Minggu, 01 Januari 2012

JANJI ANNISA : #1 Bangun Terlambat

1
BANGUN TERLAMBAT
Adzan Subuh sudah menggema. Ashalatu Khairumminannauum... begitu syahdu dan  membangkitkan gairah segenap umat untuk memulai hari dengan penuh semangat. Ridwan segera melepas selimut, lalu duduk di tepi tempat tidur. Sambil menarik napas dalam-dalam ia membaca doa bangun tidur, kemudian bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudlu.
            “Eh, Kakak sudah bangun,” sapa ibu yang sedang menyeduh teh hangat, ”Ayah sudah nunggu tuh, Kak,” lanjut ibu sambil menuangkan sesendok gula pasir ke dalam gelas. Wajah ibu kelihatan segar dan berseri karena baru saja dibasuh air wudlu.
            “Iya, Bu. Ridwan ke kamar mandi dulu ya,” balas Ridwan sambil tersenyum. Di sela sisa kantuknya sekalipun Ridwan masih bisa membalas senyum ibunya dengan ramah. Ridwan tidak pernah lupa nasehat Pak Ustadz bahwa menghormati orangtua merupakan kewajiban bagi setiap anak.
            Ketika Ridwan masuk ke kamar mandi, sayup-sayup ia mendengar Ibu membangunkan Anissa, adik perempuannya yang masih tertidur pulas. Seperti biasa Anissa terdengar mengeluh dan malas-malasan.
            “Ayo Nissa, nanti keburu siang. Shalat subuh dulu, Nak,” ajak Ibu lembut.
            “Ah, Nissa masih ngantuk, Bu. Ini kan hari libur,” keluh Nissa lagi sambil menarik selimut sampai menutupi dadanya.
            “Nissa.... hari libur bukan berarti Shalat libur juga, Nak. Ayo dong, Nissa kan anak pintar,“ rayu Ibu.
Nissa malah membalikkan badannya, melanjutkan tidurnya. Ibu menggelengkan kepala menghadapi kelakuan Nissa. Sambil berlalu ibu berniat membangunkan Nissa setelah selesai menunaikan Shalat Subuh.
Tiba-tiba ayah muncul dari ruang depan sambil menenteng gelas tehnya.
“Sepertinya hujan, Bu. Ayah nggak bisa ke mesjid nih. Kita shalat berjamaah aja, ya,” ucap ayah sambil meletakkan gelas di atas meja, lalu menuju ruang depan yang dikhususkan untuk ruang ibadah. Biasanya di ruangan ini Ayah memimpin shalat dan mengaji bersama keluarga. Ruangan ini juga berfungsi sebagai perpustakaan keluarga. Di sana ada meja dan buku-buku yang disusun rapi di rak buku. Kebanyakan buku tentang agama dan pengetahuan umum.
Ibu sedang menggelar sajadah ketika Ridwan masuk dengan pakaian shalatnya. Ridwan bersiap-siap untuk mengumandangkan iqomat. Ayah berdiri di depan sebagai imam, Ridwan di belakang ayah, dan ibu berdiri di belakang Ridwan. Keluarga ini pun mulai melaksanakan Shalat Subuh berjamaah.
Sementara itu, Anissa masih lelap dalam tidurnya. Ia memang kerapkali terlambat bangun dan Shalat Subuh. Ibu dan ayah sudah seringkali mengingatkan. Ridwan pun sebagai kakaknya tak henti memberi nasihat karena menunda Shalat itu tidak baik hukumnya, dan manusia akan merugi karena bisa menyebabkan celaka.
“Ah, tahu apa Kakak tentang celaka,” begitu kilah Anissa suatu waktu ketika Ridwan mengingatkan Anissa untuk segera menunaikan Shalat Maghrib. Annisa malah asyik nonton acara tv anak-anak.
Sebagai kakak, Ridwan sangat sayang kepada adik-adiknya. Annisa yang berumur tiga tahun lebih muda dari Ridwan duduk di kelas tiga SD. Dan adik bungsu mereka, Nafissa masih di taman kanak-kanak. Rasa sayang itu Ridwan tunjukkan dengan memberi contoh kepada adik-adiknya untuk selalu berbuat baik, rajin belajar, dan membantu orangtuanya di rumah.
Tapi berbeda dengan Ridwan, Anissa lebih sering bermain di luar. Dan tidak seperti anak-anak perempuan sebayanya, teman-teman Anissa kebanyakan anak laki-laki. Anissa menyukai permainan anak laki-laki seperti bermain bola, manjat pohon, main di pinggir sungai, dan sebagainya. Tidak jarang Anissa pulang sore dengan baju penuh lumpur atau tangan dan kaki yang memar.
Ibu sangat cemas menghadapi kelakuan Anissa. Apalagi melihat ayah yang kadang marah dan menghukum Anissa. Ibu menjadi sangat sedih. Tapi kelihatannya Anissa tidak pernah jera sama sekali. Ia malahan selalu mengulang kesalahan yang sama. membuat resah Ibu dan membuat ayah menahan emosi.
*
            Jam delapan pagi Anissa baru bangun dari tidurnya. Itu pun karena ia merasa lapar dan teringat akan janjinya kepada teman-temannya untuk melakukan petualangan ke bukit di desa sebelah. Kabarnya di sana banyak burung yang mudah diburu, juga ada kasur aneh yang terbuat dari batu. Dan yang paling ramai dibicarakan orang-orang adalah sebuah gua misterius yang menyimpan banyak misteri.
            Waktu Anissa membuka tudung saji di meja makan, ia tidak mendapati apa-apa di sana. Ke mana ibu, pikirnya, kenapa tidak ada nasi goreng yang biasa ibu buat untuk sarapan. Lalu Anissa ke ruang keluarga, di sana ia tidak mendapati siapa-siapa. Dalam keadaan tidak menentu Anissa meraih remote control dan menyalakan tv. Acara film anak-anak mewarnai layar televisi datarnya. Kemana ibu dan ayah, Kak Ridwan dan Nafissa. Kok rumah sepi begini sih? Anissa tak henti bertanya-tanya.
            Ketika hendak membuka lemari es, Anissa melihat ada secarik kertas di balik hiasan kulkas. Sebuah memo, tulisan tangan ibu yang sangat rapi.
            Assalamu alaikum : Nissa sayang, Ibu dan Ayah, juga Kakak sama Adik pergi ke rumah Tante Nur dulu sebentar. Kata Tante, Kakak Iza lagi sakit. Nissa sarapan bubur aja, uangnya ada di atas meja makan. Wassalam : ibu
            Nissa menarik napas berat. Hari ini ia ada janji mau pergi ke bukit di desa sebelah bersama Doni, Andrian, Mayang dan Edo. Gimana bisa kuat kalau cuma sarapan bubur. Ia sedikit menyesal karena bangun kesiangan. Coba kalau tadi ia bangun pagi, ia bisa minta uang bekal sama ibu. Tapi kalau dipikir-pikir ada bagusnya juga sih aku bangun siang, soalnya kalau bangun pagi aku terpaksa harus ikut ke rumah Tante Nur dan tidak akan mendapat izin untuk pergi bersama teman-temannya. Terus sekarang gimana, aku harus minta izin sama siapa? Gimana kalau ayah dan ibu marah karena aku pergi ke bukit itu? Begitu batin Anissa berkecamuk.
            Anissa berpikir sebentar, lalu menjentikkan jarinya mantap. Sekarang ia malah merasa senang karena dengan tidak ada ibu dan ayahnya ia bisa bebas pergi tanpa dilarang-larang. Kalau pulangnya dimarahi, itu urusan nanti, pikirnya. Ia lalu buru-buru mengambil uang di atas meja, membuka lemari makanan dan memasukkan beberapa bungkus mie instant, roti bungkus dan air mineral. Ia juga mengambil buah pir dan apel dari dalam lemari es. Semuanya dimasukkan ke dalam ransel yang sejak semalam sudah diisinya dengan kaos dan celana bersih.
            Setelah mengkodlo Shalat Subuhnya, Anissa membuat memo untuk ibu. Kemudian Anissa mengeluarkan sepeda dari garasi, mengunci pintu dan menyimpan kunci rumah di bawah keset sabut kelapa yang tergeletak di depan pintu. Lalu mengayuh sepedanya menuju rumah Doni, tempat ia dan teman-temannya janji berkumpul. Sekilas ia melirik jam tangan anti airnya, pasti teman-teman sudah lama menunggunya, desah Anissa cemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar