Rabu, 25 Desember 2013

Bukan Pengemis Biasa


“Ini bukan pekerjaan, Kang!” protes Siti sambil menepis kaleng bekas susu yang menganga lapar di atas meja. Beberapa keping seratus Rupiah terlempar. Menggelinding, tepat di ujung kaki Ladun.
Laki-laki setengah tua itu mendongak. Wajahnya merah. Geram, sebab amarah yang meledak di ubun-ubun kini luber.
“Dasar istri tak tahu terima kasih!” gerutunya dengan dada bergemuruh. Tubuh bongkoknya berusaha bangkit, seraya mengumpulkan serakan receh di tanah.  Mata Kamaladun menyala. Tak terima dengan hinaan Siti yang ia hidupi dengan satu-satunya cara yang hanya bisa dilakoni: mengemis. Ia tak habis pikir kenapa Siti semakin berani melawan setelah beberapa kali gagal membujuk dirinya untuk berhenti menjadi  peminta-minta. Apa karena program Walikota baru,  yang menawarkan pekerjaan menjadi pembersih jalanan kepada para gepeng itu?
 “Aku tak mau terus-terusan begini, Kang! Kalau Akang tidak mau ikut program Pak Walikota Kenapa kita tidak pulang kampung saja?” Hujan air mata menganak sungai di pipi tirus perempuan empat puluhan itu. Siti tak peduli, meski hati suaminya bergelegak lantaran ocehannya. Ia hanya ingin menjadi istri biasa seperti perempuan lainnya. Tinggal di rumah, memasak, menunggu suaminya pulang bekerja, mengurus anak, sambil sesekali membantu suami memenuhi kekurangan kebutuhan dapur jika memang nafkah yang diberikan kurang. Bukan menjadi peminta-minta dengan kaleng kosong dan tatapan mata menghiba.  Atau paling banter menjadi pengamen jalanan dengan kecrekan tutup botol, dan ikut-ikutan menjadi pembersih kaca mobil dengan kamoceng butut  atau kain pel karet murahan. Bukan bekerja, mencari nafkah tanpa merengek belas kasihan orang lain. Tapi watak suaminya yang keras itu tak pernah menggubrisnya.
“Ti,  kita ini bukan pengemis biasa,” selalu kalimat itu yang terlontar dari getar bibir Ladun. Ia tak tahu, tak pernah tahu tepatnya kenapa dirinya selalu merasa berbeda dibandingkan dengan pengemis lainnya.
“Apa bedanya coba, Kang? Apa karena tubuh Akang bongkok, jadi Akang hanya pantas meminta belas kasihan orang?”
“Cukup!”
“Kang, Siti  tidak malu jadi istri Akang. Siti juga tidak malu kalaupun kita pulang ke kampung dan Akang kembali menjadi buruh tani. Siti hanya ingin Akang berhenti menjadi pengemis!” pekik Siti dengan urai air mata tiada henti. “Apalagi sekarang, Akang tidak mungkin menjadi buruh tani lagi, kan? Kita sudah kaya, Kang! Apalagi yang kita cari?”
*
Ladun masih merasa bahwa dirinya bukanlah pengemis biasa. Laki-laki itu sudah belasan tahun menjadi gepeng bersama istrinya di pinggiran kota Bandung. Tiga orang anak ditinggalkan di kampung  beserta nenek dan kakek mereka. Kehidupan lebih dari cukup menjadi  jaminan masa depan bagi ketiga anaknya. Dengan menjadi pengemis di jalanan, diselingi mengamen atau jadi calo angkot, kini ia sudah memiliki sebuah rumah besar dan beberapa petak sawah yang digarap tetangga. Ladun, bahkan menjadi donatur tetap untuk kegiatan sosial dan keagamaan di masjid tanah kelahirannya.
“Kalau Akang jadi penyapu jalan seperti yang Walikota baru itu sarankan, berapa penghasilan yang bisa kita terima, Ti? Jauh dari cukup!” di sela-sela risau yang merangsai hati istrinya, Ladun melontarkan alasan.
“Tapi hidup kita akan jauh lebih bermartabat, Kang,” tukas Siti tak mau kalah.
“Bermartabat? Dengan uang ratusan ribu, mana bisa kita makan, menyekolahkan anak, dan membiayai hidup orangtua kita, Ti? Mana mungkin kita mampu membantu orang-orang yang kesusahan di desa sedangkan untuk makan di sini saja kita harus berhutang?”
Itulah beda Kamaladun dengan pengemis lainnya. Bukan karena tubuhnya yang bongkok sejak lahir. Bukan! Tapi apa yang  sudah dihasilkannya dari mengemis, ia pakai untuk berbagi dengan sesama. Lalu, apakah ia  harus berhenti meneruskan semuanya hanya gara-gara program Wali Kota yang baru dilantik itu? Ladun menggelengkan kepala. Apa salahnya mengemis? Toh, meminta itu jauh lebih baik daripada mencuri. Daripada korupsi! 
Tapi, kenapa laki-laki itu malah melarang orang lain untuk berinfak?  
Kamaladun menjambak rambutnya. Diam-diam hatinya galau. Apa yang dikatakan Siti ada benarnya juga. Martabat… Hidup ini harus bermartabat! Tapi bagaimana jadinya jika ia berhenti mengemis? Akankah pulang ke desa bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik?
“Kita harus percaya bahwa Tuhan sudah menjamin rezeki masing-masing hambanya. Tuhan tidak suka pada peminta-minta,” sambung Siti dengan raut tenang. Pikirnya, barangkali pelan-pelan, Ladun akan menuruti sarannya. Berhenti menjadi peminta-minta, dan pulang ke kampung halaman.
“Tuhan tidak suka kepada peminta-minta yang memaksa, itu yang benar, Siti. Dan aku tidak pernah meminta siapapun dengan cara memaksa!” ralat Ladun menyatir sabda Rasul.
“Sudahlah, Kang, pokoknya Siti mau pulang. Dengan atau tanpa Akang!” Akhirnya mulut perempuan itu mengultimatum.
Kamaladun mematung tak berdaya.
*
            Berhari-hari pikiran Kamaladun risau. Ia pergi menuju perempatan jalan seperti biasa, tapi hatinya mengembara entah ke mana. Terngiang terus ucapan Siti. Terbayang pula wajah ketiga anaknya, kedua orangtuanya, juga warga kampung yang selama ini menganggap Kamaladun dan Siti sebagai dewa penolong mereka. Bagaimana jika mereka tahu apa yang Ladun dan Siti kerjakan di kota? Bukan sebagai pengusaha seperti yang selalu mereka gemborkan, melainkan hanya seorang pengemis jalanan yang mengharap belas kasihan orang?
            Ladun masih ingat saat ia bertemu dengan tetangga kampungnya  yang kebetulan sedang berada di dalam sebuah bis yang berhenti di perempatan tempat biasa Ladun mengemis. Jantung Ladun nyaris copot. Hampir saja ia ketahuan kalau saja wajahnya tidak ditutup dengan masker dan topi butut. Ia sangat panik, jauh melebihi rasa takut saat ada razia satpol PP.
Pandangan Ladun menabrak spanduk besar bertuliskan ‘Mari Jadikan Bandung Juara’ dan spanduk lain yang melarang pengguna jalan memberikan infak kepada pengemis. Ladun miris melihat kain-kain vinil itu bertebaran di mana-mana. Apa yang salah dengan mengemis? Kembali batinnya berontak.
            Gara-gara spanduk-spanduk larangan bersedekah kepada peminta-minta itu, Ladun dan pengemis lainnya kini kesulitan mendapatkan uang hasil buruan. Tidak ada lagi uang kertas seribuan yang menyembul  dari celah jendela mobil. Tidak ada lagi tangan mungil  yang mencuat dari sela-sela jendela kaca, yang menjatuhkan koin lima ratusan pada plastik bekas kemasan permen saat para pengemis itu menyentuhkannya ke kaca mobil sambil memasang wajah memelas.
            Dan kali ini, pemerintah kota berhasil membuat wajah-wajah pengemis itu benar-benar memelas. Tetapi, gurat wajah mereka sudah tegas terbentuk akibat garangnya mentari, hingga urat expresi selain sedih menghilang. Ladun bahkan merasa urat malunya pun telah putus sejak lama. Yang penting baginya kelangsungan hidup, dan bisa berbagi untuk warga di daerahnya.
            Dari hari ke hari, jumlah pengemis jalanan berkurang. Entah mereka pindah ke mana. Entah dijaring petugas, atau dengan sukarela pergi dan merubah status hidup dengan pekerjaan yang lebih baik. Ataukah satu persatu dari mereka melakukan pensiun dini.
            Ladun pun kini tinggal sendiri. Siti sudah lebih dulu meninggalkannya. Istrinya itu pamit pulang sejak subuh tadi. Meski Ladun berat, tapi ia menghargai apa yang sudah menjadi pilihan istrinya.
            “Maafkan Siti, Kang. Bukannya Siti tidak turut suami. Tapi Siti lebih baik mengurus anak-anak di kampung, memulai usaha sebisa Siti, daripada terus-terusan membatin dengan pekerjaan ini.”
            Ladun hanya diam. Membenarkan, sekaligus juga menyalahkan pilihan istrinya. “Sudahlah,” pekiknya, “Kalau itu memang maumu!”
Diam-diam tersusun rencana dalam benaknya untuk mempertimbangkan ajakan istrinya: mengakhiri masa tugas menjadi duta peminta-minta yang sekian tahun disandangnya. Hanya saja separuh hatinya masih berat untuk meninggalkan semua kenyamanan yang ia peroleh selama ini.
“Akang, nanti menyusul,” sambung Kamaladun dengan wajah tertunduk. Ia mengalah pada nasib yang selama ini mengombang-ambing hidupnya. Batinnya berkecamuk hebat untuk memutuskan perubahan besar dalam hidupnya itu.
             Terik mentari yang baru muncul setelah hujan reda pagi tadi, menuntut Ladun untuk tetap bertahan di tengah jalan. Mengacungkan kaleng susu bekas yang sudah ia kosongkan dari uang recehan yang semakin sedikit ia dapat. Tapi ia tak putus asa. Ini sudah menjadi tekadnya. Hari ini akan menjadi hari terakhir baginya menjadi pengemis jalanan. Ia harus mendapatkan cukup uang untuk ongkos pulang ke desa setelah semalam semua tabungan ia kuras dan berikan kepada istrinya.
            Tapi sayang, nasib berkata lain. Hari itu adalah jadwal rahasia Satpol PP merazia para gepeng. Ladun nyaris tertangkap kalau saja ia tidak dibantu temannya yang selama ini kerap mendapatkan bantuannya juga. Mereka berlari menuju sungai yang saat itu masih deras akibat hujan mengguyur Bandung sejak semalam. Ladun bersama temannya berhasil melompat pagar pembatas jalan. Ia bersembunyi diantara gorong-gorong jalan di atas bibir sungai. Tetapi saat ia berusaha menuruni dinding jalan menuju tempat yang lebih tersembunyi, kakinya menginjak bagian berlumut yang licin. Tubuh bongkok Ladun terjungkal dan terjerembab ke sungai. Pekiknya sama sekali tak terdengar. Bahkan temannya pun tidak tahu jika Ladun terseret arus sungai ke tempat yang lebih jauh.
*
            Jemari-jemari kecil itu bergantungan pada lengan ibunya yang ringkih. Sesekali kedua anak kecil menarik ujung baju si ibu sambil menangis. Mereka tidak tega menyambut bapak mereka yang datang dalam keadaan memprihatinkan. Kaki berbalut perban dengan tongkat di kiri dan kanan terapit di ketiaknya.
Warga yang juga dating menyambut, berlarian membantu menurunkan laki-laki itu dari sebuah kendaraan umum yang disewa khusus dari kota. Langkahnya tampak begitu sangat kesakitan.
“Akhirnya Bapak pulang,” pekik Siti sambil menuntun kedua anaknya berjalan elbih cepat untuk memeluk Ladun.
Mereka berpelukan sambil menangis haru. Dan bahagia. Dalam keadaan bagaimana pun Siti berharap Kamaladun pulang dan berkumpul kembali bersama keluarga.

~ Selesai ~

Penulis adalah seorang karyawan swasta yang juga pendiri sebuah Rumah Baca Pustaka Ilmu di daerah Margaasih Bandung, juga creator dari komunitas penulis di facebook bernama Inspirasi-ku. Kecintaannya pada dunia baca dan menulis sudah melahirkan beberapa karya berbentuk Novel dan kumpulan cerpen. Penulis bisa dihubungi melalui email kamiluddinazis@gmail.com atau pesawat telpon 083829021076





1 komentar: