Jumat, 13 April 2012

CABIK LENAMU



CABIK LENAMU
                                                    
Aku lelah mengembara. Persinggahanku selalu sama. Laki-laki dengan beribu keinginan, beribu tuntutan dan aturan yang memuakkan. Sedangkan mereka hanya mampu memberikan satu hal padaku. Uang.
            Setiap senyum dan kecup yang kuberikan, kulakukan semua demi uang. Setiap malam yang kuhabiskan bersama mereka, kulakukan demi beberapa lembar rupiah. Meski kadang lusuh. Tak mengapa asalkan lembaran itu masih berlaku dan bisa mengganjal perutku. Setidaknya untuk malam itu.
            Malam kembali menyambutku dengan sepenggal bulan yang bertengger malas. Seperti aku, yang tidak pernah berharap malam datang dengan lekas. Aku masih ingin menikmati siang dan teriknya. Panas dan terangnya. Aku tidak ingin ada malam, kecuali malam itu dingin dan ramai. Aku tidak ingin melewati malam, kecuali malam itu bisa membawaku menjauh dari sini.
            Aku merapatkan punggungku ke dinding yang dingin. Aku suka dinding tembok kokoh yang dingin ini. Setiap kali aku merasa pusing, aku selalu menempelkan jidatku ke sana. Terapi kompres panas yang aneh menurutku, tetapi sangat mujarab. Walaupun ruangan ini hingar bingar oleh music disco, obrolan dan teriakan histeris para pengunjung, tetapi menyandarkan tubuh ke dinding ini membuatku merasa jauh dari tempatku berada. Seolah menembus ke dalam ruang yang ada di dalam dinding itu. Ruang adsurb yang kerap aku berharap bisa berada di dalamnya. Menjauh dari kehidupanku yang nista.
            “Udah ketemu Nando, May?” Alicia melempar sekotak rokok ke atas meja. Lalu ia menyalakan sebatang dan melepas kepulnya ke udara. Bibirnya yang merah meresapi setiap hisapan rokok beraroma rasa mint itu.
            Aku menggeleng lemah. Malas rasanya kalau harus terus melakukan hal yang sama.: menemui laki-laki itu sebelum menjalankan tugasku setiap malam, lalu menemuinya kembali setelah semua urusan selesai. Dan kadang malah Nando memintaku untuk tinggal sejenak, menemaninya minum kopi, kemudian menina-bobokannya seperti anak kecil.
            “Cari dulu, gih. Bisa berabe kalau si bos nggak dikasi jatah duluan,” celoteh Alicia sambil menghentak-hentakkan kepalanya mengikuti irama musik disko yang sudah tidak uptodate itu.
            Aku berdiri malas. Meninggalkan meja dengan setengah gelas orange juice dan Alicia yang sedang menatap DJ baru di ujung sana.
            “Halo manis….” seorang cowok yang sudah kukenal baik menyapaku sambil mendaratkan kecupan hangat di pipiku. Aku tidak bisa menampiknya kecuali kalau aku siap diperlakukan kasar oleh mereka.
            Ruang pengap ini tidak memberikan banyak udara segar ke dalam otak manusia. Sehingga dengan mudah kita korslet dan melakukan hal-hal yang tak pernah terpikir sekalipun. Aku yang hidup dalam remang lampu club setiap malam mungkin sudah terbiasa untuk tidak menerapkan aturan apapun dalam hidupku. Termasuk membiarkan siapa saja yang boleh dengan  leluasa menciumku, atau meraba tubuhku. Semua dibiarkan berjalan sebagaimana otak saat itu berpikir, dan hati kapanpun merasa. Atau hasrat lain yang justru berbicara.
            Musik  yang menghentak kembali menyadarkanku, di mana saat ini aku berdiri. Tawa renyah dari sepasang kekasih yang saling berangkulan mengusik naluriku untuk segera meninggalkan tempat ini. Mencari Nando.
-o0o-
Nando adalah laki-laki yang membawaku hijrah dari kampung kecil di daerah Garut menuju ibukota yang megah. Dari rumah panggung yang sederhana menuju sebuah apartemen mewah dengan fasilitas modern.. Dari kehidupan desa yang ndeso ke gemerlapnya metropolitan yang menawarkan sejuta pesona. Ialah laki-laki yang juga membuatku berubah dari kehidupan yang alim, suci dan polos, pada kehidupan yang benar-benar polos karena kerap aku harus menanggalkan ke-alim-anku, melepaskan ke-suci-anku, bahkan mengumbar harga diri karena kesucian itu sendiri entah sudah ke mana.
            Yah, Nando. Laki-laki dengan lesung pipi dan senyum yang menawan itu telah membiusku dengan janji-janji yang membuatku hilang kesadaran dan termakan bujuknya. Tatap mata dengan alis tebal yang saling bertaut miliknya benar-benar telah menghipnotisku untuk tidak menolak sedikitpun ajakannya menuju sebuah –yang ia istilahkan- petualangan seru hidup baru. Aku yang masih bau kencur pun tunduk. Dan tanpa paksaan, kedua orangtuaku mengizinkan aku untuk menjadi seorang pramuniaga toko pakaian terkenal yang Nando miliki di Jakarta.          
            Awalnya memang aku dibawa Nando ke sebuah butik mewah di sebuah mall besar. Lalu aku diperkenalkan kepada beberapa karyawan butik itu yang kemudian aku tahu kalau mereka itu juga adalah korban seperti aku. Butik itu memang benar miliknya, tepatnya, milik tantenya yang dipercayakan kepada Nando. Butik yang cukup terkenal karena menjual koleksi-koleksi busana kelas atas yang sangat exclusive, dari designer-designer kenamaan dalam dan luar negeri. Aku sempat mendapatkan training beberapa hari sebelum kemudian Nando, sang bos, memanggilku untuk pindah ke bagian lain yang lebih menarik dan menantang. Konon katanya aku akan lebih cocok jika dipindahkan ke bagian itu.
            Ternyata bagian yang ia sebut lebih menarik dan menantang buat aku adalah menjadi seorang customer service di sebuah spa, yang juga milik keluarganya. Pada awalnya pekerjaan di tempat ini memang sangat mengesankan. Aku merasa lebih sibuk dibandingkan ketika aku kerja di butik itu. Banyak pengunjung spa, terutama kaum adam yang menjadi langganan yang kemudian akrab dan menjadi temanku. Beberapa diantaranya bahkan terang-terangan menyatakan rasa sukanya padaku.
            Tapi hidupku sudah dikontrak mati oleh Nando. Aku pun dipindahkan kembali ke bagian lain yang yang sama sekali berbeda. Di sinilah petualangan baru itu dimulai.
            “Tugas baru kamu, hanya menemani laki-laki yang aku kenalkan sama kamu. Minum, menemani mereka melantai, atau apa saja,” jelas Nando membuat keningku berkerut.
            “Apa saja?” ulangku berharap Nando bisa mendeskripsikan lebih detail pekerja ‘apa saja’ apakah itu.
            Nando tersenyum. Senyum yang mengundangku curiga dan membuatku perasaanku mendadak tidak nyaman berada di dekatnya. Bau alkohol menyeruak dari mulutnya. Aku tidak tahu sudah berapa gelas ia habiskan minuman itu sebelum ia mengutarakan hal ini padaku.
            “Yah.. semuanya… Nanti juga kamu akan tahu. Sekarang tolong antar aku pulang dulu,” Nando merangkul pundakku dengan sempoyongan.
            Sambil menghela napas berat, aku terpaksa menuruti perintahnya. Membopong tubuhnya yang kekar dan mengantarnya sampai ke apartemennya.
            Begitu tiba di kamarnya, tubuh Nando langsung ambruk. Alkohol sudah merenggut kesadarannya. Bahkan ia tidak sadar kalau aku sudah dua kali terkena muntahannya. Aku terpaksa melepas bajuku dan mengganti dengan piyama yang ada di lemari Nando.
            Nando sudah tertidur saat aku selesai mengganti pakaianku dan bingung harus berbuat apa. Kutatap wajah tampan Nando saat pulas. Lelah menggurat di wajahnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Mengapa ia memindahkan pekerjaanku? Mengapa aku harus berganti profesi menjadi seorang pelayan bar yang kerjanya menemani tamu laki-laki. Definisi ‘menemani’ pun belum aku pahami dengan tepat.
            Bau alkohol kembali menyeruak dari tubuh Nando. Aku refleks melepas pakaian Nando dan membersihkan badannya dengan handuk hangat. Aku belum pernah melakukan hal ini, tetapi membantu Nando dalam keadaan seperti ini menjadi pertimbangan khususku. Aku berharap ia segera sadar dan membiarkan aku pulang. Aku tidak ingin besok pagi ia masih dalam keadaan mabuk dan kebingungan atau mengkhawatirkan keadaanku.
            Entah apa yang merasuki pikiranku saat itu. Nando yang tiba-tiba menggumam setengah sadar menarikku ke dalam pelukannya. Dan aku pun larut dalam buai malam yang dingin. Sejak saat itulah kerapkali aku seperti tidak ingin menjauh dari Nando. Mulanya aku pikir Nando memperlakukan aku seperti ia memperlakukan seorang perempuan yang ia sukai. Tetapi aku keliru.
            Nando justru menjualku pada setiap laki-laki yang membutuhkan teman kencan. Aku berusaha menolak, tetapi perlakuan kasar Nando membuat aku tidak bisa menghindarinya. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, aku harus melayani Nando terlebih dahulu sebelum aku melayani para tamunya setiap malam.
            Aku merasa sangat terhina dengan perlakuan Nando  itu. Tetapi apa yang bisa kulakukan. Nando memiliki banyak sekali teman yang bisa saja mencelakaiku jika aku berusaha lari dan tidak melaksanakan tugasku dengan baik. Dan aku tidak mau mati konyol karenanya.
-o0o-
Aku mengetuk pintu kamar itu. Kamar yang berada di belakang pub malam tempatku bekerja. Sebuah suara menyuruhku menunggu. Dan tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Seulas senyum mengembang menyambut kehadiranku. Senyum yang selama ini membuat perutku mendadak mual, karena setiap kali itu pula aku teringat bagaimana senyum itu memikat hatiku sekaligus menghancurkannya dalam waktu yang bersamaan.
            Laki-laki itu menatapku heran. “Kenapa? Masuklah.”
            Jantungku berdetak tak karuan setiap kali menatap mata itu. Sorot mata yang tajam, yang bisa menguliti tubuhmu kapan ia mau. Sorot mata yang bisa menghipnotis dan membuat siapapun bertekuk lutut menuruti perintahnya. Sorot mata yang telah melambungkan anganku ke awan, kemudian menjatuhkannya hingga dasar jurang yang paling dalam. Sorot mata yang melenakan. Tapi kali ini aku tidak boleh terpedaya oleh tatapnya yang menipu. Aku tidak boleh larut dalam buainya yang menjijikan.
            Aku masuk kamar itu tanpa menjawab pertanyaannya.
            “Nando, malam ini aku lelah. Aku ingin  istirahat,” pintaku mengulur-ulur waktuku.
            “Istirahat? Bagus, ya!” Bentak Nando dengan tatapan yang berubah beringas. “Kamu tahu berapa banyak sudah aku habiskan untuk membiayai hidup kamu? Dan sekarang kamu minta istirahat?” suaranya meninggi.
            “Tapi…”
            Plakkk.. sebuah tamparan keras mendarat di pipipku. Sakit dan perih  menjalar bukan saja di wajahku yang terkena pukulan tangan Nando yang kekar, tetapi juga hatiku meringis karenanya.
            “Ya, sudah, kalau begitu kamu temani saya semalaman suntuk,” mendadak Nando melunak. Entah apa yang ada dalam benaknya. Aku berpikir apa yang akan dilakukannya karena permintaanku yang sudah sering membuatnya jengkel ini tidak pernah jera aku ajukan.
            Menemaninya semalaman? Itu sama buruknya dengan melayani dua atau tiga tamu dalam semalam.
            Tetapi aku mengangguk. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik.
            Kepalaku berputar dengan puluhan rencana untuk menyudahi semuanya. Yah,aku ingin menyudahi nasibku ini. Aku ingin berhenti mengotori diriku dengan berbagai nista yang sebenarnya bisa aku hindari. Dan aku berhenti pada sebuah pilihan. Aku, atau Nando yang harus ‘selesai’?.
            Malam perlahan merapat. Kesunyian menyergapku. Setelah apa yang aku dan Nando lakukan, hasrat untuk memulai rencanaku kembali bergelora. Aku bangkit perlahan, mengamati tubuh Nando yang terbaring lemas di sampingku. Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanian itu. Aku beranjak dari tempat tidur dan mengendap-endap ke dapur kecil yang ada dalam kamar ini. Pikiranku hanya satu. Benda itu.
            Aku menarik benda itu dari tempatnya. Sebuah kilatan cahaya menyilaukan mataku. Benda kecil itu sudah pasti sangat tajam. Cukup tajam untuk mengiris daging hingga tipis sebelum dipanggang dan dijadikan lapisan dalam roti sarapanku. Bahkan hanya dengan sekali libas, kabel telpon bisa putus sekaligus.
            Aku menatap tubuh Nando yang terkulai lemas. Ia sudah mendapatkan jatahnya malam ini. Dan bahkan ia memintaku melayaninya semalam penuh, sebagai pengganti atas permintaanku untuk cuti malam ini. Setelah menenggak beberapa gelas minuman beralkohol dan melampiaskan syahwatnya, Nando tampak kelelahan luar biasa,  Inilah saat yang tepat untukku. Untuk mengakhiri semuanya. Mengakhiri sesuatu yang selama ini mendera hidupku dan menjadikan mimpi burukku setiap malam.
            Perlahan aku menggoreskan benda tajam berkilat itu pada pergelangan tangan kiri Nando. Darah segar merembes, tetapi itu tidak membuat Nando terbangun. Tubuhnya merespon dengan gelisah. Dan dalam hitungan detik aku berhasil melakukan hal yang sama pada pergelangan tangan Nando yang lain. Darahpun membanjiri seprai dengan cepat. Nando tampak tidak merasakan apapun. Alkohol yang ia tenggak sudah membuatnya mati rasa. Dan aku berharap ia akan mati lemas karena kehabisan darah.
            Tubuh itu benar-benar terlena. Nando yang sudah mencabik-cabik harga diriku selama ini tengah menikmati masa-masa terakhirnya yang tidak ia sadari. Ia bahkan tidak tahu kalau mimpinya malam ini adalah sebuah kenyataan mengerikan yang akan ia temui dalam dunianya yang baru. Dunia kematian.
-o0o-
Aku mengepulkan asap tebal ke udara. Bulatan asap yang tercipta kemudian memudar tertiup angin. Gerimis menemani sepiku. Dingin. Tetapi tubuhku sama sekali tidak menggigil. Aku merasa tenang. Bebas. Tidak ada lagi beban yang menumpuk dalam pundakku. Aku tidak tahu apakah semua ini merupakan efek setelah apa yang aku lakukan pada Nando beberapa waktu lalu. Atau malam benar-benar sedang gelisah karena seseorang tengah meregang nyawa tanpa ia sadari sama sekali. Sebegitu parahkah dampak minuman keras dan cumbuanku sehingga membuat lelaki itu benar-benar terlena? Aku tidak peduli bagaimana semua ini harus berakhir seperti ini. Aku bahkan tidak peduli bagaimana nasibku setelah ini.
            Yang aku inginkan hanya satu. Aku harus mengakhiri semuanya. Bagaimanapun caranya. Dan ini adalah balasan setimpal yang bisa laki-laki itu terima.

15 Maret 2012
-oOOo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar