Kamis, 28 Februari 2013

Cuplikan cerpen "My Special Gift" dalam buku " Sepanjang Rel Kereta"


My Special Gift
Kamiluddin Azis



“Yara?“ mataku nyaris loncat saat melihat perempuan cantik berambut sebahu itu tiba-tiba muncul di hadapanku. Sudah lebih dari tiga tahun aku dan Yara  tidak bertemu.
“Apa kabar, Rud?” Mata bulat gadis itu menari. Yara lalu meletakkan sebuah kantong kertas di atas meja kecil dekat mesin kasir dan sebuah notebook yang baru saja kumatikan.
            Yara, gadis mungil berkulit coklat itu, adalah sahabatku sejak kami sama-sama duduk di kelas V SD. Waktu itu Yara adalah anak baru pindahan dari Jakarta yang selalu menjadi pusat perhatian banyak siswa. Ia sangat baik dan perhatian.  Kecocokan satu sama lain membuat kami dekat sampai kami masuk SMP, bahkan kelas yang sama selama tiga tahun berturut-turut.
            Lepas SMP, aku dan Yara memilih sekolah yang berbeda. Yara masuk SMU terkemuka di Jawa, sedangkan aku sekolah kejuruan otomotif, dengan harapan setelah lulus nanti aku bisa langsung bekerja dan membantu orangtuaku. Dan sejak saat itu praktis komunikasi kamu terputus. Tapi kami saling memberi kabar melalui chatingdi situs jejaring sosial. Saling berbagi support dan semangat saat salah satu diantara kami sedang down. Semua berjalan sampai Yara masuk kuliah dan aku membuka usaha kecil-kecilan ini. Rasanya tidak ada yang berubah sama sekali dengan persahabatan kami selain jarak yang terbentang cukup jauh. Yara masih memberiku spirit untuk terus maju, untuk tidak mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup dan tetap berjuang di saat cobaan tak henti mendera.            “Tambah maju sekarang kamu, Rud!” UcapYara sambil memperhatikan ruangan kecil tempatku bekerja. Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan peralatan montir, spare part kendaraan dan lantai belepotan oli. Aku tersenyum menanggapi komentar pertama Yara saat melihat kondisiku. Dalam beberapa chating kami, aku sudah banyak bercerita tentang bengkel kecil-kecilan yang kubuka sejak lulus SMK. Pinjaman modal dari temannya Bapak sangat membantuku. Karena tidak memiliki cukup pengalaman, aku tidak percaya diri untuk memulai usaha ini. Tapi Yara yang saat itu baru masuk kuliah jurusan manajemen memberikanku suntikan keyakinan, sehingga secara perlahan aku mulai bangkit. Dan dibukalah bengkel kecil ini di salah satu sudut pinggiran kota Bandung.
Sejak dulu Yara memang sangat baik dan perhatian padaku. Cuma Yara yang tahu kalau isi dompetku hanya cukup untuk membayar ongkos berangkat sekolah saja. Sedangkan untuk pulang, sudah bisa dipastikan aku bakalan nebeng truk pengangkut sayuran atau binatang ternak. Jadi, boro-boro jajan apalagi traktir teman, aku saja lebih sering puasa dan pura-pura sibuk di perpus supaya tidak ketahuan kalau aku super bokek. Aku adalah cowok kutu buku yang tongpes alias kantong kempes, cupu dan kurang gaul. Dan, cuma Yara yang tahu kalau aku setengah mati menahan sabar karena selalu jadi bahan ledekan teman-teman sekelas. Cuma Yara yang lalu datang menghibur dan sesekali membagi separuh sandwich makan siangnya padaku.  Dan sampai sekarang Yara tidak pernah berubah. Itulah yang membuatku semakin kagum padanya. Aku tak pernah berhenti menyayanginya.
“Kamu yang hebat, sebentar lagi mau jadi sarjana,” balasku sambil memperhatikan raut Yara yang tiba-tiba sedikit berubah. “Kenapa, Yar? Emh, gimana kalau kita makan bakso, yuk!” ajakku, mencoba mencairkan atmosfer yang tiba-tiba membeku.
Setelah menitipkan bengkel pada anak buahku, aku dan Yara menuju sebuah kedai bakso tidak jauh dari workshop-ku.
“Berapa lama liburannya, Yar?” tanyaku sambil memasukkan potongan bakso urat ke mulutku.
“Aku tidak sedang liburan, Rud. Lagi cuti.” Yara memainkan sendok dan garfunya tanpa minat.
“Cuti? Kenapa? Bukannya kamu ingin lulus lebih cepat, Yar?” aku heran melihat sikap Yara yang tiba-tiba berubah seperti itu. Tidak biasanya dia malas-malasan. Libur semester kemarin saja dia mengambil kuliah semester pendek.
“Ayahku terkena masalah.” Yara membuang pandangannya ke jalan raya yang mulai ramai. “Ayah dituduh terlibat korupsi oleh pihak manajemen perusahaan tempatnya bekerja. Sudah lima bulan ini ia dinonaktifkan. Bahkan, Ayah tidak mendapatkan gaji sepeserpun, padahal semua tuduhan itu belum terbukti sama sekali. Aku bahkan yakin, Ayah tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu.” Suara Yara berubah parau.
Aku meletakkan sendok dan mengalihkan semua perhatianku pada Yara. Gadis itu tampak sedih. Aku tidak melihat binar semangat di matanya. Senyumnya meredup. Butiran es bisa luruh setiap saat ia berkedip. Kupegang erat tangan Yara. Kristal itupun berguguran. Kurebahkan kepala Yara ke pundakku, berharap bisa membuatnya merasa lebih nyaman. Gadis itu menangis hebat, tak peduli orang lain di sekitar bertanya-tanya kenapa.
Ayah Yara adalah seorang deputi keuangan di sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang jasa asuransi. Ia orang kedua setelah CEO (Chief Executive Officer) dan memiliki tugas yang sangat kompleks. Itulah sebabnya secara financial Yara tampak sangat mapan dibanding aku, dan aku tidak pernah berpikir sekalipun jika suatu waktu kehidupannya akan berubah seperti ini.
“Kamu tahu, Rud, sudah dua semester ini aku kuliah sambil kerja. Meskipun hasilnya tidak seberapa, tetapi minimal aku sudah bisa belajar mandiri. Maafkan aku ya, Rud karena tak pernah bisa jujur padamu. Aku malu, sebenarnya aku menyemangatimu sekalian juga menyemangati diri sendiri. Dan itu cukup berhasil untuk membuatku tidak down.”
Aku salut sama Yara. Dari dulu, meskipun anak orang kaya, tapi dia tak pernah sombong dan merendahkan orang lain.
“Terus rencanamu apa, Yar?” tanyaku saat kulihat Yara sudah lebih bisa menguasai diri.
“Aku akan mencari pekerjaan di sini, Rud. Mudah-mudahan di Bandung aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Aku akan tinggal di rumah tanteku karena rumah orangtuaku yang dulu sudah dijual untuk menutupi biaya hidup kami selama Ayah tidak bekerja.”
“Kalau kamu mau, sambil menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak, kamu bisa bantu-bantu pembukuan bengkelku. Gimana, Yar?” tiba-tiba sebuah ide segar mampir di kepalaku.
“Serius, Rud?” Yara nyaris berteriak kalau saja tidak keburu sadar kami berada di tempat umum. Matanya kembali bersinar.
Aku mengangguk. “Asal kamu terbiasa saja dengan bau oli dan keringat penghuni bengkel,” godaku membuat bibir Yara melengkung indah.
“Itu sih sudah biasa. Selama di Jawa aku pernah turun ke tempat yang jauh lebih bau. Pokoknya kalau Kamu ngasi aku kesempatan kerja di bengkelmu, aku akan jadikan bengkelmu lebih ramai. Aku mau buatkan situs atau blog dan promo di facebook supaya Bengkel Rudiana Surya semakin terkenal.” Celotehnya penuh semangat.
Begitulah Yara, kesedihan tidak akan pernah mampir lama dalam hidupnya, karena gadis ini memang dilahirkan untuk menikmati semua kebahagiaan yang Tuhan ciptakan. Aku baru ingat kalau ini adalah bulan Desember, dan sebentar lagi Yara akan berulang tahun. Semoga apa yang kulakukan bisa membuatnya bahagia. Anggap saja ini sebagai kado ulang tahun yang belum pernah kuberikan padanya.  Semacam Special Gift dari seorang sahabat sekaligus secret admirer-nya. Aku senang bisa mengusir sedikit lara di hatinya. Dan kalau mungkin aku ingin bisa membuatnya selalu tersenyum dan bahagia.
“Hey, kenapa, Kamu?” Yara mencubit lenganku dan membuyarkan semua lamunanku.
“Eng… enggak… Ayo kita mulai beraksi!” Aku menarik tangan Yara. Setelah membayar makanan dan minuman kami, kugenggam tangan Yara, dan selama perjalanan menuju bengkel tak kulepaskan meski sedetik. Tidak ada percakapan diantara kami. Kepalaku sibuk memikirkan hari-hari yang akan kami jalani ke depan. Entah apa yang ada dalam benak Yara. Semoga sesuatu yang bisa membuat hubungan kami semakin erat.

*

 Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda  juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.

Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar