Rabu, 01 Februari 2012

Flash Fiction : Aroma Cinta di Ujung Senja


AROMA CINTA DI UJUNG SENJA
Kamiluddin Azis


Rumah itu masih seperti  lima tahun yang lalu saat aku pergi. Wangi jamu menyeruak di hampir setiap sudut ruangan.  Aku sudah terbiasa mencium bau aneh itu sejak kecil. Dan tidak pernah sekalipun celoteh protesku mengubah itu.  Sampai ketika aku harus berangkat menginggalkan tanah air, wangi-wangian itu ikut dan menempel  kuat dalam ingatanku. Hidupku seperti sudah terikat mati, tidak akan pernah lepas dengan baunya. Dan aku tidak lagi bisa menolaknya.
                Tentu saja selain Ayah,Iibu dan Mamaku, rasa rindu terhadap rumah dan- kembali- wangi jamu itu yang menggiringku pulang.  Harmoni itu : Wangi jamu yang selaras dengan gerak lambat kehidupan di rumah ini. Lima tahun di negeri orang, dan kini aku pulang dengan masih membawa tanya yang belum terjawab.
                Akankah hari ini tiba semua jawaban itu.
                “Apa bedanya kalau kamu tahu siapa diantara kami ini yang melahirkanmu?” Itu bukan jawaban. Tetapi kenapa selalu pertanyaan balik itu yang terucap setiap kali aku bertanya.
                Aku lahir dari rahim seorang perempuan. Itu pasti. Tapi aku dirawat dan dibesarkan oleh dua orang perempuan yang sama-sama mencintaiku : Ibu dan Mama. Salah seorang dari mereka adalah ibu biologisku, yang di dalam rahimnya aku tumbuh selama lebih dari tiga puluh enam minggu. Tapi keduanya menolak memberi tahuku di rahim siapa aku dikandung.
                Tidak juga dengan Ayah. Dialah lelaki satu-satunya yang ada diantara 3 perempuan di rumah ini. Dialah yang menebar cinta dan menanamnya begitu dalam hingga tumbuh dan merekah setiap hari di hati kami. Dia yang tidak pernah mengeluh  kenapa aku terus mempertanyakan hal serupa setiap waktu. Dia yang tidak pernah sekalipun berbuat kasar di depan mataku atau di belakangku. Dia yang menjaga dan melindungi kami, ketiga perempuan yang disebutnya sebagai three angles. Dialah lelaki yang pandai menyimpan rapat rahasia besar yang mungkin belum saatnya dibagi denganku.
                Tapi kini aku sudah besar. Dua puluh dua tahun usiaku. Dan gelar dokter  sudah menempel cantik di depan namaku. Kendati sudah tidak penting lagi mengajukan pertanyaan itu, aku tetap saja terusik.  Mendapat jawaban yang pasti tidak akan mengubah apapun, selain menciptakan perasaan tenang di hatiku.
                Kenapa harus menunggu begitu lama untuk mengetahui kebenaran itu? Atau jangan-jangan aku bukan anak dari Ibu atau Mama? Bukan pula anak Ayah?              
                Please, Ayah. Ayah kan sudah janji,” aku mengingatkan ayah dengan nada mengiba.
                Lalu kebenaran pun terungkap.

                Mama adalah perempuan pertama yang dinikahi Ayah selama empat tahun sebelum ia memutuskan  untuk menikahi Ibu karena Mama tidak kunjung memberikan keturunan. Pernikahan ayah dan Ibu diatur sedemikian rupa oleh Mama. Ibu adalah perempuan terbaik pilihan Mama untuk mendampingi Ayah.
                “Mama ingin memiliki seorang anak. Darah daging dari lelaki yang mama cintai. Walaupun itu tidak lahir dari rahim mama, tapi mama ingin anak itu lahir dari sebuah rasa cinta,” Mama membuka lembaran kisah yang sudah lama ia simpan.
                “Mama meminta ayahmu menikahi ibumu, dan mencintainya seperti ia juga mencintai mama. Mama rela, asalkan ia mau berbagi cinta dengan mama. Berbagi kasih sayang untuk anaknya dengan mama. Dan mama mendapatkan rasa cinta kamu sebagaimana seorang ibu merasakan cinta dari anaknya.”
                Aku melepas lipatan tanganku dan menggenggam tangan Mama. Memberinya kekuatan yang aku sendiri tidak tahu apakah ada gunanya. Sementara aku masih haus akan jawaban.
                Ibu berdiri di belakangku dengan mata berkaca-kaca. Tangannya menyentuh pundakku. Ia hendak berbicara kalau saja Mama tidak segera kembali bicara.
                “Pada mulanya ayahmu menolak. Mama tahu ia adalah lelaki setia . Ia rela menghabiskan hari dengan mama walaupun tanpa kehadiran buah hati. Begitupun dengan ibumu. Meskipun mama tahu masih ada perasaan cinta di hati ibumu yang sebelumnya sempat terenggut oleh kehadiran mama, tapi ibumu menolak untuk dinikahi ayahmu.”
                Aku beralih menatap mata Ibu seolah menunggu apa yang akan ia sampaikan.
                “Mamamu adalah sahabat terbaik yang pernah ibu miliki. Ia rela mengorbankan perasaannya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Begitu tahu betapa besarnya harapan mama untuk memiliki anak sementara ia tidak mampu, ibu tidak keberatan berbagi dengannya.” Lembut jemari Ibu mengusap kepalaku. Ketenangan menyelimuti hatiku. Puzzle-puzzle itu sepertinya akan segera membentuk sesuatu. Sebuah gambaran yang utuh tentang siapa ibuku ini sebenarnya.
                “Lalu kami bertiga sepakat untuk tidak memberitahumu semuanya. Walaupun kamu mendapatkan asi dari ibumu, tetapi mamamu turut merawatmu, sama repotnya seperti ibumu. Kadang ayah merasa lucu melihat tingkah kedua istri ayah ini,” timpal ayah sembari mengumbar seulas senyum, dan berharap dengan senyum itu ia bisa menyembunyikan gundah  di hatinya.
                Sekarang Mama terkulai tak berdaya. Mama divonis tidak bisa memiliki anak setelah berkali-kali keguguran. Dan semua itu terjadi karena di rahim Mama bersarang kanker yang setiap waktu tumbuh tanpa bisa dikendalikan. Aku baru sadar, wangi itu bukan sekedar jamu kesehatan seperti selalu ibuku bilang, bukan pula pengharum ruangan atau pengusir bau-bauan lainnya yang tidak disukai binatang pengganggu seperti yang selalu ayah utarakan. Tetapi adalah ramuan obat untuk mencegah kanker Mama tumbuh semakin ganas. Bahkan setelah rahim Mama diangkat beberapa tahun silam, Mama masih harus terus menjalani berbagai terapi, termasuk terapi secara tradisional, agar kesehatannya kembali pulih.
                Kini cinta ketiga orang tuaku satu sama lain sudah terjalin puluhan tahun. Di ujung senja usia mereka cinta itu masih terikat erat. Aku sangat bangga dan bahagia bisa memiliki orang tua yang tiada henti mengalirkan cinta dan memberikan kehangatan dalam hidupku. Betul kata Mama, tidak akan ada bedanya jika kemudian aku tahu siapa ibu kandungku sebenarnya. Tetapi tentu saja mengetahui sebuah kenyataan pasti akan jauh lebih baik daripada menerka-nerka sesuatu secara tidak pasti.
                Harmoni cinta kami begitu indah. Irama hati dan jiwa kami menyatu selamanya. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar