Kamis, 28 Februari 2013

Cuplikan cerpenku dalam kumcer "Berbagi Abi"


Seliter Bensin, Sepenggal Nyawa
Kamiluddin Azis



Laki-Laki setengah baya itu terkulai tak berdaya. Seluruh tubuhnya dibalut perban akibat luka bakar yang dialaminya kemarin. Kios bensin eceran tempatnya selama ini mengais rezeki secara tidak sengaja terbakar gara-gara ember berisi bensin terjatuh. Cairan bensin mengalir dan mengenai setumpuk sampah  tidak jauh dari kios itu. Sebuah puntung rokok yang belum padam betul menjadi pemicu kebakaran. Dan nahasnya, lelaki itu kesulitan menyelamatkan diri karena api dengan mudah melahap kiosnya yang terbuat dari kayu dan triplek.
            “Luka bakar 85% membuat Pak Imron harus mendapatkan perawatan intensif. Saluran pernafasannya menyempit. Kami harus melakukan operasi supaya oksigen bisa masuk ke paru-parunya.” Seorang dokter menjelaskan kondisi lelaki penjual bensin itu pada istrinya. Perempuan berpenampilan sangat sederhana itu hanya bisa menangis mendengar penjelasan dokter. Ia tidak tahu bagaimana nasib suami dan dirinya jika ia tidak bisa tertolong. Saat kejadian itu, si Ibu sedang berjualan makanan keliling di pasar.
            Betapa hidup sangat berat dan tidak adil. Setidaknya itu yang ada dalam benak Bu Inah saat menghadapi cobaan ini. Ia dan Pak Imron terpaksa berjualan bensin eceran sejak suaminya pensiun dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik. Uang pensiun yang diberikan perusahaan itu hanya mampu menyambung hidup mereka berdua selama beberapa bulan saja. Sebagian kecil disisihkan untuk modal usaha.  Sejak pernikahan mereka 30 tahun lalu Tuhan memang belum juga memberikan mereka keturunan. Tapi ketika masih berjaya, mereka sempat mengadopsi beberapa keponakannya. Hanya saja setelah anak-anak itu cukup besar,  keluarganya memintanya kembali.
            Setelah berhari-hari Pak Imron dirawat di rumah sakit, Bu Inah mulai kebingungan. Selain biaya rumah sakit yang pastinya sangat besar, ia mulai mengkhawatirkan nasib mereka jika suaminya sudah pulih. Beberapa tetangga dan saudara dekatnya memang secara sukarela membantu. Ia juga mendapat keringanan biaya dengan jaminan kartu miskin yang dimilikinya. Tapi, tetap saja ia harus membayar beberapa jenis biaya yang tidak bisa ditanggung oleh kartu sakti itu. Seperti obat luka bakar dan penahan nyeri yang harganya sangat mahal. Bu Inah sudah mencoba mencari pinjaman ke sana ke mari, tetapi hasilnya nihil.
            Dalam solat malamnya Bu Inah meratap, mengadukan nasibnya kepada Sang Pemberi Kesabaran. Ia yakin, Tuhan tidak akan pernah tidur saat manusia yang tengah ditimpa kemalangan, tetapi selalu teringat pada-Nya. Melalui tangan Tuhan seribu satu keajaiban bisa saja terjadi hanya dalam satu kedipan mata.
“Permisi, Suster... kamar Pak Imron di mana ya?” tanya seorang lelaki muda pada suster yang bertugas di balik meja.
“Di sebelah sana, Pak. Itu istrinya  kebetulan ada di luar,” jelas suster itu dengan ramah sambil menunjuk Bu Inah yang kebetulan sedang berada di ruang tunggu.
Saat mendengar namanya disebut, Bu Inah lalu berdiri. Menyambut lelaki muda berwajah bersih yang kemudian menghampirinya, dengan raut penuh tanda tanya.
“Ibu, maaf, saya baru tahu kalau Bapak kena kecelakaan,” ujarnya seraya menyalami Bu Inah dengan raut sedih.
“Iya, tidak apa-apa. Tapi maaf, Adik ini siapa ya?”
“Saya Tio, Bu. Beberapa bulan yang lalu saya pernah membeli bensin di tempat Bapak. Tapi karena dompet saya tertinggal, sementara saya buru-buru sekali, saya belum membayarnya. Bapak memang sudah mengikhlaskannya waktu itu, tetapi saya merasa sangat berhutang budi pada Bapak.”
 Saat itu, Tio harus menghadapi wawacara kerja penentuan. Nasibnya benar-benar ditentukan hari itu. Di tengah jalan, motor tua yang dikendarai Tio kehabisan bensin. Setelah berjalan cukup jauh ia menemukan kios bensin Pak Imron. Tapi sayang, ternyata dompetnya ketinggalan. Pak Imron mengerti dan dengan rela memberikan bensin dagangannya kepada Tio tanpa harus dibayar. Tetapi Tio bertekad akan segera membayarnya.
Rupanya Hari itu adalah hari keberuntungan Tio. Ia diterima bekerja di perusahaan itu, bahkan mendapat posisi yang sangat bagus. Keesokan harinya ia sudah langsung bekerja dan ditugaskan di luar kota untuk beberapa bulan ke depan. Saat ia kembali ke kantor pusat beberapa hari lalu, ia teringat akan jasa Pak Imron. Kalau saja ia tidak membeli bensin di kios Pak Imron hari itu, bagaimana mungkin ia bisa mengikuti wawancara tepat waktu sampai mendapatkan pekerjaan yang ia idam-idamkan itu. Ia pun segera menuju kios Pak Imron. Tapi apa yang ia dapatkan, kios itu sudah rata dengan tanah. Dalam keadaan hitam sisa terbakar. Setelah mencari tahu apa yang terjadi, Tio pun menyusul ke rumah sakt tempat Pak Imron dirawat.
“Saya ingin berterima kasih kepada Bapak. Saya akan membayar semua biatya rumah sakit Bapak. Mohon Ibu mengijinkannya,” ucap Tio seraya menggenggam tangan Bu Inah sebagai bentuk kesungguhannya.
Butiran-butiran bening berjatuhan dari kelopak mata Bu Inah. Allah memang Maha Pemurah. Doa-doanya kini terkabul. Pak Imron mendapat pertolongan dari orang yang pernah ia bantu, meskipun itu tidaklah seberapa. Tio mendapatkan posisi jabatan yang sangat menjanjikan di perusahaan itu. Dan kini ia mau berbagi rezekinya sebagaimana yang telah Pak Imron lakukan padanya tempo hari.
“Terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Nak Tio.” Tak henti-henti Bu Inah mengucap syukur pada Tuhan.
Kini, harapan itu kembali hadir. Setelah Pak Imron dioperasi dan berobat jalan secara rutin, kesehatannya berangsur pulih. Tio membiayai semuanya. Bahkan ia memberikan bantuan uang untuk modal usaha Bu Inah buka warung kecil-kecilan di rumahnya. Betapa kebaikan dan ketulusan hati Pak Imron yang telah memberikan secara cuma-Cuma seliter bensin telah menyelamatkan hidupnya. Itulah indahnya berbagi dalam hidup ini.

*


Baca puluhan kisah lainnya dalam buku ini. Sekalian mengoleksi buku bagus, Anda  juga sedang beramal karena royalti buku ini akan disumbangkan untuk penderita gagal ginjal.
Silakan order dan hubungi 083879804181 (Mas Wahyu Prakoso)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar