2
PETUALANGAN DI HARI MINGGU
Anissa
tiba di rumah Doni dengan napas terengah-engah. Seperti dugaan Anissa
teman-teman Anissa sudah menunggunya sejak pagi. Doni melipat tangan di dada,
Edo berkacak pinggang, dan Andrian membuang muka, sementara Mayang memonyongkan
bibirnya begitu melihat Anissa tiba di rumah Doni. Semuanya kelihatan kecewa
menyambut kedatangan Anissa yang terlambat lebih dari satu jam.
“Maaf
ya, Teman-teman,” desis Anissa dengan nada menyesal. Ditatapnya wajah
teman-temannya satu persatu dengan perasaan bersalah. Ia tahu persis
kalau mereka sedang marah pasti raut muka mereka berubah. Ia sadar betul dengan
kesalahannya. Kemarin sore mereka sepakat untuk berkumpul di rumah Doni sebelum
jam tujuh, supaya pas jam tujuh bisa langsung berangkat ke tempat tujuan. Dan
Anissa yang paling menggebu untuk melakukan ekspedisi ini.
“Kalau terlambat kira-kira dong, Neng,” sindir Mayang.
“Iya,
bisa bulukan kita semua nungguin Kamu, Nis,” timpal Edo.
“Maaf
deh. Aku tadi ngerayu ibu sama ayah dulu supaya bisa dapat izin. Kalian tahu
kan ketatnya peraturan di rumahku,” Anissa terpaksa berbohong.
“Ya,
namanya juga anak mami...” ledek Doni.
Anissa
semakin tidak enak hati. Sudah
terlambat bangun pagi, masih dimarahin teman-temannya, terpaksa berbohong pula.
“Ya
sudah, mendingan kita cepat berangkat supaya tidak terlalu siang. Panas nanti,”
usul Andrian.
“Let’s
go!” teriak Doni yang kemudian diamini teman-temannya yang lain.
Anissa
memarkirkan sepedanya di garasi rumah Doni, kemudian ia mengikuti
teman-temannya yang lain. Mayang merangkul Anissa pertanda ia sudah melupakan
kejadian tadi. Sebagai teman Mayang dan teman-teman Anissa lainnya memang
selalu setia kawan.
Kelima
anak yang memiliki hobi yang sama itu pun memulai perjalanan mereka dengan
keluar desa dan menapaki jalan kecil di pematang sawah. Anak-anak ini begitu
kompak. Mereka kadang-kadang melakukan hal-hal jahil bersama-sama seperti
memanjat pohon jambu milik orang, memetik semua buahnya dan menyisakan buah
jambu yang sudah membusuk di pohon itu. Mereka paling sering melempari
anak anjing tetangga yang selalu menggonggong setiap kali mereka lewat rumah
itu. Terutama Edo yang selalu usil
dan tidak suka dengan suara anak anjing.
Pada
bulan Ramadhan, saatnya mereka berpesta petasan dan kembang api. Meskipun sudah
dilarang oleh Wak Haji dan diancam Pak RT mau dilaporkan ke polisi kalau masih
membandel, mereka sembunyi-sembunyi menyulut petasan dan melemparkannya ke
sembarang tempat. Tidak jarang orang yang lewat di gang-gang kena usil
mereka.
Mereka
juga ahli main mercon, terutama Doni dan Andrian yang terkenal tidak
terkalahkan. Kalau Edo paling jago manjat pohon kelapa sekaligus membelah buah
kelapa. Jadi kalau mereka kecapean dan kehausan sehabis main layang-layang di
sawah, mereka tinggal menyuruh Edo memetik
kelapa dan membelahnya. Tidak perduli itu pohon kelapa milik siapa. Biasanya
sih kalau sudah habis baru mereka minta izin kepada yang punya.
Mayang, meskipun anak perempuan tapi jago
juga main bola. Ia ikut team anak laki-laki melawan kesebelasan desa seberang
pada acara 17 Agustusan tahun lalu. Anissa juga ikut kesebelasan sepakbola di
desanya bersama Mayang. Meskipun ia bisa diandalkan mencetak gol ke gawang
lawan, tapi keahlian Anissa yang paling menonjol ialah bermain sepeda dengan
melakukan gerakan-gerakan yang rumit dan berbahaya seperti jumping dan split,
mengendarai sepeda dengan satu ban, juga berputar-putar di udara sebelum
mendarat ketika sepeda berhasil melompat dari tempat tinggi.
Anissa dan teman-temannya itu sebenarnya
tidak satu angkatan, bahkan mereka tidak satu sekolah. Hanya Edo dan Doni yang
satu sekolah. Itu pun berbeda kelas. Doni kelas empat, sedangkan Edo kelas
lima. Anissa dan Mayang kelas tiga dan berbeda sekolah. Sedangkan Andrian yang
paling tua diantara mereka, yaitu kelas enam dan sekolahnya jauh di kota. Tapi
mereka semua dipertemukan dalam satu desa dan hobi yang sama, yaitu melakukan
hal-hal yang berbeda dengan anak-anak sebaya mereka lainnya. Seperti melakukan
petualangan ini salah satunya.
*
Udara
hari Minggu pagi itu segar sekali. Matahari menjelang siang tidak terlalu
terik. Apalagi di daerah pedesaan yang masih banyak tumbuh pohon hawa panas
segera ditepis udara yang sejuk, sarat akan oksigen yang menyehatkan paru-paru.
Sejauh mata memandang sawah terbentang luas. Dengan warna kuning keemasan
laksana permadani yang dihamparkan di mesjid yang megah. Anissa merasa takjub
dengan pemandangan itu, mengingatkan ia waktu diajak ibu bekunjung ke kubah
emas di Depok.
Kelima
anak yang bersahabat sejak lama itu berjalan di pematang sawah yang sempit.
Guratan-guratan tanah retak yang baru mengering setelah subuh tadi disiram
hujan, menjadi padat setiap kali kaki-kaki kecil penuh semangat menginjaknya. Anissa
berlari kecil dan main kejar-kejaran dengan Mayang. Doni hampir saja terpeleset
dan kecebur ke dalam sawah.
Edo bersiul begitu melihat sebuah saung
kosong dan memberi tanda kepada teman-temannya untuk beristirahat dulu di sana.
Doni dan teman-teman lainnya setuju. Andrian malah megusulkan supaya Edo
memetik beberapa butir kelapa yang kebetulan tumbuh di sekitar saung, untuk
mengusir haus.
Anissa mengeluarkan bekal dari ranselnya.
Ia lupa tadi pagi tidak sempat sarapan, pantes saja ia sangat lapar. Dilahapnya
roti bungkus isi selai strowberry dan menawarkan bekal lainnya kepada
teman-temannya. Mereka pun melahap makanan dan buah-buahan segar pemberian
Anissa.
“Yang,
benar nggak sih, kalau kita minum air kelapa yang dipetik si Edo
itu haram?” tanya Anissa sambil memberikan air mineral gelas ke Mayang.
“Ya enggak dong. Kan nanti kita bilang,” jawab Mayang.
“Tapi kata ayah itu bukan perbuatan baik. Sebaiknya sih kita bilang dulu ke
yang punya,” lanjut Anissa ragu. Mayang tidak bisa menjawab.
“Iya
sih, kata Pak Ustadz juga gitu. Tapi gimana lagi dong, yang punya kan rumahnya
nggak tahu di mana. Lagian pohon kelapa dan semua yang ada di bumi ini kan
milik Allah. Jadi ya, boleh kali, ya..” timpal Andrian.
Yang
lain manggut-manggut. Sementara setuju saja dengan pendapat teman-teman mereka.
Anissa tidak terlalu ambil pusing karena kebetulan dia membawa bekal. Tapi
melihat buah kelapa muda dengan airnya yang segar ia ngiler juga. Anissa pun
menikmati air kelapa muda yang dipetik Edo dan dilubangi bagian atas buahnya
dengan pisau lipat yang biasa dibawa Edo kemana-mana. Berlima mereka
menghabiskan tiga butir kelapa dan membawa daging kelapa muda itu dengan
plastik.
Setelah
itu mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit yang sudah kelihatan di depan
mata. Bukit itu sangat tinggi. Pohon-pohonnya menjulang dengan cabang yang
saling bertautan satu sama lain. Daun-daunnya lebat dan besar-besar. Suasana di
sana sepertinya sejuk dan damai.
Untuk
sampai ke bukit itu, kelima anak itu harus melewati sebuah sungai besar. Sungai
itu dangkal tetapi airnya sangat deras. Batu-batu besar yang berserakan di
dasar sungai membuat air beriak dan menimbulkan suara yang sangat berisik,
tetapi berirama dan sangat menakjubkan. Kalau kita berada di sana dan menghirup udara dalam-dalam batin kita akan
terasa tenang dan damai. Suara air diselingi teriakan binatang-binatang,
siulan burung dan desiran angin membuat kita merasa tidak pernah memiliki beban
dalam hidup kita.
Melihat pemandangan yang menakjubkan
serta merta anak-anak kecil itu melepaskan sepatu dan berlarian menceburkan
diri ke dalam sungai. Melihat derasnya air, mereka hanya berani bermain di
pinggiran sungai yang airnya jernih itu. Doni menyimprati Edo
dan Andrian yang sedang menikmati segarnya air sungai itu. Keduanya lalu
membalas menyiprati Doni. Doni berusaha menghindar, tetapi jarak mereka dekat
sekali sehingga muka dan badan Doni pun terkena air. Anissa tidak mau kalah, ia pun menyiprati
Mayang yang kelihatan takut dengan air. Mayang pun menjerit-jerit. Di balik
rasa takutnya ia pun merasa gembira.
Setelah merasa cukup bermain, mereka
kemudian bersiap-siap menyeberangi sungai. Andrian berdiri di depan, tangan kanannya menjinjing sepatu sedangkan
tangan kirinya memegang erat tangan kanan Mayang yang juga memegang sepatunya.
Tangan kiri Mayang berpegangan dengan tangan kanan Doni dan tangan Doni
berpegangan dengan tangan Anissa, sedangkan Edo di belakang Anissa yang juga
menggenggam erat satu sama lain. Kelimanya berjalan perlahan dan penuh waspada
jangan sampai ada yang tergelincir dan hanyut terbawa arus sungai.
Mayang
komat-kamit berdoa, sedangkan Edo bersiul menyanyikan lagu grup band yang lagi
tenar untuk mengusir rasa takut mereka. Anissa kelihatan lebih tenang. Ia malah
berpikir tentang kejadian pagi tadi ketika ia terlambat bangun dan shalat
Subuh. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya kenapa ia tidak menuruti nasihat
ibunya untuk segera bangun dan shalat berjamaah bersama di mushola keluarga.
Melihat derasnya air sungai itu ia berpikir bisa saja ia dan teman-temannya
mengalami kecelakaan.
Dan
ketakutan Anissa hampir saja terjadi, tiba-tiba ia merasa menginjak sebuah
benda tajam di dasar sungai. Seketika ia menghentakkan kakinya membuat Doni
tersentak dan nyaris jatuh. Tangan Doni spontan terlepas dari pegangan tangan
Mayang, sepatu yang dipegangnya pun jatuh dan hanyut terbawa air. Hampir saja
Doni berusaha mengejar sepatunya yang hanyut, tetapi Mayang segera menarik
tangan Doni dan mencegah Doni melakukan hal itu.
“Jangan
Don, “ teriak Anissa sambil menggenggam erat tangan Doni yang berpegangan
dengan tangannya.
Doni
hanya bisa menatap sepatu bolanya yang hanyut terbawa arus sungai yang deras.
Ia hanya bisa berharap kalau ia menyusuri sungai ini ia bisa menemukan
sepatunya terdampar di suatu tempat.
“Kamu
kenapa Nis?” tanya Edo beralih ke Anissa.
Anissa
mengangkat kaki kirinya yang ternyata menginjak pecahan beling di dasar sungai.
Darah segar merembes di telapak kaki Anissa yang terluka. Ketika ia memaksakan
berjalan di dalam air, sebuah aliran kecil seperti benang merah menari-nari di
atas air dan lalu menghilang.
Sesampainya di tepi sungai Doni
masih shock. Ia merasa sangat
kehilangan sepatu kesayangannya. Sepatu itu pemberian ayahnya sebagai hadiah
ulang tahun Doni beberapa bulan yang lalu. Hampir ia menangis, tetapi tentu
saja ia tahan karena rasa malu di hadapan teman-temannya. Sang petualang koq
cengeng, bisiknya dalam hati.
Sementara
itu Anissa meringis menahan sakit. Darah masih saja keluar dari telapak kakinya
yang robek. Edo yang terkenal gesit segera mencabut daun-daunan di sekitar tepi
sungai, membejeknya kemudian menyumpalkannya ke kaki Anissa. Anissa menjerit
menahan sakit.
“Kamu
bawa sapu tangan, Nis?” tanya Edo. Seperti seorang perawat di tempat terpencil,
Edo menggunakan apa saja yang ada untuk melakukan pertolongan pertama. Seperti
waktu tangan Doni terkena ledakan petasan, Edo melumuri tangan Doni dengan
lumpur basah sehingga luka bakar bekas petasan itu tidak terlalu parah.
Anissa
mengeluarkan sapu tangan dari ranselnya. Edo membungkus obat yang terbuat dari
daun-daunan itu dengan saputangan tadi dan mengikatnya di punggung kaki Anissa.
Anissa berhenti mengerang.
“Enakan,
Nis?” tanya
Mayang ikut merasakan kesakitan.
“Lumayan. Makasih ya, Do,” jawab Anissa sambil minta bantuan berdiri ke
Edo.
Mereka
pun melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit itu. Di atas bukti itu kata
orang-orang ada sebuah batu besar yang menyerupai kasur, lengkap dengan bentuk
bantal dan gulingnya. Juga ada gua yang hangat seperti kalau kita sedang duduk
di depan perapian waktu hujan badai.
Ketika
berhasil mencapai puncak bukit kelima anak itu bersorak kegirangan. Mereka
berlari-lari dan menikmati kebebasan di alam terbuka. Berteriak dan
menjerit-jerit. Tak terkecuali Anissa dengan kaki kirinya yang terluka ia
melompat-lompat penuh semangat, gembira. Akhirnya ia bisa juga berada di bukit
yang menurut orang-orang angker.
“Teman-teman,
gimana kalau kita membuat baling-baling dan menancapkannya di pinggir tebing
itu?” usul Andrian.
“Wah,
ide bagus tuh, Ndri. Nanti kita bisa lihat dari bawah baling-balingnya berputar
ditiup angin,” Mayang antusias.
“Ya, kita jadikan baling-baling ini sebagai simbol persahabatan kita,”
timpal Edo.
Akhirnya
semuanya bergerak. Edo mencari rotan yang tumbuh subur di bukit itu. Anissa dan
Mayang bertugas membelah dan membuat baling-baling. Doni dan Andrian mendirikan
tiang dan memasang baling-baling buatan mereka, memastikan arah angin sehingga
baling-baling itu berputar ditiup angin.
Kelima
baling-baling selesai dibuat dan tiang berhasil dipancangkan dengan kuat. Baling-baling itu pun berputar
dan menimbulkan suara yang unik, perpaduan suara siulan burung pipit dan
desiran angin di musim kemarau. Kelima anak itu menatap hasil karya mereka
dengan takjub.
“Aku
ingin pergi ke gua itu, Teman-teman,” Anissa memecah keheningan yang
menakjubkan itu. Ia menunjuk sebuah gua yang jaraknya beberapa kilometer dari
tempatnya berdiri.
“Iya,
menurut cerita orang-orang gua itu hangat dan di dalamnya banyak ukiran-ukiran
hasil karya orang zaman dulu,” seperti biasa Mayang menanggapi dengan penuh
semangat, menunjukkan kalau dirinya senang sekali berpetualang.
“Tapi,
banyak juga orang bilang kalau di sana tuh pernah dijadikan markas pejuang waktu melawan penjajah. Sekarang malah
dijadikan tempat persembunyian narapidana yang kabur,” ujar Doni.
“Aku
juga ingin ke sana. Tapi melihat keadaan sebaiknya sih kita tunda dulu rencana
kita ini,” Andrian menengahi.
“Iya.
Kasihan Anissa, kakinya masih luka. Aku takut nanti bertambah parah,” Edo menghela napas berat. Ia juga ingin sekali
melanjutkan perjalanan, tetapi ia tidak tega melihat kondisi Anissa.
“Aku nggak apa-apa koq,” Anissa jadi
tidak enak hati.
“Mending kita pulang aja, supaya tidak kesorean. Ya minimal kita sudah tahu
tempat ini seperti apa, dan medan yang dilalui bagaimana. Mayang kan pengen
nyobain tidur di atas kasur batu, tadi udah kan ya, May?” lanjut Andrian.
“Ya
udah deh, kalau begitu. Tapi aku janji suatu hari nanti akan membawa
kalian ke sana.” Desah Anissa sedikit kecewa.
Akhirnya semua sepakat untuk
menghentikan ekspedisi itu dan pulang ke rumah masing-masing.
selalu ada persahaban indah di masa kecil kita :) cerita dan serial menarik mas
BalasHapusMakasih Bunda.. belum kelar nih sekuelnya, hihi.. si Annisanya keburu ngadat, kabur dia, hehe
BalasHapus