CINTA INI UNTUK SIAPA
Aku sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran kedua orangtuaku.
Ketiga kakak perempuanku semuanya menikah karena dijodohkan dengan lelaki
pilihan mereka, atau rekomendasi, kalau tidak dari saudara ayah, ya dari
saudara ibu. Seperti Kak Narti, menikah dengan Kak Dayat itu karena dijodohkan
oleh Tante Cindy, tantenya Ayah, adik dari almarhum kakek. Kak Atik juga
begitu, dijodohkan dengan Kak Mahmud oleh Tante Cindy juga. Lalu Kak Eny,
dipaksa menikah dengan Kak Agung, lelaki yang baru dikenalnya seminggu sebelum
akad nikah dilangsungkan, yang kata Om Handi, sang rekomendator, ialah pemuda
yang sudah matang dan siap memberikan masa depan yang gemilang.
Zaman memang sudah berubah sejak lama. Tapi tradisi jodoh
menjodohkan seperti masa Siti Nurbaya masih saja terjadi. Terutama di keluarga
besarku. Dan kini menginjak usiaku yang sudah masuk dua puluh tiga, aku
terancam mengalami nasib yang sama. Padahal aku anak lelaki, dan jelas-jelas selalu
menentang adanya perjodohan sepihak itu. Heran juga kenapa Kak Arman, kakak
lelakiku pun mau saja menerima dijodohkan dengan perempuan yang mungkin baru
disukainya setelah malam pertamanya.
Dan lagi-lagi
Tante Cindy yang memegang kendali. Tante Cindy memang paling doyan jodoh-jodohin orang. Tidak tahu
apa untungnya buat dia sendiri. Sang makelar jodoh yang satu ini seperti tidak
bisa berdiam diri melihat anak-anak keponakannya yang beranjak dewasa tetapi
masih santai-santai saja belum menikah. Ia terus mengunjungi saudara-saudaranya
dan menyebarkan virus perjodohan ke mana-mana. Dan virus itu ternyata sangat
ampuh menulari pikiran ayah dan ibuku.
Untuk urusan
masa depan, aku sempat bertekad untuk tidak menerima apapun bentuk intervensi
yang dilakukan oleh kedua orangtuaku. Pemilihan pasangan hidup bagiku bukan
saja menyangkut masalah bibit bobot dan bebet, tetapi peranan cinta juga
sangatlah penting. Memang, konon katanya cinta bisa tumbuh setelah ikrar
pernikahan dilangsungkan. Perasaan
saling mengerti dan memahami satu sama lain menjadi bibit tumbuhnya
cinta itu setelah kehidupan rumah tangga dijalankan. Dan perjodohan pun tidak
lagi menjadi sesuatu yang membuat mereka yang mengalaminya menyesal. Aku tidak
mengerti, bagiku cinta yang lahir karena keterpaksaan tidak akan kekal.
Hari ini
adalah ulang tahunku yang ke dua puluh tiga. Tidak pernah ada perayaan untuk
hari spesialku ini. Tetapi Ibu tidak pernah absen membuat masakan yang berbeda
di hari ulang tahun anak-anaknya. Dan Ibulah orang pertama yang mengucapkan
selamat ulang tahun dan memberikan kado kecil yang tidak pernah aku lupakan.
Bagiku apapun bentuk perhatian dari Ibu semuanya terasa sangat special karena
pasti diberikannya dengan landasan cintanya yang tulus.
“Makasih ya,
Bu,” aku mengecup tangan Ibu setelah beliau mencium keningku dan meniupkan doa
ke ubun-ubunku. Aku mengamini setiap doa yang terucap dengan perasaan haru.
Lalu Ayah,
dan adik-adikku bergantian mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Dan kami
mulai menikmati makanan special masakan Ibu. Sampai tiba-tiba, seseorang muncul
dan memecah kesunyian di rumah kami.
“Hallow….
Selamat ulang tahun….” teriaknya heboh. Seperti kebiasaannya, Tante Cindy,
nenek-nenek genit itu muncul tiba-tiba sambil menenteng sebuah bungkusan
berbentuk kotak. “Cucu Tante sudah bujang rupanya, happy birthday ya, Ganteng,” ia lalu mencium kepalaku sambil
mencomot tempe goreng di piring adikku. Sikap yang aneh. Adikku mendelik
pasrah.
“Makasih,
Tante,” balasku dengan sopan. Meskipun Tante Cindy itu tantenya Ayah, tapi kami
semua, anak-anak Ayah dan anak-anak keponakan Tante Cindy yang lain
memanggilnya dengan sebutan tante juga, bukan nenek seperti seharusnya. Mungkin
karena pembawaannya Tante Cindy yang selalu ramai, heboh, dengan penampilan
yang selalu happening.
“Ini Tante
bawain kue tart buatan Tante sendiri, loh. Khusus buat anak ponakan Tante yang
ulang tahun hari ini,” Tante Cindy membuka kotak putih itu yang ternyata isinya
kue tart. Heran, kok ada ya nenek-nenek yang hafal banget kapan cucu-cucunya
ulang tahun. Padahal aku ini kan hanya anak dari keponakannya, dan bukan
cucunya secara langsung. Ah, emang gue
pikirin, yang penting ada yang sudah ingat hari ulang tahunku itu saja,
sudah cukup menyenangkan bagiku, dan kesan menyebalkan Tante Cindy hari ini aku
kesampingkan dulu melihat kue tart yang sangat menggoda itu.
Puding mangga
buatan Ibu yang super lezat sudah habis aku lahap. Dan kini giliranku mencoba
kue tart dari Tante Cindy. Tapi sebelumnya aku berkomat-kamit dulu membaca doa.
Takutnya ada bumbu mistis yang mengandung virus berbahaya. Haha, maaf ya, Tan!
Tante Cindy tak
berkedip, menunggu reaksiku. “Enak, Tante,” pujiku. “Kue ini tidak
dijampi-jampi kan, Tante?” candaku mengundang delik Ayah di seberang meja.
Adikku yang
kecil tertawa geli. “Kalau membuat Kak Imbang
jadi tambah ganteng dan disukai banyak cewek, gak apa-apa kali, Kak,”
godanya. Aku menyeringai, tak bisa membalas banyolan adikku.. Iya kalau disukai
cewek-cewek yang emang aku suka, nah kalo dikejar-kejar koleksi jomblonya Tante
Cindy, ih tart dulu kali. Maksudnya
entar-entar, jangan sampe dehh..!!
Mungkin apa
yang dilakukan Tante Cindy di hari ulang tahunku itu, merupakan salah satu
metode pendekatan untuk meluluhkan hatiku. Semua sudah tahu jam terbang Tante Cindy.
Ia pasti akan melakukan manuver-manuver yang tidak disadari calon korbannya.
Kecuali aku kali, yang sudah jeli dan mengamati setiap pergerakan yang Tante
Cindy lakukan di belakangku sekalipun.
Seperti sore
itu, aku mendengar ibu berbisik-bisik saat menerima telepon. Aku sih curiganya
itu telepon dari Tante Cindy. Dan ternyata emang benar, karena setelah ibu
menutup telepon, aku langsung dipanggilnya.
“Iya, Bu,”
sahutku malas, lalu duduk di hadapan ibu dan ayah yang sudah sedari tadi
melipat Koran sorenya.
“Jadi
gimana?” tanpa tedeng aling-aling ibu bertanya, entah bagaimana apa yang ibu
maksud.
“Bagaimana
apanya, Bu?” tanyaku tidak mengerti.
“Loh, emang
Ayah belum ngomong sama Imbang?” ibu beralih ke Ayah.
Ayah
menurunkan kacamatanya, dan meletakkannya di atas meja dengan muka ditekuk.
“Ibu saja
yang ngomong. Ayah sudah tahu jawabannya.”
“Sudah tahu
gimana, nanya aja belum,” bantah Ibu.
“Tanya apa
sih, Bu?” aku menengahi. Paling malas kalau sudah mendengar Ayah dan Ibu adu
mulut. Hal sepele aja bisa jadi rame.
“Itu loh,
Mbang… Tante Cindy tuh mau kenalin kamu sama anaknya Tantenya Rosa, sepupu ibu
dari jauh. Jadi waktu itu tuh Tante Cindy ketemu sama Dhienar, di arisan
keluarga dari pihak neneknya Ibu, nah Tante Cindy tuh yang ngurus
cateringnya….”
“Kirain cuma
bisa ngurus perjodohan doang, Bu,” potongku sambil nyengir kuda.
“Kamu ini,
nggak sopan motong omongan orangtua. Sampai di mana tadi Ibu, oh, iya, Dhienar
itu baru lulus S1 Fakultas Hukum Trisakti, dan sebentar lagi mau ambil S2 juga.
Tapi dia masih sendirian gitu, maklum serius kuliah jadi tidak ada waktu cari
pasangan, katanya. Nanti Ibu mintain fotonya deh,” lanjut Ibu.
“Iya, Bu.
Terus hubungan dengan Imbangnya apa? Kenapa Imbang harus kenal sama siapa tadi,
Dhienar, itu segala?” tanggapanku.
“Ini anak!
Tuh anakmu, Yah… Cuma kenalan aja, kok, Imbang!” lanjut ibu sepertinya mulai
kesal.
“Malas, ah.
Kalo selama kuliah aja tuh cewek nggak bisa ketemu satu cowok pun yang cocok,
berarti dia tuh kuper, Bu. Masa Ibu mau punya menantu kuper?” ledekku. Sebenarnya
sih bukan benar-benar meledek. Tapi aku cuma mau tunjukkan ke Ibu dan Ayah
kalau aku tuh paling nggak suka diatur-atur. Pertamanya sih iya kenalan, tapi
lama-lama Tante Cindy bakal menentukan pertemuan-pertemuan berikutnya. Ia kan
paling jago bikin skenario dan membuat sesuatu tuh terjadi seolah-olah
kebetulan. Sudah hafal aku taktik seperti ini.
Tapi demi
menghormati orangtuaku, aku mau saja dikenalkan dengan Dhienar. Dan ternyata
anaknya tidak sekuper tampangnya. Wajah dan tubuhnya tidak jelek-jelek amat.
Tapi masa sih model cewek kayak begini nggak ada yang melirik. Minimal dosen
yang masih bujangan atau malah yang sudah menjadi duda mungkin. Atau dia
termasuk mahasiswi yang nilainya tinggi, jadi cowok-cowok malas mendekati dia
karena takut dites soal-soal ujian gitu. Haha, tapi nggak ada salahnya juga
sih, kalau cuma kenal doang.
Dhienar berbeda
usia 2 tahun denganku. Kepribadiannya lumayan menyenangkan. Meskipun untuk
mendengar suaranya kita harus memancingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang mungkin bisa dia jawab tidak hanya dengan kata ‘iya’ atau ‘tidak’ seperti
di meja hijau. Konon katanya Dhienar ini calon pengacara. Dan seperti umunya
pengacara, Dhienar kelihatan sangat cerdas, pantas saja dia mendapat predikat cumlaude. Hanya saja entah karena di
dekatku saja cewek ini begitu pendiam, atau kebetulan lagi sariawan? Hadoh!
Pada
pertemuan pertamaku dengan Dhienar aku langsung bilang kalau aku tidak suka
dijodoh-jodohkan. Tentu saja aku tidak bilang kalau aku tidak mau dijodohkan dengan
Dhienar. Gila aja, nanti disangkanya aku ini geer. Aku hanya mengemukakan
pendapatku soal jodoh menjodohkan, termasuk pendapatku soal Mak Comblang
kawakan itu. Ternyata Dhienar sependapat denganku. Dan dia malah menganggapku
sebagai kakaknya. Maklum dia anak satu-satunya di keluarganya.
Aku jadi
penasaran dengan Dhienar. Bukan, aku bukannya mulai tertarik dengan cewek yang
satu ini. Malah aku berencana memperkenalkan Dhienar dengan temanku yang sudah
kebelet pengen meried. Kali aja
mereka cocok. Aku sendiri sih belum kepikiran sampai ke sana. Apalagi sampai
dengan saat ini aku masih sedang melakukan pendekatan dengan cewek gebetanku,
Ranti namanya. Maka aku ajak Dhienar ke café tempat aku dan teman-temanku biasa
ngumpul.
“Kenalin nih,
Dhienar, sepupu jauh gue,” aku memperkenalkan Dhienar pada teman-temanku. Tiga
orang laki-laki dan dua orang perempuan, yang kesemuanya tuh teman-teman
kuliahku dulu yang sekarang sudah pada sukses. Kami biasa ngumpul untuk sekedar
sharing atau ngobrol ngalor ngidul
ngusir kepenatan karena kerjaan.
Ada Barong
yang aku sudah koling untuk berkenalan lebih jauh dengan Dhienar. Dan ternyata
dengan cowok gondrong itu, Dhienar kelihatan lebih cair. Tidak kaku seperti
kalau berbicara dengan aku. Mungkin karena pengaruh ikatan yang diciptakan
Tante Cindy yang membuat ia begitu. Tetapi dengan Barong, aku bisa mendengar
derai tawa Dhienar sesekali. Manis juga kalau melihat dia seperti itu. Pendek
kata aku berhasil mendekatkan Barong dengan Dhienar. Sial,jangan-jangan kutukan
Tante Cindy menurun padaku, wkwkwk
Dhienar
bilang, senang bisa berteman dan bergaul dengan teman-temanku tadi. Ia juga
bilang Barong tuh lucu. Sepertinya Dhienar mulai menyukainya. Haha, kena umpan
dia. Malamnya aku telepon Barong. Cowok itu malah ketawa begitu aku tanya
bagaiamana perasaan dia sama Dhienar.
“Pokoknya dia
mau ajak gue ke tempat biasa dia sama teman-temannya nongkrong. Lo juga diajak,
katanya di sana juga banyak cewek, yang siapa tahu ada yang cocok juga dengan
Lo,” ucap Barong di ujung telepon.
“Juga?, wah
berarti Lo beneran udah cocok dong dengan Dhienar?” simpulku.
Barong
kembali tertawa. Dan itu sudah cukup menjawab pertanyaanku tadi. Aku senang
mendengarnya. Wah ternyata seru juga ya jadi Mak Comblang. Hahaha… kalau
ketahuan Tante Cindy, bisa diangkat jadi penggantinya nih kalau dia pensiun,
hixhix.
Seminggu
kemudian aku diajak Barong dan Dhienar -yang tanpa sepengetahuanku ternyata
sudah jadian-, bukan ke tempat nongkrong seperti yang waktu itu Barong bilang,
tetapi menuju sebuah villa kecil di daerah perbukitan. Katanya, Dhienar juga
mengajak teman-temannya buat ngumpul di sana.
Sepertinya
Barong dan Dhienar sudah pernah ke tempat ini sebelumnya. Aku melihat mereka
berjalan sambil bergandengan tangan. Mesra banget, bikin aku ngiri aja. Dhienar
tampak begitu bahagia, dan entah kenapa
aku mendadak jadi cemburu sendiri. Hehe, Aneh!
Tiba-tiba aku
teringat dengan Ranti, cewek yang sedang aku dekati. Ranti berbeda jauh dengan
Dhienar. Kalau Dhienar pada awalnya pendiam, dan setelah cukup akrab ternyata
menyenangkan berteman dengannya, sedangkan Ranti sampai sekarang masih bersikap
tertutup. Bukannya aku geer, tapi menurut cerita teman-temannya sebenarnya
Ranti tuh menaruh hati juga sama aku. Makanya aku berani maju dan mencari celah
untuk nembak dia. Tapi ternyata Ranti benar-benar sulit untuk ditaklukkan. Dia
selalu menghindar, dan aku seperi sedang main kucing-kucingan saja dengan dia.
Beberapa kali
aku mengajak Ranti jalan, hanya sekali ia mau menuruti setelah sebelumnya
beralasan yang macam-macam untuk menolakku. Awalnya aku pikir mungkin ia sedang
menguji kesabaranku, tapi lama-lama, koq kayaknya buang-buang waktu saja
mendekati cewek seperti Ranti. Pintar iya, supel, sepertinya begitu, tapi
kenapa begitu berdekatan dengan aku, semua kesan itu jadi memudar. Ranti
seperti menjelma menjadi pribadi yang lain dan asing di mataku.
Hanya karena
aku masih menyimpan perasaan penasaran saja -apakah benar ia suka sama aku atau
tidak- yang menyebabkan aku gencar mendekati dia. Setiap kali aku dekat,
rasanya jarak aku dengan Ranti semakin jauh. Tetapi semakin aku berusaha
melupakan dia karena aku merasa sia-sia saja mengejarnya, koq rasanya perasaan
ini malah semakin terikat dan selalu saja menarikku untuk terus mendekati
Ranti. Aneh, apa ini yang dinamakan cinta. Tapi buat apa aku memperjuangkan
cinta yang bertepuk sebelah tangan. Apalagi melihat sifat Ranti yang super cuek
seperti itu.
Karena aku
sedang berusaha setengah mati melupakan upayaku untuk menjadikan Ranti pacarku,
makanya aku mau saja diajak Dhienar dan Barong ke sini. Aku jadi penasaran
juga, cewek mana yang mau dikenalkan Dhienar padaku. Apakah ia setipe dengan
Dhienar yang jinak-jinak merpati, atau tidak jauh berbeda dengan Ranti. Aku
tidak terlalu menaruh harapan besar untuk bisa dekat dengan cewek manapun lagi.
Setidaknya dalam waktu dekat ini.
-o0o-
Villa mungil
itu begitu asri. Di sekelilingnya berbagai jenis tanaman tumbuh dan berkembang
dengan baik. Bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Di depan villa ada arena
bermain anak-anak seperti halnya di sebuah taman kanak-kanak. Kata Dhienar, ini
villa keluarga besarnya. Dan di tempat ini, ia bersama keluarga, termasuk
ponakan-ponakannya biasa ngumpul. Meskipun kecil, villa ini bisa muat 5
keluarga.
Ternyata
benar, di sana sudah berkumpul teman-teman Dhienar. Mungkin mereka malah sudah
menginap dari kemarin. Dhienar dan Barong yang sudah sampai duluan meneriaki
aku yang masih jauh di belakang supaya berjalan lebih cepat.
“Ini
temen-temen gue,” ucap Dhienar begitu aku sampai dengan ngos-ngosan di depan
pintu. Aku melihat sekeliling. Ada tiga orang cewek dan dua orang cowok yang
sedang santai. Mereka say hello
padaku. Seseorang malah menyalami dan menyuruhku masuk.
“Ada lagi
sih, satu cewek lagi yang mau gue kenalin ke Elo, Mbang. Tapi dia lagi di kamar
mandi,” lanjut Dhienar.
Aku masuk
villa yang ternyata besar itu, melepas sepatu dan jaket yang membuatku terasa
gerah. Lalu bergabung dengan teman-teman Dhienar sekedar untuk berbas-basi.
Tidak lama aku pun mencari tempat menyendiri, dan mendapati sebuah sofa di
pojok ruang keluarga yang kelihatannya nyaman.
“Ini dia,”
Dhienar menunjuk seorang cewek berambut sebahu yang baru keluar dari kamar
mandi.
Aku dan cewek
itu berbarengan melongok. Dan kami sama-sama
melongo setelahnya.
“Imbang?”
sapa cewek itu. Ia melirik sekilas ke Dhienar, membuat kening Dhienar berkerut
seolah menyimpan tanda tanya besar, koq bisa temannya itu kenal dengan aku.
“Ambar?
gimana kabarnya?” balasku tidak bisa menyembunyikan rasa kaget yang sama. Dia
Ambar, mantan pacarku waktu di SMU dulu. “Koq bisa ada di sini?” aku pun
kebingungan mencari pertanyaan apa yang pantas aku ajukan.
“Kalian sudah
saling kenal?” tanya Dhienar sembari melirik ke arahku, lalu ke Ambar.
Kemudian aku
menjelaskan kalau aku sama Ambar dulu pernah satu sekolah dan sama-sama aktif
di kegiatan Osis dan paskibra. Untung Dhienar tidak bertanya lebih lanjut, dan
ia membiarkan aku dan Ambar bernostalgia masa smu dulu. Dhienar lebih senang
meninggalkan kami dan tentu saja untuk menemani Barong yang sedang asyik dengan
teman-teman Dhienar lainnya.
Tidak bisa
dipungkiri, dadaku deg-degan juga begitu ketemu dengan Ambar. Bagaimana tidak,
aku sama Ambar pacaran lebih dari 2 tahun. Dan kami putus hanya karena tidak
mau menjalani hubungan long distance.
Ambar waktu itu harus melanjutkan kuliah di Jepang sedangkan aku di Jakarta.
Jadi boleh dibilang, mungkin perasaan cinta itu belum berubah seratus persen.
Bisa jadi benih-benih cinta yang ada di dadaku, dan -aku juga berharap- di
dadanya masih ada.
Ambar
menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku tahu mata itu menyimpan
kerinduan yang dalam. Seperti juga rasa kehilangan yang sudah sejak lama
bersemayam di hatiku. Dan kini tanpa aku duga, aku seolah menemukan kembali
mutiaraku yang hilang. Kalau ada cermin di depanku, mungkin aku bisa melihat
garis melengkung ke atas di bibirku. Wajahku pasti bersinar karena bahagia.
Seperti juga aku melihat rona wajah Ambar yang berseri.
“Aku kangen
banget,” bisik Ambar.
Aku
menggenggam tangan Ambar, seolah tidak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya.
Ambar membalas dengan genggaman yang lebih erat. Sudah lama perasaan damai
seperti ini tidak aku rasakan. Sudah bertahun-tahun aku mencoba membagi
perasaan cinta ini pada beberapa perempuan, dan aku tidak pernah merasakan
kehangatan seperti yang Ambar pancarkan.
“Aku juga, “
balasku lirih. Ambar tersenyum. Setitik air bergulir di matanya, dan aku tidak
tahu makna dari tetesan air mata itu sampai seseorang datang, dan membuat Ambar
terlonjak seraya melepaskan genggaman tangannya dariku.
“Makanan udah
siap, honey,” tanpa memedulikan apa
yang ia saksikan barusan, orang itu memeluk pundak Ambar dan mencium kepalanya.
Ambar lalu berdiri sambil mengusap kedua kelopak matanya dengan jari-jari
manisnya dan bertingkah seolah hendak mengikat rambutnya. Aku melihat sebuah
cincin melingkar di jari manisnya itu.
“Ayo, Mbang,
kita makan bareng,” ajak Ambar.
Aku
mengangguk, mempersilakan mereka ke meja makan duluan.
Aku menghela
napas berat. Heran, aku koq merasa belakangan ini Tuhan sedang mempermainkan perasaanku.
Apa maunya Tuhan, aku sama sekali tidak mengerti. Apa yang sedang Tuhan
rencanakan dengan hidupku. Akan dibawa ke mana kisah cintaku ini. Tapi apapun
yang sudah Tuhan tulis dalam skenarionya, aku yakin pasti jalan cerita yang
paling indah yang bakalan aku dapatkan. Semoga membahagiakan pada akhirnya,
meskipun aku belum tahu pasti Cinta Ini Untuk Siapa.
Pertengahan
tahun 2011
-oOOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar