Minggu, 25 Maret 2012

Cuplikan Novelku - Never Need Love


13

Hujan kembali turun. Butir-butir yang berjatuhan menimpa tanah menimbulkan irama yang selalu sama. Irama kesedihan dan kehampaan. Mengapa setiap kali aku berusaha menemui Tere, hujan selalu menyambutku, seolah ia tidak rela membiarkan Tere bersatu denganku untuk menikmati kesedihan dan kehampaanku ini. Menikmati rindu dan ragu dalam waktu yang bersamaan.
            Aku melewati lorong itu. Cahaya temaran menggelitik mataku untuk tetap terjaga. Aku tidak ingin lelaki itu menghadangku lagi, dan mencegahku menemui Tere. Meskipun free pass card sudah aku kantungi, tetapi benda kecil itu sama sekali tidak ada gunanya. Setidaknya setelah kejadian malam itu. Dan aku cukup beruntung bisa melewati pintu utama menuju pub terpencil tempat Tere bekerja tanpa harus melewati dua orang lelaki berotot yang selalu siaga di depan pintu. Entah sedang ke mana kedua lelaki sangar yang lebih sering memancing keributan itu.
            “Tere!” Tanpa bisa kutahan, aku meneriakkan namanya diantara hingarnya alunan musik dan kerlip lampu disko aneka warna. Tentu saja tidak akan ada yang mendengar, sekalipun Tere, yang aku sendiri belum yakin berada di sudut mana dan sedang melakukan apa.
            Aku terus mencari Tere dengan menyelinapkan tubuhku diantara tubuh orang-orang yang menggeliat mengikuti gerak musik. Dan sejurus kemudian, mataku tak mampu berkedip begitu menyaksikan apa yang ada di hadapanku. Tere. Dan Phaton!
            Aku beringsut mundur dan membiarkan mata ini melihat sendiri bagaimana wanita yang selama ini selalu mengganggu malamku dengan desah suara dan kedip menggodanya itu sebenarnya tidak memperlakukanku secara istimewa seperti yang selama ini kuduga. Dari kejauhan aku hanya bisa menyaksikan derai tawa Tere saat Phaton membisikkan sesuatu di telinganya. Aku sama sekali tidak bisa mengingkari kalau  ternyata Tere lebih memilih Phaton daripada aku. Hanya saja aku tidak habis pikir mengapa Tere seolah selalu memberiku sebuah harapan. Seolah ia tidak peduli kalau Phaton itu sahabat dekat aku dari dulu.
            Dari meja lain persis di seberang meja yang Tere dan Phaton tempati, aku masih bisa melihat betapa Tere tampak bahagia saat bersama Phaton. Berbeda sekali kalau ia sedang berdua denganku. Meskipun senyumnya mengembang dan tawa renyah selalu terurai menanggapi kelakarku, tetapi aku tidak pernah melihat tatapan yang sama yang ia lemparkan kepada Phaton. Tatapan penuh cinta yang menjadikan itu sebuah jawaban dari penantianku selama ini.
            “Sendirian?” Lamunanku buyar seketika, saat seorang perempuan menyapaku sambil tanpa sungkan duduk di sebuah kursi kosong di sebelahku.
            Aku mengangguk dan tidak terlalu menghiraukannya. Bukan saat yang tepat kalau perempuan itu berniat mengajakku mengobrol atau melantai. Atau hal lain apapun.
            “Aku tahu, kamu masih menaruh harapan kan sama Tere,” ucapnya seolah sedang berbicara pada segelas minuman berwarna biru di hadapannya. Tapi aku tergoda untuk mendongak saat ia menyebut nama Tere.
            “Hemh, kasihan sekali,” gumamnya dengan seteguk minuman yang belum ditelan di dalam mulutnya.
            “Apa maksudmu?” tanyaku memutar kursi tempatku duduk sehingga kini aku berhadapan dengan perempuan yang sepertinya mengenal Tere dengan baik.
            “Kamu lelaki yang waktu itu membuat kekacauan itu kan?” ia malah balik bertanya.
            “Aku tidak membuat kekacauan. Aku justru korban karena penjaga keamanan di sini menganggapku sebagai pengganggu,” elakku, sambil menyentuh luka lebam di wajahku yang masih belum sembuh benar. Dan ini membuatku teringat kembali kejadian malam itu. Kejadian terbodoh yang pernah aku alami setelah malam ini aku menyadari satu hal: Tere tidak benar-benar menyukaiku.
            Perempuan di sampingku menghembuskan asap rokok yang sedari tadi dihisapnya. “Tere menyukaimu, sama seperti ia menyukai lelaki lainnya. Termasuk Lelaki yang sekarang sedang bersamanya itu.”
            Tidak sulit untuk memercayai omongan setengah ngelantur perempuan ini, mengingat apa yang aku lihat malam ini dan apa yang pernah aku saksikan  sebelum-sebelumnya.
            “Tapi sepertinya mereka saling menyukai,” kilahku pada diri sendiri.
            “Apa arti sebuah cinta di mata seorang Tere. Ia hanya butuh uang dan semua yang ia kejar untuk memenuhi obsesinya. Ia tidak butuh laki-laki, terlebih cinta.”
            Ingin aku menarik ucapan perempuan itu. Tapi untuk apa.
            Aku melirik ke arah Tere. Dan aku masih belum bisa melihat sifat itu dalam dirinya. Aku sudah mengenalnya bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum Phaton kembali dari luar negeri. Aku yang membukakan pintu gerbang kos-kosan saat dulu kami masih kuliah, kalau Tere pulang sangat larut. Aku yang membelanya saat Ibu Kost hendak mengusirnya karena kelakuan Tere yang dinilai kurang pantas. Sampai kami lulus dan menjalani dunia masing-masing, aku dan Tere selalu berbagi banyak hal: sedih, gembira, lapar dan dingin. Tapi malam ini aku baru sadar, kalau Tere tidak pernah berbagi satu hal denganku. Cinta.
            Kembali kualihkan pandanganku pada perempuan yang duduk di sampingku ini, tetapi ia malah berlalu dan menghampiri Tere. Tere melemparkan pandangannya ke arahku sesaat setelah perempuan itu berbicara dengannya. Ia pun bangkit dan berjalan ke arahku.
            “Hai, Kris,” Tere mencium pipiku seperti biasa dan mengajakku bergabung dengan Phaton.
        Phaton tampak gelisah mendapati diriku berada di tengah-tengah mereka. Sesekali ia melempar senyum kaku dan guyonan lama kami yang seharusnya memancingku tertawa. Tapi Tere segera mengambil alih pembicaraan dan mencairkan suasana asing yang tidak pernah aku, ataupun Phaton alami sebelumnya.
            “Sepertinya kalian baru jadian. Selamat, ya,” ucapku berharap tidak salah bicara.
            Tere malah tersenyum ringan. “Siapa yang jadian? Nih, teman kamu, sepertinya ngebet minta kawin, ha ha ha..” lalu berderai tawanya. Tawa yang sama, seperti yang tadi kulihat. Kalau saja lampu di ruangan ini  benderang, aku yakin bisa melihat muka Phaton memerah.
            Mungkin benar apa yang dikatakan perempuan itu : Tere tidak membutuhkan siapapun. Terlebih cinta.

-o0o-
           

               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar