Rabu, 11 April 2012

CERPEN : JUJURLAH MATAHARIKU


CUPLIKAN CERPENKU

Untuk diterbitkan bersama cerpen lain karya sahabat Pustaka Inspirasiku dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2012



.................................

-o0o-

Damar mencengkram  kerah bajunya sendiri. Geram ia karena tidak mampu melakukan hal itu pada orang lain, seperti yang orang lain seringkali lakukan pada dirinya. Matanya tetap terpaku pada seonggok batu yang lelah dipermainkannya hingga terkapar  di tanah tanpa pernah menyentuh sasaran yang hendak ia tumpahkan kemarahan padanya.
                Angin berdesir menyapu keringat yang meleleh pasrah. Masih berkilat bara di matanya yang  siap meletupkan api yang bisa membakar apa saja yang dilaluinya. Ia tidak tahu dengan cara apa ia bisa mencairkan gejolak yang mengoyak harga dirinya yang hancur terinjak.  Dengan cara bagaimana ia bisa memulihkan kembali kepercayaan ayah dan ibunya setelah semua yang ia lakukan, selalu saja salah di mata mereka. Damar mengatupkan bibir, mengulum kecewa dan perih dalam waktu yang bersamaan.
                “Pokoknya ayah tidak mau tahu. Kembalikan semua yang sudah kamu ambil dari tas kerja ayah, atau ….” Aidil tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi. Nyaris telapak tangannya yang kekar melayang ke pipi Damar kalau saja Rista tidak segera menghalanginya.
                “Tampar saja Ibu, Ayah! Mestinya Ayah membela anak kita yang belum tentu bersalah, bukan malah memojokkannya seperti  ini,” urai air mata Rista berjatuhan seperti rintik hujan yang tumpah dari langit. Ia sudah tak tahan melihat perlakuan suaminya yang kerap kali ringan tangan dalam menyelesaikan masalah anaknya yang baru dua belas tahun itu. Ia sadar benar kalau selama ini Damar selalu menimbulkan masalah dalam keluarganya. Kenakalan dan tingkahnya yang selalu membangkang sangat sulit dikendalikan. Dan semua ini bukan karena mereka, kedua orangtuanya lalai dalam membimbingnya. Tidak kurang ajaran moral dan agama ditanamkan sejak kecil kepada Damar, juga Sandra adiknya. Tiada henti rasanya kasih sayang dan perhatian dicurahkan kepada kedua anak mereka dengan harapan keduanya bisa menjadi anak yang manut kepada orangtua dan tidak berbuat hal buruk di lingkungan masyarakat. Ada yang salah dalam pergaulan anak ini. Ada yang tidak sanggup Aidil dan Rista kendalikan saat Damar berada di luar rumah. Dan ini salah siapa kalau memang ada pihak yang harus disalahkan. Tetapi apakah harus dengan cara kekerasan seperti ini Aidil menyelesaikannya?
                “Kamu memang terlalu memanjakan anakmu ini. Lihat.. lihat kelakuannya sekarang, sama ayahnya sendiri, mana pernah dia takut! Dasar pembangkang!” Aidil membanting pintu kamar dan meninggalkan istri dan anaknya itu terpaku dalam kebisuan. Ia  lalu menenggelamkan dirinya dalam perasaan hancur seorang ayah yang tidak sanggup mendidik anaknya dengan benar. Aidil tahu, anak lelaki seumur Damar sedang senang-senangnya berpetualang dengan banyak hal. Tetapi membiarkan dirinya tersesat karena peranan ayah yang tidak berada pada tempatnya membuat Aidil merasa semua ini menjadi kesalahannya semata. Menjadi tanggung jawabnya. Ia merasa dirinya telah gagal dalam mendidik dan membesarkan Damar.
                Rista memeluk Damar yang mematung tanpa sepatahpun kata terucap dari bibirnya. Anak itu seolah sedang mencerna semua kebencian yang tumpah dari mulut ayahnya dan membiarkan  rasa itu mendarah daging dalam jiwanya, mematenkan dirinya sebagai anak pembangkang seperti yang selalu ayahnya teriakkan. Damar melepas pelukan Rista dan berlari meninggalkan ibunya yang berusaha menggapainya lemah.
                Angin kembali menyentuh kulit pipinya yang menghitam terbakar terik. Rambut jagungnya menari riang seolah hanya anginlah yang bersedia menggelitik dan mengajaknya bermain. Hanya angin yang sanggup mengulas senyum dari bibir keringnya dan membiarkan tawa terurai saat ia melihat bunga-bunga kapas ilalang berterbangan.  Matanya mengedipkan sebuah harapan. Berjatuhanlah kristal-kristal asa itu, bermuara pada lekuk kakinya yang menganga, kemudian menghilang, melebur bersama darah yang mengering, dan meresap, menindih luka lain yang tak terobati.
                Sebuah botol berisi cairan beraroma menyengat ditimangnya. Liurnya ditelan paksa, sejenak sebelum ia membuka tutup botol itu dan menikmati baunya. Matanya kembali berair. Kesedihan sudah memuncak, tetapi bukan karena itu derai menganak sungai, beriak dari lautan seperti tsunami yang menghantam daratan. Bukan lantaran amarah yang menggunung dan siap memuntahkan lavanya ke segala arah. Tetapi kedamaian tercipta setelah semua asa menguap seperti aroma cairan dalam botol itu yang dengan sekali siram sanggup mengusir segala kuman yang bahkan bersembunyi di balik kilap. Menghapus dosa yang tak mungkin termaafkan. Damar tersenyum. Senyum yang kemudian membawanya menuju sebuah tempat yang tak pernah sanggup dijangkaunya.

-o0o-

.......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar