Kamis, 01 Maret 2012

Cerpen - JANG KARTA ANTER KOPER


JANG KARTA ANTER KOPER
Kamiluddin Azis


Langit biru cerah perlahan berubah warna menjadi kuning keemasan dengan bingkai merah mengelilingi bulatan matahari terbenam. Hiruk pikuk di sebuah pasar menjelang Maghrib mulai terasa. Puluhan pedagang sudah siap dengan lapak dan serbuan ratusan pembeli setia mereka. Ibu-ibu, tukang sayur keliling, pemilik warteg dan pengusaha rumah makan akan segera memadati pasar yang lebih hidup pada malam hari itu. Belum lagi tengkulak, kuli angkut barang dan tukang becak, yang menjadikan pasar itu sebagai lahan basah mereka setiap hari.
            Jang Karta, seorang tukang becak, yang lebih terkenal dengan julukan ‘Si Pengayuh Tangguh’ juga sudah siap dengan becak merah andalannya. Si Redi, becak yang selalu menjadi juara lomba atraksi becak setiap Agustusan itu tampak mengkilap dan wangi sabun cuci bersoftener. Dengan seragam kayuhnya : kemeja flanel hijau pupus dan korduray hitam lecek plus topi pelukis lepet, penampilan Jang Karta sama kerennya dengan Si Redi. Ia pun mulai menebar senyum sambil menawarkan jasa becaknya.
            “Belum beres dong, Jang, masih banyak nih,” balas seorang perempuan empat puluh lima tahunan yang kerepotan membawa belanjaan, ketika Jang Karta menawarkan angkutan becaknya.
            “Tumben nggak bawa asisten, Bu. Emang si Eneng ke mana?” tanya Jang Karta menyelidik. Si Eneng yang dimaksud adalah anak gadis Si Ibu yang biasanya diajak belanja.
            “Kapok dia diajak ke sini, habis kamu godain terus sih!” jawab Si Ibu ketus. Jang Karta hanya nyengir kuda.
            Jang Karta memang terkenal playboy cap ban gujer di kalangan sesama tukang becak seantero Bandung. Tapi karena keunikannya inilah, Jang Karta makin terkenal dan banyak pelanggannya.
            Tapi tumben, sore ini belum ada pesewa yang mau memakai jasanya. Si Pengayuh Tangguh akhirnya memilih ngisi TTS yang sengaja ia selipkan di jok penumpang. Bosan ngisi TTS karena banyak pertanyaan yang nggak nyampe di otaknya, ia lalu meraih hape China-nya sekedar untuk status di FB dan twitternya.
            “Ke Stasiun, Bang!” tiba-tiba seorang lelaki bule berbadan tinggi kekar memasukkan sebuah koper besar ke dalam becaknya.
            Jang karta tersentak karena becaknya nyaris terdorong, dan hampir saja ia jatuh dari tempatnya duduk di bagian kemudi. Tapi lelaki itu tidak peduli. Dengan tubuh raksasanya ia pun masuk, berdesak-desakan dengan koper yang ia bawa.
            “Ke stasiun, Om?” ulang Jang Karta memastikan ia tidak salah dengar.
            “Iya, bawel!” gerutu bule itu dengan logat Indonesianya yang aneh.
            Jang Karta menggaruk kepala belakangnya, perasaan baru nanya sekali, udah dibilang bawel. Gimana kalau nanya yang lainnya, seperti : where do you come from –halah estede banget, ya! atau Where are You going, Mister?, hihi, pertanyaan sederhana yang ia pelajari dari buku SMP bekas yang ia pungut dari bak sampah. Ah tapi percuma nanya pakai bahasa Inggris juga, toh bule ini sepertinya sudah fasih berbahasa Indonesia. Jang Karta pun mulai mengayuh becaknya perlahan, melawan arus kendaraan yang lewat di jalan padat itu.
            “Stop.. stop.. stop..” tiba-tiba si bule berteriak sambil menepuk-nepuk sandaran duduknya. Jang Karta seketika menghentikan becaknya.
            “Kenapa, Sir?” tanyanya panik.
            “Saya lupa. Ada yang ketinggalan. Putar balik, Bang,” perintahnya.
            Jang Karta dengan sekuat tenaga memutar balik Si Redi. Gila, berat badan nih bule berapa kwintal, ya? Untung Jang Karta sudah makan soto ayam dan minum jamu madura sebelum tempur tadi.
            Si Pengayuh Tangguh pun membawa becaknya kembali ke arah semula. Tidak lama kemudian, ia berhenti di depan sebuah hotel murah tempat si bule menginap. Si Bule pun berlari  menuju lobi hotel tanpa membawa koper besarnya, sementara Jang Karta memarkirkan becaknya di luar hotel.
            Twit.. twit.. twitt... suara klakson menjerit dari mobil di belakang Si Redi yang hendak masuk hotel. Seorang petugas keamanan dengan sigap memarkir mobil itu dan meniup pluit dengan kencang.  “Awas Ouy...” teriaknya mengusir Jang Karta supaya memindahkan posisi parkirnya yang menghalangi jalan masuk.
Jang Karta pun memindahkan becaknya menuju tempat yang lebih aman.
Sepuluh menit berlalu. Tapi Si Bule kok tidak muncul juga. Memang apa sih yang ketinggalan, sampai-sampai ia lama sekali mencarinya.
Lima belas menit. Dua puluh menit. “Ke mana Si Bule, ya? Kalau aku susul ke dalam, bisa-bisa tuh koper ada yang embat, lagi. Jang Karta terus berpikir sambil celingukan memantau setiap orang yang keluar dari hotel itu. Jangan-jangan tuh bule sebenarnya sudah keluar, tapi kebingungan nyari Si Redi karena sudah pindah tempat parkir. Waduh gawat!
Kebetulan satpam yang tadi jutek berjalan menuju kios rokok tidak jauh dari tempat Jang Karta parkir.
“Maaf, Pak, tadi Bapak lihat bule keluar hotel ini?” tanya Jang Karta.
“Bule mah banyak atuh, kang, tamu hotel ini kan kebanyakan memang bule,” jawab Pak Satpam dengan bangga sambil menyalakan rokok kreteknya.
“Maksud saya, yang badannya gede, pake kemeja putih, yang tadi turun dari becak saya?” jelas Jang Karta mencoba mengingatkan Pak Satpam.
“Oh yang itu.  Mister Adam, namanya. Dia dari Belanda, langganan tetap hotel sini, Kang. Orangnya baik banget, saya aja sering ditraktir rokok dan mie lomi, apalagi kalau....”
“Stop.... stop, eup.... sekarang dia di mana, Pak?” potong Jang Karta kesal.
“Tadi naik becak merah, katanya sih mau ke stasiun. Mau ke Jakarta dia,” jawab Pak Satpam dengan mata mendelik karena cerita serunya dipotong.
“Hah?” Jang Karta mulai panik. Terus gimana nih koper, wah bule pikun! Pekiknya dalam hati.
Dengan gesit Jang Karta menarik Si Redi dan mengayuh nya dengan kecepatan penuh, tidak peduli suara klakson bersahutan protes karena Si Redi melawan arah dan hampir bertabrakan dengan mobil yang melintas.
Di depan stasiun Bandung, Jang Karta harus berjuang lagi berdesak-desakan dengan orang-orang yang keluar masuk stasiun dengan tergesa-gesa. Sambil menenteng koper yang beratnya audzubillah itu, Ia terus berusaha mencari Mister Adam. Tapi sayang, dari tempatnya berdiri ia melihat kereta api jurusan Jakarta sudah meninggalkan stasiun.
Mesti dikemanain nih koper? Dalam keadaan lelah dan putus asa Jang Karta kembali ke Si Redi yang dengan setia menunggunya di tempat parkir.
“Kunaon, Jang? (kenapa, Jang?)” tanya seorang tukang becak tua begitu melihat Jang Karta ngos-ngosan. Ia juga memperhatikan bawaan Jang Karta. “Nu saha? (punya siapa?)” tanyanya lagi.
“Si Bule. Ketinggalan, Kang,” dengan sisa napasnya yang memburu, Jang Karta berusaha menjawab dengan jelas.
“Naon eusina? (Apa isinya?)” lanjut Pak Tua penasaran.
“Nggak tahu, Kang.”
“Buka aja, tapi kade bom! (Buka saja, tapi awas Bom!)”
Jang Karta tersentak, tidak pernah terbersit dalam ingatannya sama sekali kalau isi koper itu bom. Tidak ada yang mencurigakan. Apalagi Mister Adam keluar dari hotel murahan yang tamunya mungkin bule-bule kere juga. Kenapa ia membawa bom ke hotel sekelas itu. Biasanya kan bom dibawa ke hotel-hotel gede yang tamunya dari manca negara.
Palingan baju, buka aja, bagi-bagi, Jang,” usul seorang tukang becak lain yang sedari tadi memperhatikan perbincangan Jang Karta dengan Pak Tua.
Jang Karta melirik tukang becak muda yang provokatif itu. “Enak aja!”
“Kade ah, boa-boa bangke! (Awas, jangan-jangan bangkai!)” celetuk tukang becak lain yang baru datang.
Deg, jantung Jang Karta berdetak hebat. Ia jadi ingat beberapa kasus mutilasi yang mayatnya dimasukan ke dalam koper dan dibuang begitu saja. Atau bawa aja kali ya ke kantor polisi supaya diperiksa. Tapi gimana kalau koper itu malah dihancurkan tim Gegana, padahal isinya belum tentu bom atau mayat. Dan kalau si Bule sialan itu ngeh kopernya ini ketinggalan di dalam becak, terus balik lagi dan mencari-cari Jang Karta. Bisa repot nih urusan.
Akhirnya Jang Karta memutuskan untuk membawa koper itu ke rumah kontrakannya.
*
Sesampainya di rumah, lelah luar biasa menghantarkan Jang Karta tidur lebih awal. Ia bahkan melewatkan pertandingan semi final Persib melawan Persija saking capainya. Dalam tidurnya Jang Karta bermimpi dikejar-kejar Mister Adam dan diminta mengganti tiket kereta pulang pergi Jakarta-Bandung. Dasar bule pelit. Salah sendiri kenapa pikun dipiara. Koper segini gedenya kok bisa-bisanya sih ketinggalan. Padahal Jang Karta sendiri sudah mencari Mister Adam kemana-mana, bahkan ia balik lagi ke hotel itu, tapi pihak hotel tidak mau menerima titipan koper dari Jang Karta karena curiga koper itu berisi bom rakitan, atau mayat yang sudah dimutilasi.
Jang Karta mengayuh becaknya dengan kecepatan the flash. Tapi si Bule raksasa masih bisa mengejarnya dengan kekuatan super yang ia miliki. Bahkan aksi kejar-kejaran itu menyebabkan jalanan macet karena beberapa kendaraan bertabrakan menghindari super becak dan super bule itu. Pak Polisi dibantu satpam hotel berusaha mengatur kendaraan yang terlanjur berseliweran tak tentu arah. Suara pluit berbalasan dengan jerit klakson kendaraan.
Crowded city, pokoknya.
Lalu koper yang ada di dalam Si Redi terpelanting sampai puluhan meter jauhnya. Sebuah truk menabrak koper itu sehingga koper itu kembali melayang. Isi koper berhamburan. Ribuan lembar uang berterbangan. “Hujan duit......” teriak orang-orang serentak sambil berlarian menuju jalan raya tempat uang itu berjatuhan.
“Dolar... dolar... dolar.... “ pekik mereka kegirangan. Suasana menjadi semakin riuh karena hampir semua pengemudi mobil keluar dan bergabung berebut uang kertas yang dikiranya datang dari langit itu. Tiba-tiba sebuah benda menimpa tubuh The Bule Flash, dan membuat bule berbobot banteng itu juntai. Ternyata benda itu adalah koper yang terpelanting berbalik arah gara-gara tertabrak truk tadi.
Si Bule nahas itu pingsan. Tapi lebih nahas lagi, sama sekali tidak ada orang yang mau menolongnya. Semuanya sibuk berburu uang yang berhamburan. Ratusan ribu dolar melayang ke segala penjuru. Bahkan pedagang kaki lima saja mendapatkan rezeki nomplok itu. Beberapa diantaranya bahkan tidak puas dan meninggalkan roda dagangan mereka untuk mengais rezeki yang lebih besar ke tengah jalan raya yang sudah padat dipenuhi para pemburu dolar dadakan.
Si Redi berhenti. Jang Karta sama sekali tidak tega melihat tubuh gempal Mister Adam tergolek tak berdaya di pinggir jalan raya. Ia pun menghampirinya dan mencoba membangunkan Mister Adam dengan menepuk-nepuk pipinya. Tapi kok aneh ya, begitu ia memukul pipi Mister Adam, malah pipinya sendiri yang berasa sakit. Ia lalu menepuk pipi Mister Adam lebih keras, dan pipinya sendiri berasa lebih perih. Lalu dengan sekali tampar, ia terbangun.
“Jang.... ada tamu tuh!” teriak seorang tetangga yang entah dari mana datangnya tiba-tiba sudah ada di kamar Jang Karta.
“Euh... ngigau segala, bikin warga panik aja!” protesnya, membuat Jang Karta sadar kalau mimpinya tadi begitu heboh.
“Kenapa, Kang?” tanya Jang Karta belum loading sepenuhnya.
“Tamu!” bentaknya sengau. Ia terpaksa masuk ke rumah Jang Karta yang tidak dikunci, karena ada tamu yang sedari tadi mengetuk pintu kontrakan Jang Karta tetapi yang punya rumah malah teriak-teriak kayak kerasukan setan.
Di sela kantuknya Jang Karta berjalan menuju pintu. Jangan-jangan tamunya itu Si Bule Adam yang nyari koper itu? Atau gimana kalau polisi yang menyangka ia telah mencuri koper itu. Waduh, tambah berabe nih urusan. “Siapa tamunya, Kang?” bisik Jang Karta dengan muka parno.
“Teuing. Awewe, geulis! (tauk! Cewek. Cantik!)”
Jang Karta menghela napas lega. Apalagi begitu ia membuka pintu, teryata yang muncul adalah Saripah, pramuniaga yang kerja di toko klontong Babah Akiong, yang pernah dipacarinya tahun lalu.
“Eh, Neng Ipah, ada apa ya?” tanya Jang Karta gelagapan.
Saripah tersipu. “Neng, mau ambil koper, Kang,”” jawabnya.
“Koper?” tanya Jang Karta heran.
“Iya, Kang, koper Neng ketuker sama koper bule yang tadi sore belanja di toko Babah Akiong,” jelasnya lagi.
“Kok bisa?” Jang Karta tambah bingung.
“Jadi gini ceritanya, Kang. Tadi sore ada bule belanja di Babah Akiong. Ia bawa koper yang kebetulan sama dengan yang Neng bawa. Rencananya Neng mau pulang kampung dulu. Waktu Neng pamitan, koper itu Neng disimpan di luar dekat pintu. Pas Neng balik lagi, ternyata kopernya sudah ketuker.”
“Terus koper tuh bule di mana sekarang?”
“Sudah dibawa lagi sama bule tadi. Katanya, ia tadi naik becak yang ciri-cirinya seperti Si Redi, begitu ngeh kopernya tertukar, ia buru-buru balik lagi ke hotel mengira kalau kopernya tertukar dengan tamu lain. Setelah diingat-ingat ia baru sadar kalau kopernya tertukar waktu belanja di toko Babah Akiong. Tapi karena buru-buru koper Neng yang tertukar  itu ia tinggalin dalam becak Akang, dan nyuruh Neng untuk mengambilnya sendiri.” Saripah menjelaskan kronologis kejadian tertukarnya koper itu dengan gambling.
“Haduh, Neng, hampir saya mati lemes gara-gara koper ini” Jang Karta menggaruk bagian belakang kepalanya. Lega rasanya mendengar penjelasan Saripah. “Terus isinya apa nih, Neng?” ia iseng menyelidik.
“Baju bekas, Kang. Sisa import. Neng beli banyak buat dibagi-bagikan di kampung, lumayan,” jawab Saripah tersipu lagi.
Glek. Jang Karta menelan ludah, antara kecewa, sekaligus lega. Sebenarnya Ia berharap koper ini adalah koper Mister Adam yang berisi dolar.
Akhirnya Jang Karta anter koper itu ke terminal bis antar kota bersama Saripah dan sisa cinta yang tidak kesampaian. Beu... apa coba?! ****



3 komentar: