dalam Kumcer "Ibu Dalam Kehidupanku"
Siang itu
matahari berada persis di atas ubun-ubun. Terik nyaris membuat kepalaku
berasap. Tapi aku tak peduli. Aku terus berjalan di atas pematang sawah
bertanah retak. Ingatanku tertuju hanya padanya. Umi.
Hawa sejuk menyambutku. Memenuhi
rongga pernapasan, membuat sesak akibat berjejalan di dalam bis kota selama
dalam perjalanan tadi menguap sudah. Aku menikmati saat-saat itu sebagai bagian
dari rasa syukur yang selalu Umi
ajarkan. Pun pada saat kami menghadapi betapa peliknya hidup ini.
“Sabar, itu nomor satu
anak-anak. Yang kedua, ucapkan syukur setiap waktu. Semakin sering kita
bersyukur, akan semakin bertambah nikmat yang Tuhan karuniakan kepada kita,”
ucap Umi pada suatu senja berselimut lembayung. Aku dan adik-adik mengelilingi
Umi, menikmati lembayung indah nan penuh warna sambil meresapi setiap petuahnya.
Umi adalah ibu yang sangat
penyabar. Kesulitan hidup yang dilaluinya selama menikah dengan Abah adalah
bagian dari kenikmatan yang selalu disyukurinya. Lima puluh tahun lebih Umi
melewati semua. Berbagai cobaan tumpang
tindih, tetapi kesabaran Umi sanggup mengalahkan badai sehebat apapun. Umi
mengajarkan kepada kami, bahwa hidup ini bukan untuk dikeluhkan, tetapi untuk dijalani
dengan tulus dan ikhlas. Kami -anak-anak Umi bersepuluh-, adalah buah cinta
yang Tuhan berikan sebagai pelengkap kebahagiaannya. Begitu pengakuan Umi yang
membuat cinta kami semakin besar padanya.
Tinggal
beberapa petak sawah yang harus kulalui. Rindu ini rasanya semakin membuncah.
Sejak aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja di luar kota, praktis
kesibukanku menyita waktu. Untuk sekedar menjenguk Umi saja aku nyaris tidak
bisa. Dan dua bulan sudah -sejak keluarga kami pindah ke kampung ini-, aku
belum menengok Umi, Abah dan adik-adikku lagi. Dulu, kami tinggal di sebuah
kota kecil, tempat persinggahan para wisatawan yang melintas dari Jakarta ke
Bandung. Tapi kota itu makin semrawut dan membuat kehidupan kami tak nyaman
lagi. Apalagi adik-adikku sedang dalam proses tumbuh remaja. Pergaulan yang
kurang baik di tempat tinggal kami sebelumnya sangat riskan bagi perkembangan
jiwa mereka. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah dan memulai kehidupan yang
baru di kampung kecil ini.
Sejak pindah itulah kehidupan
kami mulai mengalami kesulitan yang lebih besar. Abah mulai jarang berangkat kerja.
Selain jarak tempat kerja Abah cukup jauh dari kampung, kesehatannya pun mulai
menurun. Sesekali, saat merasa cukup sehat, Abah pergi ke pasar, tempat dulu ia
bekerja -sebagai petugas security-,
dan menjalankan tugasnya. Tetapi karena Abah sering mangkir, kerap gajinya
dipotong oleh bagian administrasi. Bahkan pada akhirnya Abah diberhentikan.
Meskipun demikian Abah masih tetap berangkat ke pasar sekedar untuk mengais
rezeki dengan cara apapun, dan pulang dengan hasil seadanya. Meski lebih sering
pulang dengan tangan hampa.
Sebagai seorang istri, juga ibu,
Umi menerima keadaan ini dengan lapang dada. Ia lebih memilih tinggal di
kampung dengan kehidupan sederhana dan kekurangan, daripada tinggal di kota dan
menyaksikan anak-anaknya tumbuh dalam lingkungan yang kurang baik. Pergaulan
bebas dengan berbagai risiko berat,
terutama berkaitan dengan miras dan narkoba, adalah penyakit masyarakat yang
sulit dibasmi. Kehidupan yang bukan merupakan pilihan, tetapi saat kita berada
dalam lingkungan yang dominan seperti
itu, dengan sendirinya kita akan terjebak hingga sulit untuk melepaskan diri. Umi
rela turun ke sawah untuk menjadi kuli menanam padi, menyiangi gulma, dan memotong
padi saat panen tiba. Bahkan ketika para pemilik sawah sudah tidak memerlukan pekerja
lagi, Umi rela memungut sisa-sia padi hasil panen yang terbuang di tanah. Kegiatan
yang tidak pernah Umi lakukan selama kami tinggal di kota. Apalagi saat Abah
masih bekerja. Tetapi, dengan ketulusan hati dan kebesaran cintanya kepada kami
Umi rela melakukan semuanya.
“Assalamualaikum….” sapaku
lembut membuat seorang perempuan setengah baya berkerudung abu-abu mendongak.
Ia lalu berdiri dari duduknya dengan senyum mengembang, bagai bunga matahari
yang baru mekar.
“Waalaikum salam…. Ais!“
Pekiknya. Aku menghambur memeluknya. Mencium punggung tangannya, lalu kedua
pipinya. Umi mencium keningku dengan mata berkaca-kaca. “Kamu sehat, nak?”
“Alhamdulillah, Umi. Gimana
kabar, Umi?” tanyaku sambil tetap menggenggam tangan Umi. Tangan itu kini
terasa kering dan kasar. Tempaan berat yang dihadapi Umi sudah menyusutkan tubuhnya
yang dulu gemuk. Wajahnya mulai menua dengan gurat-gurat lelah yang tidak bisa
disembunyikan. Bahkan gigi-giginya mulai tanggal satu persatu. Tetapi genggaman
tangan itu, pancaran mata itu, dan senyum dengan gigi ompong itu telah
mengalirkan cinta dalam diriku.
“Umi baik. Abahmu itu, sudah
mulai batuk-batuk lagi. Gimana kuliahmu?” Umi membawaku masuk dan menemui Abah.
Hawa dingin menetralisir keringat yang membanjir di sekujur tubuhku. Aku
melepas kemeja dan membiarkan singlet tetap melekat di tubuhku agar keringat
ini segera menguap. Kutemui Abah yang sedang berbaring di ranjangnya. Mencium
tangannya lalu memijit-mijit kakinya sambil menanyakan kabar dan sesekali
menirukan nasihat Umi agar Abah berhenti merokok, dan mengurangi minum kopi.
Aku membuka isi ranselku dan
mengeluarkan beberapa bungkus makanan yang kubawa sebagai oleh-oleh. “Ini, Mi,
roti kesukaan Umi. Roti unyil.” Aku mengambil satu potong roti super mini itu
dan menyuapi Umi. Mata Umi mengerjap-ngerjap, menikmati lezatnya roti isi keju
itu. “Enak, Mi?” tanyaku girang.
“Enak-lah, Ais. Ini kan roti
mahal. Kamu gak usah boros-boros begini,” balas Umi.
“Sekali-kali, Umi. Ini juga
karena ada sisa gajian. Semester ini kan Ais dapat beasiswa lagi, jadi ada uang
lebih, Mi,” ucapku membanggakan diri.
“Alhamdulillah kalau begitu. Ais
sudah makan?” balas Umi.
“Belum, Mi. Umi masak apa?” aku
langsung ngiler membayangkan ikan asin
dan sambal terasi buatan Umi yang selalu membuat selera makanku memuncak.
“Sebentar ya, Is. Berasnya masih
Umi bersihkan. Adik-adikmu lagi Umi suruh cari kayu bakar. Kamu tahu kan, minyak
tanah sekarang ini mahal banget.” Umi
lalu bergegas menuju tempatnya tadi duduk. Melanjutkan pekerjaannya yang
tertunda karena kehadiranku yang tiba-tiba.
“Kemarin Abah ke pasar. Pas
turun beras di tengkulak. Biasalah Abahmu, nyapu-nyapu. Ya ini hasilnya,” kata
Umi saat aku jongkok melihat apa yang Umi lakukan.
Menyapu? Terbayang di pelupuk
mataku, bagaimana Abah memungut beras-beras yang tercecer saat karung-karung
berisi kwintalan beras itu diangkut para kuli dari truk menuju agen-agen beras.
Beras-beras yang berceceran itu sudah
pasti bercampur dengan kerikil dan pasir. Dan yang Umi lakukan di hadapanku
saat ini adalah memisahkan beras-beras itu dari pasir-pasir hitam yang lebih
banyak jumlahnya. Butiran beras putih itu akan menjadi nasi yang kami makan
malam ini.
“Kalau tidak begini, bagaimana
adik-adikmu bisa makan, Is. Apalagi sekarang bukan musim panen, jadi Umi gak bisa
bantu-bantu kuli. Kalau panen Umi bisa mungut gabah. Lumayan bisa Umi kumpulkan
dan hasilnya bisa digiling jadi beras.” Jelas Umi saat melihat aku berubah
diam.
Mataku tiba-tiba terasa berat. Dalam
sekali kedip, genangan air tumpah. Bergulir, menyaput pedihnya hati ini. Menelusuri
kelamnya kehidupan keluarga kami. Bersyukur kami memiliki Umi. Tak terbayang
bagaimana kehidupan kami tanpa beliau. Kesabaran hati Umi adalah permata bening
paling berharga di rumah kami. * * *
Nikmati cerpen-cerpen apik dari 31 penulis lainnyadalam buku :
Ibu Dalam Kehidupanku
Nikmati cerpen-cerpen apik dari 31 penulis lainnyadalam buku :
Ibu Dalam Kehidupanku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar