Kamis, 05 Januari 2012

Kutunggu Kamu di Paris van Java



                                  KUTUNGGU KAMU DI PARIS VAN JAVA

Wangi citrus menyeruak begitu Glen menyemprotkan Canali Style pada dadanya yang bidang. Ia bersiul riang, menyambut mentari pagi dengan penuh antusiasme. Lirik lagu You’re The Inspiration sedari tadi memenuhi isi kepalanya, seolah ia sedang mendapatkan sebuah inspirasi besar dalam hidupnya….  And I want you here with me, From tonight until the end of timeYou Should know everywhere I go.. You’re always on my mind, in my heart in my soul..          Glen tidak sabar menanti saatnya bertemu dengan seseorang yang menjadi sumber inspirasinya selama ini. Wanna have You near me
Ditatapnya sekali lagi wajah cerianya melalui spion Peugeut kesayangannya. Putih, tanpa setitik pun jerawat. Tidak sia-sia ia mengikuti tips perawatan wajah pria yang ia baca di Men’s Healt. After shave dengan wangi yang sama masih tercium di ujung hidungnya. Glen menatap dirinya puas karena sudah tampil maksimal dengan jins dan kemeja coklat muda bergaris-garis santainya. It’s happening!, pekiknya.
Glen sadar betul kalau sekarang ini bukan cuma perempuan yang wajib merawat kecantikan wajahnya. Laki-laki  pun  wajib menjaga performanya, supaya bisa selalu tampil  bersih dan segar. Karenanya selain rutin latihan di gym, Glen juga rajin melakukan treatment perawatan kulit dan wajah. Tidak perlu repot sampai harus ke salon segala, cukup baca buku atau majalah, browsing di internet, terus praktekkan sendiri di rumah. Dan untuk sekedar evaluasi, biasanya Glen menanyakan hasil kerjanya itu pada teman-teman sekantornya.
Sebagai Assisten Promotion Manager sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Advertising, Glen harus selalu tampil menawan, prima, dan selalu memberikan senyum yang ’menjual’ sehingga klien-kliennya bisa tetap menggunakan jasa perusahaan tempat ia bekerja. Glen yang memiliki banyak talenta, tidak menyia-nyiakan karunia Tuhan ini untuk menggaet customer sebanyak-banyaknya.
“Girang banget, lo, Glen,” celetuk  Irwansyah begitu melihat Glen di parkiran.
Glen mengunci mobilnya dengan remote dari kejauhan. Lalu bergegas menuju gedung kantor yang letaknya hanya beberapa meter dari tempat ia memarkirkan mobilnya.
 “Gue sih biasa aja, Weng. Lo kali, yang kelihatan full smile gitu, yang lagi happy!” menghadapi Iweng, panggilan Irwansyah di kantor, Glen memang agak kurang respek. Selain karena Iweng tuh rival beratnya untuk menduduki jabatan baru sebagai Direct Sales Promotion Manager, Iweng kerap kali ketahuan bermuka dua dan berlidah panjang, alias  penjilat di depan para big bos.
“Gue tahu, gue tahu… lo mau ketemuan kan sama Rulita… Maurita … atau siapa tuh cewek namanya, gue lupa, anak SPG yang baru direkrut si Evan kemarin itu, kan? Tuh cewek emang cuakep buanget bro. Temennya juga sexy-sexy, kalo gue sih sukanya sama….” dengan gayanya yang sok tahu Irwansyah terus nyerocos kayak mesin stensil yang lagi nyetak berpuluh rim kertas.
Stop!. It’s not Your bussines,brad!. Gue mau kencan sama gurita kek, mau pacaran sama primata kek, gue nggak bakalan ajak-ajak lo.” Glen berlalu dari hadapan Irwansyah dan bergegas menuju pintu lift yang nyaris tertutup. Untung seorang perempuan  cantik menekankan tombol open di dalam ruang lift dan memberi Glen waktu untuk bisa bergabung bersamanya.
Irwansyah melongo sendiri karena tidak sempat nyeletuk, “Primata? Gurita? Kok?”
Glen menghela napas lega begitu ia berada di dalam lift. Bebas dari makhluk aneh di pagi seceria ini adalah sebuah keberuntungan. Dan bonusnya ia ketemu perempuan cantik yang barusan menahan pintu lift. Glen melirik perempuan itu dengan senyum andalannya.
“Makasih ya, tadi udah…” Glen memamerkan sebaris gigi putihnya. Tapi matanya hanya tertumpu pada perempuan cantik tadi, sampai-sampai ia tidak menyadari kalau ternyata mereka cuma berdua di dalam lift itu.
Perempuan itu membalas senyum Glen. Bibir marunnya merekah seperti bunga mawar yang baru mekar. Sebaris gigi bintang iklan menambah kecantikan perempuan  itu dan menjadikannya pemandangan menakjubkan pertama hari ini.
“Iya sama-sama.”
Hening sesaat. Ruang lift yang hanya berukuran dua kali dua meter itu membuat Glen merasa kikuk saat berhadapan dengan seorang perempuan cantik dalam radius yang sangat dekat. Tetapi kesunyian itu tidak berlangsung lama. Pintu lift terbuka di lantai tiga dan bibir indah itu kembali merekah.
“Saya Cindy, staf keuangan baru,” perempuan  itu menyebutkan namanya sesaat sebelum ia menginjakkan kakinya di lantai tiga dan pintu lift kembali tertutup.
Glen masih terpaku di dalam lift yang kembali naik perlahan. Kenapa lift tidak mendadak mati seperti dalam ’Andai Ia Tahu’, film lama yang pernah ia tonton di bioskop supaya ia bisa mengenal perempuan  itu lebih lama? pekiknya dalam hati.
“Glen, Promosi, lantai enam,” beruntung Glen sempat membalasnya walaupun dengan nada super kaku. Menghadapi perempuan seperti Cindy membuat Glen tiba-tiba gemetaran. Cantik -iya, sexy -abis, smart –pasti, lajang? Nah kalo yang ini sih gue gak tau!
Itu dia masalahnya. Kalau perempuan tadi masih sendiri, tentu tidak akan susah untuk Glen memulai suatu hubungan. Tapi kalau ternyata dia sudah punya pasangan, bagaimana Glen bisa mengusir perasaan yang sempat berdesir di hatinya barusan?
Tapi Glen memang berusaha menepisnya. Hari ini bukan untuk Cindy. Ia mempersiapkan hari ini buat seseorang yang sudah lama ia tunggu. Semoga momen yang selalu membuat mimpinya menjadi indah itu akan terulang kembali. Momen ketika ia bisa bertatapan langsung dengan  Sandrina, pujaan hatinya. Saat, rasa itu mengalir dari sorot matanya yang tajam, menghujam ke ulu hati sehingga Glen luluh tak berdaya, seolah aliran listrik sekian ribu volt memaksa detak jantungnya bergemuruh lebih kencang.
-o0o-
Sandrina Claudia Lestari. Siapa yang tidak kenal dengan perempuan yang satu ini. Penulis novel-novel Best Seller. Selusin lebih ia membuat Novel yang tidak pernah sepi di pasaran. Delapan diantaranya sudah dibuatkan film. Bahkan ada satu film yang memenangkan penghargaan pada ajang festival film se-Asia. Cerita-cerita yang diangkat dari novelnya mampu menghipnotis para juri.
            Penulis yang tidak pernah kehabisan ide dan kata-kata. Lugas bahasanya, galak cara bicaranya, terkadang sedikit kasar, tetapi sangat berani mengungkap hal-hal yang menurut kebanyakan orang tabu dan pantang untuk dibicarakan. Novel terbarunya berjudul Aku Hanya Cinta Ragamu, Bukan Jiwamu sudah cetak tujuh kali.
            Novel ini mengisahkan seorang istri yang teraniaya suaminya. Semula mereka saling mencintai sehingga membawa mereka pada sebuah ikatan suci. Pernikahan mereka awalnya sangat bahagia. Tetapi kebahagiaan itu tidak pernah lengkap karena mereka belum juga dikaruniai anak. Sang suami menyalahkan istrinya mandul, demikian juga istrinya menuduh suaminya lemah syahwat. Walaupun dokter menyatakan keduanya sehat, dan mereka masih punya kesempatan memiliki anak, kedua pasangan ini tidak lantas menjadi damai. Pertengkaran kerap kali terjadi. Bahkan kekerasan dalam rumah tangga seperti yang seringkali diadukan ke komnas ham dewasa ini, dialami juga istri dalam tokoh novel ini.
            Konflik terus terjadi, klimaksnya adalah ketika mereka membuat kesepakatan untuk mencari pasangan lain masing-masing, lalu melakukan hubungan sex untuk memastikan siapa sebetulnya yang mandul diantara mereka berdua. Sang suami mencoba mencintai wanita lain, begitu pun sang istri. Sampai pada akhirnya si istri hamil. Tetapi kehamilan ini malah menjadi sumber masalah baru. Benih siapakah yang sebenarnya tumbuh dalam rahim sang istri? Novel ini memang hebat, endingnya luar biasa. Siapapun tidak  pernah bisa menduganya sama sekali.
 Kehebatan novel ini membawa Sandrina semakin berada di puncak. Ia yang juga menjabat Senior Editor di sebuah perusahaan penerbitan terkenal semakin mencuat sebagai wanita berkelas. Pergaulannya membawa ia menjadi selebriti yang selalu tampil glamour dan menuntut pelayanan nomor satu di manapun ia berada.
“Iya, saya cuma punya waktu 15 menit. Kalau perlu nggak usah ada tanya jawablah,”  desis Sandrina dengan malas.
“Tapi Mbak sudah terlambat setengah jam lebih,” balas seseorang di balik telepon genggamnya dengan nada resah karena lama menunggu kehadiran sang bintang tamu.
 Sandrina melenguh kesal. Setelah perjalanan yang cukup melelahkan dari Jakarta ke Bandung dengan membawa kendaraan sendiri, ia masih harus berurusan dengan panitia yang sok ngatur. Belum lagi fansnya yang sok pura-pura mengerti sastra padahal cuma ingin melihat kemolekan tubuh sang penulis. Begitu selalu yang ada di benaknya setiap kali ia harus menghadiri undangan talk show atau jumpa fans. That’s it, isn’t it? Kalau bukan karena obsesinya yang ingin menjadi penulis terkenal, nggak mungkin ia mau melakukan hal-hal seperti ini. Hal-hal berbau formalitas yang sangat ia benci.
Apalagi kalau Sandrina harus bertemu dengan berbagai kolega, para praktisi yang tertarik dengan ide-ide beraninya seputar memerangi transgender, pendapatnya mengenai kebijakan pemerintah yang kurang membela kaum perempuan marginal, masalah sex remaja, penyakit kelamin, sampai pembahasan mengenai para birokrat dan anggota dewan yang melakukan perbuatan amoral. Dilengkapi dengan antusiasme pers yang haus akan berita sensasional, walaupun harus melabrak batas privasinya. Bejibun kegiatan yang kadang ia sesali kenapa harus menjadi bagian dari konsekuensinya sebagai penulis terkenal.
Sandrina mengepulkan asap Lucky Strikenya. Kali ini kemacetan terjadi karena ada kecelakaan lalu lintas di jalanan sempit dekat pertokoan, beberapa ratus meter lagi menuju Paris van Java, tempat Grand Opening Toko Buku Terbesar di kota Bandung. Di sana Sandrina akan menjadi tamu utama dalam Jumpa Penulis Terkenal. Dalam keadaan jengkel Sandrina membunyikan klakson berkali-kali. Kalau sudah begini, Sandrina yang anggun seolah sedang tidur, dan Sandrina yang lain, yang temperamen-lah yang akan terjaga. Sungguh perbedaan yang sangat kontras. Ketika kata-kata menari dalam novelnya, membuai para pembaca pada khayalan sosok penulis yang feminim, anggun, ramah dan bersahaja, sosok Sandrina yang sesungguhnya malah mengacaukan persepsi itu mentah-mentah.
BlackBerry Sandrina kembali berbunyi. Sandrina lalu mengangkat telponnya persis di depan klakson yang sedang ia tekan sekuat tenaga.
“Mbak… Mbak…. Kenapa?” jerit panik seseorang di seberang sana.
-o0o-
Di dalam ruang kerjanya, Glen merapikan sederetan buku-buku marketing dan promosi koleksinya. Kemudian ia membuka sebuah lemari yang dalamnya tersimpan sebuah obsesi besar yang sudah sejak lama ia pendam. Puluhan buku dengan cover warna-warni mengkilat, juga berderet rapi. Yang unik dari pemandangan ini ialah nama penulis yang tercetak di cover samping buku-buku itu semuanya sama, yaitu : Sandrina Claudia Lestari.
            Glen menarik beberapa buku yang ia yakini belum dibubuhi tanda tangan sang penulis. Tiga buah buku kini sudah diapitnya. Ini bukti kesetiaanku padamu, Lestari, ucapnya dalam hati. Glen ingat betul setiap kali ia meminta Sandrina membubuhkan tanda tangan di halaman pertama bukunya yang baru terbit, Sandrina selalu tersenyum seraya mengucapkan terima kasihnya dengan tulus. Sungguh sosok wanita yang sangat sesuai dengan tokoh yang telah ia ciptakan, sebuah maha karya, novel-novel yang selalu terjual habis setiap edisinya. Keindahan kata-kata dan daya khayal dalam novel-novelnya itu mencerminkan kepribadian penulisnya yang sangat menarik.
Glen pun jatuh cinta karenanya. Bertahun-tahun ia memimpikan Sandrina membelai punggung tangannya. Memberi kecupan hangatnya di sana. Membisikkan kata-kata cinta dengan lembut. Mengajaknya terbang ke surga, cuma berdua, bersama cinta dan angannya. Glen bergegas keluar dari ruang kerjanya. Lalu, menerobos hiruk pikuk orang-orang yang ada di kantornya, dan sejenak menghindar untuk menemui sang inspirator.
Dalam waktu sekian menit, Glen sudah berada di balik kemudi. Gas ditancapnya maksimal. Tak peduli jeritan klakson dari mobil lain yang ia salip. Glen seperti sedang dihinggapi setan rindu yang sakau cinta. Kerinduan yang membuncah seolah akan meledakkan dadanya jika ia tidak segera bertemu dengan pujaan hatinya. Kali ini ia tidak akan menyiakan-nyiakan kesempatan lagi. Saat yang dinantikan untuk mengungkapkan isi hatinya sudah tiba. Sandrina, I’m coming.
Tapi lagi-lagi lalu lintas tidak bersahabat dengannya. Kemacetan terjadi begitu panjang. Rupanya ada sebuah kecelakaan terjadi di perempatan ke arah Pasupatri, jalan layang yang belum lama dibangun. Glen kemudian mengambil jalan tikus. Dengan gesit, mobil itu menari-nari di antara polisi tidur di sebuah gang yang hanya cukup untuk satu mobil. Beberapa pejalan kaki memiringkan badannya berusaha menghindari tabrakan dari pengendara yang tidak tahu diri itu.
Begitu keluar dari gang, kembali ia dihadapkan pada masalah baru. Mobilnya tidak bisa diajak kompromi lagi. Mungkin ia marah karena dipaksa main lompat-lompatan tadi sehingga ban belakangnya tiba-tiba saja kempes.
Glen melirik jam di  tangannya. Tak ada waktu lagi, kalau ia mengganti ban dulu, kemungkinan Sandrina sudah pergi entah ke mana. Glen terpaksa meninggalkan mobilnya di pinggir jalan, menelpon mekanik kantor untuk mengurusnya, kemudian mencari cara supaya bisa cepat-cepat sampai ke Paris van Java.
Kebetulan di sekitar situ ada seorang tukang ojeg yang sedang meringis menahan sakit perutnya. Glen menawari si Abang untuk menyewakan motornya. Semula tukang ojeg itu ragu, tetapi daripada ia tidak mendapatkan penghasilan, motor itupun disewakannya. Glen meninggalkan sejumlah uang sambil menitipkan mobilnya pada abang ojeg itu.
Glen pun melaju sekencang yang ia -emh, maksudnya motor itu- bisa. Lima menit kemudian kembali ia harus menghadapi sebuah antrian panjang. Kali ini di depan pintu masuk mall untuk mengambil tiket parkir. Motor Glen terhalang beberapa mobil yang hendak parkir, sedangkan pintu masuk parkir motor berada di sebelah mobil yang menghalanginya. Glen memutar balik arah motornya. Ia tidak begitu memerhatikan ketika ia memutar balik tadi sebuah mobil justru sedang maju ke arahnya.
Dan braaakk.. lampu depan bagian kiri mobil itu pecah.
Sebuah sedan merah darah terlihat cacat dengan lampu depannya yang pecah. Dari balik kemudi, klakson ditinju keras-keras, membuat Glen sadar dengan apa yang telah terjadi. Oh God, apa lagi ini? Untuk memperjuangkan cinta haruskah serumit ini?
“Hey, motor butut, guoblok banget sih, lo!” seorang perempuan keluar dari sedan merah itu sambil membanting pintu mobilnya. Memerhatikan sejenak bagian depan mobilnya, kemudian melotot ke arah Glen.
“Nggak punya mata, ya, lo!” perempuan itu lebih garang dibanding warna mobilnya.
“So..sooriii, Mbak,” Glen merasa bersalah. “Nanti saya ganti deh.”
“Enak aja, ganti ganti, emang lo mampu? lo jual motor butut lo juga nggak bakalan cukup,” bentaknya lagi. Kali ini mengundang banyak mata melihat ke arah Glen.
Muka Glen serasa terbakar matahari tanpa sun block. Tapi rasa malu kemudian berubah menjadi marah karena Glen merasa terhina atas perlakuan pengemudi mobil mewah itu. Tetapi ketika hendak memuntahkan amarah, tiba-tiba Glen malah mendadak ciut di depan perempuan itu. “Sandrina?” ia malah terbelalak. Bukankah perempuan ini adalah novelis yang sudah sekian lama menyita hari-harinya dengan berbagai khayalan dan lamunan. Benarkah ia Sandrina, yang novel-novelnya selalu ia baca berulang-ulang, sampai ia nyaris hafal dialog-dialog para tokohnya itu?
“Lo kenal siapa gue?” Sandrina berdiri dengan kedua tangan di pinggang, siap menerkam Glen yang tiba-tiba menyusut seperti balon kehabisan gas. “Bagus deh kalo lo tau siapa gue, jadi lo nggak usah repot-repot nawarin motor butut lo ke gue. Bawa aja ke loakan, laku dikilo juga udah bagus. Lagian, ya, baru punya motor butut kayak gitu aja belagu pake jalan-jalan ke mall segala.”
Serasa diberondong timah panas, kepala Glen berasa mau pecah. Ia tidak percaya apakah perempuan itu Sandrina? Yang melukiskan gambaran perempuan begitu elok, ayu, sempurna,  berbudi dan mengabdi? Sandrina penulis terkenal yang mengajaknya bertemu lagi di acara peluncuran buku terbarunya kemudian hari? Hari ini, di Paris van Java.
Glen mendadak merasa sangat bodoh. Semula ia berpikir Sandrina pasti akan mengenalnya. Ternyata ia salah. Ia sama sekali tidak ada bedanya dengan penggemar Sandrina yang lain. Kata-kata manis yang terlontar setiap kali Sandrina menorehkan tulisan Buat Glen yang selalu setia di setiap halaman bukunya, adalah sebuah formalitas, kebohongan publik atas kepribadian Sandrina yang sebenarnya.
Glen menatap Sandrina dengan lebih tajam. “Dengar  Nona cantik, penulis best seller terkenal. Gue nggak bakalan jual motor butut itu. Pertama karena motor itu bukan punya gue, kedua kalaupun motor itu punya gue, gue juga nggak bakalan rela jual harta gue cuma buat gantiin mobil lo yang nggak bagus-bagus amat ini. Dan yang ketiga, dengar wahai pujangga picisan, lebih baik gue ganti lampu mobil lo dengan sesuatu yang menurut gue lebih mahal dibanding dengan semua yang lo miliki.”
Tiga buah novel mendarat di atas kap mobil Sandrina. Novel-novel bertajuk Ajarkan Aku Menikmati Cintamu, juga Biarkan Biru Cintaku Mewarnai Hidupmu, dan Aku Hanya Cinta Ragamu, Bukan Jiwamu. Glen meninggalkan Sandrina, sang inspirator yang telah melukai hatinya. Ingin rasanya Glen mengganti lirik You’re the meaning in  my life menjadi You’re nothing but looser.
Sandrina terhenyak begitu melihat cover novel-novel karyanya. Dalam keadaan separuh emosi dan bingung, Sandrina meraih novel-novel itu. Benar, itu adalah novel-novel best seller-nya. Lalu dibukanya halaman depan novel-novel itu.

Ajarkan Aku Menikmati Cintamu : Buat Glen yang selalu setia, salam cinta, Sandrina
Biarkan Biru Cintaku Mewarnai Hidupmu : Kerinduan hanya ada karena Cintaku, Glen
Aku Hanya Cinta Ragamu, Bukan Jiwamu : Kutunggu Kamu, Glen,
 di Paris Pan Java

Sandrina terpaku melihat tulisan dan tanda tangannya dalam novel-novel itu. Sesak di dadanya membuat ia merasa menyesal telah menyakiti hati Glen. Glen adalah fans fanatiknya. Sejujurnya Sandrina tidak pernah lupa kalau ia memiliki seorang pembaca fanatik pria yang selalu meminta tanda tangannya itu. Sejak novel kelimanya booming di mana-mana, pria itu selalu ada di setiap acara launching buku terbarunya. Bahkan Sandrina belum menghapus photo-photo mereka berdua di handphone-nya.
Tapi penggemar fanatik itu kini telah pergi dengan membawa kekecewaan yang Sandrina sesali. Glen sudah membuang semua kenangan indah tentang Sandrina. Setitik air mata bergulir dari kelopak mata Sandrina, membasahi novel terakhirnya. Novel ini tidak saja cukup untuk mengganti lampu mobilnya yang pecah, tetapi lebih dari itu novel-novel itulah yang telah memberikan segalanya dalam hidup Sandrina.
Novel ini terlalu mahal, Glen. Dan Kamu ternyata jauh lebih mahal dari semuanya.

-o00o-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar