Selasa, 25 Januari 2011

BUKAN PESTA BUJANG BIASA



BUKAN PESTA BUJANG BIASA


Xesofmine@yahoo.com, lalu kuketik 6 huruf lain yang segera berubah menjadi tanda bintang di layar komputer sebagai passwordnya. Setengah menit kemudian baru aku bisa melihat ada sekitar 7 email baru yang belum aku baca. Kucari tanggal paling akhir. Klik! Muncul deretan huruf italic :

Dear BX,
Gua gak sabar pengen cepet ketemu dan ngabisin malam sama elo. Kabari gua di 0812xx1260 malam ini juga, ya!
Da…
Kalau Cuma segitu, kenapa gak pake fasilitas inbox message di fs aja sih. Lalu aku beralih ke email lainnya.

Hallo BX,
Aku udah ikutin saran Kamu. Tokcer abis! Cewekku minta nambah! Makasih banyak, ya …!
Oya, kalo Kamu kasi alamat rumah or no telp Kamu, akan aku kirim gift. Itung-itung tip sebagai tanda terima kasih.
Kutunggu,
Mitos
Hemh, aku menelan ludah.  Rasanya tak ada yang pernah kulakukan sampai aku harus menerima ucapan terima kasih dari orang iseng seperti itu. Mana ya … batinku terus mencari satu-satunya email yang aku tunggu sejak seminggu kemarin.
Lalu aku iseng mengklik icon send/Recv dan satu detik memberiku keajaiban.
            Yess, gumanku!

BX, I miss U. I can’t stop loving U  …………….
Aku bener-bener gak tau harus ngapain waktu Kamu gak ada.
Aku.. aku...  MENCINTAIMU.
KTP2nait.
            Tanpa pikir panjang, kuarahkan mouseku ke kotak reply.

Hi,  Mulai besok, aku akan berkeeeelana ke tempat lain. Mungkin sesekali aku akan buka email dari Kamu. Tapi maaf aku tidak bisa membalasnya. Dan ini mungkin yang terakhir. Jadi setelah ini, Kamu boleh panggil aku XBX.
Oke!

            Lega rasanya. Melepas masa lajang dengan memberi tahu semua teman kencanku di internet. Aku bisa menghirup udara banyak-banyak, lepas dari penat yang selama ini menyesakkan.  Aku bisa teriak, lepas dari parau yang selama ini gatal.

            Besok aku akan menikah. Aku akan menjadi orang lain dengan melepas semua my crazy identity. Gila, Jova punya gelar baru: Suami, calon bapak, dan, ha..ha..ha.. XBX!        

            EGE: Emang Gua E G E!
            BX adalah singkatan dari ’Bujangan Keropos’ Biar lebih keren huruf K diplesetkan menjadi X, dalam situs pertemanan friendster orang mengenalku sebagai Mister BiEks, dan menobatkan aku sebagai problem solving, tempat mereka curhat berbagai macam persoalan, termasuk urusan cinta dan hubungan intim dengan pasangan. Untuk urusan terakhir ini kadang aku mengandalkan curhatan teman-teman lain yang sudah menikah seputar hubungan mereka dengan pasangannya. Medianya bisa melalui chatting, message box, atau jika pengen berkeluh kesah sehalaman penuh, kebanyakan dari mereka kirim aku email ke alamat yahoo-ku. Termasuk teman-teman kencanku di dunia maya tadi.
Dan karena aku sudah sangat jengah menghadapi banyak banget persoalan orang lain, aku memutuskan untuk hengkang dari dunia maya yang sebenarnya tidak terlalu memberikan manfaat yang berarti buatku. Good bye Xesofmine@yahoo.com, gue punya kandang baru, U’re death from now!
Bulan September, udara mulai dingin. Musim hujan akan segera tiba. Guyonan tentang kawin di musim hujan beberapa kali dilontarkan teman-teman kepadaku. Bagiku motivasi menikah bukan karena musim, atau sex yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan itu. Pernikahan adalah suatu komitmen. Komitmen aku dan calon istriku untuk memulai hidup baru. Melupakan dan meninggalkan masa lalu. Sekelam apapun.
Pagi ini aku terima banyak sms dari teman lamaku. Entah dari siapa mereka tahu kalau aku akan menikah. Kebanyakan dari mereka mempertanyakan kesiapan aku, terutama kesiapan mentalku sendiri. Lucu, mereka sepertinya sedang bertanya pada diri mereka sendiri. Aku yang mereka kenal sebagai sosok konselor, malah diragukan!
“Jo, jadi entar malam ke New Puri? Anak-anak udah siapin pesta buat elo!”  Agil berteriak lewat ponselnya. Suara rem menderit terdengar di kejauhan. Disusul teriakan dan makian entah dari siapa. , Kampret, sompret, kemudian daftar penghuni kebun binatang diabsen satu-satu.
“Ogah ah, gua masih ada urusan. Gedung yang kemaren si Budi booking gak cocok buat acara gua. Jadi gua mesti cari lagi yang lebih oke,”  aku mencari alasan supaya selamat dari perbuatan jahil teman-temanku. Aku jadi ingat Jakarta Undercovernya  Moammar Emka. Pada satu bagian buku itu diceritakan tentang sebuah pesta yang diadakan oleh sekelompok remaja untuk melepas masa lajang salah seorang temannya. Ceritanya seru banget sekaligus menjijikan. Dan aku enggak mau menjadi korban, karena sudah bisa dipastikan teman-teman bakal mempersiapkan sebuah pesta gila untukku. The Crazy Bachelor’s Party.
“Payah, Lo, Jo! Temen-temen bisa marah, tau! Gini aja, gua jemput Lo jam sembilan, oke!”
Tut, telepon langsung mati.
“Siapa Mas?” Sambil menyodorkan secangkir teh hangat Anita menatapku penuh tanya. Anita adalah calon istriku. Calon menantu idaman setiap orang tua.
“Biasa, siapa lagi sih yang telepon aku, kalau bukan si Bayan, Mayong, paling si Agil. Gimana, enggak apa-apa dicancel?” aku mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
“Mas kan sudah janji. Nggak bakalan jalan sama mereka lagi,” Anita kelihatan kecewa. Ia menyibakkan rambut depan yang menutupi sebagian wajahnya yang masih menyimpan curiga.
“Iya… Lagian aku kan udah bilang, aku udah bosan keluyuran gak puguh. Buktinya  barusan aku tolak ajakan Agil,” balasku gak kalah kesal.
Anita berubah menatapku lembut. Di bola matanya, Tidak sedikit pun kulihat keraguan. Ia bahkan sering mengingatkan aku untuk tidak selalu foya-foya. Apalagi dia banyak tahu tentang aku dari teman-temanku yang super ember.
Aku bertemu dengan Anita dua tahun yang lalu. Tetapi perasaan cinta baru tumbuh beberapa bulan belakangan ini. Dia adalah wanita yang mandiri, cerdas, supel, Kartini masa kini bagiku. Selain cantik, aku menyukai dia karena ia juga enak diajak ngobrol, tidak sombong, dan suka membantu orang lain. Anitalah yang membuka mata hati dan pikiranku untuk melihat masa depan.
“Mas, Mas tahu kenapa saya memilih Mas?” tanya Anita suatu waktu ketika kami baru beberapa bulan jadian. “Saya suka Mas karena Mas orangnya rame, ceria, nggak pernah kelihatan murung. Tapi juga cuek, gak peduli apa kata orang, pede abis pokoknya. Mas pinter, mandiri, selalu mendahulukan kepentingan keluarga. Aku salut sama Mas!” membuat hidungku kembang kempis menahan sipu.
“Kamu enggak takut sama aku? Kamu kan tahu bagaimana aku dulu,“ sempat tertahan pertanyaan itu di dadaku sampai akhirnya aku berani bertanya juga.
“Apapun yang teman-teman Mas atau orang lain katakan tentang Mas, aku gak begitu peduli. Yang penting Mas selalu setia, jujur dan sayang sama aku.”
Anita begitu sempurna, sehingga aku tidak perlu berpikir panjang untuk segera menyuntingnya. Yang lebih banyak aku pertimbangkan ialah bagaimana aku berusaha berubah untuk memperbaiki kelakuanku, kebrutalan dan keerroran sifat yang sedari dulu bebal. Barangkali ini akan menjadi bagian yang  paling sulit jika aku kelak hidup berumah tangga dengan Anita. Hanya Anita motivasiku untuk berubah. Cintanya yang begitu besar telah menghancurkan hatiku yang membatu.
-oOo-

Sebuah gudang tua. Aku pikir Agil akan mengajakku ke discotek tempat biasa kami dulu menghabiskan malam.  Paling tidak cafĂ© tenda supaya bisa ngecengin ABG yang masih pake seragam putih abu-abu. Ternyata aku malah diajak ke tempat yang kotor dan lembab ini.
Tidak ada yang mencurigakan. Gudang ini sepertinya bekas pabrik penggilingan teh atau rempah-rempah semacamnya. Setelah aku masuk, kulihat banyak mesin tua yang sudah berkarat diselimuti sarang laba-laba tebal. Kalau siang hari barangkali kita bisa melihat debu bertebaran. Aku menyorotkan senter kecilku ke arah lain. Di sebelah kanan, kira-kira lima meter dari pintu masuk utama ada sebuah tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai di atasnya.
Ternyata lantai kedua juga dipenuhi mesin-mesin besar dengan tali-tali karet yang juga besar bergelantungan di sana sini. Hati-hati kunaiki tangga yang hanya terbuat dari kayu yang hampir lapuk . Aku semakin tidak mengerti mengapa Agil menyuruhku ke sini. Atau apa aku yang salah alamat?
“Agil……. Don ….. Doni …..” aku berteriak pelan memanggil teman-temanku. sambil terus mengarahkan senter ke sekeliling. Keringat dingin tiba-tiba membasahi badanku. Mudah-mudahan tidak ada kelelawar yang menabrakku. Atau …. Aku enggak tahu sejarah gudang tua ini, tetapi firasatku mengatakan ada yang aneh dengan tempat ini. Jangan-jangan ada penunggunya .. Hiyy…. Aku begiidik sendiri.
Dari pada berpikir yang tidak-tidak, aku memutuskan untuk kembali ke mobilku. Aku melompati tangga dua-dua, sehingga tanpa kusadari pijakanku meleset dan membuat tubuhku terpelanting ke bawah. Berbarengan dengan itu tangga kayu itu runtuh dan menimpa tubuhku. Aduh …. Punggungku sakit sekali.
Sialan, Agil gila! makiku. Mana senterku? tanganku meraba-raba lantai tempat aku terjatuh. Tanganku berhenti meraba karena benda yang tadinya kukira senter, terasa lembut dan dingin.
“Ngapain Lo di sini?” Sebuah suara serak terbata membuat detak jantungku semakin kencang. Aku mencari arah suara yang di kupingku terdengar seperti desahan seorang wanita yang kesakitan.
“Mey?” aku segera bangkit dan hampir tidak percaya dengan apa yang telah kulihat. Mey menatapku dengan mata menyala. Bukan seperti mata Mey yang pernah kukenal. Kali ini matanya seperti menyimpan kebencian yang sangat dalam.
Rambut Mey terurai. Sama seperti pada saat aku membelainya dua tahun yang lalu. Saat itu aku terpaksa harus meninggalkan Mey. Bukan sepenuhnya salahku, karena aku juga tahu kalau Mey sudah tidak mencintaiku lagi. Tetapi rambut Mey yang dulu tidak bercahaya seperti sekarang.
Aku mundur beberapa langkah karena aku yakin perempuan ini bukan Mey. Entah siapa. Yang penting aku harus menghindar darinya.
Tangan Mey menggapai-gapai berusaha meraihku. Ia diam di tempatnya, tetapi tangannya terus mengikuti aku, semakin panjang, dan panjang. Aku berlari ke arah pintu masuk tadi, tetapi pintu itu tiba-tiba tertutup dan menimbulkan  suara yang sangat mengagetkan. Dan yang lebih mengagetkan lagi, di balik pintu itu sudah berdiri seorang perempuan dengan pakaian dan wajah yang serba merah. Matanya, pipinya, bibir, juga rambutnya, semua merah. Gaun yang dikenakannya begitu panjang hingga menyapu hampir semua lantai gudang ini.
“Jova, masih ingat aku?” bisiknya.
Marina! Pekikku dalam hati. Marina adalah gadis tionghoa yang aku pacari selama pesta perayaan tahun baru imlek, kapan ya? Emh.. waktu aku masih duduk di bangku SMU. Tujuh tahun yang lalu. Bisa dibilang ia cinta pertamaku sejak aku bosen mengenyam cinta monyet di SMP. Tetapi kenapa ia ada di sini, dengan pakaian dan dandanan seperti itu, lagi.
“Marina, bukannya Kamu lagi ada di Singapore?” tanyaku tergagap. Marina tidak menunjukkan ekspresi sedikit pun. Dia malah pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Aku menepuk-nepuk dan mencubiti pipiku. Apakah aku sedang bermimpi? Aku bisa merasakan sakit, berarti aku tidak sedang bermimpi. Tolong…. Tolong ….. Agil …. Mayong …..  aku terus berteriak walau suaraku terasa habis. Tanganku berusaha menggapai apa saja, karena seperginya Marina gudang menjadi gelap kembali.
Aku kembali dikagetkan oleh suara gaduh. Kali ini berasal dari luar gudang. Aku melihat sedikit cahaya. Aku mendapatkan peti kayu dan aku gunakan peti itu sebagai tangga, sehingga aku bisa berdiri dan mengintip apa yang terjadi di luar dari balik ventilasi. Rupanya cahaya itu berasal dari api pembakaran ban. Ya Tuhan, siapa mereka? Aku menghitung dalam hati tujuh orang Apa yang sedang mereka lakukan di atas mobilku. Ban mobilku ….
Aku mencium bau asap yang semakin menyesakkan. Seseorang sambil memegang botol minuman melemparkan sebuah ban lain ke arah temannya untuk ditumpuk di atas ban yang sudah hampir meleleh. Tidak lama kemudian api itu  semakin besar. Hey … hey … aku sama sekali tidak bisa berteriak. Tetapi sepertinya mereka mendengar teriakanku. Beberapa orang melambaikan tangannya ke arahku.
Sebentuk bibir perempuan seperti sedang mengucapkan kata sayang, Jova, sayang, Jova  terus seperti itu berulang ulang. Aku melihat pria dengan setelan jas mengacungkan gelas minumnya ke arahku. Mari bersulang sobat! Itu kata-kata yang biasa diucapkan Rivan. Ya benar itu Rivan!  Rivan … buka pintu, Lo lagi pada ngapain?
Aku terus menggedor-gedor pintu gudang yang terkunci sampai pintu itu tiba-tiba terbuka sendiri. Tetapi ketika aku  hendak berlari keluar gudang, kepalaku membentur sebuah benda yang menggantung. Bukan, bukan sebuah benda, tetapi tubuh seseorang yang tergantung. Aku berteriak sekencang aku mampu, tetapi tidak ada siapapun di sekitarku. Ke mana orang-orang yang tadi berpesta di atas mobilku. Kemana Rivan dan orang-orang itu.
“Jova… ini aku Ariska ….” pekik perempuan yang melayang di atas kepalaku.
Tidaaaaaaaakkkkkk. Aku berteriak sampai pita suaraku terasa putus.
Gelap masih memenuhi penglihatanku.
“Mas … mas… kenapa …..?” Anita memeluk tubuhku yang penuh dengan keringat. Kemudian dengan sigap ia memberiku segelas air putih hangat. “Minum ini Mas, biar tenang!” pintanya dengan lembut.
Aku masih merasa tegang. Kejadian yang aku alami tadi belum sepenuhnya hilang dalam ingatanku. “Aku ..  aku .. bermimpi Anita, maafkan aku…!”
“Mas pulang malam sekali. Mabuk lagi! Untung Mas Bas mau nganterin Mas pulang,” balas Anita.
“Bas, Basuki maksudmu …Bagaimana .. aku,  berarti aku tidak bermimpi, Anita.” Aku tidak percaya dengan apa yang sudah kualami semalam.
“Sudahlah Mas, sekarang Mas mandi, teman-teman Mas sudah menunggu di ruang tamu. Kita makan bersama. Kata mereka sih ini pesta lajang kita, karena semalam Mas tidak mau diajak pesta sama mereka.”
Ha…? Aku tidak langsung ke kamar mandi seperti yang disarankan Anita, tetapi segera ke ruang tamu untuk menemui teman-temanku.
Surprisse!!!” teriakan kompak membuatku tercengang.
“Halo Stupid!”
“Hai Jagoan....”
“Apa kabar penakut!”
“Agil sayang, masih ingat aku?”
Gila… ulah siapa ini! Dari mana makhluk-makhluk aneh ini semua datang. Agil, Mayong, Doni, Rivan, teman lamaku. Ariska, Marina, Lutie, Mey, dan banyak lagi, cewek-cewek yang pernah jadi pacarku semuanya ngumpul di ruang tamu.
“Udah .. udah… yang lain makan duluan deh kalau udah lapar. Kalau mau nunggu calon penganten kita, minum aja dulu, atau ngapain deh terserah. Biarin Jova, calon raja sehari kita narik napas dulu biar bisa mandi dan nemenin kita. Okey!”
Agil menarik lenganku sambil tertawa cekikikan. “Sorry Friend, Lo pasti kaget setengah mati…… abis lo nolak ajakan gua ke dugem sih! Padahal Lo tau itu untuk yang terakhir kali. Minggu depan gua udah masuk Fakultas Studi Islam di Quwait. Maafin gua ya ….. masih kerasa merindingnya? Ha .. ha.. ha… ” Agil terus nyerocos membuat kupingku berdengung.
”Tapi gua udah ada izin dari Anita lho!” Agil menunjuk calon istriku dengan sudut kelopak matanya yang agak sipit.
Anita menghampiriku. “ini handuknya, Sayang. Mau sekalian aku mandiin untuk menebus rasa salahku?” sebuah kecupan manis mendarat di pipiku.
“Ehem …. Gak bau tuh!” ledek Rivan sambil melempar kulit kacang goreng ke arahku. Anita menggiringku yang super bete ke kamar mandi.

* * 2003**
Saat facebook belum seheboh sekarang..

-oOOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar