Minggu, 11 Maret 2012

JANJI ANNISA : #6 Janji Annisa

6
JANJI ANISSA
            Anissa duduk di sebuah bangku yang dibuat khusus untuk para penunggu pasien. Di sana duduk juga beberapa orang yang juga sedang menunggu giliran besuk. Ada anak kecil kira-kira berumur lima tahun yang dijaga seorang nenek, duduk sambil memainkan mobil-mobilannya. Anak itu pasti tidak diperbolehkan masuk ke dalam rumah sakit meskipun yang sakit itu ibunya. Peraturan di rumah sakit memang biasanya begitu. Anak di bawah umur 10 tahun dilarang masuk.
            Anak itu mulai merengek. Mungkin ia bosan duduk dan bermain sendiri. Mungkin ia kangen dengan ibunya dan ingin bermain bersama seperti biasa mereka lakukan di rumah. Tanpa disadari Anissa tiba-tiba kangen kepada ibu dan keluarganya. Ia juga jadi sangat kangen dengan Nafissa, adik kecilnya yang jarang sekali diajaknya bermain. Setetes air bergulir di mata Anissa.
            Rumah sakit itu memang cukup besar. Di sore menjelang malam ini banyak dokter danpetugas rumah sakit yang berjalan tergesa-gesa, menimbulkan perasaan cemas setiap orang yang memperhatikannya. Ada apa gerangan, selalu pertanyaan itu yang terlintas di benak para penunggu pasien yang berada di luar kamar. Tidak jarang roda dan ranjang berdecit didorong oleh petugas medis dan membawa pasien kritis ke ruang gawat darurat. Anissa miris sekali melihat darah mengucur dari kening, kaki atau tangan pasien yang baru datang. Mungkin mereka adalah korban kecelakaan seperti Ridwan kakaknya.
            Jantung Anissa berdegup kencang setiap kali mengingat kejadian yang bisa saja merenggut nyawanya dan mungkin kakakkya juga. Ya Allah, tolong selamatkan kak Ridwan. Tolong ya Allah, hamba mohon. Ini semua salah hamba ya Allah, tapi selamatkanlah Kak Ridwan. Hati Anissa terus berdoa dan menyesali semua perbuatannya.
            Dari jauh terdengar suara langkah kaki setengah berlari. Ketak-ketuk membuat jantung Anissa kembalu bergetar. Ada apa lagi nih?
            “Nissa….” Suara berat itu muncul dari balik kelokan koridor rumah sakit.
            “Ayah…” Seketika Anissa berdiri dan menghambur memeluk seorang lelaki setengah baya dengan raut muka yang sangat cemas.
            “Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya ayah Anissa.
            Anissa menggeleng, isak tangisnya meledak. “Kak Ridwan, Ayah…” seguk Anissa.
            “Kamu sih nggak bisa diatur,” tanpa tedeng aling-aling suara mama membuat dunia serasa runtuh di mata Anissa.                       
            Anissa menatap ibunya dengan perasaan tersudut.
            “Sudahlah, Ma.. ini semua kan kecelakaan, siapa sih yang mau mengalami kejadian seperti ini?” tanya ayah retoris.
            “Ibu benar, Ayah. Ini semua salah Anissa. Anissa menyesal. Sangat menyesal. Anissa minta maaf Ayah, Ibu.”
            “Iya, Nak. Sekarang gimana kabar kakak Kamu?” balas ayah tidak mau memperpanjang permasalahan.
            Ibu meninggalkan ayah dan Anissa untuk mencari tahu di mana Ridwan dirawat. Seorang petugas medis memberitahu ibu dan ibu segera mengajak ayah dan Anissa untuk melihat kondisi Ridwan.
            Dalam ruangan ICU Ridwan tampak masih dalam keadaan koma. Detak jantungnya yang terlihat di monitor stabil. Melihat selang inpus dan oksigen yang membelit tubuh Ridwan ibu tidak kuasa menagan tangisnya. Ia menangis sejadinya-jadinya di pelukan ayah. Anissa memberi  kedua orang tuanya waktu untuk bersama. Ia meninggalkan mereka mencari tempat untuk melampiaskan rasa sedih dan rasa bersalahnya yang sangat dalam.
*
            “Kalau sudah begini siapa yang akan disalahkan?” di sela tangisnya ibu bertanya dengan galau.
            Ayah menggenggam tangan ibu. “Tidak ada yang bisa disalahkan. Semua ini kehendak Allah.”
            “Tapi Anissa itu selalu membuat masalah, Yah. Harusnya kita kirim dia ke pesantren saja. Ibu sudah tidak tahan dengan kelakuan Anissa.”
            Anissa mendengar percakapan itu dengan perasaan tidak menentu. Apakah ibunya sudah tidak menyayangi dirinya lagi dan lebih mengkhawatrikan kakaknya yang sedang berbaring sakit dan Anissa yang sedang merasa bersedih dan menyesal kemudian tidak menjadi berarti. Keinginan ibu untuk mengirim Anissa ke pesantren bukan saja mengagetkan Anissa, tetapi Anissa merasa ibunya sudah sangat putus asa dalam mendidik Anissa. Anissa berpikir mungkin saatnya bagi dia untuk berubah.
            Ya, berubah. Tapi bagaimana caranya. Anissa sudah sangat menyesal dan Anissa juga sudah minta maaf. Tapi penyesalan dan rasa maaf itu tidak akan mengembalikan Ridwan menjadi sedia kala. Ia masih saja berbaring dan mungkin besok lusa ia akan memiliki bekas luka tabrak lari. Mungkin kakinya bengkok atau ia tidak bisa berjalan lagi. Anissa semakin sedih membayangkan semua itu.
            Perlahan Anissa menghampiri ibu dan ayahnya. Ia mencoba mencari perhatian dengan duduk di samping ayahnya dan memegang ujung baju ayahnya.
            Ayah mengangkat Anissa dan mendudukkannya di paha ayah. Wajahnya yang sudah tidak tegang lagi, tampak sangat berwibawa. Anissa sudah lama tidak melihat wajah ayahnya dari dekat. Ayah tampak semakin tua, tetapi semakin kelihatan tampan dan bijak.
            “Anissa minta maaf Ayah,” Anissa mendahului ayahnya untuk bicara. Ia ingin segera mengungkapkan perasaannya sebelum ayah dan ibunya memarahi dan menghukum dirinya. Bukan ia takut dengan hukuman yang akan diberikan, tapi ia ingin merasa lega dengan melepas beban yang  sedari tadi ia pikul. “Anissa janji akan merawat Kak Ridwan sampai sembuh. Dan Anissa juga berjanji akan menurut apa kata ayah sama ibu.”
            “Dari dulu juga Nissa selalu janji, tapi tidak pernah Nissa tepati. Ibu udah capek, Nissa.” keluh ibu. Di balik wajah marahnya sebenarnya tersimpan perasaan sayang yang sangat dalam terhadap Anissa. Ia juga tidak ingin Anissa mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Ibu tidak dapat membayangkan kalau Anissa juga mengalami kecelakaan yang sama dengan Ridwan.
            Anissa menangis di pelukan ayahnya. Ia merasa ibu belum siap menerima permintaan maafnya. Anissa sedih karena ibunya sudah tidak sayang lagi pada dirinya.
            Malam semakin larut. Ayah menyuruh ibu dan Anissa untuk pulang saja. Biar ayah yang menunggu Ridwan di rumah sakit. Akhirnya ibu dan Anissa pun pulang ke rumah.
            Ketika sampai di rumah Ibu masih saja memperlihatkan kemarahannya. Ia tidak menegur Anissa sampai mereka berpisah untuk tidur di kamar masing-masing. Sepanjang malam Anissa menangis dan memikirkan bagaimana caranya supaya ia bisa membuat ibu memaafkan dirinya. Ia tidak mungkin menunggui Ridwan di rumah sakit seperti tekadnya itu karena peraturan rumah sakit tidak memperbolehkannya dan ayah juga tidak mungkin mengizinkan hal itu. Tapi ia juga tidak tahu kapan  Ridwan akan pulang sehingga ia bisa membantu merawat kakaknya di rumah. Ia tidak tahan melihat sikap ibu seperti itu. Dan mungkin akan tetap seperti itu karena ibu sangat marah pada Anissa.
            Anissa tidak dapat membayangkan apakah ia bisa hidup dengan ibu yang masih marah dan belum bisa memaafkan dirinya karena semua kejadian ini. Anissa akan sangat sedih jika besok dan lusa atau malah mungkin setelah Kak ridwan pulang pun ibu masih saja seperti ini.
            Sementara itu di dalam kamar ibu, ibu sedang menunaikan sholat malam. Ia menangis dalam doanya. Ya Allah sembuhkanlah anak hamba, jangan sampai rasa sakit membuat ia menderita. Kalau saja bisa ditukar, biarlah hamba saja yang mengalami semua ini. Ya Allah jadikan anak-anak hamba, anak-anak yang sholeh, sholehah. Jadikan Anissa anak yang menurut kepada kami orang tuanya. Jauhkan ia dari marabahaya yang mengancamnya. Ampuni kesalahannya, Ya Allah. Ampuni kesalahan hamba dan keluarga hamba… Amin….
            Ibu baru melepas mukena setelah membaca dzikir dan doa-doanya sambil menangis. Matanya sembab, suaranya parau dan napasnya menjadi berat. Ia teringat akan Anissa, apakah ia sudah makan tadi sore. Ibu tidak sempat menanyakan hal itu. Ia masih sangat shock denagn kejadian yang menimpa Ridwan. Ibu memang kecewa dengan Anissa. Ia juga marah karena Anissa sulit sekali diatur. Tapi setelah hati ibu tenang, ibu merasa menyesal telah berlaku seperti itu pada Anissa.
Ibu berjalan perlahan menuju kamar Anissa. Tampak Anissa sudah tertidur pulas. Matanya juga sembab seperti mata Ibu. Bahkan Anissa masih menyimpan segukan di sela tidurnya. Ibu mengusap kepala Anissa dan membisikkan doa untuk anaknya. Lalu ibu mengecup kening Anissa dan meninggalkannya sendirian.
*
BERSAMBUNG KE #7

Lihat Cerita sebelumnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar