Kamis, 22 Desember 2011

KUNCI



K U N C I

Seperti sedang menjalani expedisi di sebuah gurun pasir yang tandus. Matahari di atas ubun-ubun. Darah mendidih. Tenggorokan tercekik. Tidak ada setitik pun air, terlebih oase. Yang ada hanyalah fatamorgana yang semu.
            Aku berdiri dengan muka nanar, seolah tengah menatap lautan pasir yang terbentang. Suaraku tercekat. Bibirku membiru. Sementara aku berdiri di tengah sebuah keramaian kota. Kota yang dulu sejuk dan kini berubah menjadi sangat panas.
            Siang itu hanya 32 derajat celcius. Tetapi keringat sudah memandikan setiap jengkal tubuhku. Sendi-sendi tulangku bergetar hebat menahan beban yang tidak berhenti kupikul. Seribu, dua ribu, lima ribu sampai sepuluh ribu. Lebih baik kusimpan daripada kubelikan makanan sekali habis. Toh, rasa lapar ini sudah bersahabat lama denganku.
            Di sudut lain di kota sesak ini, aku yakin istriku tidak sedang berdiam diri. Bersama Dian, buah hati kami yang berusia  dua tahun, Resni pasti sedang berjuang melawan dahaga. Dengan beberapa lembar ribuan semoga cukup untuk menidurkan cacing di perut. Tapi kasihan, setelah itu mereka pasti akan merintih kembali.
            Menjelang sore, kami bertemu di Taman Tegalega. Istriku menyerahkan gerobak kosong yang isinya sudah dijual. Lumayan, gumamnya dengan sumringah yang meluluhkan lelahku. Kucium Dian yang sedang tertidur beralas dus tipis dalam gerobak. Ia menggeliat geli. Lucu dan menggemaskannya anakku itu.
            Lalu kami saling berpandangan, siapa tahu salah satu dari kami punya jawaban akan tidur di mana malam ini. Dan seperti malam-malam kemarin selama dua minggu terakhir ini kami tidur di balik semak pohon dengan label nama latin yang tidak dapat kami eja. Lelap dalam dingin menusuk. Tanpa selimut. Tanpa atap, selain langit yang pekat.
            Pagi hari kami terbangun tanpa harus merasa takut. Takut pemilik kontrakan menggedor pintu dan menyuruh kami keluar karena tunggakan kami yang membuat air liurnya muncrat saat murka. Udara segar bisa kami hirup setelah semalaman berebut oksigen dengan pohon penghuni taman ini.
            Resni tersenyum di sela batuknya yang kerap menyerang di pagi lembab. Aku memberikan botol minum dengan separuh isinya yang nyaris keruh.  Istriku meneguknya sedikit dan menyisakannya untuk Dian. Kugerakkan engsel-engsel badanku. Siap menghadapi hari ini dan mengumpulkan rupiah untuk kontrakan baru. Satu-satunya impianku saat ini.
            “Hari ini kau istirahatlah, Res. Biar aku yang mencari sisa buat kontrakan baru. Kan tinggal sedikit lagi,” ucapku tidak tega juga membiarkan istriku mengais sampah demi mengumpulkan dus dan plastik bekas untuk dijual. Harusnya aku yang memberinya pangan. Tapi istriku yang baik ini sepakat kalau aku yang mengumpulkan uang untuk biaya sewa kamar sebulan kedepan, dan ia yang mencari uang untuk makan. Upah kuli yang aku dapat memang lebih besar dibanding hasil yang diperoleh Resni.
            “Hari ini giliran aku yang puasa, Kang.” Jawabnya parau.
            “Tidak usah. kau kelihatan cape sekali. Batukmu itu, aku ikut sakit mendengarnya. Mudah-mudahan nanti malam kita bisa tidur di kasur,” hiburku penuh harap.
            Resni mengangguk. Ingin aku menghapus air mata yang tiba-tiba saja bergulir di pipinya dan melukiskan guratan bahagia di sana. Tapi bening mata Resni membuat hatiku semakin teguh untuk melawan rasa sesakit apapun. Aku bangkit setelah mengelus rambut Dian.
            Bandung Lautan Api, itu dulu. Sekarang mungkin lebih tepat kalau dibilang Bandung sebagai lautan pengunjung. Samudra pelancong. Bandung menjadi pelabuhan bagi kaum urban yang secara spontan tumplek bersamaan, atau bisa juga perhentian sementara dari lelah menumpuk rupiah. Semua orang seperti berlomba di kota ini. Berkompetisi memperebutkan gengsi yang diyakini bisa menaikan reputasi. Coba saja perhatikan, dulu masih banyak sawah dan tanah kosong tempat bermain anak-anak. Sekarang banyak perumahan dan mall berdiri di sana.
            Perkembangan hebat membuat lapangan kerja semakin luas. Tapi sayang, yang mengisi sebagian besar lowongan itu bukan orang Bandung sendiri, melainkan para pendatang itu. Sedangkan orang asli Bandung malah lebih suka atau terpaksa mengadu nasib di kota lain. Tapi apa peduliku tentang itu. Yang menyakitkan bagiku adalah tidak ada yang bisa menerima lulusan SMP beranak istri sepertiku. Tidak dengan rasa kasihan sekalipun.
            Pernah aku membantu menjadi kenek kuli bangunan salah satu mall yang sekarang mati karena sepi pengunjung, tapi bayarannya selalu terlambat dan banyak potongan yang tidak jelas. Dapat uang, langsung habis buat bayar hutang ke warung. Istriku menangis, anakku menjerit. Tetangga pun merasa terganggu karena kehadiran kami.
            Sisa tabunganku setelah berhenti dari satu pabrik yang mempekerjakan kuli angkut barang sisa kain perca habis untuk membayar tunggakan kontrakan dua bulan ke belakang. Sedangkan untuk kontrakan bulan ini terpaksa kami berhutang janji dan janji. Rasa malu sudah kami gadaikan sejak lama. Bahkan wajahku sudah tidak bisa lagi ditekuk, meski setiap pagi pintu rumah kontrakan kami digedor yang punya.
            Sampai suatu waktu ultimatum itu mencapai puncaknya. Pintu kami digedor tengah malam buta. Dian menjerit lantaran kaget. Resni menarik ujung bajuku ketika aku hendak membuka pintu rumah. Aku menatap matanya dan memberi isyarat untuk mengemasi barang-barang kami yang tidak seberapa. Tanpa harus diusirpun kami melangkah keluar. Kami hanya bisa melihat pemilik rumah menuntun barang bawaan penghuni kamar kontrakan yang baru.
            Resni terbatuk-batuk karena dingin menggerogoti rongga paru-parunya yang basah. Obat dari dokter habis sudah. Uang tidak ada sepeserpun. Tidak ada lagi warung yang bisa kami hutangi. Dalam ketegarannya Resni berusaha tidak membuatku merasa sedih. Padahal aku tahu ia menyembunyikan saputangan berdarahnya.
            Dian gadis cilikku. Hanya anak ini yang selalu menjadi pelita dalam gulitaku. Ia adalah secercah sinar yang menuntun langkahku yang terseok. Berhari-hari kami terlunta. Sisa pakaian habis ditukar sebungkus nasi. Suatu hari Dian menghilang. Resni menjerit histeris karena terbangun tanpa anak itu dalam pelukannya. Aku pun mencarinya ke segala tempat yang memungkinkan seorang anak dua tahun kesasar. Dalam keadaan panik, aku mencarinya pula ke dalam got sambil menangis. Tapi sore harinya seorang perempuan kumal mengantarkan Dian dan memberi istriku uang sepuluh ribu.
            Istriku tidak sudi mengemis. Aku juga tidak akan menghina diriku sendiri untuk melakukan hal itu. Menyewakan Dian pada pengemis-pengemis itu tidak pernah terbersit sedikitpun dalam benak kami. Akhirnya nasib berbaik hati pada kami. Seorang pengepul menawari kami untuk mencari rongsokan dengan memakai gerobaknya. Menjual barang-barang bekas temuan kami itu padanya membuat hidup kami sedikit lebih ringan. Resni dan Dian bisa makan nasi. Bahkan gerobak itupun bertambah fungsi menjadi ranjang berjalan buat Dian.
            Kami pun sepakat berbagi tugas. Resni mencari barang-barang bekas, dan aku menjadi kuli di pasar. Harapan besar kembali muncul untuk bisa mencari kontrakan lagi. Tidur tanpa harus berselimut karbon dioksida. Bisa mandi dan mencuci pakaian dengan air bersih. Makan dengan lauk dalam piring bersih di atas tikar yang hangat.
            Sore ini sebelum menemui Resni di Taman Tegalega, aku ingin memastikan kontrakan yang selama ini aku incar belum ada yang mengisi. Lebih baik aku segera memberi panjer supaya tidak keduluan orang lain. Aku pun menemui pemilik kontrakan yang rumahnya tidak jauh dari kamar-kamar bedeng itu.
            “Seratus dua puluh ribu. Bayar setengah dulu baru saya berikan kuncinya. Kapan mau diisi?” pemilik kontrakan itu memandangku jijik. Lembaran ribuan di tanganku sepertinya tidak begitu menghiburnya.
            “Nanti malam barangkali, Pak. Kebetulan istri saya sedang sakit jadi kami perlu tempat tinggal yang nyaman. Ada kasurnya, Pak?” ucapku  lirih.
            “Tambah lagi dua puluh ribu.” Jawabnya singkat dengan raut yang sama sekali tidak berubah. Dingin, tanpa basa-basi.
            Aku pun memberikan uang tujuh puluh ribu. Separuhnya akan aku berikan nanti sore karena kebetulan uangku masih kurang belasan ribu lagi. Mudah-mudahan aku bisa mengumpulkan sisanya setelah Resni dan Dian menempati rumah kontrakan itu.
            “Kalau nanti malam tidak memberikan sisanya, saya anggap batal, ya!” Pemilik kontrakan melengos.
            Kunci pun sudah di tangan. Dan aku merasa sangat merdeka. Dada ini seperti mau meledak karena bahagia. Terbayang wajah Dian bisa bermain di lantai yang bersih. Bergegas aku menemui istri dan anakku itu. Ingin segera rasanya menyampaikan kabar gembira ini.
-o0o-
            Resni sedang menungguku di pojok taman. Wajahnya pucat. Keringat dingin membasahi tengkuknya. Tubuhnya panas gemetaran. Dian sedang tertidur dalam gerobak dengan alas dus baru yang lebih bersih. Segera aku mengangkat Resni ke dalam gerobak dan membawanya ke rumah kontrakan baru kami.
            Aku menidurkan Resni dan Dian di atas kasur tipis. Resni membuka matanya dan tersenyum ke arahku. “Untung aku nggak gemuk ya, Kang,” guyonnya.
            “Aku beli makanan dan minuman dulu, ya.” Ucapku sambil mengelus butir keringat di kening istriku.
            Kutatap Dian yang tertidur pulas lalu bergegas aku keluar untuk membeli makanan, minuman dan obat. Tidak lama kemudian aku membangunkan Resni dan menyuapinya makanan. Dian masih terlelap dalam buaian mimpi kanak-kanaknya.
            “Minum obat ini, ya, Res,” aku pun memasukkan butiran obat penurun panas yang aku beli dari warung, ke mulut Resni. “Setelah ini, tidur dan istirahat, ya. Ini ada makanan kecil dan minuman kalau Dian bangun nanti malam,” lanjutku.
            “Akang mau ke mana?” tanya istriku. Ia menggenggam tanganku. Panasnya sudah mulai turun dan ia sudah tidak gemetaran lagi.
            “Aku sudah janji untuk membayar sisa kontrakannya malam ini juga. Uang kita masih kurang, Res,” aku menghitung kekurangannya yang ternyata menjadi lebih besar karena tadi aku pakai untuk membeli makanan dan obat.
            “Besok saja, Kang. Aku takut,” pinta Resni.
            “Kalau besok, aku yang takut kalau kita diusir seperti dulu. Istirahat saja, ya Res. Mungkin aku pulang pagi.”
            Aku pun menemui pemilik kontrakan dan meminta kebijakannya untuk mengundur sisa pembayarannya menjadi besok pagi. Dan aku akan mengusahakannya malam ini juga. Dengan muka ditekuk,  lelaki setengah baya itu menyetujuinya. Biasanya pada malam hari, di pasar Andir ramai pedagang dan pembeli sayuran. Aku bisa menjadi kuli di sana. Mudah-mudahan besok aku juga bisa membawa istriku ke puskesmas setelah melunasi hutang kontrakan.
            Pagi buta aku sudah mengantongi puluhan ribu setelah ditambah dari hasil kuli angkut barang. Lalu aku menemui pemilik kontrakan dan membayar sisa sewa kontrakan sebesar tujuh puluh ribu rupiah. Aku pun menghambur menuju rumah kontrakanku dan ingin segera memeluk Dian dan Resni saking senangnya.
            Dari ujung gang aku bisa mendengar suara tangisan Dian. Kenapa dengan anak itu? Aku pun mempercepat langkahku. Tersentak aku melihat Dian menangis,sementara tubuh Resni di sisinya, terkulai di depan pintu. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin para tetangga belum bangun atau malah sudah pada pergi bekerja. Aku mengguncang-guncangkan tubuh Resni yang lemah. Darah mengucur dari hidung dan mulutnya.Tanpa berfikir panjang kubawa Resni ke rumah sakit pemerintah terdekat.
            “Segera tebus obat ini!” kata dokter yang merawat Resni di rumah sakit. Aku sedih karena sudah tidak ada lagi uang tersisa. Andai aku lebih dulu menemui Resni dan bukan pemilik kontrakan itu, mungkin aku bisa menebus obat itu. Lalu terbersit dalam pikiranku untuk mengembalikan kunci kontrakan dan meminta uang itu kembali. Meskipun mungkin aka nada potongan, tapi minimal sisanya masih bisa aku pakai untuk membeli obat buat Resni.
            “Jangan, Kang.” Resni menggenggam kunci itu erat-erat. Seolah dengan kunci itu ia bisa segera sembuh dari sakitnya. “Aku tidak apa-apa kok.” hiburnya. Seulas senyum mengembang dari bibirnya yang kering dan retak-retak, sisa dari siksaan panas berhari-hari.
            Darah kembali merembes dari hidung dan mulutnya.
            “Berikan kunci itu, Resni. Aku akan menukarnya dengan obatmu,” jeritku.
            Tapi Resni tidak mendengarku.
            “Ini untuk Dian, Kang,” Resni berusaha memberikan kunci itu ke tanganku. Tetapi kunci itu malah terlepas dari tangannya.
            Dian menjerit menyaksikan ruh terlepas dari raga ibunya. Napasku tercekat, suaraku hilang, kupingku tidak lagi mendengar denting kunci yang terjatuh ke lantai.
            Resni kini telah tiada, meninggalkan aku, Dian, dan sebuah kunci yang ia pertahankan agar Dian tidak lagi tidur di dalam gerobak beralas dus, dan beratapkan langit kelam.
-oOOo-