4
RIDWAN, KAKAK YANG BAIK
Beberapa
hari setelah Anissa sembuh dari sakitnya, ia mulai masuk sekolah seperti biasa.
Dan seperti biasa pula Anissa bermain kembali bersama teman-temannya. Manjat
pohon mangga, memancing ikan di kali, bermain bola, dan balap sepeda. Ia tidak
menghiraukan nasehat orangtuanya untuk lebih banyak istirahat. Ridwan juga
berkali-kali mengingatkan Anissa supaya tidak terlalu sering ke luar rumah
dulu. Lebih baik belajar dan mengerjakan PR sekolah.
“Ah, Kak Ridwan bawel kayak ibu,” Anissa
melengos dari hadapan Ridwan sambil menenteng ransel berisi kaos dan sepatu
bola. Sedangkan di tangannya ia menjinjing sebuah jaring dengan bola
sepak berukuran besar di dalamnya. Bola itu merupakan hadiah dari
teman-temannya waktu ulang tahunnya beberapa bulan lalu.
“Nissa,
Kakak cuma tidak mau Kamu celaka lagi,” Ridwan menarik lengan Anissa, berusaha
mencegahnya keluar rumah, atau paling tidak mengajaknya bicara baik-baik.
“Main
bola masa celaka sih, Kak. Udah deh, mendingan Kakak lanjutin aja baca bukunya
supaya kacamata Kakak tambah tebal,” ledek Anissa.
Ridwan
membetulkan letak kacamata barunya. Ia memang terpaksa harus menggunakan
kacamata minus setelah minggu lalu diperiksa oleh dokter mata. Ia tidak
menyangka kalau penampilan barunya malah menjadi bahan ledekan adiknya. Ridwan
sangat kecewa dengan sikap Anissa yang tidak menghargainya sebagai kakak. Ia
bahkan menjadi sedih.
“Nissa…,”
panggil Ridwan setelah Anissa berhasil melepaskan tangannya dari cengkeraman
Ridwan.
Anissa
tidak mengindahkan panggilan Ridwan. Ia bersiul senang karena berhasil lolos dari tangan Ridwan yang berusaha
menghalangi langkahnya. Ia merasa heran dengan kakaknya, juga keluarganya,
kenapa selalu saja melarang Anissa bermain. Main bola tidak baik untuk anak
perempuan, main sepeda berbahaya, manjat pohon jangan, semua tidak boleh.
Padahal Anissa merasa apa yang ia lakukan biasa-biasa saja. Kalau ia
senang main bola memangnya kenapa? Banyak koq pemain bola perempuan. Toh mereka
kemudian tidak berubah menjadi laki-laki karena melakukan permainan yang biasa
dilakukan laki-laki. Kalau selama
ini ia kelihatan tomboy, banyak juga perempuan tomboy yang berhasil, menjadi
polwan atau atlet yang berprestasi. Pokoknya tidak ada yang salah dengan
dirinya.
*
Ridwan duduk sendirian di depan
teras rumahnya. Ia mencoba merenungkan apa yang sudah ia lakukan untuk adiknya.
Ia teringat dengan pesan ibunya
untuk selalu menjaga Anissa. Tapi adiknya itu selalu bisa memanfaatkan
kelengahan Ridwan. Ridwan nyaris putus asa dan melaporkan hal ini pada kedua
orangtuanya. Tapi kemudian dia urung karena tidak mau dianggap sebagai kakak
yang tidak bisa menjaga adiknya seperti perintah orangtuanya.
Lalu
apa yang harus Ridwan lakukan sekarang ini. Apakah ia harus terus mengikuti ke
mana Anissa pergi supaya bisa tahu apa yang dilakukan Anissa tidak berbahaya.
Ataukah mengunci rumah dan mengajak Anissa untuk main ular tangga atau game di
komputer. Anissa pasti sudah merasa bosan dengan permainan-permainan itu.
Dalam lamunannya Ridwan jadi
teringat waktu ia dan Anissa masih kecil dan belum sekolah. Mereka diajak tamsya ke dunia fantasi. Waktu itu
Nafissa belum lahir jadi Anissa lebih banyak digendong. Walaupun begitu Anissa
selalu berontak dan ingin jalan sendiri. Ia malah merengek ingin naik
halilintar dan permainan-permainan orang dewasa. Ayah meredakan tangis Anissa
dengan membawanya masuk ke istana boneka. Di dalam wahana ini Anissa masih saja
menangis dan tidak menikmati sama sekali pemandangan boneka aneka rupa yang
menari-nari lincah.
Anissa
bukan tipe anak yang menyukai sesuatu yang diam. Kata dokter anak yang pernah
Ridwan lihat di televisi memang ada banyak anak yang memiliki kelebihan energi
sehingga ia selalu ingin melakukan permainan-permainan yang menguras keringat
dan banyak mengeluarkan tenaga. Bahkan ada juga anak yang hiperaktif. Mungkin
Anissa termasuk anak yang dimaksud dokter itu. Waktu kecil Anissa memang senang
sekali melompat-lompat dari atas kursi, naik lagi, melompat lagi. Ia pernah
terjatuh dario pintu pagar halaman rumah, tetapi ia tidak pernah kapok dan
masih saja melakukan hal yang sama.
Ketika
masuk SD, Anissa semakin jarang ada di rumah. Sepulang sekolah ia langsung
menuju lapangan sepakbola tempat anak-anak melakukan latihan untuk persiapan
acara pertandingan antar desa. Kadang Anissa berkumpul dengan teman-teman
sebayanya yang juga tidak suka tinggal di rumah, main kejar-kejaran, balapan
sepeda, tinggi-tinggian naik pohon yang ada di sekitar lapangan atau danau
rawa. Ia juga tidak takut naik rakit dan menyeberangi rawa-rawa untuk mencari
lintah.
Sejak kenal dengan Edo
dan teman-temannya yang sekarang, selain lebih sering bermain, Anissa juga jadi
suka melawan dan membantah. Ibu selalu menasehati supaya Anissa tidak bersifat
seperti itu. Ayah bahkan sering marah dan menghukumnya. Tapi Anissa semakin
menjadi-jadi. Kekesalan Anissa malah disalurkan dengan berbuat jahil kepada
teman-teman ataupun anak-anak tetangga yang pendiam. Pernah suatu waktu setelah
dimarahi ayah, Anissa pergi dari rumah dan melempari anak-anak yang sedang main
kelereng dengan kelereng yang ia bawa dari rumah. Sudah beberapa kali pula ibu minta maaf atas
kelakuan Anissa kepada tetangga yang dijahilinya. Dan ayah sudah lebih dari
tiga kali mengganti kaca jendela tetangga yang pecah trkena bola tenis Anissa.
Ibu
kadang membanding-bandingkan Anissa dengan Ridwan yang walaupun anak laki-laki
tetapi tidak sebandel dirinya. Dan hal
ini malah membuat Anissa berpikir bahwa ayah dan ibunya pilih kasih. Anissa
merasa dirinya dianggap sebagai anak tiri sedangkan kakaknya adalah anak emas. Ridwan
jadi merasa tidak enak dengan sikap Anissa seperti itu. Padahal sebagai kakak,
Ridwan hanya memberi contoh untuk selalu berbuat baik di mata adik-adiknya.
Lihat Cerita sebelumnya :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar