Minggu, 26 Februari 2012

JANJI ANNISA : #5 Tragedi di Siang Bolong

5
TRAGEDI DI SIANG BOLONG

Siang itu udara sangat cerah. Andrian mengayuh sepedanya dengan cepat. Ia takut teman-temannya kelamaan menunggu di lapangan. Tadi Andrian menyempatkan diri mengerjakan PR sepulang sekolah. Soal-soal matematika itu memang sulitnya bukan main, Andrian sampai harus membuka buku pelajaran kelas empat dan kelas lima untuk mengingat kembali rumus-rumusnya.
Ketika melewati rumah Bu Munir seekor anak anjing menggongong. Anak anjing itu memang selalu menggonggong kalau ada orang yang lewat, terutama orang asing yang belum pernah dilihatnya. Kalau ada Edo pasti anak anjing itu bakalan kena sial. Atau jangan-jangan tadi teman-temannya sudah lewat sini dan melempari anak anjing malang itu. Lihat saja kepalanya yang nyaris pitak padahal luka di kakinya belum juga sembuh. Andrian tidak menghiraukan anak anjing itu. Cukup sudah penderitaannya. Ia tidak mau menambah kesengsaraannya.
Andrian juga berpapasan dengan Ridwan yang sedang berjalan gontai entah mau ke mana. Bahkan ia sempat menegur dan menanyakannya mau pergi ke mana. Ridwan hanya tersenyum dan tidak berminat menjawab pertanyaan Andrian. Andrian pun tidak mnghiraukannya dan ia segera memacu sepedanya menuju lapangan.
Dari jauh sudah terdengar teriakan-teriakan orang yang sedang bermain bola. Over..over… katanya, sepertinya sih suara Doni. Ya…out deh, keluh suara anak perempuan. Andrian yakin itu Mayang. Kemudian dari jarak yang sudah semakin dekat ia bisa melihat keempat temannya sedang melempar bola satu sama lain. Ada Doni dengan kaos merah kesukaannya sedang berusaha menerima overan bola dari Anissa. Edo dengan sepatu bola barunya sedang berjingkat karena berhasil menendang bola yang digawangi Mayang. Mayang masih kelihatan seperti anak perempuan lain yang tidak sedang bermain bola. Dengan celana pendek ketat dan rambutnya yang dikuncir, ia berusaha mempertahankan gawang supaya tidak bisa ditembus oleh tendangan Edo, tetapi kemudian mengeluh lagi karena Edo berhasil membobol pertahanannya.
Berbeda dengan ketiga temannya, Anissa kelihatan tidak bersemangat seperti biasanya. Andrian bisa tahu begitu melihat Anissa yang malas-malasan menangkap bola yang ditendang Doni dan membiarkannya lolos dari kakinya. Apakah Anissa masih sakit?
“Hai...” teriak Andrian yang lalu disambut teman-temannya dengan lambaian. Mereka lalu melanjutkan kembali permainan. Kecuali Anissa yang begitu melihat Andrian datang langsung keluar lapangan dan mengambil air minum dari dalam tasnya.
“Kamu masih sakit. Nis?” tanya Andrian.
Anissa menggeleng sambil menenggak minumannya.
“Muka Kamu pucat. Mungkin Kamu kepanasan,” lanjut Andrian
Anissa mengelap keringat yang menetes di keningnya. Lalu ia duduk malas di bawah pohon alpukat. Hawa sejuk seketika menerpa wajah dan tubuh Anissa yang kegerahan. Anissa menikmatinya seperti ia sedang merasakan hawa yang keluar dari dalam lemari esnya yang baru dibuka.
Andrian berlalu meninggalkan Anissa dan menggantikannya bermain dengan Doni. Dari tempatnya duduk, Anissa melihat Andrian bercakap-caap sebentar dengan Doni. Dari gerak tubuhnya Andrian seolah menanyakan hal yang sama dengan yang ia tanyakan ke Anissa tadi. Doni mengangkat bahu. Mungkin ia menjawab tidak tahu. Lalu keduanya sudah asyik bermain lemparan-lemparan bola sebagai pemanasan buat Andrian.
Sebenarnya Anissa masih kesal dengan teman-temannya. Hal ini dikarenakan ketika kemarin Anissa berkeluh kesal mengenai Ridwan kakaknya yang selalu membuatnya sebal, teman-temannya malah membela kakaknya itu. Mereka bilang Ridwan itu kakak yang baik dan pengetrian. Ia sangat sayang kepada adik-adiknya. Padahal Anissa merasa Ridwan sudah tidak sayang lagi pada dirinya.  Saking marahnya, Anissa hampir saja tidak mau menemui teman-temannya lagi. Tetapi karena ia juga tidak betah tinggal di rumah sepulang sekolah, ia pun kembali menemui teman-temannya untuk bermain bersama.
Ketika Anissa hendak melanjutkan permainan dan bergabung bersama teman-temannya, ia melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya. Teryata dia adalah Ridwan, kakaknya. Anissa urung berjalan menuju lapangan. Ia malah menghindari Ridwan pergi meninggalkan lapangan dan teman-temannya yang sedang bermain.
“Nis, mau ke mana?” teriak Doni begitu melihat Anissa tergesa-gesa.
Anissa tidak menghiraukan Doni dan yang lainnya. Ia berlalri demi menjauh dari Ridwan. Mau apa lagi kakaknya itu. Apakah ia belum puas memarahiku, makanya sekarang Ridwan malah menyusul ke lapangan, pikir Anissa.
“Nis, tunggu,” panggil Ridwan seraya mempercepat langkahnya. Anissa malah semakin cepat menjauh dari Ridwan. Ia berlari menuju jalan besar yang memisahkan lapangan sepak bola itu dengan pesawahan desa sebelah.
Anissa bahkan tidak menengok ke kiri dan kanan jalan. Pandangannya lurus ingin menyeberangi jalan beraspal itu supaya bisa lari di pematang sawah dan menghilang dari pandangan Ridwan. Ia tidak mau menemui kakaknya itu. Ia benci dengan sikap kakaknya itu. Cukup sudah rasa sakit yang ia alami tadi siang.
Melihat Anissa yang mulai berlari, Ridwan menjadi panik. Bagaimana tidak, dari jarak jauh ia melihat sebuah sepeda motor sedang melaju kencang di jalan desa itu, sedangkan Anissa tanpa memperhatikan sepeda motor itu terus saja berlari menuju jalan yang dilalui sepeda motor itu.
“Nissa, awas….. “ dengan sekuat tenaga Ridwan berlari dan terpaksa mendorong tubuh Anissa yang hampir saja ditabrak sepeda motor yang sedang ngebut itu. Anissa terpelanting ke sisi jalan dan jatuh di tanah lembab, sedangkan Ridwan terserempet sepeda motor itu yang kemudian oleng dan jatuh. Ridwan terlempar hampir tiga meter jauhnya dan jatuh di jalan aspal dengan suara gedebug seperti suara ban pecah.
Doni, Edo, Andrian dan Mayang berlarian menuju arah suara itu. Mereka khawatir dengan apa yang mungkin menimpa kedua kakak beradik itu. Mayang menjerit melihat ternyata dugaannya benar. Ridwan terkapar di bahu jalan dengan darah merembes dari keningnya. Anissa meringis menahan sakit di sikut dan kakinya. Untung ia terjatuh di tanah yang lembab sehingga terhindar dari benturan dengan batu ataupun aspal.
Mayang menghambur ke arah Anissa dan membantunya berdiri. Sedangkan Edo, Doni dan Andrian segera memindahkan tubuh Ridwan ke sisi jalan sambil berteriak minta tolong. Samar-samar Ridwan melihat ketiga teman Anissa membantunya berdiri dan dari jarak beberapa meter pengendara motor itu mulai berusaha menyalakan mesin motornya dan lalu pergi begitu saja. Setelah itu pandangan Ridwan menjadi kabur dan ia tidak sadarkan diri.
Beruntung sebuah mobil pick up melintas di depan mereka. Doni menyetop mobil itu dan meminta tolong untuk mengantarkan Ridwan dan Anissa ke puskesmas. Pengemudi mobil itu kebetulan mengenal Ridwan dan anak-anak itu. Pak Hamid namanya. Ia adalah salah seorang pegawai kelurahan yang juga kenal baik dengan ayahnya Ridwan. Pak Hamid segera membawa masuk Ridwan ke dalam mobil. Anissa juga dituntun untuk naik dan duduk di kursi penumpang di samping sopir. Ia menangis melihat kondisi Ridwan yang sangat mengkhawatirkan.
*
            Puskesmas ternyata tidak sanggup menangani pasien korban kecelakaan. Apalagi melihat kondisi Ridwan yang sudah mengeluarkan banyak darah, dan fasilitas di puskesmas yang kurang memadai. Pihak puskesmas pun segera merujuk Ridwan untuk dibawa ke rumah sakit. Sedangkan Anissa setelah mendapat pertolongan pertama dan dinyatakan sebagai cedera ringan, diperbolehkan pulang atau mengantar Ridwan ke rumah sakit.
            Di tengah perjalanan, tak henti-hentinya Anissa menangis. Ia sangat menyesal dengan apa yang sudah ia lakukan tadi. Kecelakaan itu mungkin tidak akan pernah terjadi kalau saja Anissa tidak lari dan menghindari kakaknya. Ya Allah, selamatkanlah kakaku..... doa Anissa berulang-ulang disela isaknya.
            Dalam hati Anissa berjanji akan merawat kakaknya sampai sembuh dan meminta maaf atas semua kesalahannya. Mungkin kakaknya, juga ayah dan ibunya akan sangat marah, tapi Anissa akan berusaha menebus semua kesalahannya dengan menjadi anak yang baik dan penurut. Anissa berjanji.
            Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya kendaraan pick up Pak Hamid tiba juga di sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah. Ridwan dimasukkan ke ruang ICU karena belum juga sadarkan diri. Dokter dan para perawat sibuk membantu memasang alat bantu pernapasan, selang inpus dan sebagainya.
            Anissa hanya bisa memandang kakaknya melalui kaca pintu yang ukurannya sangat kecil. Hatinya sangat sedih dan merasa bersalah atas kejadian ini. Ayah dan Ibu pasti sangat marah dan merasa terpukul melihat anak sulungnya terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma. Mereka juga pasti sangat marah pada Anissa. Setetes air mata bergulir melewati lekuk pipi Anissa, berhenti sejenak di celah bibir atasnya, lalu jatuh ke dagu dan menetes ke baju Anissa yang berdarah. Tragedi ini sangat di luar dugaan. Siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Itu semua rahasia Allah. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha menghindari hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Siapa yang lengah dan lalai bisa jadi menanggung akibat buruk yang tidak pernah kita duga sebelumnya.
            Kalau saja waktu bisa diputar kembali Anissa tidak akan pernah pergi waktu Ridwan menghampirinya siang tadi. Ia bahkan ingin sekali meminta maaf dan mengajak kakaknya bermain bersama. Tapi itu tidak mungkin, nasi sudah menjadi bubur. Allah mungkin sedang memberinya peringatan keras karena kelakuannya yang nakal. Tapi ini terlalu berat rasanya. Anissa tidak sanggup menanggung beban seberat ini.
            Di balik semua peristiwa pasti ada hikmahnya. Anissa berusaha memetik hikmah dari kejadian ini. Tapi kesedihan yang sangat dalam membuatnya tidak berpikir jernih. Dalam ketakutan dan rasa malu ia tertidur di bangku panjang tempat para keluarga pasien duduk menunggu sanak keluarga yang akan besuk.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar