“Saya
punya batu akik yang bisa menyala.”
Laki-laki
tampan berkemeja
rapi memanjangkan lehernya.
“Jadi
kalau saya masukkan ke dalam air seperti ini, akan muncul cahaya.”
Si
Tampan melinting lengan kemejanya. Lebih dekat ia menyelidik.
“Betul,
kan?”
Cahaya
kekuningan berpendar dari dalam baskom. Pedagang batu akik itu merekah senyum sebab
calon pembelinya belum berkedip.
“Ini
khasiatnya apa, Pak?” akhirnya laki-laki perlente itu buka suara. Matanya yang
sejak tadi berloncatan dari satu batu akik ke batu akik lainnya, kini fokus pada
satu batu yang bersinar seperti kunang-kunang di malam hari.
“Jangan
bilang pada yang lain, ini kecubung pengasihan.” Gigi kehitaman berderet saat saat
Pak Tua tersenyum. Rambut putihnya menjadi kontras.
“Berapa?”
Si Tampan berbisik.
“Jangan
bilang pada yang lain, ini hanya satu-satunya. Berapapun Aden berani bayar, itu
akan sebanding dengan apa yang Aden dapat. Sesuai keinginan Aden sekarang ini.”
Tangan
Si Tampan menggaruk-garuk kepala. Ia memang sedang membutuhkan sesuatu yang
bisa membuat hidupnya berubah. Sesuatu, dan seseorang tepatnya. Bosan ia hidup
susah. Setiap hari hanya kepelikan yang mendera. Maka saat seorang kawan
menunjukkan batu akik di jarinya, dan berpanjang lebar memprovokasinya –dengan
testimoni-testimoni yang kerap dilebih-lebihkan--, laki-laki itu mulai terpikat.
Belakangan
memang sedang mewabah : jari jemari para lelaki dihiasi batu akik. Sudah sejak
puluhan tahun sebetulnya. Ia pun tahu, ketika kecil bapaknya doyan menjejerkan
macam-macam model dan warna batu akik di kelima, bahkan kesepuluh jarinya. Dari
jempol, hingga kelingking. Tapi tak
pernah sekali pun dirinya jatuh hati melihat kilatan warna-warni batu-batu
mungil itu. Ia juga tak peduli dengan berbagai kisah yang lahir seiring dengan
kehadiran batu-batu itu.
Kini,
saat dirinya beranjak dewasa dan mulai dijejali permasalahan hidup yang sangat berat,
mencari solusi untuk meringankan beban itu, jadi wajib. Berharap kemujuran pada
batu kecil itu, berlaku kah?
“Jangankan
kita yang awam, ahli agama saja banyak yang pakai,” kata teman sepekerjaannya,
saat ia meragu.
“Tak
perlu percaya khasiat dan gunanya. Kau pakai saja sebagai hiasan. Ikut trend masa kini lah,” timpal yang lain.
“Bos
kita pun pakai.”
Ia
bergeming. Pernah ia mendengar kedua temannya itu saling tukar pengalaman
berbau mistis yang lalu dihubung-hubungkan dengan kepemilikan batu akik yang
mereka pakai. Katanya ikut trend,
buntut-buntutnya tetap saja percaya begituan.
“Selama
ini kan kau susah naik jabatan, coba saja kau cari pasangan kau, mungkin kau
perlu penjaga, atau pemikat. Ya semacam begitulah.”
“Tidak
semua batu akik cocok di tangan kita. Jodoh-jodohan, seperti juga kita dengan
istri atau pacar-pacar kita.“
“Pasangan?
Aku kan sudah beristri, Bang?”
“Pasangan
yang dimaksud abang ini, cincin. Batu akik. Pergi kau ke Surya Kencana. Di sana
banyak berjejer tukang batu akik. Kau telusuri sepanjang trotoarnya, sampai
ketemu pasangan kau di sana!”
“Betul
itu!”
Maka
di sini, laki-laki itu sekarang berada. Diantara kerumunan pembeli yang
menjejali para pedagang batu akik. Riuhnya obrolan pedagang dan pembeli berbaur
dengan suara motor dan mobil yang melaju di jalan raya. Seperti lebah pekerja
mengerubuti sang ratu.
“Jadi
pastinya berapa, Pak?” si Tampan menyelidik.
“Sejuta
itu kemurahan.” Pak Tua bertingkah seumpama pelelang barang antik yang mahal.
Sejuta?
Itu hampir setengah gajiku, pekik si Tampan dalam hati. Tapi seperti kata Pak
Tua pedagang batu akik, dan kawan-kawan di kantornya, perlu pengorbanan untuk
mencapai apa yang kita mau. Perlu umpan khusus untuk menangkap kakap besar.
Sepuluh
lembar uang merah ia tukar dengan benda sebesar buku jarinya. Kuning keemasan,
dibingkai cincin perak yang pas dengan jari manisnya. Seringai hitam, melepas
kepergian si Tampan yang menaruh banyak harap pada benda ajaib itu.
*
Saat
jingga merebak di ufuk barat, Si Tampan baru tiba di rumah. Istrinya yang
sedang tergolek sakit hanya dilirik sekilas. Ada ipar, adik perempuan istrinya
yang seharian mengurus perempuan itu. Begitu, sejak lima-enam bulan terakhir
ini.
“Pulang, Bang?” sapa istrinya lemah.
“Iya, makanya ada di rumah juga aku
sudah pulang.”
“Makan, Bang?”
“Tidak lapar.” Lalu mengambil salin,
dan menggantinya di kamar sebelah. Tanpa banyak cakap, ia rebahkan diri di
ranjang, mengacungkan jari-jemarinya yang dililit cincin-cincin berbatu akik.
Mengangkatnya ke udara hingga dari balik cahaya lampu, berpendaran cahaya
menembus batu-batu itu. Senyumnya merekah.
Samar terdengar istrinya batuk-batuk.
Pikiran Si Tampan mengembara. Ia
tidak menyesal menikahi istrinya yang beberapa bulan kemudian ketahuan punya penyakit kanker paru-paru dan
bulan-bulan berikutnya semakin parah. Menuruti perjodohan orang tua, baginya
adalah bakti. Tapi ia menyesal tak bisa memiliki perempuan lain yang selama ini
ia cintai. Tidak mudah melupakannya, meski sekarang tiga tahun telah lewat dan
ia tak tahu di mana pujaan hatinya itu berada.
Untuk ukuran lelaki setampan dia,
mendapatkan perempuan cantik, kaya, seharusnya bukan perkara susah. Tapi
kenyataannya, ia tak pernah dilirik wanita lain. Apakah mungkin karena dia tak
berduit? Ah, banyak teman sekantornya yang masih muda, tampang lumayan, duit
tak seberapa tapi selalu berganti pasangan. Meskipun Si Tampan belum berniat
mendua, tapi batinnya selalu bertanya, apa yang salah dengan dirinya?
“Kamu itu kurang pengasihan.
Ketampananmu tertutup debu negatif.”
“Makanya jangan lepaskan akik kuning
itu.” Lagi-lagi kedua karibnya itu memanasi.
“Aku belum lepas.”
“Bagus!
Besok kau tambah satu jari lagi.”
“Uangku
sudah habis, Bang.”
“Gadai
saja motor kau. Kemarin aku lihat sekretaris bos, si rambut londo itu, melirik-lirik ke arah kau. Sudah terbuka
rupanya aura ketampanan kau ini. Apalagi kalau kau penuhi jari kau yang sebelas
itu dengan akik-akik. bisa naik pangkat kau!”
“Serius,
Bang?”
“Dua
jari. Eh dua rius-lah!”
Si
Tampan tak menunda-nunda waktu. Siang tadi ia menyimpan BPKB motornya di bank.
Dan sepulang kerja langsung membeli sepasang cincin berbatu akik dari lelaki
tua kemarin. Cahaya berkilauan di dalam batu itu seolah pertanda bertemu
jodohnya. Sisa uang hasil gadai ia simpan untuk keperluan hari-hari, termasuk
membeli obat China untuk istrinya.
“Jangan
bilang pada yang lain, kalau Aden beli di sini, ya.”
Si
Tampan memang bungkam. Tak ada niat mengumbar apa yang ia miliki dan dari mana
didapatkan, kepada siapapun. Apalagi istrinya. Hanya kedua teman dekatnya saja
yang tahu, karena merekalah yang pertama mengojok-ojok dirinya.
Batu-batu
itu ditatapnya. Benar kata teman-temannya, bukan hanya sekretaris bos yang
mulai menyapa dan memberi perhatian padanya. Perempuan-perempuan sekantor
lainnya pun sepertinya mulai terpikat. Tapi kenapa Bos belum memperlihatkan
gelagat akan menawarinya kenaikan jabatan. Apakah akik pengasihan ini belum
bekerja dengan baik?
*
“Bang,
obat Kakak habis.”
“Aku
tak ada uang, Dik.”
“Tapi
Kakak harus segera kontrol.”
“Uang
Abang habis, Dik. Kau dengar tidak?!”
Si
Tampan meninggalkan adik iparnya yang tertunduk lunglai. Lalu ia ke kamar
sebelah, dan menyimpan sepasang batu akik --yang hari ini dilepas dari
jemarinya, dan diganti dengan yang baru— ke dalam kotak khusus. Ia tak pernah
menyadari, seiring dengan bertambahnya koleksi batu akik miliknya, ada sesuatu
yang justru berkurang, bahkan lambat laun menghilang dalam dirinya. Cinta
kepada istri yang sudah ia nikahi dan menemaninya di kala susah.
Yang
ia tahu, dirinya kini menjelma menjadi pusat perhatian. Terutama atasannya. Sejak
memakai batu akik di kesepuluh jarinya –sebab jari kesebelas berukuran kecil
dan tak mungkin dilingkari batu akik— Si Bos sering mengajaknya bicara.
Bertukar pikiran tentang koleksi akik mereka. Juga tentang pencapaian kerja Si
Tampan yang sejak sebulan terakhir meningkat.
Ya,
rasa percaya diri Si Tampan tumbuh dengan cepat. Akik-akik itu seolah sudah
memberinya tambahan enerji sehingga bisa bekerja lebih produktif. Penjualan
properti perusahaan meningkat tajam di tangannya. Buai kata Si Tampan meluncur
deras seperti anggur manis yang dituang ke dalam gelas. Klien
berbondong-bondong membeli produk perusahaan. Si Tampan semakin yakin, batu
akik itulah penyebabnya.
Atas
saran kedua temannya, Si tampan
mengganti cincin-cincin lamanya dengan yang baru, yang lebih menjanjikan
kedigjayaan. Sedangkan cincin lama, sebagian ia simpan, sebagian lagi ia
diberikan kepada mereka dan bosnya.
Sebulan
kemudian, Si Tampan benar-benar
mendapatkan kenaikan jabatan. Gajinya pun melonjak dua kali lipat. Ia mulai
bisa membayar sebagian pinjaman bekas membeli akik-akik. Dan berani main
perempuan. Ia manfaatkan jabatannya untuk mendapatkan apa yang selama ini ia
inginkan. Harta yang bisa mengusir kesialan hidupnya, dan wanita yang bisa
membuat cinta di hatinya kembali bermekaran. Batu akik-batu akik itu berhasil
mengikis tabir aura ketampanannya.
*
Suatu
pagi, langit tampak murung. Udara seperti enggan membangunkan Si Tampan dari
tidurnya. Tapi gejolak laki-laki itu untuk berangkat kerja tak bisa dibendung.
Hari ini ia janji akan membelikan sekretaris bos perhiasan –setelah apa yang
mereka lakukan semalam di sebuah hotel. Tanpa menengok bagaimana kondisi
istrinya di kamar sebelah, Si Tampan gegas berangkat. Mobil mewah melaju tanpa
suara.
Tiba
di kantor, Sekteraris Bos tak ada. Si Tampan masuk ruang kerjanya dengan wajah
kecewa. Tak lama, telepon berdering, Bos memintanya menghadap ke ruang kerjanya
di lantai atas. Si Tampan berlari. Kabar kenaikan jabatan menari-nari dalam
benaknya.
“Kamu
saya pecat!” dilemparkannya ke atas meja, setumpuk bukti-bukti penggelapan uang
perusahaan yang telah dilakukan Si Tampan.
“Tapi,
Pak…” Mata Si Tampan nyaris lepas dari sarangnya.
“Anda
tak bisa mengelak. Silakan pulang dan tunggu surat penangkapan dari kepolisian
di rumah Anda!” Tegas, penuh wibawa. Dan mematikan.
Si
Tampan tak berkutik. Apa yang selama ini ia lakukan terbongkar sudah. Penyetoran
hasil penjualan properti perusahaan yang selalu ia tunda, mark-up pengeluaran, dan segudang penyimpangan lainnya yang
tersembunyi, terungkap dengan cepat.
Matahari
belum tegak berdiri. Si Tampan berada di atas trotoar, mencari Pak Tua, si
penjual batu akik. Tapi laki-laki itu tak nampak. Si Tampan lalu pulang dengan
setumpuk penyesalan di pundaknya. Tiba di rumah, bahunya makin melorot. Warga membopongnya
ke tengah rumah. Jenazah istrinya baru saja selesai dikafani.
Sambil
mengucapkan bela sungkawa, seorang perempuan berambut merah menyerahkan telepon
genggam pada Si Tampan.
* * *