Minggu, 15 Januari 2012

JANJI ANNISA : #2 Petualangan di Hari Minggu

2
PETUALANGAN DI HARI MINGGU
            Anissa tiba di rumah Doni dengan napas terengah-engah. Seperti dugaan Anissa teman-teman Anissa sudah menunggunya sejak pagi. Doni melipat tangan di dada, Edo berkacak pinggang, dan Andrian membuang muka, sementara Mayang memonyongkan bibirnya begitu melihat Anissa tiba di rumah Doni. Semuanya kelihatan kecewa menyambut kedatangan Anissa yang terlambat lebih dari satu jam.
            “Maaf ya, Teman-teman,” desis Anissa dengan nada menyesal. Ditatapnya wajah teman-temannya satu persatu dengan perasaan bersalah. Ia tahu persis kalau mereka sedang marah pasti raut muka mereka berubah. Ia sadar betul dengan kesalahannya. Kemarin sore mereka sepakat untuk berkumpul di rumah Doni sebelum jam tujuh, supaya pas jam tujuh bisa langsung berangkat ke tempat tujuan. Dan Anissa yang paling menggebu untuk melakukan ekspedisi ini.
            “Kalau terlambat kira-kira dong, Neng,” sindir Mayang.
            “Iya, bisa bulukan kita semua nungguin Kamu, Nis,” timpal Edo.
            “Maaf deh. Aku tadi ngerayu ibu sama ayah dulu supaya bisa dapat izin. Kalian tahu kan ketatnya peraturan di rumahku,” Anissa terpaksa berbohong.
            “Ya, namanya juga anak mami...” ledek Doni.
            Anissa semakin tidak enak hati. Sudah terlambat bangun pagi, masih dimarahin teman-temannya, terpaksa berbohong pula.
            “Ya sudah, mendingan kita cepat berangkat supaya tidak terlalu siang. Panas nanti,” usul Andrian.
            “Let’s go!” teriak Doni yang kemudian diamini teman-temannya yang lain.
            Anissa memarkirkan sepedanya di garasi rumah Doni, kemudian ia mengikuti teman-temannya yang lain. Mayang merangkul Anissa pertanda ia sudah melupakan kejadian tadi. Sebagai teman Mayang dan teman-teman Anissa lainnya memang selalu setia kawan.
            Kelima anak yang memiliki hobi yang sama itu pun memulai perjalanan mereka dengan keluar desa dan menapaki jalan kecil di pematang sawah. Anak-anak ini begitu kompak. Mereka kadang-kadang melakukan hal-hal jahil bersama-sama seperti memanjat pohon jambu milik orang, memetik semua buahnya dan menyisakan buah jambu yang sudah membusuk di pohon itu. Mereka paling sering melempari anak anjing tetangga yang selalu menggonggong setiap kali mereka lewat rumah itu. Terutama Edo yang selalu usil dan tidak suka dengan suara anak anjing.
            Pada bulan Ramadhan, saatnya mereka berpesta petasan dan kembang api. Meskipun sudah dilarang oleh Wak Haji dan diancam Pak RT mau dilaporkan ke polisi kalau masih membandel, mereka sembunyi-sembunyi menyulut petasan dan melemparkannya ke sembarang tempat. Tidak jarang orang yang lewat di gang-gang kena usil mereka.
Mereka juga ahli main mercon, terutama Doni dan Andrian yang terkenal tidak terkalahkan. Kalau Edo paling jago manjat pohon kelapa sekaligus membelah buah kelapa. Jadi kalau mereka kecapean dan kehausan sehabis main layang-layang di sawah, mereka tinggal menyuruh Edo memetik kelapa dan membelahnya. Tidak perduli itu pohon kelapa milik siapa. Biasanya sih kalau sudah habis baru mereka minta izin kepada yang punya.
Mayang, meskipun anak perempuan tapi jago juga main bola. Ia ikut team anak laki-laki melawan kesebelasan desa seberang pada acara 17 Agustusan tahun lalu. Anissa juga ikut kesebelasan sepakbola di desanya bersama Mayang. Meskipun ia bisa diandalkan mencetak gol ke gawang lawan, tapi keahlian Anissa yang paling menonjol ialah bermain sepeda dengan melakukan gerakan-gerakan yang rumit dan berbahaya seperti jumping dan split, mengendarai sepeda dengan satu ban, juga berputar-putar di udara sebelum mendarat ketika sepeda berhasil melompat dari tempat tinggi.
Anissa dan teman-temannya itu sebenarnya tidak satu angkatan, bahkan mereka tidak satu sekolah. Hanya Edo dan Doni yang satu sekolah. Itu pun berbeda kelas. Doni kelas empat, sedangkan Edo kelas lima. Anissa dan Mayang kelas tiga dan berbeda sekolah. Sedangkan Andrian yang paling tua diantara mereka, yaitu kelas enam dan sekolahnya jauh di kota. Tapi mereka semua dipertemukan dalam satu desa dan hobi yang sama, yaitu melakukan hal-hal yang berbeda dengan anak-anak sebaya mereka lainnya. Seperti melakukan petualangan ini salah satunya.
*
            Udara hari Minggu pagi itu segar sekali. Matahari menjelang siang tidak terlalu terik. Apalagi di daerah pedesaan yang masih banyak tumbuh pohon hawa panas segera ditepis udara yang sejuk, sarat akan oksigen yang menyehatkan paru-paru. Sejauh mata memandang sawah terbentang luas. Dengan warna kuning keemasan laksana permadani yang dihamparkan di mesjid yang megah. Anissa merasa takjub dengan pemandangan itu, mengingatkan ia waktu diajak ibu bekunjung ke kubah emas di Depok.
            Kelima anak yang bersahabat sejak lama itu berjalan di pematang sawah yang sempit. Guratan-guratan tanah retak yang baru mengering setelah subuh tadi disiram hujan, menjadi padat setiap kali kaki-kaki kecil penuh semangat menginjaknya. Anissa berlari kecil dan main kejar-kejaran dengan Mayang. Doni hampir saja terpeleset dan kecebur ke dalam sawah.
Edo bersiul begitu melihat sebuah saung kosong dan memberi tanda kepada teman-temannya untuk beristirahat dulu di sana. Doni dan teman-teman lainnya setuju. Andrian malah megusulkan supaya Edo memetik beberapa butir kelapa yang kebetulan tumbuh di sekitar saung, untuk mengusir haus.
Anissa mengeluarkan bekal dari ranselnya. Ia lupa tadi pagi tidak sempat sarapan, pantes saja ia sangat lapar. Dilahapnya roti bungkus isi selai strowberry dan menawarkan bekal lainnya kepada teman-temannya. Mereka pun melahap makanan dan buah-buahan segar pemberian Anissa.
            “Yang, benar nggak sih, kalau kita minum air kelapa yang dipetik si Edo itu haram?” tanya Anissa sambil memberikan air mineral gelas ke Mayang.
            “Ya enggak dong. Kan nanti kita bilang,” jawab Mayang.
            “Tapi kata ayah itu bukan perbuatan baik. Sebaiknya sih kita bilang dulu ke yang punya,” lanjut Anissa ragu. Mayang tidak bisa menjawab.
            “Iya sih, kata Pak Ustadz juga gitu. Tapi gimana lagi dong, yang punya kan rumahnya nggak tahu di mana. Lagian pohon kelapa dan semua yang ada di bumi ini kan milik Allah. Jadi ya, boleh kali, ya..” timpal Andrian.
            Yang lain manggut-manggut. Sementara setuju saja dengan pendapat teman-teman mereka. Anissa tidak terlalu ambil pusing karena kebetulan dia membawa bekal. Tapi melihat buah kelapa muda dengan airnya yang segar ia ngiler juga. Anissa pun menikmati air kelapa muda yang dipetik Edo dan dilubangi bagian atas buahnya dengan pisau lipat yang biasa dibawa Edo kemana-mana. Berlima mereka menghabiskan tiga butir kelapa dan membawa daging kelapa muda itu dengan plastik.
            Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit yang sudah kelihatan di depan mata. Bukit itu sangat tinggi. Pohon-pohonnya menjulang dengan cabang yang saling bertautan satu sama lain. Daun-daunnya lebat dan besar-besar. Suasana di sana sepertinya sejuk dan damai.
            Untuk sampai ke bukit itu, kelima anak itu harus melewati sebuah sungai besar. Sungai itu dangkal tetapi airnya sangat deras. Batu-batu besar yang berserakan di dasar sungai membuat air beriak dan menimbulkan suara yang sangat berisik, tetapi berirama dan sangat menakjubkan. Kalau kita berada di sana dan menghirup udara dalam-dalam batin kita akan terasa tenang dan damai. Suara air diselingi teriakan binatang-binatang, siulan burung dan desiran angin membuat kita merasa tidak pernah memiliki beban dalam hidup kita.
            Melihat pemandangan yang menakjubkan serta merta anak-anak kecil itu melepaskan sepatu dan berlarian menceburkan diri ke dalam sungai. Melihat derasnya air, mereka hanya berani bermain di pinggiran sungai yang airnya jernih itu. Doni menyimprati Edo dan Andrian yang sedang menikmati segarnya air sungai itu. Keduanya lalu membalas menyiprati Doni. Doni berusaha menghindar, tetapi jarak mereka dekat sekali sehingga muka dan badan Doni pun terkena air.  Anissa tidak mau kalah, ia pun menyiprati Mayang yang kelihatan takut dengan air. Mayang pun menjerit-jerit. Di balik rasa takutnya ia pun merasa gembira.
            Setelah merasa cukup bermain, mereka kemudian bersiap-siap menyeberangi sungai. Andrian berdiri di depan, tangan kanannya menjinjing sepatu sedangkan tangan kirinya memegang erat tangan kanan Mayang yang juga memegang sepatunya. Tangan kiri Mayang berpegangan dengan tangan kanan Doni dan tangan Doni berpegangan dengan tangan Anissa, sedangkan Edo di belakang Anissa yang juga menggenggam erat satu sama lain. Kelimanya berjalan perlahan dan penuh waspada jangan sampai ada yang tergelincir dan hanyut terbawa arus sungai.
            Mayang komat-kamit berdoa, sedangkan Edo bersiul menyanyikan lagu grup band yang lagi tenar untuk mengusir rasa takut mereka. Anissa kelihatan lebih tenang. Ia malah berpikir tentang kejadian pagi tadi ketika ia terlambat bangun dan shalat Subuh. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya kenapa ia tidak menuruti nasihat ibunya untuk segera bangun dan shalat berjamaah bersama di mushola keluarga. Melihat derasnya air sungai itu ia berpikir bisa saja ia dan teman-temannya mengalami kecelakaan.
            Dan ketakutan Anissa hampir saja terjadi, tiba-tiba ia merasa menginjak sebuah benda tajam di dasar sungai. Seketika ia menghentakkan kakinya membuat Doni tersentak dan nyaris jatuh. Tangan Doni spontan terlepas dari pegangan tangan Mayang, sepatu yang dipegangnya pun jatuh dan hanyut terbawa air. Hampir saja Doni berusaha mengejar sepatunya yang hanyut, tetapi Mayang segera menarik tangan Doni dan mencegah Doni melakukan hal itu.
            “Jangan Don, “ teriak Anissa sambil menggenggam erat tangan Doni yang berpegangan dengan tangannya.
            Doni hanya bisa menatap sepatu bolanya yang hanyut terbawa arus sungai yang deras. Ia hanya bisa berharap kalau ia menyusuri sungai ini ia bisa menemukan sepatunya terdampar di suatu tempat.
            “Kamu kenapa Nis?” tanya Edo beralih ke Anissa.
            Anissa mengangkat kaki kirinya yang ternyata menginjak pecahan beling di dasar sungai. Darah segar merembes di telapak kaki Anissa yang terluka. Ketika ia memaksakan berjalan di dalam air, sebuah aliran kecil seperti benang merah menari-nari di atas air dan lalu menghilang.
            Sesampainya di tepi sungai Doni masih shock. Ia merasa sangat kehilangan sepatu kesayangannya. Sepatu itu pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun Doni beberapa bulan yang lalu. Hampir ia menangis, tetapi tentu saja ia tahan karena rasa malu di hadapan teman-temannya. Sang petualang koq cengeng, bisiknya dalam hati.
            Sementara itu Anissa meringis menahan sakit. Darah masih saja keluar dari telapak kakinya yang robek. Edo yang terkenal gesit segera mencabut daun-daunan di sekitar tepi sungai, membejeknya kemudian menyumpalkannya ke kaki Anissa. Anissa menjerit menahan sakit.
            “Kamu bawa sapu tangan, Nis?” tanya Edo. Seperti seorang perawat di tempat terpencil, Edo menggunakan apa saja yang ada untuk melakukan pertolongan pertama. Seperti waktu tangan Doni terkena ledakan petasan, Edo melumuri tangan Doni dengan lumpur basah sehingga luka bakar bekas petasan itu tidak terlalu parah.
            Anissa mengeluarkan sapu tangan dari ranselnya. Edo membungkus obat yang terbuat dari daun-daunan itu dengan saputangan tadi dan mengikatnya di punggung kaki Anissa. Anissa berhenti mengerang.
            “Enakan, Nis?” tanya Mayang ikut merasakan kesakitan.
            “Lumayan. Makasih ya, Do,” jawab Anissa sambil minta bantuan berdiri ke Edo.
            Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju puncak bukit itu. Di atas bukti itu kata orang-orang ada sebuah batu besar yang menyerupai kasur, lengkap dengan bentuk bantal dan gulingnya. Juga ada gua yang hangat seperti kalau kita sedang duduk di depan perapian waktu hujan badai.
            Ketika berhasil mencapai puncak bukit kelima anak itu bersorak kegirangan. Mereka berlari-lari dan menikmati kebebasan di alam terbuka. Berteriak dan menjerit-jerit. Tak terkecuali Anissa dengan kaki kirinya yang terluka ia melompat-lompat penuh semangat, gembira. Akhirnya ia bisa juga berada di bukit yang menurut orang-orang angker.
            “Teman-teman, gimana kalau kita membuat baling-baling dan menancapkannya di pinggir tebing itu?” usul Andrian.
            “Wah, ide bagus tuh, Ndri. Nanti kita bisa lihat dari bawah baling-balingnya berputar ditiup angin,”  Mayang antusias.
            “Ya, kita jadikan baling-baling ini sebagai simbol persahabatan kita,” timpal Edo.
            Akhirnya semuanya bergerak. Edo mencari rotan yang tumbuh subur di bukit itu. Anissa dan Mayang bertugas membelah dan membuat baling-baling. Doni dan Andrian mendirikan tiang dan memasang baling-baling buatan mereka, memastikan arah angin sehingga baling-baling itu berputar ditiup angin.
            Kelima baling-baling selesai dibuat dan tiang berhasil dipancangkan  dengan kuat. Baling-baling itu pun berputar dan menimbulkan suara yang unik, perpaduan suara siulan burung pipit dan desiran angin di musim kemarau. Kelima anak itu menatap hasil karya mereka dengan takjub.
            “Aku ingin pergi ke gua itu, Teman-teman,” Anissa memecah keheningan yang menakjubkan itu. Ia menunjuk sebuah gua yang jaraknya beberapa kilometer dari tempatnya berdiri.
            “Iya, menurut cerita orang-orang gua itu hangat dan di dalamnya banyak ukiran-ukiran hasil karya orang zaman dulu,” seperti biasa Mayang menanggapi dengan penuh semangat, menunjukkan kalau dirinya senang sekali berpetualang.
            “Tapi, banyak juga orang bilang kalau di sana tuh pernah dijadikan markas  pejuang waktu melawan penjajah. Sekarang malah dijadikan tempat persembunyian narapidana yang kabur,” ujar Doni.
            “Aku juga ingin ke sana. Tapi melihat keadaan sebaiknya sih kita tunda dulu rencana kita ini,” Andrian menengahi.
            “Iya. Kasihan Anissa, kakinya masih luka. Aku takut nanti bertambah parah,” Edo menghela napas berat. Ia juga ingin sekali melanjutkan perjalanan, tetapi ia tidak tega melihat kondisi Anissa.
            “Aku nggak apa-apa koq,” Anissa jadi tidak enak hati.
            “Mending kita pulang aja, supaya tidak kesorean. Ya minimal kita sudah tahu tempat ini seperti apa, dan medan yang dilalui bagaimana. Mayang kan pengen nyobain tidur di atas kasur batu, tadi udah kan ya, May?” lanjut Andrian.
            “Ya udah deh, kalau begitu. Tapi aku janji suatu hari nanti akan membawa kalian ke sana.” Desah Anissa sedikit kecewa.
            Akhirnya semua sepakat untuk menghentikan ekspedisi itu dan pulang ke rumah masing-masing.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

2 komentar:

  1. selalu ada persahaban indah di masa kecil kita :) cerita dan serial menarik mas

    BalasHapus
  2. Makasih Bunda.. belum kelar nih sekuelnya, hihi.. si Annisanya keburu ngadat, kabur dia, hehe

    BalasHapus