Jumat, 23 Maret 2012

Flash Fiction : Pulang


PULANG
Kamiluddin Azis

 
                Aku hanya sanggup melempar senyum kecut. Sebuah senyum terakhir yang masih bisa aku bagi sebelum aku benar-benar pergi.
                Miranti menatapku dengan sejuta penyesalan yang sulit aku terima. Sebuah pengkhianatan -setelah kesetiaan ini aku patri bertahun-tahun lamanya- meruntuhkan dinding kepercayaanku padanya.
                “Maafkan aku Mas,” ia tertunduk menatap bumi tempatnya berpijak seolah ia takut bumi pun tak akan menerima pengakuannya. Air mata sudah lebih dulu mengalir tanpa harus kubuka keran lukaku.
                “Sudahlah, Ranti, aku mengerti kenapa kamu melakukan itu. Aku yang salah karena tidak sanggup memberimu kebahagiaan.” Kendati sakit ini belum benar-benar sirna, aku berusaha berpikir jernih bahwa mungkin saja semua kejadian ini berpangkal dari kesalahanku sendiri.  Sebagai seorang tenaga kerja Indonesia di luar negeri aku memang tidak bisa terlalu sering pulang ke tanah air. Perusahaan tempatku bekerja hanya memberikan dispensasi cuti pulang sekali dalam dua tahun. Jika karyawannya menginginkan pulang setahun sekali, itu masih diperbolehkan, dengan catatan biaya akomodasi dan sebagainya ditanggung sendiri.
                Dan karena aku hanya bisa menemui Miranti sekali dalam setahun tentu saja aku tidak bisa memberikan nafkah batin padanya. Sebagai seorang istri dan seorang perempuan, kebutuhan biologis sudah pasti harus dipenuhi. Komunikasi melalui telepon, yahoo messenger, bahkan video call, tidak bisa menggantikan apa yang seharusnya aku penuhi sebagai seorang suami.
                Ranti  menggenggam erat jemariku, matanya sembab menahan rasa takut dan penyesalan yang dalam. Sepertinya ia ingin sekali memelukku dan menumpahkan kesedihannya di bahuku, tetapi aku berusaha menghindar karena rasanya aku tidak sanggup lagi menerimanya sebagai bagian dari tanggung jawabku.  Aku resmi memberinya talak tiga supaya Miranti bisa segera menebus dosa-dosanya dan menikah dengan lelaki itu.
                Lelaki itu, -saat aku sengaja pulang ke tanah air tanpa memberitahukan Miranti, istriku, karena ini akan menjadi bagian dari kejutan ulang tahunnya- tengah berada di bawah selimut bersama seorang perempuan yang aku yakin dialah Miranti, istriku yang aku nikahi empat tahun yang lalu. Tanpa mereka sadari keberadaanku, kedua insan yang bukan muhrim itu sedang berpagut menikmati kebersamaan mereka. Seketika juga aku tidak bisa merasakan pijakan kakiku. Apa yang aku pegang dalam genggaman tanganku berjatuhan dan menyadarkan mereka akan kehadiranku yang  menyaksikan semua pengkhianatan itu.
                Sebagai seorang lelaki dan suami aku merasa bodoh dan  sangat terhina. Miranti yang merajut kasih denganku  belasan tahun lamanya tiba-tiba menjadi seorang asing di mataku. Tiga tahun lamanya aku mengadu nasib di negeri orang demi menjalankan rencana hidup kami untuk membuat sebuah keluarga bahagia. Tapi sekarang sia-sia sudah. Dan aku tidak perlu menunggu dua atau tiga tahun lagi untuk berhenti menjadi TKI dan menjalankan rencana kehidupan kami setelah aku mapan; hari ini, biarlah menjadi hari terakhir kepulanganku ke Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar