Minggu, 08 April 2012

[HOLIDAY WRITING CHALLENGE] Pindahkan Genrenya!

Dialog diambil dari Novel Miss Pikun-susah inget gampang lupa! (Jumanta) halaman 84-85

KEMATIAN MR. CARLOS

Zastan menarik lengan Kun, menjauh dari kerumunan orang-orang yang mengelilingi mayat Mr. Carlos, pengganti Hamada san, yang mengajar ilmu darkness speed jump. Lelaki tua itu akhirnya meninggal setelah bertarung dengan lima orang pria yang menyerangnya bertubi-tubi. Christoper mengikuti mereka dengan tetap waspada.
                “Bu Eisye itu siapa?” tanya Zastan setelah mendengar desas-desus keterlibatan perempuan yang biasa dipanggil Bu Eisye itu.
                “Dia sekretaris pribadi almarhum papi. Menurut testament papi, gue harus nurut sama dia. Padahal ngelihat dia aja gue sudah ngeri. Apalagi mesti diajarin kerjaan sama dia.” Kun melenguh, membuang ribuan partikel kesal yang mengganjal di dadanya.
                “Emangnya dia kenapa?” timpal Christoper.
                “Orangnya aneh. Jutek lagi. Dari dulu, gue emang udah males gitu sama dia. Tapi  gue gak bisa nolak.”
                Kun membayangkan kalau Bu Eisye akan mengajarinya berbagai ilmu terlarang sekaligus sebuah pekerjaan yang ditugaskan pihak sekolah, ia akan menjadi seorang remaja terbelakang yang akan menghabiskan waktu liburan di laboratorium yang penuh dengan bahan-bahan kimia berbahaya.
                Zastan, Kun dan Christoper akhirnya menemukan sebuah tempat persembunyian. Sebuah lorong gelap di bawah gedung katedral tua tidak jauh dari lapangan sekolah. Mereka yakin kelima pria itu akan mencari siapa saja murid-murid hebat andalan sekolah ini. Murid-murid yang menerima warisan ilmu-ilmu sihir yang tidak diajarkan di sekolah sihir lainnya. Zastan Fauzi, Kuncoro, Arimana Notonegoro, Hans Christoper juga Yamato Origawa. Kelima siswa dari berbeda negara ini adalah kekuatan sekolah yang memiliki bakat alami sejak lahir. Mereka mampu menerima ilmu yang diberikan hanya dalam beberapa menit, dan bisa menciptakan ilmu baru dari penggabungan kekuatan sihir mereka.
                “Terus nanti caranya gimana?” bisik Zastan penasaran. Dari kejauhan Ia menatap ke arah lapangan tempat jenasah Mr. Carlos sedang dibawa melalui sebuah ambulance.  Siswa-siswa mulai menyingkir dan ketakutan.
                “Kayaknya sih gue bakalan ngantor gitu selepas jam sekolah. Dari jam dua sampai jam lima. Bu Eisye yang ngajarin gue pekerjaan-pekerjaan seperti kebiasaan papi. Sedangkan untuk kebijakan manajemen bakal dihandle sementara sama Om Ferry dan Om Indra.” Kun berdiri dan memastikan kalau mereka sudah aman. Sejenak ia berpikir apa yang dialami oleh Yamamoto dan Arimana. Siswa asal Kyoto dan Selangor itu mungkin juga sedang melakukan hal yang sama, bersembunyi dari intaian musuh. Atas kesepakatan mereka berlima, mereka terpaksa berpencar dan berjanji akan saling menolong jika kemudian ada yang tertangkap.
                “Itu semua harusnya gak terjadi! Gak kebayang deh elo yang ngurusin kantor dan nasib sekian orang, Kun…, ngurusin diri elo aja yang sering lupa susahnya setengah mati,”  Christoper mendongak, ia ragu karena seringkali Kuncoro melakukan kesalahan yang berakibat fatal pada lingkungan di sekitar. Pernah suatu waktu Kun memadukan ilmu pembeku darah dengan ilmu pemantik api dan mempraktekkannya pada hewan ternak sekolah, yang terjadi adalah hewan ternak sekolah gosong hanya dalam waktu dua atau tiga menit. Pihak sekolah pun menghukumnya dengan skorsing selama seminggu. Sekarang kalau saja Kun harus mengurusi banyak hal, seperti manajemen sekolah dan keamanan  murid-murid junior yang tinggal di asrama, bisa saja semuanya berantakan. Sedangkan almarhum papinya yang mengelola sekolah puluhan tahun sudah menitipkan Kuncoro pada Bu Eisya untuk mendapatkan ilmu yang layak untuk menjaga sekolah ini tetap berdiri.
                “Mending gini aja deh say. Lo buang ketakutan lo sama Bu Eisye, jadi lo bisa belajar lebih konsen, kayaknya lo masih mungkin bisa deh. Lo gak tolol-tolol amat kok …”
                Kun melotot ke arah  Christoper yang kerap kali memanggilnya dengan sebutan ‘say’, kependekan dari ‘sayonara’ yang sering diucapkan Yamamoto sebagai sindiran buat Kun yang selalu salah  menyebut istilah sayonara menjadi sayonggara yang membuat ia menjadi terkenal dengan sebutan lain Sayonggara san. “Jadi maksud lo gue tolol?”
                “Ups! Hehehe.., sorry salah… Lo gak tolol tapi.. pikun ya.. OK deh .. itu beda. Tapi lo tau kalau dua-duanya sama-sama bahaya.”
                “Iya dia pikun. Dan sekali lagi.. itu semua harusnya gak terjadi!” Zastan mengepalkan tinjunya berusaha berpikir dengan keras langkah apa yang harus mereka lakukan untuk menghindari hal itu.
                “Tapi untungnya masih ada kedua Om elo itu. Jadi mereka pastinya akan nolongin, kan? Nah… kalo elo belajarnya cepat, tentunya elo gak perlu lama-lama sama Bu Eisye itu.” Christoper berjalan hilir mudik dengan perasaan kacau. Kalau saja Kuncoro jadi diangkat menjadi pekerja kampus dan menjalankan misi yang diajarkan Bu Eisye, ia yakin keadaan akan semakin kacau. Siswa-siswa dari sekolah sihir lain akan mendatangi sekolahnya dan menuntut atas kematian beberapa siswa mereka akibat pertarungan antar sekolah sihir sebulan yang lalu. Mereka akan menyerang dan menghancurkan laboratorium sihir mereka dan mengacak-acak perpustakaan sekolah yang megah dan koleksi buku sihir dari berbagai negara selama berabad-abad dengan kekuatan ilmu mereka yang sulit dijangkau.
                Mudah-mudahan Tuhan menunjukkan elo jalan…” Christoper kembali melepas desah resahnya yang tertahan sekian lama.  Tetapi tiba-tiba ia melompat karena teringat  sesuatu yang penting.
                “Say, jangan lupa loh, bulan depan kita ujian akhir. Elo juga harus konsen ke sana, jangan sampai gak.”
                Zastan melirik Christoper yang dengan cueknya memikirkan hal sepele itu ketimbang keselamatan diri mereka berlima. “”Tenang deh say… elo lakukan satu-satu … pelan-pelan. Take your time. Gue sama Reyna pasti bantu elo. Kita berdua janji kalo kita bakalan nemenin elo sampai masalah ini selesai. Ya, kan, Reyn?” Zastan menengadahkan wajahnya ke langit. Ia membayangkan Reyna, kekasihnya yang sudah lama meninggal mendengar apa yang ia ucapkan barusan. Ia yakin Reyna masih berada di sekitar mereka dan selalu membantu di saat sahabat-sahabatnya itu mengalami kesulitan.
                “Reyn? ELO KENAPA?” Christoper mendorong pundak Zastan mencoba menyadarkannya kalau Reyna sudah lama meninggal dan tidak bisa membantu mereka lagi. “Kita yakin kan Kun bisa ngatasin masalah ini?” lanjutnya dengan penuh semangat.
                Kuncoro menggerakkan tangannya supaya kedua sahabatnya itu diam. Ia merasakan ada sekelabat cahaya melintas di depan mereka. Christoper dan Zastan serentak tak bergerak, secara perlahan ketiganya menyatukan tangan mereka satu sama lain, dan dalam waktu sekian detik ketiganya tiba-tiba tidak tampak oleh mata, melebur menjadi bayangan putih seperti kabut yang tembus pandang. Sementara sekelebat cahaya yang merupakan jelmaan dari salah seorang pria pembunuh  Mr. Carlos tadi kebingungan. Ia yang semula merasa mendengar suara-suara dari dalam lorong kemudian berbalik, dan berlalu di balik kegelapan.
                               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar