjaga performanya, supaya bisa selalu
tampil bersih dan segar. Karenanya
selain rutin latihan di gym, Glen
juga rajin melakukan treatment perawatan
kulit dan wajah. Tidak
perlu repot sampai harus ke salon segala, cukup baca buku atau majalah,
browsing di internet, terus praktekkan sendiri di rumah. Dan untuk sekedar
evaluasi, biasanya Glen menanyakan hasil kerjanya itu pada teman-teman sekantornya.
Sebagai Assisten
Promotion Manager sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Advertising, Glen harus selalu tampil
menawan, prima, dan selalu memberikan senyum yang ’menjual’ sehingga
klien-kliennya bisa tetap menggunakan jasa perusahaan tempat ia bekerja. Glen
yang memiliki banyak talenta, tidak menyia-nyiakan karunia Tuhan ini untuk
menggaet customer sebanyak-banyaknya.
“Girang banget, lo, Glen,” celetuk Irwansyah begitu melihat Glen di parkiran.
Glen mengunci mobilnya dengan remote dari kejauhan. Lalu bergegas menuju gedung kantor yang
letaknya hanya beberapa meter dari tempat ia memarkirkan mobilnya.
“Gue sih biasa aja, Weng. Lo kali, yang
kelihatan full smile gitu, yang lagi happy!” menghadapi Iweng, panggilan
Irwansyah di kantor, Glen memang agak kurang respek. Selain karena Iweng tuh rival beratnya untuk menduduki jabatan
baru sebagai Direct Sales Promotion
Manager, Iweng kerap kali ketahuan bermuka dua dan berlidah panjang,
alias penjilat di depan para big bos.
“Gue tahu, gue tahu… lo mau ketemuan kan sama Rulita…
Maurita … atau siapa tuh cewek namanya, gue lupa, anak SPG yang baru direkrut
si Evan kemarin itu, kan? Tuh cewek emang cuakep buanget bro. Temennya juga
sexy-sexy, kalo gue sih sukanya sama….” dengan gayanya yang sok tahu Irwansyah terus nyerocos kayak mesin stensil yang lagi
nyetak berpuluh rim kertas.
“Stop!. It’s not Your bussines,brad!. Gue mau
kencan sama gurita kek, mau pacaran sama primata kek, gue nggak bakalan
ajak-ajak lo.” Glen berlalu dari hadapan Irwansyah dan bergegas menuju pintu
lift yang nyaris tertutup. Untung seorang perempuan cantik menekankan tombol open di dalam ruang
lift dan memberi Glen waktu untuk bisa bergabung bersamanya.
Irwansyah melongo sendiri karena tidak sempat nyeletuk,
“Primata? Gurita? Kok?”
Glen menghela napas lega begitu ia berada di dalam lift.
Bebas dari makhluk aneh di pagi seceria ini adalah sebuah keberuntungan. Dan
bonusnya ia ketemu perempuan cantik yang barusan menahan pintu lift. Glen melirik perempuan itu dengan senyum
andalannya.
“Makasih ya, tadi udah…” Glen memamerkan sebaris gigi
putihnya. Tapi matanya hanya tertumpu pada perempuan cantik tadi, sampai-sampai
ia tidak menyadari kalau ternyata mereka cuma berdua di dalam lift itu.
Perempuan itu membalas senyum Glen. Bibir marunnya merekah
seperti bunga mawar yang baru mekar. Sebaris gigi bintang iklan menambah
kecantikan perempuan itu dan
menjadikannya pemandangan menakjubkan pertama hari ini.
“Iya sama-sama.”
Hening sesaat. Ruang lift yang hanya berukuran dua kali
dua meter itu membuat Glen merasa kikuk saat berhadapan dengan seorang
perempuan cantik dalam radius yang sangat dekat. Tetapi kesunyian itu tidak
berlangsung lama. Pintu lift terbuka di lantai tiga dan bibir indah itu kembali
merekah.
“Saya Cindy, staf keuangan baru,” perempuan itu menyebutkan namanya sesaat sebelum ia
menginjakkan kakinya di lantai tiga dan pintu lift kembali tertutup.
Glen masih terpaku di dalam lift yang kembali naik
perlahan. Kenapa lift tidak mendadak mati seperti dalam ’Andai Ia Tahu’, film
lama yang pernah ia tonton di bioskop supaya ia bisa mengenal perempuan itu lebih lama? pekiknya dalam hati.
“Glen, Promosi, lantai enam,” beruntung Glen sempat
membalasnya walaupun dengan nada super kaku. Menghadapi perempuan seperti Cindy
membuat Glen tiba-tiba gemetaran. Cantik -iya, sexy -abis, smart –pasti,
lajang? Nah kalo yang ini sih gue gak tau!
Itu dia masalahnya. Kalau perempuan tadi masih sendiri,
tentu tidak akan susah untuk Glen memulai suatu hubungan. Tapi kalau ternyata
dia sudah punya pasangan, bagaimana Glen bisa mengusir perasaan yang sempat
berdesir di hatinya barusan?
Tapi Glen memang berusaha menepisnya. Hari ini bukan
untuk Cindy. Ia mempersiapkan hari ini buat seseorang yang sudah lama ia
tunggu. Semoga momen yang selalu membuat mimpinya menjadi indah itu akan
terulang kembali. Momen ketika ia bisa bertatapan langsung dengan Sandrina, pujaan hatinya. Saat, rasa itu
mengalir dari sorot matanya yang tajam, menghujam ke ulu hati sehingga Glen
luluh tak berdaya, seolah aliran listrik sekian ribu volt memaksa detak
jantungnya bergemuruh lebih kencang.
-o0o-
Sandrina Claudia Lestari. Siapa yang tidak kenal dengan
perempuan yang satu ini. Penulis novel-novel Best Seller. Selusin lebih ia membuat Novel yang tidak pernah sepi
di pasaran. Delapan diantaranya sudah dibuatkan film. Bahkan ada satu film yang
memenangkan penghargaan pada ajang festival film se-Asia. Cerita-cerita yang
diangkat dari novelnya mampu menghipnotis para juri.
Penulis
yang tidak pernah kehabisan ide dan kata-kata. Lugas bahasanya, galak cara
bicaranya, terkadang sedikit kasar, tetapi sangat berani mengungkap hal-hal
yang menurut kebanyakan orang tabu dan pantang untuk dibicarakan. Novel
terbarunya berjudul Aku Hanya Cinta
Ragamu, Bukan Jiwamu sudah cetak tujuh kali.
Novel
ini mengisahkan seorang istri yang teraniaya suaminya. Semula mereka saling
mencintai sehingga membawa mereka pada sebuah ikatan suci. Pernikahan mereka
awalnya sangat bahagia. Tetapi kebahagiaan itu tidak pernah lengkap karena
mereka belum juga dikaruniai anak. Sang suami menyalahkan istrinya mandul,
demikian juga istrinya menuduh suaminya lemah syahwat. Walaupun dokter
menyatakan keduanya sehat, dan mereka masih punya kesempatan memiliki anak,
kedua pasangan ini tidak lantas menjadi damai. Pertengkaran kerap kali terjadi.
Bahkan kekerasan dalam rumah tangga seperti yang seringkali diadukan ke komnas
ham dewasa ini, dialami juga istri dalam tokoh novel ini.
Konflik
terus terjadi, klimaksnya adalah ketika mereka membuat kesepakatan untuk
mencari pasangan lain masing-masing, lalu melakukan hubungan sex untuk
memastikan siapa sebetulnya yang mandul diantara mereka berdua. Sang suami mencoba mencintai wanita lain,
begitu pun sang istri. Sampai pada akhirnya si istri hamil. Tetapi kehamilan
ini malah menjadi sumber masalah baru. Benih siapakah yang sebenarnya tumbuh
dalam rahim sang istri? Novel ini memang hebat, endingnya luar biasa. Siapapun
tidak pernah bisa menduganya sama
sekali.
Kehebatan novel
ini membawa Sandrina semakin berada di puncak. Ia yang juga menjabat Senior
Editor di sebuah perusahaan penerbitan terkenal semakin mencuat sebagai wanita
berkelas. Pergaulannya membawa ia menjadi selebriti yang selalu tampil glamour dan menuntut pelayanan nomor
satu di manapun ia berada.
“Iya, saya cuma punya waktu 15 menit. Kalau perlu nggak
usah ada tanya jawablah,” desis Sandrina dengan malas.
“Tapi Mbak sudah terlambat setengah jam lebih,” balas
seseorang di balik telepon genggamnya dengan nada resah karena lama menunggu
kehadiran sang bintang tamu.
Sandrina melenguh
kesal. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan dari Jakarta ke Bandung dengan
membawa kendaraan sendiri, ia masih harus berurusan dengan panitia yang sok
ngatur. Belum lagi fansnya yang sok pura-pura mengerti sastra padahal cuma
ingin melihat kemolekan tubuh sang penulis. Begitu selalu yang ada di benaknya
setiap kali ia harus menghadiri undangan talk show atau jumpa fans. That’s it, isn’t it? Kalau bukan karena
obsesinya yang ingin menjadi penulis terkenal, nggak mungkin ia mau melakukan
hal-hal seperti ini. Hal-hal berbau formalitas yang sangat ia benci.
Apalagi kalau Sandrina harus bertemu dengan berbagai
kolega, para praktisi yang tertarik dengan ide-ide beraninya seputar memerangi transgender, pendapatnya mengenai
kebijakan pemerintah yang kurang membela kaum perempuan marginal, masalah sex
remaja, penyakit kelamin, sampai pembahasan mengenai para birokrat dan anggota
dewan yang melakukan perbuatan amoral. Dilengkapi dengan antusiasme pers yang
haus akan berita sensasional, walaupun harus melabrak batas privasinya. Bejibun
kegiatan yang kadang ia sesali kenapa harus menjadi bagian dari konsekuensinya
sebagai penulis terkenal.
Sandrina mengepulkan asap Lucky Strikenya. Kali ini kemacetan terjadi karena ada kecelakaan
lalu lintas di jalanan sempit dekat pertokoan, beberapa ratus meter lagi menuju
Paris van Java, tempat Grand Opening Toko Buku Terbesar di kota Bandung. Di
sana Sandrina akan menjadi tamu utama dalam Jumpa Penulis Terkenal. Dalam
keadaan jengkel Sandrina membunyikan klakson berkali-kali. Kalau sudah begini,
Sandrina yang anggun seolah sedang tidur, dan Sandrina yang lain, yang
temperamen-lah yang akan terjaga. Sungguh perbedaan yang sangat kontras. Ketika
kata-kata menari dalam novelnya, membuai para pembaca pada khayalan sosok
penulis yang feminim, anggun, ramah dan bersahaja, sosok Sandrina yang
sesungguhnya malah mengacaukan persepsi itu mentah-mentah.
BlackBerry Sandrina kembali berbunyi. Sandrina lalu
mengangkat telponnya persis di depan klakson yang sedang ia tekan sekuat
tenaga.
“Mbak… Mbak…. Kenapa?” jerit panik seseorang di seberang
sana.
-o0o-
Di dalam ruang kerjanya, Glen merapikan sederetan
buku-buku marketing dan promosi koleksinya. Kemudian ia membuka sebuah lemari
yang dalamnya tersimpan sebuah obsesi besar yang sudah sejak lama ia pendam.
Puluhan buku dengan cover warna-warni mengkilat, juga berderet rapi. Yang unik
dari pemandangan ini ialah nama penulis yang tercetak di cover samping
buku-buku itu semuanya sama, yaitu : Sandrina Claudia Lestari.
Glen
menarik beberapa buku yang ia yakini belum dibubuhi tanda tangan sang penulis.
Tiga buah buku kini sudah diapitnya. Ini
bukti kesetiaanku padamu, Lestari, ucapnya dalam hati. Glen ingat betul
setiap kali ia meminta Sandrina membubuhkan tanda tangan di halaman pertama
bukunya yang baru terbit, Sandrina selalu tersenyum seraya mengucapkan terima
kasihnya dengan tulus. Sungguh sosok wanita yang sangat sesuai dengan tokoh
yang telah ia ciptakan, sebuah maha karya, novel-novel yang selalu terjual
habis setiap edisinya. Keindahan kata-kata dan daya khayal dalam novel-novelnya
itu mencerminkan kepribadian penulisnya yang sangat menarik.
Glen pun jatuh cinta karenanya. Bertahun-tahun ia
memimpikan Sandrina membelai punggung tangannya. Memberi kecupan hangatnya di
sana. Membisikkan kata-kata cinta dengan lembut. Mengajaknya terbang ke surga,
cuma berdua, bersama cinta dan angannya. Glen bergegas keluar dari ruang
kerjanya. Lalu, menerobos hiruk pikuk orang-orang yang ada di kantornya, dan
sejenak menghindar untuk menemui sang inspirator.
Dalam waktu sekian menit, Glen sudah berada di balik
kemudi. Gas ditancapnya maksimal. Tak peduli jeritan klakson dari mobil lain
yang ia salip. Glen seperti sedang dihinggapi setan rindu yang sakau cinta.
Kerinduan yang membuncah seolah akan meledakkan dadanya jika ia tidak segera
bertemu dengan pujaan hatinya. Kali ini ia tidak akan menyiakan-nyiakan
kesempatan lagi. Saat yang dinantikan untuk mengungkapkan isi hatinya sudah
tiba. Sandrina, I’m coming.
Tapi lagi-lagi lalu lintas tidak bersahabat dengannya. Kemacetan
terjadi begitu panjang. Rupanya ada sebuah kecelakaan terjadi di perempatan ke
arah Pasupatri, jalan layang yang belum lama dibangun. Glen kemudian mengambil
jalan tikus. Dengan gesit, mobil itu menari-nari di antara polisi tidur di
sebuah gang yang hanya cukup untuk satu mobil. Beberapa pejalan kaki
memiringkan badannya berusaha menghindari tabrakan dari pengendara yang tidak
tahu diri itu.
Begitu keluar dari gang, kembali ia dihadapkan pada
masalah baru. Mobilnya tidak bisa diajak kompromi lagi. Mungkin ia marah karena
dipaksa main lompat-lompatan tadi sehingga ban belakangnya tiba-tiba saja
kempes.
Glen melirik jam di
tangannya. Tak ada waktu lagi, kalau ia mengganti ban dulu, kemungkinan
Sandrina sudah pergi entah ke mana. Glen terpaksa meninggalkan mobilnya di
pinggir jalan, menelpon mekanik kantor untuk mengurusnya, kemudian mencari cara
supaya bisa cepat-cepat sampai ke Paris van Java.
Kebetulan di sekitar situ ada seorang tukang ojeg yang
sedang meringis menahan sakit perutnya. Glen menawari si Abang untuk menyewakan
motornya. Semula tukang ojeg itu ragu, tetapi daripada ia tidak mendapatkan
penghasilan, motor itupun disewakannya. Glen meninggalkan sejumlah uang sambil
menitipkan mobilnya pada abang ojeg itu.
Glen pun melaju sekencang yang ia -emh, maksudnya motor itu- bisa. Lima menit kemudian kembali ia
harus menghadapi sebuah antrian panjang. Kali ini di depan pintu masuk mall
untuk mengambil tiket parkir.
Motor Glen terhalang beberapa mobil yang hendak parkir, sedangkan pintu masuk
parkir motor berada di sebelah mobil yang menghalanginya. Glen memutar balik
arah motornya. Ia tidak begitu memerhatikan ketika ia memutar balik tadi sebuah
mobil justru sedang maju ke arahnya.
Dan braaakk.. lampu depan bagian kiri mobil itu pecah.
Sebuah sedan merah darah terlihat cacat dengan lampu
depannya yang pecah. Dari balik kemudi, klakson ditinju keras-keras, membuat
Glen sadar dengan apa yang telah terjadi. Oh God, apa lagi ini? Untuk
memperjuangkan cinta haruskah serumit ini?
“Hey, motor butut, guoblok banget sih, lo!” seorang
perempuan keluar dari sedan merah itu sambil membanting pintu mobilnya.
Memerhatikan sejenak bagian depan mobilnya, kemudian melotot ke arah Glen.
“Nggak punya mata, ya, lo!” perempuan itu lebih garang
dibanding warna mobilnya.
“So..sooriii, Mbak,” Glen merasa bersalah. “Nanti saya
ganti deh.”
“Enak aja, ganti ganti, emang lo mampu? lo jual motor
butut lo juga nggak bakalan cukup,” bentaknya lagi. Kali ini mengundang banyak
mata melihat ke arah Glen.
Muka Glen serasa terbakar matahari tanpa sun block. Tapi
rasa malu kemudian berubah menjadi marah karena Glen merasa terhina atas
perlakuan pengemudi mobil mewah itu. Tetapi ketika hendak memuntahkan amarah,
tiba-tiba Glen malah mendadak ciut di depan perempuan itu. “Sandrina?” ia malah
terbelalak. Bukankah perempuan ini adalah novelis yang sudah sekian lama
menyita hari-harinya dengan berbagai khayalan dan lamunan. Benarkah ia
Sandrina, yang novel-novelnya selalu ia baca berulang-ulang, sampai ia nyaris
hafal dialog-dialog para tokohnya itu?
“Lo kenal siapa gue?” Sandrina berdiri dengan kedua
tangan di pinggang, siap menerkam Glen yang tiba-tiba menyusut seperti balon
kehabisan gas. “Bagus deh kalo lo tau siapa gue, jadi lo nggak usah repot-repot
nawarin motor butut lo ke gue. Bawa aja ke loakan, laku dikilo juga udah bagus.
Lagian, ya, baru punya motor butut kayak gitu aja belagu pake jalan-jalan ke
mall segala.”
Serasa diberondong timah panas, kepala Glen berasa mau
pecah. Ia tidak percaya apakah perempuan itu Sandrina? Yang melukiskan gambaran perempuan
begitu elok, ayu, sempurna, berbudi dan
mengabdi? Sandrina penulis terkenal yang mengajaknya bertemu lagi di acara
peluncuran buku terbarunya kemudian hari? Hari
ini, di Paris van Java.
Glen mendadak merasa sangat bodoh. Semula ia berpikir
Sandrina pasti akan mengenalnya. Ternyata ia salah. Ia sama sekali tidak ada
bedanya dengan penggemar Sandrina yang lain. Kata-kata manis yang terlontar
setiap kali Sandrina menorehkan tulisan Buat Glen yang selalu setia di setiap halaman bukunya, adalah sebuah
formalitas, kebohongan publik atas kepribadian Sandrina yang sebenarnya.
Glen menatap Sandrina dengan lebih tajam. “Dengar Nona cantik, penulis best seller terkenal.
Gue nggak bakalan jual motor butut itu. Pertama karena motor itu bukan punya
gue, kedua kalaupun motor itu punya gue, gue juga nggak bakalan rela jual harta
gue cuma buat gantiin mobil lo yang nggak bagus-bagus amat ini. Dan yang
ketiga, dengar wahai pujangga picisan, lebih baik gue ganti lampu mobil lo
dengan sesuatu yang menurut gue lebih mahal dibanding dengan semua yang lo
miliki.”
Tiga buah novel mendarat di atas kap mobil Sandrina.
Novel-novel bertajuk Ajarkan Aku
Menikmati Cintamu, juga Biarkan Biru
Cintaku Mewarnai Hidupmu, dan Aku
Hanya Cinta Ragamu, Bukan Jiwamu. Glen meninggalkan Sandrina, sang
inspirator yang telah melukai hatinya. Ingin rasanya Glen mengganti lirik You’re the meaning in my life menjadi You’re nothing but looser.
Sandrina terhenyak begitu melihat cover novel-novel
karyanya. Dalam keadaan separuh emosi dan bingung, Sandrina meraih novel-novel
itu. Benar, itu adalah novel-novel best
seller-nya. Lalu dibukanya halaman depan novel-novel itu.
Ajarkan Aku Menikmati Cintamu : Buat Glen yang selalu setia, salam cinta,
Sandrina
Biarkan Biru Cintaku Mewarnai Hidupmu : Kerinduan hanya ada karena Cintaku, Glen
Aku Hanya Cinta Ragamu, Bukan Jiwamu : Kutunggu Kamu, Glen,
di Paris Pan Java
Sandrina terpaku melihat tulisan dan tanda tangannya
dalam novel-novel itu. Sesak di dadanya membuat ia merasa menyesal telah menyakiti
hati Glen. Glen adalah fans fanatiknya. Sejujurnya Sandrina tidak pernah lupa
kalau ia memiliki seorang pembaca fanatik pria yang selalu meminta tanda
tangannya itu. Sejak novel kelimanya booming
di mana-mana, pria itu selalu ada di setiap acara launching buku terbarunya. Bahkan Sandrina belum menghapus
photo-photo mereka berdua di handphone-nya.
Tapi penggemar fanatik itu kini telah pergi dengan
membawa kekecewaan yang Sandrina sesali. Glen sudah membuang semua kenangan
indah tentang Sandrina. Setitik air mata bergulir dari kelopak mata Sandrina,
membasahi novel terakhirnya. Novel ini tidak saja cukup untuk mengganti lampu
mobilnya yang pecah, tetapi lebih dari itu novel-novel itulah yang telah
memberikan segalanya dalam hidup Sandrina.
Novel ini terlalu mahal,
Glen.
Dan Kamu ternyata
jauh lebih mahal dari
semuanya.
-o00o-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar