“Ini
bukan pekerjaan, Kang!” protes Siti sambil menepis kaleng bekas susu yang
menganga lapar di atas meja. Beberapa keping seratus Rupiah terlempar. Menggelinding,
tepat di ujung kaki Ladun.
Laki-laki
setengah tua itu mendongak. Wajahnya merah. Geram, sebab amarah yang meledak di
ubun-ubun kini luber.
“Dasar
istri tak tahu terima kasih!” gerutunya dengan dada bergemuruh. Tubuh
bongkoknya berusaha bangkit, seraya mengumpulkan serakan receh di tanah. Mata Kamaladun menyala. Tak terima dengan hinaan
Siti yang ia hidupi dengan satu-satunya cara yang hanya bisa dilakoni: mengemis.
Ia tak habis pikir kenapa Siti semakin berani melawan setelah beberapa kali
gagal membujuk dirinya untuk berhenti menjadi
peminta-minta. Apa karena program Walikota baru, yang menawarkan pekerjaan menjadi pembersih
jalanan kepada para gepeng itu?
“Aku tak mau terus-terusan begini, Kang! Kalau
Akang tidak mau ikut program Pak Walikota Kenapa kita tidak pulang kampung
saja?” Hujan air mata menganak sungai di pipi tirus perempuan empat puluhan itu.
Siti tak peduli, meski hati suaminya bergelegak lantaran ocehannya. Ia hanya ingin
menjadi istri biasa seperti perempuan lainnya. Tinggal di rumah, memasak,
menunggu suaminya pulang bekerja, mengurus anak, sambil sesekali membantu suami
memenuhi kekurangan kebutuhan dapur jika memang nafkah yang diberikan kurang.
Bukan menjadi peminta-minta dengan kaleng kosong dan tatapan mata
menghiba. Atau paling banter menjadi
pengamen jalanan dengan kecrekan tutup botol, dan ikut-ikutan menjadi pembersih
kaca mobil dengan kamoceng butut atau
kain pel karet murahan. Bukan bekerja, mencari nafkah tanpa merengek belas
kasihan orang lain. Tapi watak suaminya yang keras itu tak pernah
menggubrisnya.
“Ti,
kita ini bukan pengemis biasa,” selalu
kalimat itu yang terlontar dari getar bibir Ladun. Ia tak tahu, tak pernah tahu
tepatnya kenapa dirinya selalu merasa berbeda dibandingkan dengan pengemis
lainnya.
“Apa
bedanya coba, Kang? Apa karena tubuh Akang bongkok, jadi Akang hanya pantas meminta
belas kasihan orang?”
“Cukup!”
“Kang,
Siti tidak malu jadi istri Akang. Siti juga
tidak malu kalaupun kita pulang ke kampung dan Akang kembali menjadi buruh tani.
Siti hanya ingin Akang berhenti menjadi pengemis!” pekik Siti dengan urai air
mata tiada henti. “Apalagi sekarang, Akang tidak mungkin menjadi buruh tani
lagi, kan? Kita sudah kaya, Kang! Apalagi yang kita cari?”
*
Ladun
masih merasa bahwa dirinya bukanlah pengemis biasa. Laki-laki itu sudah belasan
tahun menjadi gepeng bersama istrinya di pinggiran kota Bandung. Tiga orang
anak ditinggalkan di kampung beserta
nenek dan kakek mereka. Kehidupan lebih dari cukup menjadi jaminan masa depan bagi ketiga anaknya. Dengan
menjadi pengemis di jalanan, diselingi mengamen atau jadi calo angkot, kini ia
sudah memiliki sebuah rumah besar dan beberapa petak sawah yang digarap
tetangga. Ladun, bahkan menjadi donatur tetap untuk kegiatan sosial dan keagamaan
di masjid tanah kelahirannya.
“Kalau
Akang jadi penyapu jalan seperti yang Walikota baru itu sarankan, berapa
penghasilan yang bisa kita terima, Ti? Jauh dari cukup!” di sela-sela risau
yang merangsai hati istrinya, Ladun melontarkan alasan.
“Tapi
hidup kita akan jauh lebih bermartabat, Kang,” tukas Siti tak mau kalah.
“Bermartabat?
Dengan uang ratusan ribu, mana bisa kita makan, menyekolahkan anak, dan
membiayai hidup orangtua kita, Ti? Mana mungkin kita mampu membantu orang-orang
yang kesusahan di desa sedangkan untuk makan di sini saja kita harus
berhutang?”
Itulah
beda Kamaladun dengan pengemis lainnya. Bukan karena tubuhnya yang bongkok
sejak lahir. Bukan! Tapi apa yang sudah
dihasilkannya dari mengemis, ia pakai untuk berbagi dengan sesama. Lalu, apakah
ia harus berhenti meneruskan semuanya
hanya gara-gara program Wali Kota yang baru dilantik itu? Ladun menggelengkan
kepala. Apa salahnya mengemis? Toh, meminta itu jauh lebih baik daripada
mencuri. Daripada korupsi!
Tapi, kenapa laki-laki itu malah melarang
orang lain untuk berinfak?
Kamaladun
menjambak rambutnya. Diam-diam hatinya galau. Apa yang dikatakan Siti ada benarnya
juga. Martabat… Hidup ini harus bermartabat! Tapi bagaimana jadinya jika ia
berhenti mengemis? Akankah pulang ke desa bisa mengubah hidupnya menjadi lebih
baik?
“Kita
harus percaya bahwa Tuhan sudah menjamin rezeki masing-masing hambanya. Tuhan
tidak suka pada peminta-minta,” sambung Siti dengan raut tenang. Pikirnya,
barangkali pelan-pelan, Ladun akan menuruti sarannya. Berhenti menjadi
peminta-minta, dan pulang ke kampung halaman.
“Tuhan
tidak suka kepada peminta-minta yang memaksa, itu yang benar, Siti. Dan aku
tidak pernah meminta siapapun dengan cara memaksa!” ralat Ladun menyatir sabda
Rasul.
“Sudahlah,
Kang, pokoknya Siti mau pulang. Dengan atau tanpa Akang!” Akhirnya mulut
perempuan itu mengultimatum.
Kamaladun
mematung tak berdaya.
*
Berhari-hari pikiran Kamaladun
risau. Ia pergi menuju perempatan jalan seperti biasa, tapi hatinya mengembara
entah ke mana. Terngiang terus ucapan Siti. Terbayang pula wajah ketiga
anaknya, kedua orangtuanya, juga warga kampung yang selama ini menganggap
Kamaladun dan Siti sebagai dewa penolong mereka. Bagaimana jika mereka tahu apa
yang Ladun dan Siti kerjakan di kota? Bukan sebagai pengusaha seperti yang
selalu mereka gemborkan, melainkan hanya seorang pengemis jalanan yang
mengharap belas kasihan orang?
Ladun masih ingat saat ia bertemu
dengan tetangga kampungnya yang kebetulan
sedang berada di dalam sebuah bis yang berhenti di perempatan tempat biasa
Ladun mengemis. Jantung Ladun nyaris copot. Hampir saja ia ketahuan kalau saja
wajahnya tidak ditutup dengan masker dan topi butut. Ia sangat panik, jauh
melebihi rasa takut saat ada razia satpol PP.
Pandangan
Ladun menabrak spanduk besar bertuliskan ‘Mari Jadikan Bandung Juara’ dan spanduk
lain yang melarang pengguna jalan memberikan infak kepada pengemis. Ladun miris
melihat kain-kain vinil itu bertebaran di mana-mana. Apa yang salah dengan
mengemis? Kembali batinnya berontak.
Gara-gara spanduk-spanduk larangan
bersedekah kepada peminta-minta itu, Ladun dan pengemis lainnya kini kesulitan
mendapatkan uang hasil buruan. Tidak ada lagi uang kertas seribuan yang
menyembul dari celah jendela mobil.
Tidak ada lagi tangan mungil yang mencuat
dari sela-sela jendela kaca, yang menjatuhkan koin lima ratusan pada plastik
bekas kemasan permen saat para pengemis itu menyentuhkannya ke kaca mobil
sambil memasang wajah memelas.
Dan kali ini, pemerintah kota
berhasil membuat wajah-wajah pengemis itu benar-benar memelas. Tetapi, gurat
wajah mereka sudah tegas terbentuk akibat garangnya mentari, hingga urat
expresi selain sedih menghilang. Ladun bahkan merasa urat malunya pun telah
putus sejak lama. Yang penting baginya kelangsungan hidup, dan bisa berbagi
untuk warga di daerahnya.
Dari hari ke hari, jumlah pengemis
jalanan berkurang. Entah mereka pindah ke mana. Entah dijaring petugas, atau
dengan sukarela pergi dan merubah status hidup dengan pekerjaan yang lebih
baik. Ataukah satu persatu dari mereka melakukan pensiun dini.
Ladun pun kini tinggal sendiri. Siti
sudah lebih dulu meninggalkannya. Istrinya itu pamit pulang sejak subuh tadi.
Meski Ladun berat, tapi ia menghargai apa yang sudah menjadi pilihan istrinya.
“Maafkan Siti, Kang. Bukannya Siti
tidak turut suami. Tapi Siti lebih baik mengurus anak-anak di kampung, memulai
usaha sebisa Siti, daripada terus-terusan membatin dengan pekerjaan ini.”
Ladun hanya diam. Membenarkan,
sekaligus juga menyalahkan pilihan istrinya. “Sudahlah,” pekiknya, “Kalau itu
memang maumu!”
Diam-diam
tersusun rencana dalam benaknya untuk mempertimbangkan ajakan istrinya:
mengakhiri masa tugas menjadi duta peminta-minta yang sekian tahun
disandangnya. Hanya saja separuh hatinya masih berat untuk meninggalkan semua
kenyamanan yang ia peroleh selama ini.
“Akang,
nanti menyusul,” sambung Kamaladun dengan wajah tertunduk. Ia mengalah pada
nasib yang selama ini mengombang-ambing hidupnya. Batinnya berkecamuk hebat
untuk memutuskan perubahan besar dalam hidupnya itu.
Terik mentari yang baru muncul setelah hujan
reda pagi tadi, menuntut Ladun untuk tetap bertahan di tengah jalan.
Mengacungkan kaleng susu bekas yang sudah ia kosongkan dari uang recehan yang
semakin sedikit ia dapat. Tapi ia tak putus asa. Ini sudah menjadi tekadnya.
Hari ini akan menjadi hari terakhir baginya menjadi pengemis jalanan. Ia harus
mendapatkan cukup uang untuk ongkos pulang ke desa setelah semalam semua
tabungan ia kuras dan berikan kepada istrinya.
Tapi sayang, nasib berkata lain.
Hari itu adalah jadwal rahasia Satpol PP merazia para gepeng. Ladun nyaris
tertangkap kalau saja ia tidak dibantu temannya yang selama ini kerap
mendapatkan bantuannya juga. Mereka berlari menuju sungai yang saat itu masih
deras akibat hujan mengguyur Bandung sejak semalam. Ladun bersama temannya
berhasil melompat pagar pembatas jalan. Ia bersembunyi diantara gorong-gorong
jalan di atas bibir sungai. Tetapi saat ia berusaha menuruni dinding jalan
menuju tempat yang lebih tersembunyi, kakinya menginjak bagian berlumut yang
licin. Tubuh bongkok Ladun terjungkal dan terjerembab ke sungai. Pekiknya sama
sekali tak terdengar. Bahkan temannya pun tidak tahu jika Ladun terseret arus
sungai ke tempat yang lebih jauh.
*
Jemari-jemari kecil itu bergantungan
pada lengan ibunya yang ringkih. Sesekali kedua anak kecil menarik ujung baju
si ibu sambil menangis. Mereka tidak tega menyambut bapak mereka yang datang
dalam keadaan memprihatinkan. Kaki berbalut perban dengan tongkat di kiri dan
kanan terapit di ketiaknya.
Warga
yang juga dating menyambut, berlarian membantu menurunkan laki-laki itu dari
sebuah kendaraan umum yang disewa khusus dari kota. Langkahnya tampak begitu
sangat kesakitan.
“Akhirnya
Bapak pulang,” pekik Siti sambil menuntun kedua anaknya berjalan elbih cepat
untuk memeluk Ladun.
Mereka
berpelukan sambil menangis haru. Dan bahagia. Dalam keadaan bagaimana pun Siti
berharap Kamaladun pulang dan berkumpul kembali bersama keluarga.
~ Selesai ~
Penulis
adalah seorang karyawan swasta yang juga pendiri sebuah Rumah Baca Pustaka Ilmu
di daerah Margaasih Bandung, juga creator
dari komunitas penulis di facebook bernama Inspirasi-ku. Kecintaannya pada
dunia baca dan menulis sudah melahirkan beberapa karya berbentuk Novel dan
kumpulan cerpen. Penulis bisa dihubungi melalui email kamiluddinazis@gmail.com atau
pesawat telpon 083829021076
Trims
BalasHapus