Sabtu, 21 Desember 2013

Cuplikan Cerpen : SEBUTIR BERAS, SEGENGGAM CINTA UMI


dalam Kumcer "Ibu Dalam Kehidupanku"

Siang itu matahari berada persis di atas ubun-ubun. Terik nyaris membuat kepalaku berasap. Tapi aku tak peduli. Aku terus berjalan di atas pematang sawah bertanah retak. Ingatanku tertuju hanya padanya. Umi.
                Hawa sejuk menyambutku. Memenuhi rongga pernapasan, membuat sesak akibat berjejalan di dalam bis kota selama dalam perjalanan tadi menguap sudah. Aku menikmati saat-saat itu sebagai bagian dari rasa syukur  yang selalu Umi ajarkan. Pun pada saat kami menghadapi betapa peliknya hidup ini.
                “Sabar, itu nomor satu anak-anak. Yang kedua, ucapkan syukur setiap waktu. Semakin sering kita bersyukur, akan semakin bertambah nikmat yang Tuhan karuniakan kepada kita,” ucap Umi pada suatu senja berselimut lembayung. Aku dan adik-adik mengelilingi Umi, menikmati lembayung indah nan penuh warna sambil meresapi setiap petuahnya.
                Umi adalah ibu yang sangat penyabar. Kesulitan hidup yang dilaluinya selama menikah dengan Abah adalah bagian dari kenikmatan yang selalu disyukurinya. Lima puluh tahun lebih Umi melewati  semua. Berbagai cobaan tumpang tindih, tetapi kesabaran Umi sanggup mengalahkan badai sehebat apapun. Umi mengajarkan kepada kami, bahwa hidup ini bukan untuk dikeluhkan, tetapi untuk dijalani dengan tulus dan ikhlas. Kami -anak-anak Umi bersepuluh-, adalah buah cinta yang Tuhan berikan sebagai pelengkap kebahagiaannya. Begitu pengakuan Umi yang membuat cinta kami semakin besar padanya.
                Tinggal beberapa petak sawah yang harus kulalui. Rindu ini rasanya semakin membuncah. Sejak aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja di luar kota, praktis kesibukanku menyita waktu. Untuk sekedar menjenguk Umi saja aku nyaris tidak bisa. Dan dua bulan sudah -sejak keluarga kami pindah ke kampung ini-, aku belum menengok Umi, Abah dan adik-adikku lagi. Dulu, kami tinggal di sebuah kota kecil, tempat persinggahan para wisatawan yang melintas dari Jakarta ke Bandung. Tapi kota itu makin semrawut dan membuat kehidupan kami tak nyaman lagi. Apalagi adik-adikku sedang dalam proses tumbuh remaja. Pergaulan yang kurang baik di tempat tinggal kami sebelumnya sangat riskan bagi perkembangan jiwa mereka. Akhirnya kami memutuskan untuk pindah dan memulai kehidupan yang baru di kampung kecil ini.
                Sejak pindah itulah kehidupan kami mulai mengalami kesulitan yang lebih besar. Abah mulai jarang berangkat kerja. Selain jarak tempat kerja Abah cukup jauh dari kampung, kesehatannya pun mulai menurun. Sesekali, saat merasa cukup sehat, Abah pergi ke pasar, tempat dulu ia bekerja -sebagai petugas security-, dan menjalankan tugasnya. Tetapi karena Abah sering mangkir, kerap gajinya dipotong oleh bagian administrasi. Bahkan pada akhirnya Abah diberhentikan. Meskipun demikian Abah masih tetap berangkat ke pasar sekedar untuk mengais rezeki dengan cara apapun, dan pulang dengan hasil seadanya. Meski lebih sering pulang dengan tangan hampa.
                Sebagai seorang istri, juga ibu, Umi menerima keadaan ini dengan lapang dada. Ia lebih memilih tinggal di kampung dengan kehidupan sederhana dan kekurangan, daripada tinggal di kota dan menyaksikan anak-anaknya tumbuh dalam lingkungan yang kurang baik. Pergaulan bebas dengan berbagai risiko  berat, terutama berkaitan dengan miras dan narkoba, adalah penyakit masyarakat yang sulit dibasmi. Kehidupan yang bukan merupakan pilihan, tetapi saat kita berada dalam lingkungan yang dominan  seperti itu, dengan sendirinya kita akan terjebak hingga sulit untuk melepaskan diri. Umi rela turun ke sawah untuk menjadi kuli menanam padi, menyiangi gulma, dan memotong padi saat panen tiba. Bahkan ketika para pemilik sawah sudah tidak memerlukan pekerja lagi, Umi rela memungut sisa-sia padi hasil panen yang terbuang di tanah. Kegiatan yang tidak pernah Umi lakukan selama kami tinggal di kota. Apalagi saat Abah masih bekerja. Tetapi, dengan ketulusan hati dan kebesaran cintanya kepada kami Umi rela melakukan semuanya.
                “Assalamualaikum….” sapaku lembut membuat seorang perempuan setengah baya berkerudung abu-abu mendongak. Ia lalu berdiri dari duduknya dengan senyum mengembang, bagai bunga matahari yang baru mekar.
                “Waalaikum salam…. Ais!“ Pekiknya. Aku menghambur memeluknya. Mencium punggung tangannya, lalu kedua pipinya. Umi mencium keningku dengan mata berkaca-kaca. “Kamu sehat, nak?”
                “Alhamdulillah, Umi. Gimana kabar, Umi?” tanyaku sambil tetap menggenggam tangan Umi. Tangan itu kini terasa kering dan kasar. Tempaan berat yang dihadapi Umi sudah menyusutkan tubuhnya yang dulu gemuk. Wajahnya mulai menua dengan gurat-gurat lelah yang tidak bisa disembunyikan. Bahkan gigi-giginya mulai tanggal satu persatu. Tetapi genggaman tangan itu, pancaran mata itu, dan senyum dengan gigi ompong itu telah mengalirkan cinta dalam diriku.
                “Umi baik. Abahmu itu, sudah mulai batuk-batuk lagi. Gimana kuliahmu?” Umi membawaku masuk dan menemui Abah. Hawa dingin menetralisir keringat yang membanjir di sekujur tubuhku. Aku melepas kemeja dan membiarkan singlet tetap melekat di tubuhku agar keringat ini segera menguap. Kutemui Abah yang sedang berbaring di ranjangnya. Mencium tangannya lalu memijit-mijit kakinya sambil menanyakan kabar dan sesekali menirukan nasihat Umi agar Abah berhenti merokok, dan mengurangi minum kopi.
                Aku membuka isi ranselku dan mengeluarkan beberapa bungkus makanan yang kubawa sebagai oleh-oleh. “Ini, Mi, roti kesukaan Umi. Roti unyil.” Aku mengambil satu potong roti super mini itu dan menyuapi Umi. Mata Umi mengerjap-ngerjap, menikmati lezatnya roti isi keju itu. “Enak, Mi?” tanyaku girang.
                “Enak-lah, Ais. Ini kan roti mahal. Kamu gak usah boros-boros begini,” balas Umi.
                “Sekali-kali, Umi. Ini juga karena ada sisa gajian. Semester ini kan Ais dapat beasiswa lagi, jadi ada uang lebih, Mi,” ucapku membanggakan diri.
                “Alhamdulillah kalau begitu. Ais sudah makan?” balas Umi.
                “Belum, Mi. Umi masak apa?” aku langsung ngiler membayangkan ikan asin dan sambal terasi buatan Umi yang selalu membuat selera makanku memuncak.
                “Sebentar ya, Is. Berasnya masih Umi bersihkan. Adik-adikmu lagi Umi suruh cari kayu bakar. Kamu tahu kan, minyak tanah sekarang ini mahal banget.” Umi lalu bergegas menuju tempatnya tadi duduk. Melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena kehadiranku yang tiba-tiba.
                “Kemarin Abah ke pasar. Pas turun beras di tengkulak. Biasalah Abahmu, nyapu-nyapu. Ya ini hasilnya,” kata Umi saat aku jongkok melihat apa yang Umi lakukan.
                Menyapu? Terbayang di pelupuk mataku, bagaimana Abah memungut beras-beras yang tercecer saat karung-karung berisi kwintalan beras itu diangkut para kuli dari truk menuju agen-agen beras. Beras-beras yang berceceran itu  sudah pasti bercampur dengan kerikil dan pasir. Dan yang Umi lakukan di hadapanku saat ini adalah memisahkan beras-beras itu dari pasir-pasir hitam yang lebih banyak jumlahnya. Butiran beras putih itu akan menjadi nasi yang kami makan malam ini.
                “Kalau tidak begini, bagaimana adik-adikmu bisa makan, Is. Apalagi sekarang bukan musim panen, jadi Umi gak bisa bantu-bantu kuli. Kalau panen Umi bisa mungut gabah. Lumayan bisa Umi kumpulkan dan hasilnya bisa digiling jadi beras.” Jelas Umi saat melihat aku berubah diam.
                Mataku tiba-tiba terasa berat. Dalam sekali kedip, genangan air tumpah. Bergulir, menyaput pedihnya hati ini. Menelusuri kelamnya kehidupan keluarga kami. Bersyukur kami memiliki Umi. Tak terbayang bagaimana kehidupan kami tanpa beliau. Kesabaran hati Umi adalah permata bening paling berharga di rumah kami.  * * *

Nikmati cerpen-cerpen apik dari 31 penulis lainnyadalam buku :
Ibu Dalam Kehidupanku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar