Rabu, 21 Maret 2012

G R E Y



GREY

            Lelaki paruh baya itu terkulai tak berdaya di atas dipan kayu, sebuah rumah petak yang ia sewa bersama anaknya. Kanker sumsum tulang belakang sudah membuat tubuhnya lumpuh sejak dua tahun silam.  Ia sama sekali tak bisa melakukan apapun sendirian.
            Senja itu, dipan tempat lelaki malang itu merebahkan tubuh ringkihnya berderak. Sedikit saja tubuhnya bergerak, ranjang tua itu selalu mengeluarkan suara bersamaan dengan rintih sakit yang tak lagi pernah keluar dari mulutnya. Rintih pilu berupa desis tertahan karena lelah telah menyedot semua energinya. Bahkan energi untuk sekedar mengeluh pun telah sirna.
-o0o-
            Seorang gadis langsing dengan blouse biru bercorak bunga dan rok pendek hitam berlari kecil agar ia bisa masuk ke dalam lift yang beberapa saat lalu terbuka. Seorang pria sengaja menahan tombol open saat ia melihat gadis tergopoh-gopoh menuju pintu lift. Sebuah anggukan kecil sebagai ucapan terima kasih dan senyum secerah jingga di ufuk barat menebar dari bibir sensual gadis itu.
            Lalu waktu ditelan sunyi. Hanya denting suara pintu lift yang terbuka di setiap lantai, dan sesekali dehaman orang yang keluar dari dalam lift atau derap sepatu orang lain yang terburu-buru masuk.
            Di lantai tujuh pintu lift kembali terbuka. Gadis berambut dark brown sebahu itu keluar sambil menjulurkan lehernya, seolah sedang mencari sesuatu atau seseorang yang seharusnya sudah ada di lantai tempat ia bekerja di gedung megah ini. Gedung bertingkat delapan dengan berbagai macam fasilitas umum yang tidak pernah sepi pengunjung. Selain hotel, mall, salon, gym, juga ada spa yang selama ini menjadi tempat gadis itu bekerja.
            Tapi gadis itu tidak sedang menunggu atau mencari siapapun. Ia hanya memastikan dirinya siap menjadi seseorang yang berbeda. Tanpa ada orang lain yang mengenali dirinya.
-o0o-
            Aku tak ingin menjadi beban dan terus menerus merepotkan anakku, pikir lelaki itu sambil mencengkeram kain sprei yang menutupi kasur kapuknya. Dengan sisa tenaga yang ada ia berhasil meraih ujung ranjang kayu tempatnya terbaring, untuk mengambil gelas yang berisi air putih di tepi meja. Gelas itu sengaja disimpan oleh anaknya di tepi meja, supaya lelaki itu bisa menjangkaunya dengan mudah. Tetapi mungkin ia lupa, bahwa setiap hari kekuatan sang ayah semakin berkurang sehingga jangankan untuk meraih gelas itu, untuk menggeser posisi tidurnya barang sesenti saja sudah sangat menyiksa.
            Ujung jari kurus lelaki tua itu hanya mampu menggeser gelas kaca itu semakin ke tepi. Dan berhasil membuatnya pecah dalam hitungan detik. Desah lelah menguap penuh amarah. Amarah yang tidak bisa ia luapkan dalam bentuk teriakan seperti kala ia gagah dan kuat dulu. Setitik air menetes dari mata kelabunya, menyesali setiap kebodohan yang dulu pernah ia lakukan. Rambut putih yang melintang di atas bibirnya bergetar, menahan sakit yang teramat setiap kali ia berusaha menggeser tubuhnya. Bulir bening itu mengalir deras melewati cekung pipi keringnya.
-o0o-
            Gadis itu tersenyum. Senyum manja yang selalu ia sebar agar para tamunya betah mendapat pelayanan terbaiknya.
            “Setelah ini biasa ya, Grey,” pinta sang tamu genit.
            Gadis yang dipanggil Grey itu kembali melengkungkan bibir bergaris merah mawarnya.
            Dan sang tamu, lelaki bertubuh tambun dengan kepala agak botak itu menangkap isyarat menggembirakan. Arnold, biasa ia disapa adalah pelanggan setia spa khusus pria yang selalu minta dilayani extra oleh Grey. Hanya oleh Grey.
            Grey kembali menarikan jari-jari lentiknya ke sekujur tubuh Arnold. Menyapukan nyanyian pilu dalam hati, dan melantunkannya berupa tembang riang pembangkit syahwat setiap lelaki yang  ia biarkan menjamah lekuk tubuh sintalnya. Pun lelaki itu, yang meskipun terkadang Grey merasa risih melayani kehendaknya -karena tampak lelaki itu seumur dengan ayahnya-, Grey tidak pernah sekalipun mengecewakannya.
            Arnold menggeliat. Pikirannya menembus ke alam khayalnya yang paling absurd. Matanya mengerjap seolah ia tengah menyelami lautan kapas yang lembut dengan aroma lavender yang menyejukkan. Lelaki itu mendesah setelah semua resah lenyap tersapu jemari Grey. Desah yang tidak pernah ia lenguhkan dalam hidupnya. Di kantor, di rumah, di jalan, atau di manapun. Ia hanya ingin Grey. Dan demi sebuah desahan akhir, ia rela menguras semua isi dompetnya.
            Grey pun rela. Ia rela menggadaikan semua rasa malu dan takut yang mendera setiap saat dalam hidupnya. Demi satu hal. Sebuah hidup yang memang harus ditebus dengan menggadaikan semua yang dimiliki. Hidupnya dan hidup ayahnya yang mungkin sedang berhitung mundur.
-o0o-
            Darah mengucur kental dari rongga hidungnya. Tenaganya sudah terkuras hanya untuk bertahan supaya tidak jatuh dari ranjang kayunya. Tetapi usahanya sia-sia. Ia terjerembab dan menjerit kesakitan di lantai.
            Grey, mungkin ini waktu ayah. Tidak bisakah kau temani ayah pada detik-detik terakhir ini? Batinnya merintih, memanggil anak gadisnya yang belum kembali. Jam dinding berdentang tiga kali mengiris hati lelaki yang tengah menahan perihnya hidup ini. Ia hanya berharap jam itu berhenti berputar sampai Grey kembali dan menyaksikan raganya melayang dalam damai.
-o0o-
Pukul tiga lewat sepuluh dini hari. Grey sedang membersihkan tubuhnya di bawah shower yang menggantung di pucuk dinding di atas kepalanya. Air bening yang hangat, Grey harap bisa menghanyutkan semua kotor dan nista yang melekat di tubuhnya. Air bening yang hangat, juga menetes dari kelopak matanya yang putus asa.           
            Grey bahkan tidak bisa menahan isak yang menyesakkan dadanya. Pergolakan batin akut sudah tak sanggup ia kendalikan. Ia tak ingin mengecewakan ayahnya karena telah menukar masa depannya dengan semua yang ia jalani saat ini. Tetapi ia juga tidak ingin merenggut hidup ayahnya yang terlalu berharga untuknya dengan hanya diam dan tidak melakukan apapun.  Grey butuh pekerjaan ini. Grey butuh bukan hanya untuk hidupnya, tetapi juga untuk mengulur waktu ayahnya yang entah sampai kapan mampu bertahan.
            Grey mematikan shower dan bergegas mengeringkan tubuhnya. Ia sudah harus berada di rumah sebelum ayahnya terjaga. Ia harus segera mempersiapkan diri untuk mengantarkan ayahnya menjalani kemoterapi yang sudah sebulan ini tidak dilakukan.
            Setelah memastikan uang untuk biaya kemoterapi ayahnya yang selama ini ia kumpulkan cukup, Grey meninggalkan gedung itu dan melenggang menuju rumah petaknya dengan seulas senyum dan harapan besar.
-o0o-
            Lelaki itu telah dimandikan. Dikafani. Disalatkan. Dan akan segera dikebumikan.
            Grey tidak berhenti mengusap hidungnya yang memerah. Rinai tangis terus berjatuhan. Kesedihan bukan lagi miliknya. Tetapi rasa sesal dan kehilangan yang teramat pedih tidak mampu Grey redam. Mestinya malam itu aku sudah kembali. Mestinya aku ada di samping ayah dan menemaninya. Mestinya aku mampu membawa ayah melakukan kemoterapi setiap minggu. Mestinya …..
            “Tuhan telah membimbing hambanya untuk menjalani apa yang seharusnya ia jalani. Tuhan telah menunjukkan jalan itu, dan manusia hanya bisa melaluinya ketika Tuhan sendiri mengizinkannya,” kalimat itu ibarat doa yang menyejukkan hati Grey.

            Ayahnya  telah pulang kini. Ia kembali ke pangkuan Tuhannya. Mengapa Grey harus merasa bersalah saat Tuhan menjemputnya?
            Air mata terakhir menetes di pipi Grey saat liang lahat ayahnya sempurna tertutup tanah. Ia menatap gundukan tanah merah bertabur bunga itu sambil tersenyum. Senyum menghantar ayahnya yang kini tenang dan bahagia dalam peluk Sang Pencipta.
            Grey tertunduk dalam doa paling khusyu yang ia mampu panjatkan kepada Tuhan.
-o0o-
Seorang lelaki berdiri tidak jauh dari tempat Grey menaburkan bunga terakhir di pusara ayahnya. Lelaki itu menatap Grey dengan kesedihan yang sama dalamnya. Tubuhnya yang bulat tersamarkan oleh balutan jas hitam mahalnya.
            “Saya turut berduka cita ya, Grey,” lelaki itu mengulurkan tangan kanannya, mencoba memberi kekuatan pada anak gadis sahabatnya yang baru saja dimakamkan.
            “Arnold?” Grey setengah tidak yakin melihat lelaki itu berdiri di hadapannya dengan kopiah yang menutupi kepala botaknya.
            Arnold mengangguk dengan senyum yang dipaksakan.

21 Maret 2012
-oOOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar