Seliter Bensin,
Sepenggal Nyawa
Kamiluddin
Azis
Laki-Laki
setengah baya itu terkulai tak berdaya. Seluruh tubuhnya dibalut perban akibat
luka bakar yang dialaminya kemarin. Kios bensin eceran tempatnya selama ini
mengais rezeki secara tidak sengaja terbakar gara-gara ember berisi bensin terjatuh.
Cairan bensin mengalir dan mengenai setumpuk sampah tidak jauh dari kios itu. Sebuah puntung
rokok yang belum padam betul menjadi pemicu kebakaran. Dan nahasnya, lelaki itu
kesulitan menyelamatkan diri karena api dengan mudah melahap kiosnya yang
terbuat dari kayu dan triplek.
“Luka bakar 85% membuat Pak Imron
harus mendapatkan perawatan intensif. Saluran pernafasannya menyempit. Kami harus
melakukan operasi supaya oksigen bisa masuk ke paru-parunya.” Seorang dokter
menjelaskan kondisi lelaki penjual bensin itu pada istrinya. Perempuan
berpenampilan sangat sederhana itu hanya bisa menangis mendengar penjelasan
dokter. Ia tidak tahu bagaimana nasib suami dan dirinya jika ia tidak bisa
tertolong. Saat kejadian itu, si Ibu sedang berjualan makanan keliling di
pasar.
Betapa hidup sangat berat dan tidak
adil. Setidaknya itu yang ada dalam benak Bu Inah saat menghadapi cobaan ini.
Ia dan Pak Imron terpaksa berjualan bensin eceran sejak suaminya pensiun dari
pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Uang pensiun yang diberikan perusahaan itu
hanya mampu menyambung hidup mereka berdua selama beberapa bulan saja. Sebagian
kecil disisihkan untuk modal usaha. Sejak
pernikahan mereka 30 tahun lalu Tuhan memang belum juga memberikan mereka
keturunan. Tapi ketika masih berjaya, mereka sempat mengadopsi beberapa
keponakannya. Hanya saja setelah anak-anak itu cukup besar, keluarganya memintanya kembali.
Setelah berhari-hari Pak Imron
dirawat di rumah sakit, Bu Inah mulai kebingungan. Selain biaya rumah sakit
yang pastinya sangat besar, ia mulai mengkhawatirkan nasib mereka jika suaminya
sudah pulih. Beberapa tetangga dan saudara dekatnya memang secara sukarela
membantu. Ia juga mendapat keringanan biaya dengan jaminan kartu miskin yang
dimilikinya. Tapi, tetap saja ia harus membayar beberapa jenis biaya yang tidak
bisa ditanggung oleh kartu sakti itu. Seperti obat luka bakar dan penahan nyeri
yang harganya sangat mahal. Bu Inah sudah mencoba mencari pinjaman ke sana ke
mari, tetapi hasilnya nihil.
Dalam solat malamnya Bu Inah meratap,
mengadukan nasibnya kepada Sang Pemberi Kesabaran. Ia yakin, Tuhan tidak akan
pernah tidur saat manusia yang tengah ditimpa kemalangan, tetapi selalu
teringat pada-Nya. Melalui tangan Tuhan seribu satu keajaiban bisa saja terjadi
hanya dalam satu kedipan mata.
“Permisi,
Suster... kamar Pak Imron di mana ya?” tanya seorang lelaki muda pada suster
yang bertugas di balik meja.
“Di
sebelah sana, Pak. Itu istrinya
kebetulan ada di luar,” jelas suster itu dengan ramah sambil menunjuk Bu
Inah yang kebetulan sedang berada di ruang tunggu.
Saat
mendengar namanya disebut, Bu Inah lalu berdiri. Menyambut lelaki muda berwajah
bersih yang kemudian menghampirinya, dengan raut penuh tanda tanya.
“Ibu,
maaf, saya baru tahu kalau Bapak kena kecelakaan,” ujarnya seraya menyalami Bu Inah
dengan raut sedih.
“Iya,
tidak apa-apa. Tapi maaf, Adik ini siapa ya?”
“Saya
Tio, Bu. Beberapa bulan yang lalu saya pernah membeli bensin di tempat Bapak.
Tapi karena dompet saya tertinggal, sementara saya buru-buru sekali, saya belum
membayarnya. Bapak memang sudah mengikhlaskannya waktu itu, tetapi saya merasa
sangat berhutang budi pada Bapak.”
Saat itu, Tio harus menghadapi wawacara kerja
penentuan. Nasibnya benar-benar ditentukan hari itu. Di tengah jalan, motor tua
yang dikendarai Tio kehabisan bensin. Setelah berjalan cukup jauh ia menemukan
kios bensin Pak Imron. Tapi sayang, ternyata dompetnya ketinggalan. Pak Imron
mengerti dan dengan rela memberikan bensin dagangannya kepada Tio tanpa harus
dibayar. Tetapi Tio bertekad akan segera membayarnya.
Rupanya
Hari itu adalah hari keberuntungan Tio. Ia diterima bekerja di perusahaan itu,
bahkan mendapat posisi yang sangat bagus. Keesokan harinya ia sudah langsung
bekerja dan ditugaskan di luar kota untuk beberapa bulan ke depan. Saat ia
kembali ke kantor pusat beberapa hari lalu, ia teringat akan jasa Pak Imron.
Kalau saja ia tidak membeli bensin di kios Pak Imron hari itu, bagaimana
mungkin ia bisa mengikuti wawancara tepat waktu sampai mendapatkan pekerjaan
yang ia idam-idamkan itu. Ia pun segera menuju kios Pak Imron. Tapi apa yang ia
dapatkan, kios itu sudah rata dengan tanah. Dalam keadaan hitam sisa terbakar.
Setelah mencari tahu apa yang terjadi, Tio pun menyusul ke rumah sakt tempat
Pak Imron dirawat.
“Saya
ingin berterima kasih kepada Bapak. Saya akan membayar semua biatya rumah sakit
Bapak. Mohon Ibu mengijinkannya,” ucap Tio seraya menggenggam tangan Bu Inah sebagai
bentuk kesungguhannya.
Butiran-butiran
bening berjatuhan dari kelopak mata Bu Inah. Allah memang Maha Pemurah.
Doa-doanya kini terkabul. Pak Imron mendapat pertolongan dari orang yang pernah
ia bantu, meskipun itu tidaklah seberapa. Tio mendapatkan posisi jabatan yang
sangat menjanjikan di perusahaan itu. Dan kini ia mau berbagi rezekinya
sebagaimana yang telah Pak Imron lakukan padanya tempo hari.
“Terima
kasih, ya Allah. Terima kasih, Nak Tio.” Tak henti-henti Bu Inah mengucap
syukur pada Tuhan.
Kini,
harapan itu kembali hadir. Setelah Pak Imron dioperasi dan berobat jalan secara
rutin, kesehatannya berangsur pulih. Tio membiayai semuanya. Bahkan ia
memberikan bantuan uang untuk modal usaha Bu Inah buka warung kecil-kecilan di
rumahnya. Betapa kebaikan dan ketulusan hati Pak Imron yang telah memberikan
secara cuma-Cuma seliter bensin telah menyelamatkan hidupnya. Itulah indahnya
berbagi dalam hidup ini.
*
Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.
Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar