Senin, 20 Juni 2011

CINTA INI UNTUK SIAPA



CINTA INI UNTUK SIAPA

Aku sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran kedua orangtuaku. Ketiga kakak perempuanku semuanya menikah karena dijodohkan dengan lelaki pilihan mereka, atau rekomendasi, kalau tidak dari saudara ayah, ya dari saudara ibu. Seperti Kak Narti, menikah dengan Kak Dayat itu karena dijodohkan oleh Tante Cindy, tantenya Ayah, adik dari almarhum kakek. Kak Atik juga begitu, dijodohkan dengan Kak Mahmud oleh Tante Cindy juga. Lalu Kak Eny, dipaksa menikah dengan Kak Agung, lelaki yang baru dikenalnya seminggu sebelum akad nikah dilangsungkan, yang kata Om Handi, sang rekomendator, ialah pemuda yang sudah matang dan siap memberikan masa depan yang gemilang.
            Zaman memang sudah berubah sejak lama. Tapi tradisi jodoh menjodohkan seperti masa Siti Nurbaya masih saja terjadi. Terutama di keluarga besarku. Dan kini menginjak usiaku yang sudah masuk dua puluh tiga, aku terancam mengalami nasib yang sama. Padahal aku anak lelaki, dan jelas-jelas selalu menentang adanya perjodohan sepihak itu. Heran juga kenapa Kak Arman, kakak lelakiku pun mau saja menerima dijodohkan dengan perempuan yang mungkin baru disukainya setelah malam pertamanya.
Dan lagi-lagi Tante Cindy yang memegang kendali. Tante Cindy memang paling doyan jodoh-jodohin orang. Tidak tahu apa untungnya buat dia sendiri. Sang makelar jodoh yang satu ini seperti tidak bisa berdiam diri melihat anak-anak keponakannya yang beranjak dewasa tetapi masih santai-santai saja belum menikah. Ia terus mengunjungi saudara-saudaranya dan menyebarkan virus perjodohan ke mana-mana. Dan virus itu ternyata sangat ampuh menulari pikiran ayah dan ibuku.
Untuk urusan masa depan, aku sempat bertekad untuk tidak menerima apapun bentuk intervensi yang dilakukan oleh kedua orangtuaku. Pemilihan pasangan hidup bagiku bukan saja menyangkut masalah bibit bobot dan bebet, tetapi peranan cinta juga sangatlah penting. Memang, konon katanya cinta bisa tumbuh setelah ikrar pernikahan dilangsungkan. Perasaan  saling mengerti dan memahami satu sama lain menjadi bibit tumbuhnya cinta itu setelah kehidupan rumah tangga dijalankan. Dan perjodohan pun tidak lagi menjadi sesuatu yang membuat mereka yang mengalaminya menyesal. Aku tidak mengerti, bagiku cinta yang lahir karena keterpaksaan tidak akan kekal.
Hari ini adalah ulang tahunku yang ke dua puluh tiga. Tidak pernah ada perayaan untuk hari spesialku ini. Tetapi Ibu tidak pernah absen membuat masakan yang berbeda di hari ulang tahun anak-anaknya. Dan Ibulah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kado kecil yang tidak pernah aku lupakan. Bagiku apapun bentuk perhatian dari Ibu semuanya terasa sangat special karena pasti diberikannya dengan landasan cintanya yang tulus.
“Makasih ya, Bu,” aku mengecup tangan Ibu setelah beliau mencium keningku dan meniupkan doa ke ubun-ubunku. Aku mengamini setiap doa yang terucap dengan perasaan haru.
Lalu Ayah, dan adik-adikku bergantian mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Dan kami mulai menikmati makanan special masakan Ibu. Sampai tiba-tiba, seseorang muncul dan memecah kesunyian di rumah kami.
“Hallow…. Selamat ulang tahun….” teriaknya heboh. Seperti kebiasaannya, Tante Cindy, nenek-nenek genit itu muncul tiba-tiba sambil menenteng sebuah bungkusan berbentuk kotak. “Cucu Tante sudah bujang rupanya, happy birthday ya, Ganteng,” ia lalu mencium kepalaku sambil mencomot tempe goreng di piring adikku. Sikap yang aneh. Adikku mendelik pasrah.
“Makasih, Tante,” balasku dengan sopan. Meskipun Tante Cindy itu tantenya Ayah, tapi kami semua, anak-anak Ayah dan anak-anak keponakan Tante Cindy yang lain memanggilnya dengan sebutan tante juga, bukan nenek seperti seharusnya. Mungkin karena pembawaannya Tante Cindy yang selalu ramai, heboh, dengan penampilan yang selalu happening.
“Ini Tante bawain kue tart buatan Tante sendiri, loh. Khusus buat anak ponakan Tante yang ulang tahun hari ini,” Tante Cindy membuka kotak putih itu yang ternyata isinya kue tart. Heran, kok ada ya nenek-nenek yang hafal banget kapan cucu-cucunya ulang tahun. Padahal aku ini kan hanya anak dari keponakannya, dan bukan cucunya secara langsung. Ah, emang gue pikirin, yang penting ada yang sudah ingat hari ulang tahunku itu saja, sudah cukup menyenangkan bagiku, dan kesan menyebalkan Tante Cindy hari ini aku kesampingkan dulu melihat kue tart yang sangat menggoda itu.
Puding mangga buatan Ibu yang super lezat sudah habis aku lahap. Dan kini giliranku mencoba kue tart dari Tante Cindy. Tapi sebelumnya aku berkomat-kamit dulu membaca doa. Takutnya ada bumbu mistis yang mengandung virus berbahaya. Haha, maaf ya, Tan!
Tante Cindy tak berkedip, menunggu reaksiku. “Enak, Tante,” pujiku. “Kue ini tidak dijampi-jampi kan, Tante?” candaku mengundang delik Ayah di seberang meja.
Adikku yang kecil tertawa geli. “Kalau membuat Kak Imbang  jadi tambah ganteng dan disukai banyak cewek, gak apa-apa kali, Kak,” godanya. Aku menyeringai, tak bisa membalas banyolan adikku.. Iya kalau disukai cewek-cewek yang emang aku suka, nah kalo dikejar-kejar koleksi jomblonya Tante Cindy, ih tart dulu kali. Maksudnya entar-entar,  jangan sampe dehh..!!
Mungkin apa yang dilakukan Tante Cindy di hari ulang tahunku itu, merupakan salah satu metode pendekatan untuk meluluhkan hatiku. Semua sudah tahu jam terbang Tante Cindy. Ia pasti akan melakukan manuver-manuver yang tidak disadari calon korbannya. Kecuali aku kali, yang sudah jeli dan mengamati setiap pergerakan yang Tante Cindy lakukan di belakangku sekalipun.
Seperti sore itu, aku mendengar ibu berbisik-bisik saat menerima telepon. Aku sih curiganya itu telepon dari Tante Cindy. Dan ternyata emang benar, karena setelah ibu menutup telepon, aku langsung dipanggilnya.
“Iya, Bu,” sahutku malas, lalu duduk di hadapan ibu dan ayah yang sudah sedari tadi melipat Koran sorenya.
“Jadi gimana?” tanpa tedeng aling-aling ibu bertanya, entah bagaimana apa yang ibu maksud.
“Bagaimana apanya, Bu?” tanyaku tidak mengerti.
“Loh, emang Ayah belum ngomong sama Imbang?” ibu beralih ke Ayah.
Ayah menurunkan kacamatanya, dan meletakkannya di atas meja dengan muka ditekuk.
“Ibu saja yang ngomong. Ayah sudah tahu jawabannya.”
“Sudah tahu gimana, nanya aja belum,” bantah Ibu.
“Tanya apa sih, Bu?” aku menengahi. Paling malas kalau sudah mendengar Ayah dan Ibu adu mulut. Hal sepele aja bisa jadi rame.
“Itu loh, Mbang… Tante Cindy tuh mau kenalin kamu sama anaknya Tantenya Rosa, sepupu ibu dari jauh. Jadi waktu itu tuh Tante Cindy ketemu sama Dhienar, di arisan keluarga dari pihak neneknya Ibu, nah Tante Cindy tuh yang ngurus cateringnya….”
“Kirain cuma bisa ngurus perjodohan doang, Bu,” potongku sambil nyengir kuda.
“Kamu ini, nggak sopan motong omongan orangtua. Sampai di mana tadi Ibu, oh, iya, Dhienar itu baru lulus S1 Fakultas Hukum Trisakti, dan sebentar lagi mau ambil S2 juga. Tapi dia masih sendirian gitu, maklum serius kuliah jadi tidak ada waktu cari pasangan, katanya. Nanti Ibu mintain fotonya deh,” lanjut Ibu.
“Iya, Bu. Terus hubungan dengan Imbangnya apa? Kenapa Imbang harus kenal sama siapa tadi, Dhienar, itu segala?” tanggapanku.
“Ini anak! Tuh anakmu, Yah… Cuma kenalan aja, kok, Imbang!” lanjut ibu sepertinya mulai kesal.
“Malas, ah. Kalo selama kuliah aja tuh cewek nggak bisa ketemu satu cowok pun yang cocok, berarti dia tuh kuper, Bu. Masa Ibu mau punya menantu kuper?” ledekku. Sebenarnya sih bukan benar-benar meledek. Tapi aku cuma mau tunjukkan ke Ibu dan Ayah kalau aku tuh paling nggak suka diatur-atur. Pertamanya sih iya kenalan, tapi lama-lama Tante Cindy bakal menentukan pertemuan-pertemuan berikutnya. Ia kan paling jago bikin skenario dan membuat sesuatu tuh terjadi seolah-olah kebetulan. Sudah hafal aku taktik seperti ini.
Tapi demi menghormati orangtuaku, aku mau saja dikenalkan dengan Dhienar. Dan ternyata anaknya tidak sekuper tampangnya. Wajah dan tubuhnya tidak jelek-jelek amat. Tapi masa sih model cewek kayak begini nggak ada yang melirik. Minimal dosen yang masih bujangan atau malah yang sudah menjadi duda mungkin. Atau dia termasuk mahasiswi yang nilainya tinggi, jadi cowok-cowok malas mendekati dia karena takut dites soal-soal ujian gitu. Haha, tapi nggak ada salahnya juga sih, kalau cuma kenal doang.
Dhienar berbeda usia 2 tahun denganku. Kepribadiannya lumayan menyenangkan. Meskipun untuk mendengar suaranya kita harus memancingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin bisa dia jawab tidak hanya dengan kata ‘iya’ atau ‘tidak’ seperti di meja hijau. Konon katanya Dhienar ini calon pengacara. Dan seperti umunya pengacara, Dhienar kelihatan sangat cerdas, pantas saja dia mendapat predikat cumlaude. Hanya saja entah karena di dekatku saja cewek ini begitu pendiam, atau kebetulan lagi sariawan? Hadoh!
Pada pertemuan pertamaku dengan Dhienar aku langsung bilang kalau aku tidak suka dijodoh-jodohkan. Tentu saja aku tidak bilang kalau aku tidak mau dijodohkan dengan Dhienar. Gila aja, nanti disangkanya aku ini geer. Aku hanya mengemukakan pendapatku soal jodoh menjodohkan, termasuk pendapatku soal Mak Comblang kawakan itu. Ternyata Dhienar sependapat denganku. Dan dia malah menganggapku sebagai kakaknya. Maklum dia anak satu-satunya di keluarganya.
Aku jadi penasaran dengan Dhienar. Bukan, aku bukannya mulai tertarik dengan cewek yang satu ini. Malah aku berencana memperkenalkan Dhienar dengan temanku yang sudah kebelet pengen meried. Kali aja mereka cocok. Aku sendiri sih belum kepikiran sampai ke sana. Apalagi sampai dengan saat ini aku masih sedang melakukan pendekatan dengan cewek gebetanku, Ranti namanya. Maka aku ajak Dhienar ke café tempat aku dan teman-temanku biasa ngumpul.
“Kenalin nih, Dhienar, sepupu jauh gue,” aku memperkenalkan Dhienar pada teman-temanku. Tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan, yang kesemuanya tuh teman-teman kuliahku dulu yang sekarang sudah pada sukses. Kami biasa ngumpul untuk sekedar sharing atau ngobrol ngalor ngidul ngusir kepenatan karena kerjaan.
Ada Barong yang aku sudah koling untuk berkenalan lebih jauh dengan Dhienar. Dan ternyata dengan cowok gondrong itu, Dhienar kelihatan lebih cair. Tidak kaku seperti kalau berbicara dengan aku. Mungkin karena pengaruh ikatan yang diciptakan Tante Cindy yang membuat ia begitu. Tetapi dengan Barong, aku bisa mendengar derai tawa Dhienar sesekali. Manis juga kalau melihat dia seperti itu. Pendek kata aku berhasil mendekatkan Barong dengan Dhienar. Sial,jangan-jangan kutukan Tante Cindy menurun padaku, wkwkwk
Dhienar bilang, senang bisa berteman dan bergaul dengan teman-temanku tadi. Ia juga bilang Barong tuh lucu. Sepertinya Dhienar mulai menyukainya. Haha, kena umpan dia. Malamnya aku telepon Barong. Cowok itu malah ketawa begitu aku tanya bagaiamana perasaan dia sama Dhienar.
“Pokoknya dia mau ajak gue ke tempat biasa dia sama teman-temannya nongkrong. Lo juga diajak, katanya di sana juga banyak cewek, yang siapa tahu ada yang cocok juga dengan Lo,” ucap Barong di ujung telepon.
“Juga?, wah berarti Lo beneran udah cocok dong dengan Dhienar?” simpulku.
Barong kembali tertawa. Dan itu sudah cukup menjawab pertanyaanku tadi. Aku senang mendengarnya. Wah ternyata seru juga ya jadi Mak Comblang. Hahaha… kalau ketahuan Tante Cindy, bisa diangkat jadi penggantinya nih kalau dia pensiun, hixhix.
Seminggu kemudian aku diajak Barong dan Dhienar -yang tanpa sepengetahuanku ternyata sudah jadian-, bukan ke tempat nongkrong seperti yang waktu itu Barong bilang, tetapi menuju sebuah villa kecil di daerah perbukitan. Katanya, Dhienar juga mengajak teman-temannya buat ngumpul di sana.
Sepertinya Barong dan Dhienar sudah pernah ke tempat ini sebelumnya. Aku melihat mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Mesra banget, bikin aku ngiri aja. Dhienar tampak begitu bahagia,  dan entah kenapa aku mendadak jadi cemburu sendiri. Hehe, Aneh!
Tiba-tiba aku teringat dengan Ranti, cewek yang sedang aku dekati. Ranti berbeda jauh dengan Dhienar. Kalau Dhienar pada awalnya pendiam, dan setelah cukup akrab ternyata menyenangkan berteman dengannya, sedangkan Ranti sampai sekarang masih bersikap tertutup. Bukannya aku geer, tapi menurut cerita teman-temannya sebenarnya Ranti tuh menaruh hati juga sama aku. Makanya aku berani maju dan mencari celah untuk nembak dia. Tapi ternyata Ranti benar-benar sulit untuk ditaklukkan. Dia selalu menghindar, dan aku seperi sedang main kucing-kucingan saja dengan dia.
Beberapa kali aku mengajak Ranti jalan, hanya sekali ia mau menuruti setelah sebelumnya beralasan yang macam-macam untuk menolakku. Awalnya aku pikir mungkin ia sedang menguji kesabaranku, tapi lama-lama, koq kayaknya buang-buang waktu saja mendekati cewek seperti Ranti. Pintar iya, supel, sepertinya begitu, tapi kenapa begitu berdekatan dengan aku, semua kesan itu jadi memudar. Ranti seperti menjelma menjadi pribadi yang lain dan asing di mataku.
Hanya karena aku masih menyimpan perasaan penasaran saja -apakah benar ia suka sama aku atau tidak- yang menyebabkan aku gencar mendekati dia. Setiap kali aku dekat, rasanya jarak aku dengan Ranti semakin jauh. Tetapi semakin aku berusaha melupakan dia karena aku merasa sia-sia saja mengejarnya, koq rasanya perasaan ini malah semakin terikat dan selalu saja menarikku untuk terus mendekati Ranti. Aneh, apa ini yang dinamakan cinta. Tapi buat apa aku memperjuangkan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Apalagi melihat sifat Ranti yang super cuek seperti itu.
Karena aku sedang berusaha setengah mati melupakan upayaku untuk menjadikan Ranti pacarku, makanya aku mau saja diajak Dhienar dan Barong ke sini. Aku jadi penasaran juga, cewek mana yang mau dikenalkan Dhienar padaku. Apakah ia setipe dengan Dhienar yang jinak-jinak merpati, atau tidak jauh berbeda dengan Ranti. Aku tidak terlalu menaruh harapan besar untuk bisa dekat dengan cewek manapun lagi. Setidaknya dalam waktu dekat ini.
-o0o-
Villa mungil itu begitu asri. Di sekelilingnya berbagai jenis tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Di depan villa ada arena bermain anak-anak seperti halnya di sebuah taman kanak-kanak. Kata Dhienar, ini villa keluarga besarnya. Dan di tempat ini, ia bersama keluarga, termasuk ponakan-ponakannya biasa ngumpul. Meskipun kecil, villa ini bisa muat 5 keluarga.
Ternyata benar, di sana sudah berkumpul teman-teman Dhienar. Mungkin mereka malah sudah menginap dari kemarin. Dhienar dan Barong yang sudah sampai duluan meneriaki aku yang masih jauh di belakang supaya berjalan lebih cepat.
“Ini temen-temen gue,” ucap Dhienar begitu aku sampai dengan ngos-ngosan di depan pintu. Aku melihat sekeliling. Ada tiga orang cewek dan dua orang cowok yang sedang santai. Mereka say hello padaku. Seseorang malah menyalami dan menyuruhku masuk.
“Ada lagi sih, satu cewek lagi yang mau gue kenalin ke Elo, Mbang. Tapi dia lagi di kamar mandi,” lanjut Dhienar.
Aku masuk villa yang ternyata besar itu, melepas sepatu dan jaket yang membuatku terasa gerah. Lalu bergabung dengan teman-teman Dhienar sekedar untuk berbas-basi. Tidak lama aku pun mencari tempat menyendiri, dan mendapati sebuah sofa di pojok ruang keluarga yang kelihatannya nyaman.
“Ini dia,” Dhienar menunjuk seorang cewek berambut sebahu yang baru keluar dari kamar mandi.
Aku dan cewek itu berbarengan melongok. Dan kami sama-sama  melongo setelahnya.
“Imbang?” sapa cewek itu. Ia melirik sekilas ke Dhienar, membuat kening Dhienar berkerut seolah menyimpan tanda tanya besar, koq bisa temannya itu kenal dengan aku.
“Ambar? gimana kabarnya?” balasku tidak bisa menyembunyikan rasa kaget yang sama. Dia Ambar, mantan pacarku waktu di SMU dulu. “Koq bisa ada di sini?” aku pun kebingungan mencari pertanyaan apa yang pantas aku ajukan.
“Kalian sudah saling kenal?” tanya Dhienar sembari melirik ke arahku, lalu ke Ambar.
Kemudian aku menjelaskan kalau aku sama Ambar dulu pernah satu sekolah dan sama-sama aktif di kegiatan Osis dan paskibra. Untung Dhienar tidak bertanya lebih lanjut, dan ia membiarkan aku dan Ambar bernostalgia masa smu dulu. Dhienar lebih senang meninggalkan kami dan tentu saja untuk menemani Barong yang sedang asyik dengan teman-teman Dhienar lainnya.
Tidak bisa dipungkiri, dadaku deg-degan juga begitu ketemu dengan Ambar. Bagaimana tidak, aku sama Ambar pacaran lebih dari 2 tahun. Dan kami putus hanya karena tidak mau menjalani hubungan long distance. Ambar waktu itu harus melanjutkan kuliah di Jepang sedangkan aku di Jakarta. Jadi boleh dibilang, mungkin perasaan cinta itu belum berubah seratus persen. Bisa jadi benih-benih cinta yang ada di dadaku, dan -aku juga berharap- di dadanya masih ada.
Ambar menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku tahu mata itu menyimpan kerinduan yang dalam. Seperti juga rasa kehilangan yang sudah sejak lama bersemayam di hatiku. Dan kini tanpa aku duga, aku seolah menemukan kembali mutiaraku yang hilang. Kalau ada cermin di depanku, mungkin aku bisa melihat garis melengkung ke atas di bibirku. Wajahku pasti bersinar karena bahagia. Seperti juga aku melihat rona wajah Ambar yang berseri.
“Aku kangen banget,” bisik Ambar.
Aku menggenggam tangan Ambar, seolah tidak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ambar membalas dengan genggaman yang lebih erat. Sudah lama perasaan damai seperti ini tidak aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku mencoba membagi perasaan cinta ini pada beberapa perempuan, dan aku tidak pernah merasakan kehangatan seperti yang Ambar pancarkan.
“Aku juga, “ balasku lirih. Ambar tersenyum. Setitik air bergulir di matanya, dan aku tidak tahu makna dari tetesan air mata itu sampai seseorang datang, dan membuat Ambar terlonjak seraya melepaskan genggaman tangannya dariku.
“Makanan udah siap, honey,” tanpa memedulikan apa yang ia saksikan barusan, orang itu memeluk pundak Ambar dan mencium kepalanya. Ambar lalu berdiri sambil mengusap kedua kelopak matanya dengan jari-jari manisnya dan bertingkah seolah hendak mengikat rambutnya. Aku melihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya itu.
“Ayo, Mbang, kita makan bareng,” ajak Ambar.
Aku mengangguk, mempersilakan mereka ke meja makan duluan.
Aku menghela napas berat. Heran, aku koq merasa belakangan ini Tuhan sedang mempermainkan perasaanku. Apa maunya Tuhan, aku sama sekali tidak mengerti. Apa yang sedang Tuhan rencanakan dengan hidupku. Akan dibawa ke mana kisah cintaku ini. Tapi apapun yang sudah Tuhan tulis dalam skenarionya, aku yakin pasti jalan cerita yang paling indah yang bakalan aku dapatkan. Semoga membahagiakan pada akhirnya, meskipun aku belum tahu pasti Cinta Ini Untuk Siapa.
Pertengahan tahun 2011

-oOOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar