1
BANGUN TERLAMBAT
Adzan Subuh sudah menggema. Ashalatu Khairumminannauum... begitu
syahdu dan membangkitkan gairah segenap
umat untuk memulai hari dengan penuh semangat. Ridwan segera melepas selimut,
lalu duduk di tepi tempat tidur. Sambil menarik napas dalam-dalam ia membaca
doa bangun tidur, kemudian bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
“Eh,
Kakak sudah bangun,” sapa ibu yang sedang menyeduh teh hangat, ”Ayah sudah
nunggu tuh, Kak,” lanjut ibu sambil menuangkan sesendok gula pasir ke dalam
gelas. Wajah ibu kelihatan segar dan berseri karena baru saja dibasuh air
wudlu.
“Iya,
Bu. Ridwan ke kamar mandi dulu ya,” balas Ridwan sambil tersenyum. Di sela sisa
kantuknya sekalipun Ridwan masih bisa membalas senyum ibunya dengan ramah.
Ridwan tidak pernah lupa nasehat Pak Ustadz bahwa menghormati orangtua
merupakan kewajiban bagi setiap anak.
Ketika
Ridwan masuk ke kamar mandi, sayup-sayup ia mendengar Ibu membangunkan Anissa,
adik perempuannya yang masih tertidur pulas. Seperti biasa Anissa terdengar
mengeluh dan malas-malasan.
“Ayo
Nissa, nanti keburu siang. Shalat subuh dulu, Nak,” ajak Ibu lembut.
“Ah, Nissa masih ngantuk, Bu. Ini kan hari libur,” keluh Nissa lagi sambil
menarik selimut sampai menutupi dadanya.
“Nissa.... hari libur bukan berarti Shalat libur juga, Nak. Ayo dong, Nissa
kan anak pintar,“ rayu Ibu.
Nissa malah membalikkan badannya,
melanjutkan tidurnya. Ibu menggelengkan kepala menghadapi kelakuan Nissa. Sambil
berlalu ibu berniat membangunkan Nissa setelah selesai menunaikan Shalat Subuh.
Tiba-tiba ayah muncul dari ruang depan
sambil menenteng gelas tehnya.
“Sepertinya
hujan, Bu. Ayah nggak bisa ke mesjid nih. Kita shalat berjamaah aja, ya,” ucap
ayah sambil meletakkan gelas di atas meja, lalu menuju ruang depan yang
dikhususkan untuk ruang ibadah. Biasanya di ruangan ini Ayah memimpin shalat
dan mengaji bersama keluarga. Ruangan ini juga berfungsi sebagai perpustakaan
keluarga. Di sana ada meja dan
buku-buku yang disusun rapi di rak buku. Kebanyakan buku tentang agama dan
pengetahuan umum.
Ibu sedang menggelar sajadah ketika Ridwan
masuk dengan pakaian shalatnya. Ridwan bersiap-siap untuk mengumandangkan
iqomat. Ayah berdiri di depan sebagai imam, Ridwan di belakang ayah, dan ibu
berdiri di belakang Ridwan. Keluarga ini pun mulai melaksanakan Shalat Subuh
berjamaah.
Sementara itu, Anissa masih lelap dalam
tidurnya. Ia memang kerapkali terlambat bangun dan Shalat Subuh. Ibu dan ayah
sudah seringkali mengingatkan. Ridwan pun sebagai kakaknya tak henti memberi
nasihat karena menunda Shalat itu tidak baik hukumnya, dan manusia akan merugi
karena bisa menyebabkan celaka.
“Ah, tahu apa Kakak tentang celaka,”
begitu kilah Anissa suatu waktu ketika Ridwan mengingatkan Anissa untuk segera
menunaikan Shalat Maghrib. Annisa malah asyik nonton acara tv anak-anak.
Sebagai kakak, Ridwan sangat sayang kepada
adik-adiknya. Annisa yang berumur tiga tahun lebih muda dari Ridwan duduk di
kelas tiga SD. Dan adik bungsu mereka, Nafissa masih di taman kanak-kanak. Rasa
sayang itu Ridwan tunjukkan dengan memberi contoh kepada adik-adiknya untuk selalu
berbuat baik, rajin belajar, dan membantu orangtuanya di rumah.
Tapi
berbeda dengan Ridwan, Anissa lebih sering bermain di luar. Dan tidak seperti
anak-anak perempuan sebayanya, teman-teman Anissa kebanyakan anak laki-laki. Anissa
menyukai permainan anak laki-laki seperti bermain bola, manjat pohon, main di
pinggir sungai, dan sebagainya. Tidak jarang Anissa pulang sore dengan baju
penuh lumpur atau tangan dan kaki yang memar.
Ibu sangat cemas menghadapi kelakuan
Anissa. Apalagi melihat ayah yang kadang marah dan menghukum Anissa. Ibu
menjadi sangat sedih. Tapi kelihatannya Anissa tidak pernah jera sama sekali. Ia malahan selalu mengulang kesalahan yang
sama. membuat resah Ibu dan membuat ayah menahan emosi.
*
Jam
delapan pagi Anissa baru bangun dari tidurnya. Itu pun karena ia merasa lapar
dan teringat akan janjinya kepada teman-temannya untuk melakukan petualangan ke
bukit di desa sebelah. Kabarnya di sana banyak burung yang mudah diburu, juga
ada kasur aneh yang terbuat dari batu. Dan yang paling ramai dibicarakan
orang-orang adalah sebuah gua misterius yang menyimpan banyak misteri.
Waktu
Anissa membuka tudung saji di meja makan, ia tidak mendapati apa-apa di sana.
Ke mana ibu, pikirnya, kenapa tidak ada nasi goreng yang biasa ibu buat untuk
sarapan. Lalu Anissa ke ruang keluarga, di sana ia tidak mendapati siapa-siapa.
Dalam keadaan tidak menentu Anissa meraih remote control dan menyalakan tv.
Acara film anak-anak mewarnai layar televisi datarnya. Kemana ibu dan ayah, Kak
Ridwan dan Nafissa. Kok rumah sepi begini sih? Anissa tak henti
bertanya-tanya.
Ketika hendak membuka lemari es,
Anissa melihat ada secarik kertas di balik hiasan kulkas. Sebuah memo, tulisan
tangan ibu yang sangat rapi.
Assalamu
alaikum : Nissa sayang, Ibu dan Ayah, juga Kakak sama Adik pergi ke rumah Tante
Nur dulu sebentar. Kata Tante, Kakak Iza lagi sakit. Nissa sarapan
bubur aja, uangnya ada di atas meja makan. Wassalam : ibu
Nissa
menarik napas berat. Hari ini ia ada janji mau pergi ke bukit di desa sebelah
bersama Doni, Andrian, Mayang dan Edo. Gimana bisa kuat kalau cuma sarapan
bubur. Ia sedikit menyesal karena bangun kesiangan. Coba kalau tadi ia bangun
pagi, ia bisa minta uang bekal sama ibu. Tapi kalau dipikir-pikir ada bagusnya
juga sih aku bangun siang, soalnya kalau bangun pagi aku terpaksa harus ikut ke
rumah Tante Nur dan tidak akan mendapat izin untuk pergi bersama teman-temannya.
Terus sekarang gimana, aku harus minta izin sama siapa? Gimana kalau ayah dan ibu
marah karena aku pergi ke bukit itu? Begitu batin Anissa berkecamuk.
Anissa
berpikir sebentar, lalu menjentikkan jarinya mantap. Sekarang ia malah merasa senang
karena dengan tidak ada ibu dan ayahnya ia bisa bebas pergi tanpa
dilarang-larang. Kalau pulangnya dimarahi, itu urusan nanti, pikirnya. Ia lalu
buru-buru mengambil uang di atas meja, membuka lemari makanan dan memasukkan
beberapa bungkus mie instant, roti bungkus dan air mineral. Ia juga mengambil
buah pir dan apel dari dalam lemari es. Semuanya dimasukkan ke dalam ransel
yang sejak semalam sudah diisinya dengan kaos dan celana bersih.
Setelah
mengkodlo Shalat Subuhnya, Anissa membuat memo untuk ibu. Kemudian Anissa
mengeluarkan sepeda dari garasi, mengunci pintu dan menyimpan kunci rumah di
bawah keset sabut kelapa yang tergeletak di depan pintu. Lalu mengayuh sepedanya menuju rumah Doni, tempat
ia dan teman-temannya janji berkumpul. Sekilas ia melirik jam tangan anti
airnya, pasti teman-teman sudah lama menunggunya, desah Anissa cemas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar