Jumat, 30 Maret 2012

INDONESIAN IDOL – MIMPIKU TERDAMPAR DI KAMAR MANDI


INDONESIAN IDOL
MIMPIKU TERDAMPAR DI KAMAR MANDI


Ada kegiatan baru yang tidak akan saya lewatkan setiap Jumat Malam : Nonton Indonesian Idol. Hahay... udah K3, masih suka acara beginian! Hihi, biarin aja, kali. Tiap orang punya acara hiburan yang bisa menyegarkan dirinya masing-masing. Ada yang sukanya nonton sinetron (nah kalau yang ini saya kurang tahu nih bapak-bapak model apa yang maniak nonton acara acting adu mulut dan berebut harta ini), olahraga, acara musik yang menampilkan grup band mana yang paling digandrungi, olahraga, talkshow, politik, atau acara-acaranya Sule. Nah, saya lebih memilih ngikuti perjalanan calon artis beken mulai dari audisi sampai acara live-nya setiap minggunya.

Dulu saya suka sekali nonton Talk show Tukul Arwana ‘Empat Mata’ yang lalu berubah nama menjadi ‘Bukan Empat Mata’, juga Opera Van Java yang tiada matinya itu. Kedua acara itu sempat membantu saya mengatasi stress akibat kesibukan bekerja. Tetapi sekarang saya tidak terlalu intens mengikuti acara yang melejitkan para pemainnya itu menjadi artis-artsi kaya dan digemari banyak orang. Terus terang  saya bosan dengan semua celoteh canda yang semakin garing di kuping saya itu. Apalagi aksi slepstik para komedian yang membuat saya merasa seperti dijadikan anak kecil yang girang menonton dagelan.  Dan saya lebih memilih duduk di depan komputer, browsing bahan-bahan bacaan yang menarik dan menambah pengetahuan saya dari sana, menulis, atau sekedar diskusi dengan teman-teman melalui fasilitas chating atau komunikasi lewat facebook di grup yang saya buat.

Berbeda dengan dua acara favorit saya sebelumnya, Kontes adu bakat untuk mencari  idola baru ini sudah saya tonton sejak episode pertama tujuh atau delapan tahun yang lalu. Saya menyaksikan bagaimana perjalanan Delon dan Joy Tobing mulai dari audisi, dikomentari pedas oleh para juri saat mereka tampil, sampai akhirnya mereka menjadi idola dan dielu-elukan banyak fansnya. Kemudian Mike Mohede dan Judika, Rini dan Wilson, Ihsan dan Dearly, Aris dan Gissele, sampai yang Idola baru tahun kemarin Igo dan Citra hampir semuanya menjadi penyanyi terkenal.

Saya senang menebak-nebak dan memrediksi kontestan mana yang akan tetap eksis di dunia hiburan, dan mana yang akan hilang ditelan alam karena kalah berkompetisi di jagat entertainment yang sesungguhnya. Dari awal saya sempat yakin kalau Delon, Judika, Mike, Firman, Ihsan, Citra akan menjadi orang-orang terkenal. Dan semua itu terbukti sampai sekarang. Ada yang selain menyanyi juga terkenal sebagai pemain sinetron dan pemain film.

Kesukaan saya, dan juga –mungkin- bapak-bapak lain terhadap tayangan ini mungkin disebabkan karena adanya semacam keinginan yang tertunda, hasrat yang sempat menggebu untuk menjadi seorang penyanyi tetapi tidak ada kesempatan yang mendukung. Sementara kesempatan untuk itu baru ada beberapa tahun kemudian setelah usia untuk mengikutinya tidak lagi memenuhi syarat. Jadilah saya seorang penikmat hiburan dan penikmat keberhasilan anak-anak muda berbakat yang semangat juangnya tinggi itu. Saya terkadang iri kepada mereka, kepada kesempatan yang mereka bisa dapatkan dengan mudah, pada bakat alami yang kemudian diasah sehingga menjadi hebat. Coba kesempatan itu ada saat saya masih muda dan masih bisa mengembangkan diri dengan sungguh-sungguh ( hehe.. curcol ya Kang? ). Kalau mereka nonton karena ada adik, sodara atau kerabat mereka yang menjadi kontestan, itu lain soal tentunya.

Saya memang hobi menyanyi. Berimproviasi terhadap lagu-lagu baru itu menjadi ciri khas saya kalau kebetulan saya dan adik-adik saya yang pada jago main gitar bernyanyi bersama. Menghabiskan malam minggu dengan menyanyi bermacam jenis lagu sesuai selera masing-masing membuat saya dan adik-adik semakin akrab. Dulu saya lebih sering bernyanyi di tempat karaoke, di radio yang menayangkan acara karaoke, atau sesekali menyanyi di acara pesta teman dan keluarga. Banyak orang terpikat dengan suara saya (tapi mungkin lebih banyak lagi yang kabur, hehe, meneketehe ya..) tapi memang menyanyi menjadi salah satu terapi positif bagi saya setelah penat seharian dengan segala aktivitas.

Saat ini, usia yang sudah melewati batas maksimal peserta, ditambah kondisi yang sudah jauh berbeda (sudah berumah tangga, punya anak, dan sibuk bekerja) semua kesempatan itu bukan untuk orang seperti saya lagi. Menikmati hobi menyanyi di rumah bersama anak-anak, di kamar mandi atau sambil mendengarkan lagu-lagu favorit itu saja sudah cukup. Sukses dan salut buat semua kontestan Indonesian Idol tahun ini. Raih mimpi suksesmu, jangan mudah menyerah oleh kendala yang dihadapi.

Kamis, 29 Maret 2012

Reader’s Digest Indonesia MAJALAH FAVORITE-KU



Reader’s Digest Indonesia
MAJALAH FAVORITE-KU 



Menjelang akhir bulan, saat saya sedang tidak mood melakukan rutinitas apapun, majalah langgananku ‘Reader’s Digest Indonesia’ datang.  Kedatangannya yang memang selalu kutunggu itu membuat semangatku kembali bangkit. Semangat untuk bekerja, semangat untuk berkarya, semangat untuk mengisi hidup ini dengan cinta, dengan hal-hal berguna dan tidak menyia-nyiakannya barang sedetik pun.

Rasanya tidak berlebihan kalau saya menempatkan majalah imut yang harganya sangat ramah dengan kantong saya ini sebagai majalah favorit saya dan layak dibaca oleh semua orang. Konten-kontennya yang sarat dengan pengetahuan dan kisah-kisah inspiratif dari berbagai negara sudah pasti menjadikan wawasan kita semakin bertambah. Bukan hanya wawasan pengetahuan, tetapi juga wawasan batin. Dengan membaca kisah-kisah menyentuh yang seringkali membuat saya berkaca-kaca saking terharu, batin saya seolah tersirami dengan sendirinya. Kadang ceramah rohani yang panjang lebar malah membuat kita bosan dan sulit berubah, tetapi dengan membaca artikel-artikel dalam majalah ini, dengan sendirinya hati kita tergerak untuk melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Kisah hidup orang lain yang mampu melewati berbagai rintangan dengan perjuangan yang sangat berat, menjadikan kita cermin bagaimana kita harus memperlakukan hidup kita saat ini. Belum lagi pengorbanan para relawan dalam menolong banyak jiwa saat sebuah bencana terjadi di belahan bumi lain  tanpa sedikit pun mengharapkan imbalan, benar-benar merupakan sebuah cara halus untuk membuat kita selalu bisa berbagi dan menolong sesama di sekitar kita.

Majalah Reader’s Digest didirikan di Amerika Serikat pada tahun 1922 oleh Lila Bell Wallace dan DeWitt Wallace. Majalah ini terbit dalam 50 edisi dan 21 bahasa di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri majalah keluarga ini mulai terbit tahun 2004.  Pembacanya sudah tersebar di seluruh pelosok nusantara. Pembaca di daerah sudah pasti rela membayar lebih mahal demi mendapatkan 1 eksemplar majalah yang memiliki banyak rubric menarik dan kaya akan inspirasi.

 Saya paling suka dengan Rubrik Akrab (edisi April menampilkan Ahmad Fuadi, sang inspirator muda penulis trilogi Negeri 5 Menara dan pencetus Komunitas Menara). Saya seperti sedang membaca sebuah biografi singkat tentang tokoh-tokoh yang sedang diwawancari. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan RDI seperti mewakili pertanyaan yang sama dalam benak saya. Dan ini tentu saja membuat saya sangat puas dengan informasi yang saya peroleh. Rubrik tetap lain yang semuanya saya suka, antara lain rubrik kesehatan, Indonesiana, Humoria, Kutipan, Ha-Ha-Hi-Hi dan tentu saja Inspirasi.  Satu artikel berjudul Surat Tilang dari Soko yang tayang pada edisi bulan Maret lalu, saya bacakan di depan istri yang sedang menunggu proses persalinan anak kami yang ketiga di rumah sakit. Dan tanyakan istri saya kalau tidak percaya, saya membacanya sambil menangis terharu karena kisah Polisi Jujur itu sangat menggugah mata hati saya.

Membaca majalah, apapun itu, bukan hanya akan menambah ilmu dan pengetahun saja, melainkan juga kepekaan batin kita dalam menghadapi segala problematika hidup ini. Juga kepekaan jiwa sosial kita pada saat melihat adanya sesuatu yang tidak beres terjadi di sekitar kita. Terlebih membaca majalah dengan bobot isi yang luar biasa seperti Reader’s Digest Indonesia ini. Saya berharap majalah ini selalu konsisten mengedepankan kisah-kisah inspiratif dan pengetahuan yang saya yakin jarang dikupas di majalah lain, sehingga pembaca selalu setia menanti kehadirannya pada setiap minggu di akhir bulan, termasuk saya yang selalu memperpanjang paket langganan  saya setiap tahunnya. Nah, Agar Anda tidak kehabisan majalah RDI, lebih baik berlanggan langsung melalui marketing penerbit. 

Mungkin informasi  ini bisa membantu Anda yang ingin mengisi waktu luang Anda dengan bacaan berkualitas dan membuat hidup Anda jauh lebih baik. Klik Saja www.readersdigest.co.id

Anda juga bisa bergabung dengan para pembaca RDI lain dengan follow twitter www.twitter.com/rdindonesia atau bergabung di fanpage RDI di www. facebook.com/rdindonesia 
Lebih dari 11.200 menyukai fanpage RDI.
 
Atau Anda yang suka berkomunikasi lewat milis, bisa mengirimkan surat kosong ke alamat :
readersdigest_indonesia@yahoogroups.com). anggota bisa daftar di readersdigest_indonesia-subscribe@yahoogroups.com. untuk mengirimkan kritik, saran dan tukar info juga gathering milis…



Minggu, 25 Maret 2012

Cuplikan Novelku - Never Need Love


13

Hujan kembali turun. Butir-butir yang berjatuhan menimpa tanah menimbulkan irama yang selalu sama. Irama kesedihan dan kehampaan. Mengapa setiap kali aku berusaha menemui Tere, hujan selalu menyambutku, seolah ia tidak rela membiarkan Tere bersatu denganku untuk menikmati kesedihan dan kehampaanku ini. Menikmati rindu dan ragu dalam waktu yang bersamaan.
            Aku melewati lorong itu. Cahaya temaran menggelitik mataku untuk tetap terjaga. Aku tidak ingin lelaki itu menghadangku lagi, dan mencegahku menemui Tere. Meskipun free pass card sudah aku kantungi, tetapi benda kecil itu sama sekali tidak ada gunanya. Setidaknya setelah kejadian malam itu. Dan aku cukup beruntung bisa melewati pintu utama menuju pub terpencil tempat Tere bekerja tanpa harus melewati dua orang lelaki berotot yang selalu siaga di depan pintu. Entah sedang ke mana kedua lelaki sangar yang lebih sering memancing keributan itu.
            “Tere!” Tanpa bisa kutahan, aku meneriakkan namanya diantara hingarnya alunan musik dan kerlip lampu disko aneka warna. Tentu saja tidak akan ada yang mendengar, sekalipun Tere, yang aku sendiri belum yakin berada di sudut mana dan sedang melakukan apa.
            Aku terus mencari Tere dengan menyelinapkan tubuhku diantara tubuh orang-orang yang menggeliat mengikuti gerak musik. Dan sejurus kemudian, mataku tak mampu berkedip begitu menyaksikan apa yang ada di hadapanku. Tere. Dan Phaton!
            Aku beringsut mundur dan membiarkan mata ini melihat sendiri bagaimana wanita yang selama ini selalu mengganggu malamku dengan desah suara dan kedip menggodanya itu sebenarnya tidak memperlakukanku secara istimewa seperti yang selama ini kuduga. Dari kejauhan aku hanya bisa menyaksikan derai tawa Tere saat Phaton membisikkan sesuatu di telinganya. Aku sama sekali tidak bisa mengingkari kalau  ternyata Tere lebih memilih Phaton daripada aku. Hanya saja aku tidak habis pikir mengapa Tere seolah selalu memberiku sebuah harapan. Seolah ia tidak peduli kalau Phaton itu sahabat dekat aku dari dulu.
            Dari meja lain persis di seberang meja yang Tere dan Phaton tempati, aku masih bisa melihat betapa Tere tampak bahagia saat bersama Phaton. Berbeda sekali kalau ia sedang berdua denganku. Meskipun senyumnya mengembang dan tawa renyah selalu terurai menanggapi kelakarku, tetapi aku tidak pernah melihat tatapan yang sama yang ia lemparkan kepada Phaton. Tatapan penuh cinta yang menjadikan itu sebuah jawaban dari penantianku selama ini.
            “Sendirian?” Lamunanku buyar seketika, saat seorang perempuan menyapaku sambil tanpa sungkan duduk di sebuah kursi kosong di sebelahku.
            Aku mengangguk dan tidak terlalu menghiraukannya. Bukan saat yang tepat kalau perempuan itu berniat mengajakku mengobrol atau melantai. Atau hal lain apapun.
            “Aku tahu, kamu masih menaruh harapan kan sama Tere,” ucapnya seolah sedang berbicara pada segelas minuman berwarna biru di hadapannya. Tapi aku tergoda untuk mendongak saat ia menyebut nama Tere.
            “Hemh, kasihan sekali,” gumamnya dengan seteguk minuman yang belum ditelan di dalam mulutnya.
            “Apa maksudmu?” tanyaku memutar kursi tempatku duduk sehingga kini aku berhadapan dengan perempuan yang sepertinya mengenal Tere dengan baik.
            “Kamu lelaki yang waktu itu membuat kekacauan itu kan?” ia malah balik bertanya.
            “Aku tidak membuat kekacauan. Aku justru korban karena penjaga keamanan di sini menganggapku sebagai pengganggu,” elakku, sambil menyentuh luka lebam di wajahku yang masih belum sembuh benar. Dan ini membuatku teringat kembali kejadian malam itu. Kejadian terbodoh yang pernah aku alami setelah malam ini aku menyadari satu hal: Tere tidak benar-benar menyukaiku.
            Perempuan di sampingku menghembuskan asap rokok yang sedari tadi dihisapnya. “Tere menyukaimu, sama seperti ia menyukai lelaki lainnya. Termasuk Lelaki yang sekarang sedang bersamanya itu.”
            Tidak sulit untuk memercayai omongan setengah ngelantur perempuan ini, mengingat apa yang aku lihat malam ini dan apa yang pernah aku saksikan  sebelum-sebelumnya.
            “Tapi sepertinya mereka saling menyukai,” kilahku pada diri sendiri.
            “Apa arti sebuah cinta di mata seorang Tere. Ia hanya butuh uang dan semua yang ia kejar untuk memenuhi obsesinya. Ia tidak butuh laki-laki, terlebih cinta.”
            Ingin aku menarik ucapan perempuan itu. Tapi untuk apa.
            Aku melirik ke arah Tere. Dan aku masih belum bisa melihat sifat itu dalam dirinya. Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum Phaton kembali dari luar negeri. Aku yang membukakan pintu gerbang kos-kosan saat dulu kami masih kuliah, kalau Tere pulang sangat larut. Aku yang membelanya saat Ibu Kost hendak mengusirnya karena kelakuan Tere yang dinilai kurang pantas. Sampai kami lulus dan menjalani dunia masing-masing, aku dan Tere selalu berbagi banyak hal: sedih, gembira, lapar dan dingin. Tapi malam ini aku baru sadar, kalau Tere tidak pernah berbagi satu hal denganku. Cinta.
            Kembali kualihkan pandanganku pada perempuan yang duduk di sampingku ini, tetapi ia malah berlalu dan menghampiri Tere. Tere melemparkan pandangannya ke arahku sesaat setelah perempuan itu berbicara dengannya. Ia pun bangkit dan berjalan ke arahku.
            “Hai, Kris,” Tere mencium pipiku seperti biasa dan mengajakku bergabung dengan Phaton.
        Phaton tampak gelisah mendapati diriku berada di tengah-tengah mereka. Sesekali ia melempar senyum kaku dan guyonan lama kami yang seharusnya memancingku tertawa. Tapi Tere segera mengambil alih pembicaraan dan mencairkan suasana asing yang tidak pernah aku, ataupun Phaton alami sebelumnya.
            “Sepertinya kalian baru jadian. Selamat, ya,” ucapku berharap tidak salah bicara.
            Tere malah tersenyum ringan. “Siapa yang jadian? Nih, teman kamu, sepertinya ngebet minta kawin, ha ha ha..” lalu berderai tawanya. Tawa yang sama, seperti yang tadi kulihat. Kalau saja lampu di ruangan ini  benderang, aku yakin bisa melihat muka Phaton memerah.
            Mungkin benar apa yang dikatakan perempuan itu : Tere tidak membutuhkan siapapun. Terlebih cinta.

-o0o-
           

               

Sabtu, 24 Maret 2012

KICAU KACAU BIKIN PERSEPSIKU MAKIN KACAU

KICAU KACAU BIKIN PERSEPSIKU MAKIN KACAU


Saya tidak akan memungkiri kalau warna sampul buku ini yang ngejreng habis –lah yang membuat saya mengambilnya dari rak buku di Gramedia. Kuning, warna kesukaan saya yang katanya menandakan kalau si pecinta warna ini suka menjadi perhatian  banyak orang, sedikit narsis dan ... (jangan percaya, karena tidak semuanya sesuai dengan kepribadian saya, hehe!). Tetapi nama Indra Herlambang dengan foto dirinya yang memakai kostum unik (kalau tidak mau dibilang norak, hehe saya emang agak  sedikit sentimen sama presenter yang satu ini...)berbentuk burung itu menjadi pertimbangan lainnya. Meskipun saya tidak eksis bertwitter ria, tetapi saya menyimak kehebohan yang terjadi setelah buku ini terbit. Hampir setiap hari bertebaran twit yang mengulas tentang Indra Herlambang dan bukunya ini. Gimana gak penasaran coba! Apalagi selama ini aku memang agak kurang respect (baca=suka) melihat tampang Indra dengan segala mimik konyolnya yang membuat dia malah sering tampil.. (aduh... sorry bos.. gue lebay ya?!)

      Dari yang pernah saya baca dan lihat pada tayangan di televisi yang mengupas siapa itu Indra Herlambang (kenapa jadi bahas dia dulu ya... biarin ah, prinsip hidupku kan nggak boleh membenci orang lain, apalagi kalau tanpa alasan yang jelas, makin gak nyambung!) dan bagaimana sepak terjangnya di dunia entertainment, lambat laun persepsi  jelek saya tentang Indra mulai berkurang. Sebenarnya sih bukan sebuah persepsi jelek karena artis cowok yang selalu pakai kaca mata hitam ini pernah melakukan sesuatu yang negatif di mata publik, tidak, bukan begitu, ini hanya subjektifitas saya saja sebagai penikmat hiburan yang bosan melihat tampangnya di layar kaca. Indra Herlambang lahir di Bandung pada 16 Maret 1976. Awal kariernya  dimulai sebagai presenter infotainment beberapa tahun lalu. Indra memang pernah  bekerja penyiar radio sambil menyelesaikan kuliahnya di Desain Komunikasi Visual  di ITB. Kariernya terus melejit setelah ia membintangi beberapa sinetron dan layar lebar bergenre komedi. Indra bahkan menjadi penulis scenario bersama Djenar Maesa Ayu dan memenangkan piala Citra untuk Skenario Cerita Adaptasi Terbaik di FFI 2009.
          Di dunia literasi karya Indra sudah bertebaran di mana-mana, termasuk di beberapa majalah ternama seperti Free Magazine dan ME. Tulisan-tulisan Indra dalam buku Kicau Kacau ini juga merupakan essai-nya yang diteribitkan di majalah-majalah tersebut selama kurun waktu 2007 s/d 2010. Di buku ini Indra benar-benar berkicau, seperti  yang biasa ia lakukan di twitter setiap hari. Tetapi  tulisan Indra ini memiliki makna yang dalam, sindirannya halus, tetapi mengena. 

                Buku ini dibagi menjadi 4 bab, yaitu Kicauan tentang gaya hidup, hidup gaya, dan hidup gak gaya?; Kicaun tentang Single, in relationship, atau I’s complicated; Kicauan tentang Jakarta, Indonesia, dan Kesehatan Jiwa; dan, Kicauan tentang Keluarga. Ada 50 essai yang bisa membuat Anda ngeh, kesel, ketawa, bahkan pengen jitak Indra karena nyelenehnya. Idenya cukup original dan sekali lagi, akan membuat kita merasa ngeh akan sesuatu yang selama ini tidak kita sadari.

          Bagian yg saya suka dari buku ini antara lain : Pembungkus Masa Depan, Hilang, Kunci, dan Balas Dendam Pintu Besi. Masih banyak artikel seru yang bisa Anda baca dengan santai. Dan setelah saya membaca buku ini, sumpah (nggak deh, nggak usah pake sumpah kali, ya!) persepsi saya terhadap Indra berubah total. Indra yang saya anggap begini begitu ternyata begini begitu...

         Sebuah buku dan kupasan media yang positif tentang seseorang seperti artis misalnya, membuat ia semakin dikenal lebih luas dan menarik hati pembacanya, untuk untuk mengenal si penulis lebih jauh dan bahkan menjadi penggemar setianya dengan menunggu karya-karya berikutnya. Tapi jangan bilang kalau saya ingin mengenal penulis kacau balau, eh Kicau Kacau ini lebih jauh lagi. Cukup informasi positif seadanya dan buku keren ini saja yang membuat persepsi saya terhadap Indra jauh lebih baik. Salut buat Indra dan prestasi hidup yang sudah diraihnya. Dan di akhir tulisan ini saya ingin berdoa semoga Indra segera mendapatkan jodoh (gak apa-apa ya Ndra, nggak nyambung dengan tema tulisan ini juga ya.. egp, kata si Indra) sehingga hidupnya lebih indah dan Indra bisa menciptakan karya yang lebih spektakuler.



Puisi-puisiku untuk Mereka yang Ingin Kembali Suci


SEJUMPUT ASA DALAM LORONG NISTA
Kamiluddin Azis

Adakah secuil harap saat jiwa kosong terberangus dalam lorong-lorong nista
Adakah segelintir asa saat raga hampa terkurung jeruji pekat
Cinta yang lara milik siapakah?
Bahagia yang fana hanya punya Tuankah?

Seuntai rambutku lepas bersama ratap, lara, dan perihku
Sejumput senyumku sirna bersama ingin, harap, dan asaku
Sisakan untukku tempat Tuan
Tempat aku menggantungkan ingin, harap, dan asaku
Sisakan aku senyum Tuan,
Senyum sambut, sirnakan ratap, lara, dan perihku

Adakah cinta yang lara milikku lepas bersama ratap dan perih ini?
Adakah bahagia yang fana milik Tuan tersisa untuk seorang aku
Yang terberangus dalam lorong-lorong nista?




JIWA-JIWA KUSUT PUN BERMIMPI
Kamiluddin Azis
Malam, kala gulita menyergap
Kusapu air dengan rupa warna bunga
Telusuri setiap lekuk tubuh hinaku
Harum menyeruak, menghapus semua noda yang tersisa
Sucikan kembali raga yang tercabik durjana
Jiwa yang terenggut nafsu belaka
Luka terhimpit nestapa
Sunyi, kendati mungkin sekedar mimpi
Gaung doa terpanjat, lirih dalam bisu kelam
Setiap tetes adalah dosa yang terserak
Setiap usap adalah harap yang belum terkuak
Setiap aroma adalah kepedihan yang selalu mendera
Jiwa-jiwa kusut hanyut dalam buai nestapa
Jiwa-jiwa kusut luruh dalam geliat dahaga
Akan mimpi,  sebuah kebebasan
Letih, takkan sanggup surutkan jejakku
Mencari Makna di balik semua nista
Yang lumuri tubuh ini



AKU INGIN PULANG
Kamiluddin Azis

Aku ingin pulang, 
meniti pematang ladang, menghirup aroma jerami, 
tertawa bersama kerbau dungu. 
Dan bebas!
Aku ingin pulang, 
bernyanyi dengan burung, menari bersama angsa
Dibuai sepoi alam, desah dedaunan, 
dinina-bobokan jangkrik-jangkrik malam
Aku tidak ingin dicekam, 
malam dengan buai berang-berang
Lelaki hidung belang yang hanya puas dengan desah melenguhkan resah
Keluh hinakan peluh setelah pejuh luruh di dalam tubuhku
Aku tidak ingin siang dirajam sesal yang menghantam setiap dekamku
Aku hanya ingin pulang, 
menikmati sisa kalut yang kuusir mati
Merajam sendiri semua lumur nista, 
dan kembali



Jumat, 23 Maret 2012

Flash Fiction : Pulang


PULANG
Kamiluddin Azis

 
                Aku hanya sanggup melempar senyum kecut. Sebuah senyum terakhir yang masih bisa aku bagi sebelum aku benar-benar pergi.
                Miranti menatapku dengan sejuta penyesalan yang sulit aku terima. Sebuah pengkhianatan -setelah kesetiaan ini aku patri bertahun-tahun lamanya- meruntuhkan dinding kepercayaanku padanya.
                “Maafkan aku Mas,” ia tertunduk menatap bumi tempatnya berpijak seolah ia takut bumi pun tak akan menerima pengakuannya. Air mata sudah lebih dulu mengalir tanpa harus kubuka keran lukaku.
                “Sudahlah, Ranti, aku mengerti kenapa kamu melakukan itu. Aku yang salah karena tidak sanggup memberimu kebahagiaan.” Kendati sakit ini belum benar-benar sirna, aku berusaha berpikir jernih bahwa mungkin saja semua kejadian ini berpangkal dari kesalahanku sendiri.  Sebagai seorang tenaga kerja Indonesia di luar negeri aku memang tidak bisa terlalu sering pulang ke tanah air. Perusahaan tempatku bekerja hanya memberikan dispensasi cuti pulang sekali dalam dua tahun. Jika karyawannya menginginkan pulang setahun sekali, itu masih diperbolehkan, dengan catatan biaya akomodasi dan sebagainya ditanggung sendiri.
                Dan karena aku hanya bisa menemui Miranti sekali dalam setahun tentu saja aku tidak bisa memberikan nafkah batin padanya. Sebagai seorang istri dan seorang perempuan, kebutuhan biologis sudah pasti harus dipenuhi. Komunikasi melalui telepon, yahoo messenger, bahkan video call, tidak bisa menggantikan apa yang seharusnya aku penuhi sebagai seorang suami.
                Ranti  menggenggam erat jemariku, matanya sembab menahan rasa takut dan penyesalan yang dalam. Sepertinya ia ingin sekali memelukku dan menumpahkan kesedihannya di bahuku, tetapi aku berusaha menghindar karena rasanya aku tidak sanggup lagi menerimanya sebagai bagian dari tanggung jawabku.  Aku resmi memberinya talak tiga supaya Miranti bisa segera menebus dosa-dosanya dan menikah dengan lelaki itu.
                Lelaki itu, -saat aku sengaja pulang ke tanah air tanpa memberitahukan Miranti, istriku, karena ini akan menjadi bagian dari kejutan ulang tahunnya- tengah berada di bawah selimut bersama seorang perempuan yang aku yakin dialah Miranti, istriku yang aku nikahi empat tahun yang lalu. Tanpa mereka sadari keberadaanku, kedua insan yang bukan muhrim itu sedang berpagut menikmati kebersamaan mereka. Seketika juga aku tidak bisa merasakan pijakan kakiku. Apa yang aku pegang dalam genggaman tanganku berjatuhan dan menyadarkan mereka akan kehadiranku yang  menyaksikan semua pengkhianatan itu.
                Sebagai seorang lelaki dan suami aku merasa bodoh dan  sangat terhina. Miranti yang merajut kasih denganku  belasan tahun lamanya tiba-tiba menjadi seorang asing di mataku. Tiga tahun lamanya aku mengadu nasib di negeri orang demi menjalankan rencana hidup kami untuk membuat sebuah keluarga bahagia. Tapi sekarang sia-sia sudah. Dan aku tidak perlu menunggu dua atau tiga tahun lagi untuk berhenti menjadi TKI dan menjalankan rencana kehidupan kami setelah aku mapan; hari ini, biarlah menjadi hari terakhir kepulanganku ke Indonesia.