Minggu, 12 Februari 2012

JANJI ANNISA : #4 Ridwan Kakak yang Baik

4
RIDWAN, KAKAK YANG BAIK
Beberapa hari setelah Anissa sembuh dari sakitnya, ia mulai masuk sekolah seperti biasa. Dan seperti biasa pula Anissa bermain kembali bersama teman-temannya. Manjat pohon mangga, memancing ikan di kali, bermain bola, dan balap sepeda. Ia tidak menghiraukan nasehat orangtuanya untuk lebih banyak istirahat. Ridwan juga berkali-kali mengingatkan Anissa supaya tidak terlalu sering ke luar rumah dulu. Lebih baik belajar dan mengerjakan PR sekolah.
“Ah, Kak Ridwan bawel kayak ibu,” Anissa melengos dari hadapan Ridwan sambil menenteng ransel berisi kaos dan sepatu bola. Sedangkan di tangannya ia menjinjing sebuah jaring dengan bola sepak berukuran besar di dalamnya. Bola itu merupakan hadiah dari teman-temannya waktu ulang tahunnya beberapa bulan lalu.
“Nissa, Kakak cuma tidak mau Kamu celaka lagi,” Ridwan menarik lengan Anissa, berusaha mencegahnya keluar rumah, atau paling tidak mengajaknya bicara baik-baik.
“Main bola masa celaka sih, Kak. Udah deh, mendingan Kakak lanjutin aja baca bukunya supaya kacamata Kakak tambah tebal,” ledek Anissa.
Ridwan membetulkan letak kacamata barunya. Ia memang terpaksa harus menggunakan kacamata minus setelah minggu lalu diperiksa oleh dokter mata. Ia tidak menyangka kalau penampilan barunya malah menjadi bahan ledekan adiknya. Ridwan sangat kecewa dengan sikap Anissa yang tidak menghargainya sebagai kakak. Ia bahkan menjadi sedih.
“Nissa…,” panggil Ridwan setelah Anissa berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman Ridwan.
Anissa tidak mengindahkan panggilan Ridwan. Ia bersiul senang karena berhasil lolos dari tangan Ridwan yang berusaha menghalangi langkahnya. Ia merasa heran dengan kakaknya, juga keluarganya, kenapa selalu saja melarang Anissa bermain. Main bola tidak baik untuk anak perempuan, main sepeda berbahaya, manjat pohon jangan, semua tidak boleh. Padahal Anissa merasa apa yang ia lakukan biasa-biasa saja. Kalau ia senang main bola memangnya kenapa? Banyak koq pemain bola perempuan. Toh mereka kemudian tidak berubah menjadi laki-laki karena melakukan permainan yang biasa dilakukan laki-laki. Kalau selama ini ia kelihatan tomboy, banyak juga perempuan tomboy yang berhasil, menjadi polwan atau atlet yang berprestasi. Pokoknya tidak ada yang salah dengan dirinya.
*
            Ridwan duduk sendirian di depan teras rumahnya. Ia mencoba merenungkan apa yang sudah ia lakukan untuk adiknya. Ia teringat dengan pesan ibunya untuk selalu menjaga Anissa. Tapi adiknya itu selalu bisa memanfaatkan kelengahan Ridwan. Ridwan nyaris putus asa dan melaporkan hal ini pada kedua orangtuanya. Tapi kemudian dia urung karena tidak mau dianggap sebagai kakak yang tidak bisa menjaga adiknya seperti perintah orangtuanya.
            Lalu apa yang harus Ridwan lakukan sekarang ini. Apakah ia harus terus mengikuti ke mana Anissa pergi supaya bisa tahu apa yang dilakukan Anissa tidak berbahaya. Ataukah mengunci rumah dan mengajak Anissa untuk main ular tangga atau game di komputer. Anissa pasti sudah merasa bosan dengan permainan-permainan itu.
            Dalam lamunannya Ridwan jadi teringat waktu ia dan Anissa masih kecil dan belum sekolah. Mereka diajak tamsya ke dunia fantasi. Waktu itu Nafissa belum lahir jadi Anissa lebih banyak digendong. Walaupun begitu Anissa selalu berontak dan ingin jalan sendiri. Ia malah merengek ingin naik halilintar dan permainan-permainan orang dewasa. Ayah meredakan tangis Anissa dengan membawanya masuk ke istana boneka. Di dalam wahana ini Anissa masih saja menangis dan tidak menikmati sama sekali pemandangan boneka aneka rupa yang menari-nari lincah.
            Anissa bukan tipe anak yang menyukai sesuatu yang diam. Kata dokter anak yang pernah Ridwan lihat di televisi memang ada banyak anak yang memiliki kelebihan energi sehingga ia selalu ingin melakukan permainan-permainan yang menguras keringat dan banyak mengeluarkan tenaga. Bahkan ada juga anak yang hiperaktif. Mungkin Anissa termasuk anak yang dimaksud dokter itu. Waktu kecil Anissa memang senang sekali melompat-lompat dari atas kursi, naik lagi, melompat lagi. Ia pernah terjatuh dario pintu pagar halaman rumah, tetapi ia tidak pernah kapok dan masih saja melakukan hal yang sama.
            Ketika masuk SD, Anissa semakin jarang ada di rumah. Sepulang sekolah ia langsung menuju lapangan sepakbola tempat anak-anak melakukan latihan untuk persiapan acara pertandingan antar desa. Kadang Anissa berkumpul dengan teman-teman sebayanya yang juga tidak suka tinggal di rumah, main kejar-kejaran, balapan sepeda, tinggi-tinggian naik pohon yang ada di sekitar lapangan atau danau rawa. Ia juga tidak takut naik rakit dan menyeberangi rawa-rawa untuk mencari lintah.
            Sejak kenal dengan Edo dan teman-temannya yang sekarang, selain lebih sering bermain, Anissa juga jadi suka melawan dan membantah. Ibu selalu menasehati supaya Anissa tidak bersifat seperti itu. Ayah bahkan sering marah dan menghukumnya. Tapi Anissa semakin menjadi-jadi. Kekesalan Anissa malah disalurkan dengan berbuat jahil kepada teman-teman ataupun anak-anak tetangga yang pendiam. Pernah suatu waktu setelah dimarahi ayah, Anissa pergi dari rumah dan melempari anak-anak yang sedang main kelereng dengan kelereng yang ia bawa dari rumah. Sudah beberapa kali pula ibu minta maaf atas kelakuan Anissa kepada tetangga yang dijahilinya. Dan ayah sudah lebih dari tiga kali mengganti kaca jendela tetangga yang pecah trkena bola tenis Anissa.
            Ibu kadang membanding-bandingkan Anissa dengan Ridwan yang walaupun anak laki-laki tetapi tidak sebandel dirinya. Dan hal ini malah membuat Anissa berpikir bahwa ayah dan ibunya pilih kasih. Anissa merasa dirinya dianggap sebagai anak tiri sedangkan kakaknya adalah anak emas. Ridwan jadi merasa tidak enak dengan sikap Anissa seperti itu. Padahal sebagai kakak, Ridwan hanya memberi contoh untuk selalu berbuat baik di mata adik-adiknya.
*

Lihat Cerita sebelumnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar