Kamis, 26 Maret 2015

Give Away : #TakMampuLupakanmu



Mau dapat Novel #TakMampuLupakanmu GRATIS?
Gampang…. Ikutan aja kuis #GiveMeTML
mulai 27 Maret 2015 s/d 5 April 2015

Kamu bisa pakai akun facebook atau twitter-mu. Keduanya juga boleh supaya kesempatanmu
untuk mendapatkan novel itu semakin besar.

Simak caranya ya :

via facebook
1. Ganti Profil Picture kamu dengan cover novel #TakMampuLupakanmu minimal selama 3 hari saja,
Jangan lupa sertakan sinopsis yang bisa kamu copas dari #linkTML dan hastag #GiveMeTML
2. Tag saya dan temanmu sebanyak-banyaknya.
Jika jumlah TAG di FB-mu dibatasi, kamu boleh posting kembali cover #TML di wall baru dengan
melakukan TAG ke teman-temanmu yang lain. Beri keterangan setelah hastag #GiveMeTML ke… (berapa?)
Perhitungan jumlah tag dilakukan di akhir program. Nama TAG yang sama, tidak akan dihitung double.
Dua orang pemenang akan mendapatkan  masing-masing 1 buah novel #TakMampuLupakanmu


via Twitter

 1. Follow @kamiluddinazis, lalu share info #GiveMeTML ini pada 3 orang temanmu (bisa copas link blog ini)
2. Follow @kamiluddinazis, kemudian twit di TL-mu dengan format berikut :
Aku #TakMampuLupakanmu (mention minimal 3 orang teman) seperti novel anyar @kamiluddinazis sebab …

contoh :
Aku #TakMampuLupakanmu @bukuilmuku @ezarsatria @remunggai seperti novel anyar @kamiluddinazis sebab kalian adalah sahabat terbaikku #GiveMeTML

Twit terbanyak dan terunik akan mendapatkan 1 buah Novel #TakMampuLupakanmu

Ditunggu ya partisipasinya
salam
ka

Selasa, 17 Maret 2015

Novel keenam : Tak Mampu Lupakanmu

Tak Mampu Lupakanmu
oleh Kamiluddin Azis
Harga Resmi : Rp. 49.800


ISBN13 : 9786020260501
Tanggal Terbit : 06 April 2015
Penerbit : Elex Media Komputindo

Sinopsis :

Gue Didi, asli Betawi. Pernah jadi playboy waktu kuliah, lalu tobat gara-gara seorang cewek. Susan namanya. Dialah yang bikin gue malas menjatuhkan perasaan pada cewek lain. Bahkan sampai sekarang. Gue nggak mampu melupakan dia.

Babeh gue pekerja keras. Nggak heran, setelah bangkrut dari usahanya, beliau bisa bangkit dengan cepat. Tapi jangan dikira gue bisa diterima kerja dengan mudah di perusahaan barunya. Utk mendapatkan jabatan tinggi, gue harus memenuhi sebuah persyaratan aneh bin ajaib terlebih dahulu.

Saat menjalani syarat itulah, Susan balik lagi ke kehidupan gue. Memberi harapan, sekaligus membunuhnya.

Apa memang begini konsep jodoh? Ke manapun kita pergi selalu ada persimpangan yang kembali mempertemukan?

Minggu, 22 Februari 2015

Sayuran itu Enak, kok!

“Pokoknya Rara nggak mau makan sayur!” Rara melipat tangannya sambil cemberut.
“Sayur itu bagus untuk kesehatanmu, Ra,” rayu Ibu. Disodorkannya semangkuk sup hangat ke depan Rara.
“Ayo makan, Ra, supaya tubuh kamu segar dan kuat,” tambah Adit. Ia menyeruput kuah sup ayam untuk memancing selera makan adiknya.
Namun Rara bergeming.
Daripada Rara tidak makan gara-gara dipaksa menghabiskan sayurnya, Ibu memilih membiarkannya.
*
Ibu bingung, kenapa Rara tidak suka sayur. Padahal di sekolah Bu Guru pasti sudah menjelaskan manfaat sayuran untuk tubuh kita. Banyak kandungan vitaminnya. Tapi Rara bilang perutnya mual kalau makan sayur. Katanya, rasanya aneh. Rara lebih suka tempe dan tahu yang dimasak dengan bumbu kecap.
            “Coba masak dengan variasi lain, Bu,” usul Ayah pada suatu sore.
            “Ibu sudah coba, Yah. Di-stup, dibumbu santan, pakai saus tiram, pokoknya semua resep Ibu praktekkan. Tapi Rara tetap saja nggak mau.”
            “Ya sudah, nanti Ayah bujuk lagi.” Ayah menenangkan.
            Malam itu, seperti biasa Ibu menyiapkan makan malam dengan menu lengkap. Ada ayam goreng, tempe orak-arik, dan tumis kangkung. Ayah, Adit dan Rara sudah mengelilingi meja. Aroma masakan Ibu yang lezat meruap.
            “Emh… enak banget tumis kangkungnya, Bu!” seru Adit.
            “Iya, enak sekali,” timpal Ayah. “Cobain deh, Ra.” Ayah mengambil sesendok tumisan ke piring Rara. Ibu menatapnya penasaran. Tumben, gadis kecil itu tidak menolak. Biasanya ia akan merengek, lalu mogok makan. Tapi kali ini, Rara menyuapkan sayuran itu ke mulutnya.
            Setelah selesai makan, Ibu menghampiri Ayah.
            “Dibujuk pakai apa nih, Yah, kok Rara mau makan sayur?” tanya Ibu penasaran.
            “Ada deh…,” canda Ayah, “pokoknya mulai besok Ibu boleh memasukkan sayuran ke bekelnya Rara.”
            Ibu tersenyum senang, meskipun dalam hatinya masih bertanya-tanya.
*
Keesokan harinya Ibu menambahkan sayuran ke dalam bekal makan siang Rara. Sepulang sekolah, Ibu memeriksa bekal makan Rara sudah habis. Ibu senang sekali. Rupanya bujukan Ayah Rara yang entah bagaimana caranya itu sangat manjur.
            Selama seminggu penuh Rara menghabiskan bekal makan sayurnya. Tapi anehnya, pada saat makan malam, Rara kembali menolak makan sayur. Katanya, makan sayurnya cukup siang saja. Ibu sedikit curiga. Tapi Ayah menanggapinya dengan santai.
            Pada suatu hari, Ibu harus ke sekolah Rara karena ada suatu urusan. Tanpa sengaja Ibu memergoki Rara sedang menumpahkan sesuatu dari kotak makan siangnya ke bak sampah. Yang membuat Ibu kaget, masakan Ibu yang berwarna hijau-hijau berjatuhan ke sana. Jadi, selama ini Rara tidak memakan sayuran, dan malah membuangnya?
            Ibu membicarakan kejadian itu kepada Ayah.
Sambil geleng-geleng kepala, Ayah bilang, “Padahal Rara dan Ayah sudah buat perjanjian. Kalau Rara makan sayur, Ayah akan membelikannya rumah Barbie.”
            “Sebaiknya minggu besok, kita ajak Rara ke perkebunan Kak Ratih di Cianjur.”
            Ayah setuju. Siapa tahu jika melihat perkebunan sayuran secara langsung, Rara tertarik untuk makan sayuran.
*
Tepat hari Minggu, Ayah dan Ibu mengajak Rara dan Adit bermain ke kebun milik kakaknya Ibu di Cipanas, Cianjur.
Di perbukitan kecil, Rara dan Adit berlarian dengan riang. Sejauh mata memandang, terhampar perkebunan sayur-mayur. Ada wortel, sawi, bayam, tomat, cabai dan sayuran lainnya. Kebetulan saat itu sedang panen wortel. Rara dan Adit ikut membantu mencabuti wortel dari dalam tanah.
Di kejauhan ada seorang petani yang sedang beristirahat karena kelelahan. Ia mengipasi keringatnya yang bercucuran, dengan topinya. Lalu ia berdiri dan memanggul hasil panennya dengan susah payah. Rara dan Adit memperhatikan petani tua itu.
“Kasihan ya, Pak Tani tua itu, Ra,” bisik Adit.
Rara mengangguk. Hati kecilnya merasa bersalah.
“Sudah susah payah mereka menanam sayuran, tapi masih saja ada orang yang nggak suka, dan malah membuangnya,” lanjut Adit.
Rara mendongak. Jantungnya berdebar. Apakah Adit tahu kalau Rara suka membuang sayuran bekal sekolahnya?
“Tapi Rara nggak suka sayuran, Kak,” sesal Rara. Ia pernah makan sayuran masakan Ibu, enak memang, tapi Rara belum terbiasa.
“Kalau nggak suka sih, nggak apa-apa. Tapi sayuran itu jangan dibuang-buang.” Adit teringat apa yang dilakukan Rara pada suatu siang saat ia hendak ke toilet di sekolah. Ia melihat Rara sedang membuang sayurannya ke tempat sampah. Adit tidak memberi tahu Ibu mengenai kejadian itu. Adit tak mau Ibu kecewa. Ia berencana mengingatkan Rara untuk tidak melakukan hal itu, tapi waktunya belum tepat.
Rara terdiam. Di wajahnya tergambar penyesalan yang sangat dalam. Ia bukan saja sudah membohongi Ayah dan Ibu, tapi juga tidak menghargai jerih payah Pak Tani yang sudah menanam dan merawat sayur-sayuran untuk dimakan. Ia berjanji, untuk tidak membuang lagi sayuran. Ia akan mencoba menikmati sayuran yang Ibu masak.
*
“Nambah lagi boleh, Bu?” Rara menyodorkan piringnya.
“Boleh dong, Sayang,” balas Ibu senang. Ia menambahkan cah kangkung ke piring Rara.
“Enak kan, Ra? Apalagi ditambah ebi dan tauco ini,” timpal Adit.
Rara mengacungkan jempol.
“Cah kangkung buatan Ibu memang paling top!” puji Ayah.
“Rumah barbie-nya jadi kan, Yah?” Rara melirik ke arah Ayah.
“Rumah Barbie?” Ibu balik bertanya, pura-pura tidak tahu.
***
Dimuat di Radar Bojonegoro, 22 Februari 2015

Cernak : Sayuran itu Enak


Radar Bojonegoro : Minggu 22 Februari 2015

Senin, 05 Januari 2015

Batu Akik Pengasihan

“Saya punya batu akik yang bisa menyala.”
Laki-laki tampan berkemeja rapi memanjangkan lehernya.
“Jadi kalau saya masukkan ke dalam air seperti ini, akan muncul cahaya.”
Si Tampan melinting lengan kemejanya. Lebih dekat ia menyelidik.
“Betul, kan?”
Cahaya kekuningan berpendar dari dalam baskom. Pedagang batu akik itu merekah senyum sebab calon pembelinya belum berkedip.
“Ini khasiatnya apa, Pak?” akhirnya laki-laki perlente itu buka suara. Matanya yang sejak tadi berloncatan dari satu batu akik ke batu akik lainnya, kini fokus pada satu batu yang bersinar seperti kunang-kunang di malam hari.
“Jangan bilang pada yang lain, ini kecubung pengasihan.” Gigi kehitaman berderet saat saat Pak Tua tersenyum. Rambut putihnya menjadi kontras.
“Berapa?” Si Tampan berbisik.
“Jangan bilang pada yang lain, ini hanya satu-satunya. Berapapun Aden berani bayar, itu akan sebanding dengan apa yang Aden dapat. Sesuai keinginan Aden sekarang ini.”
Tangan Si Tampan menggaruk-garuk kepala. Ia memang sedang membutuhkan sesuatu yang bisa membuat hidupnya berubah. Sesuatu, dan seseorang tepatnya. Bosan ia hidup susah. Setiap hari hanya kepelikan yang mendera. Maka saat seorang kawan menunjukkan batu akik di jarinya, dan berpanjang lebar memprovokasinya –dengan testimoni-testimoni yang kerap dilebih-lebihkan--, laki-laki itu mulai terpikat.
Belakangan memang sedang mewabah : jari jemari para lelaki dihiasi batu akik. Sudah sejak puluhan tahun sebetulnya. Ia pun tahu, ketika kecil bapaknya doyan menjejerkan macam-macam model dan warna batu akik di kelima, bahkan kesepuluh jarinya. Dari jempol, hingga kelingking.  Tapi tak pernah sekali pun dirinya jatuh hati melihat kilatan warna-warni batu-batu mungil itu. Ia juga tak peduli dengan berbagai kisah yang lahir seiring dengan kehadiran batu-batu itu.
Kini, saat dirinya beranjak dewasa dan mulai dijejali permasalahan hidup yang sangat berat, mencari solusi untuk meringankan beban itu, jadi wajib. Berharap kemujuran pada batu kecil itu, berlaku kah?
“Jangankan kita yang awam, ahli agama saja banyak yang pakai,” kata teman sepekerjaannya, saat ia meragu.
“Tak perlu percaya khasiat dan gunanya. Kau pakai saja sebagai hiasan. Ikut trend masa kini lah,” timpal yang lain.
“Bos kita pun pakai.”
Ia bergeming. Pernah ia mendengar kedua temannya itu saling tukar pengalaman berbau mistis yang lalu dihubung-hubungkan dengan kepemilikan batu akik yang mereka pakai. Katanya ikut trend, buntut-buntutnya tetap saja percaya begituan.
“Selama ini kan kau susah naik jabatan, coba saja kau cari pasangan kau, mungkin kau perlu penjaga, atau pemikat. Ya semacam begitulah.”
“Tidak semua batu akik cocok di tangan kita. Jodoh-jodohan, seperti juga kita dengan istri atau pacar-pacar kita.“
“Pasangan? Aku kan sudah beristri, Bang?”
“Pasangan yang dimaksud abang ini, cincin. Batu akik. Pergi kau ke Surya Kencana. Di sana banyak berjejer tukang batu akik. Kau telusuri sepanjang trotoarnya, sampai ketemu pasangan kau di sana!”
“Betul itu!”
Maka di sini, laki-laki itu sekarang berada. Diantara kerumunan pembeli yang menjejali para pedagang batu akik. Riuhnya obrolan pedagang dan pembeli berbaur dengan suara motor dan mobil yang melaju di jalan raya. Seperti lebah pekerja mengerubuti sang ratu.
“Jadi pastinya berapa, Pak?” si Tampan menyelidik.
“Sejuta itu kemurahan.” Pak Tua bertingkah seumpama pelelang barang antik yang mahal.
Sejuta? Itu hampir setengah gajiku, pekik si Tampan dalam hati. Tapi seperti kata Pak Tua pedagang batu akik, dan kawan-kawan di kantornya, perlu pengorbanan untuk mencapai apa yang kita mau. Perlu umpan khusus untuk menangkap kakap besar.
Sepuluh lembar uang merah ia tukar dengan benda sebesar buku jarinya. Kuning keemasan, dibingkai cincin perak yang pas dengan jari manisnya. Seringai hitam, melepas kepergian si Tampan yang menaruh banyak harap pada benda ajaib itu.
*
Saat jingga merebak di ufuk barat, Si Tampan baru tiba di rumah. Istrinya yang sedang tergolek sakit hanya dilirik sekilas. Ada ipar, adik perempuan istrinya yang seharian mengurus perempuan itu. Begitu, sejak lima-enam bulan terakhir ini.
            “Pulang, Bang?” sapa istrinya lemah.
            “Iya, makanya ada di rumah juga aku sudah pulang.”
            “Makan, Bang?”
            “Tidak lapar.” Lalu mengambil salin, dan menggantinya di kamar sebelah. Tanpa banyak cakap, ia rebahkan diri di ranjang, mengacungkan jari-jemarinya yang dililit cincin-cincin berbatu akik. Mengangkatnya ke udara hingga dari balik cahaya lampu, berpendaran cahaya menembus batu-batu itu. Senyumnya merekah.  Samar terdengar istrinya batuk-batuk.
            Pikiran Si Tampan mengembara. Ia tidak menyesal menikahi istrinya yang beberapa bulan kemudian  ketahuan punya penyakit kanker paru-paru dan bulan-bulan berikutnya semakin parah. Menuruti perjodohan orang tua, baginya adalah bakti. Tapi ia menyesal tak bisa memiliki perempuan lain yang selama ini ia cintai. Tidak mudah melupakannya, meski sekarang tiga tahun telah lewat dan ia tak tahu di mana pujaan hatinya itu berada.
            Untuk ukuran lelaki setampan dia, mendapatkan perempuan cantik, kaya, seharusnya bukan perkara susah. Tapi kenyataannya, ia tak pernah dilirik wanita lain. Apakah mungkin karena dia tak berduit? Ah, banyak teman sekantornya yang masih muda, tampang lumayan, duit tak seberapa tapi selalu berganti  pasangan. Meskipun Si Tampan belum berniat mendua, tapi batinnya selalu bertanya, apa yang salah dengan dirinya?
            “Kamu itu kurang pengasihan. Ketampananmu tertutup debu negatif.”
            “Makanya jangan lepaskan akik kuning itu.” Lagi-lagi kedua karibnya itu memanasi.
            “Aku belum lepas.”
“Bagus! Besok kau tambah satu jari lagi.”
“Uangku sudah habis, Bang.”
“Gadai saja motor kau. Kemarin aku lihat sekretaris bos, si rambut londo itu,  melirik-lirik ke arah kau. Sudah terbuka rupanya aura ketampanan kau ini. Apalagi kalau kau penuhi jari kau yang sebelas itu dengan akik-akik. bisa naik pangkat kau!”
“Serius, Bang?”
“Dua jari. Eh dua rius-lah!”
Si Tampan tak menunda-nunda waktu. Siang tadi ia menyimpan BPKB motornya di bank. Dan sepulang kerja langsung membeli sepasang cincin berbatu akik dari lelaki tua kemarin. Cahaya berkilauan di dalam batu itu seolah pertanda bertemu jodohnya. Sisa uang hasil gadai ia simpan untuk keperluan hari-hari, termasuk membeli obat China untuk istrinya.
“Jangan bilang pada yang lain, kalau Aden beli di sini, ya.”
Si Tampan memang bungkam. Tak ada niat mengumbar apa yang ia miliki dan dari mana didapatkan, kepada siapapun. Apalagi istrinya. Hanya kedua teman dekatnya saja yang tahu, karena merekalah yang pertama mengojok-ojok dirinya.
Batu-batu itu ditatapnya. Benar kata teman-temannya, bukan hanya sekretaris bos yang mulai menyapa dan memberi perhatian padanya. Perempuan-perempuan sekantor lainnya pun sepertinya mulai terpikat. Tapi kenapa Bos belum memperlihatkan gelagat akan menawarinya kenaikan jabatan. Apakah akik pengasihan ini belum bekerja dengan baik?
*
“Bang, obat Kakak habis.”
“Aku tak ada uang, Dik.”
“Tapi Kakak harus segera kontrol.”
“Uang Abang habis, Dik. Kau dengar tidak?!”
Si Tampan meninggalkan adik iparnya yang tertunduk lunglai. Lalu ia ke kamar sebelah, dan menyimpan sepasang batu akik --yang hari ini dilepas dari jemarinya, dan diganti dengan yang baru— ke dalam kotak khusus. Ia tak pernah menyadari, seiring dengan bertambahnya koleksi batu akik miliknya, ada sesuatu yang justru berkurang, bahkan lambat laun menghilang dalam dirinya. Cinta kepada istri yang sudah ia nikahi dan menemaninya di kala susah.
Yang ia tahu, dirinya kini menjelma menjadi pusat perhatian. Terutama atasannya. Sejak memakai batu akik di kesepuluh jarinya –sebab jari kesebelas berukuran kecil dan tak mungkin dilingkari batu akik— Si Bos sering mengajaknya bicara. Bertukar pikiran tentang koleksi akik mereka. Juga tentang pencapaian kerja Si Tampan yang sejak sebulan terakhir meningkat.
Ya, rasa percaya diri Si Tampan tumbuh dengan cepat. Akik-akik itu seolah sudah memberinya tambahan enerji sehingga bisa bekerja lebih produktif. Penjualan properti perusahaan meningkat tajam di tangannya. Buai kata Si Tampan meluncur deras seperti anggur manis yang dituang ke dalam gelas. Klien berbondong-bondong membeli produk perusahaan. Si Tampan semakin yakin, batu akik itulah penyebabnya.
Atas saran kedua temannya,  Si tampan mengganti cincin-cincin lamanya dengan yang baru, yang lebih menjanjikan kedigjayaan. Sedangkan cincin lama, sebagian ia simpan, sebagian lagi ia diberikan kepada mereka dan bosnya.
Sebulan kemudian,  Si Tampan benar-benar mendapatkan kenaikan jabatan. Gajinya pun melonjak dua kali lipat. Ia mulai bisa membayar sebagian pinjaman bekas membeli akik-akik. Dan berani main perempuan. Ia manfaatkan jabatannya untuk mendapatkan apa yang selama ini ia inginkan. Harta yang bisa mengusir kesialan hidupnya, dan wanita yang bisa membuat cinta di hatinya kembali bermekaran. Batu akik-batu akik itu berhasil mengikis tabir aura ketampanannya.
*
Suatu pagi, langit tampak murung. Udara seperti enggan membangunkan Si Tampan dari tidurnya. Tapi gejolak laki-laki itu untuk berangkat kerja tak bisa dibendung. Hari ini ia janji akan membelikan sekretaris bos perhiasan –setelah apa yang mereka lakukan semalam di sebuah hotel. Tanpa menengok bagaimana kondisi istrinya di kamar sebelah, Si Tampan gegas berangkat. Mobil mewah melaju tanpa suara.
Tiba di kantor, Sekteraris Bos tak ada. Si Tampan masuk ruang kerjanya dengan wajah kecewa. Tak lama, telepon berdering, Bos memintanya menghadap ke ruang kerjanya di lantai atas. Si Tampan berlari. Kabar kenaikan jabatan menari-nari dalam benaknya.
“Kamu saya pecat!” dilemparkannya ke atas meja, setumpuk bukti-bukti penggelapan uang perusahaan yang telah dilakukan Si Tampan.
“Tapi, Pak…” Mata Si Tampan nyaris lepas dari sarangnya.
“Anda tak bisa mengelak. Silakan pulang dan tunggu surat penangkapan dari kepolisian di rumah Anda!” Tegas, penuh wibawa. Dan mematikan.
Si Tampan tak berkutik. Apa yang selama ini ia lakukan terbongkar sudah. Penyetoran hasil penjualan properti perusahaan yang selalu ia tunda, mark-up pengeluaran, dan segudang penyimpangan lainnya yang tersembunyi, terungkap dengan cepat.
Matahari belum tegak berdiri. Si Tampan berada di atas trotoar, mencari Pak Tua, si penjual batu akik. Tapi laki-laki itu tak nampak. Si Tampan lalu pulang dengan setumpuk penyesalan di pundaknya. Tiba di rumah, bahunya makin melorot. Warga membopongnya ke tengah rumah. Jenazah istrinya baru saja selesai dikafani.
Sambil mengucapkan bela sungkawa, seorang perempuan berambut merah menyerahkan telepon genggam pada Si Tampan.
* * *