Rabu, 27 Februari 2013

Cuplikan cerpen 'Muara Insyafku' dalam 'Jantung Untuk Naya'









Muara Insyafku
Kamiluddin Azis


Mestinya aku tidak pernah melakukan hal itu. Dengan alasan apapun, perbuatan itu tetap saja salah. Dosa.
Sore itu, langit tampak muram. Lembayung enggan singgah di ufuk barat karena mendung menggelayut, seolah langit kan runtuh hanya dalam hitungan detik. Petir dan badai tak sabar mengantar rintik hujan menerobos atmosfer bumi.
Aku menengadahkan mukaku yang berlumur darah, berharap hujan akan menjilati perihku. Membasuh noda-noda yang melekat di setiap jengkal tubuhku. Menyucikan kembali setiap dosa yang teramat sulit kulepas.
Tuhan, andai Kauberikan satu saja pilihan untukku, aku tidak ingin terus menerus  berada dalam kubangan kotor ini. Kubangan penuh lumpur dalam labirin hidup yang sulit kulalui. Selalu saja terjebak pada jalan yang sama setelah aku berputar-putar putus asa. Lelah rasanya menghabiskan sisa hidupku yang kelam ini. Lelah dan putus asa.
“Ini malam terakhir. Aku janji, Sayang,” rayu laki-laki biadab itu. Rayu yang juga identik dengan sebuah ancaman. Sebab jika tak kuturuti apa maunya maka sekujur tubuhku bisa lebam tak karuan. Aku tahu, tak pernah ada malam terakhir. Selalu kalimat itu yang terucap. Dan esok, lusa, juga  seterusnya selalu saja ia memperlakukanku seperti binatang tanpa belas kasihan sedikitpun.
Laki-laki itu terus menghantui malamku. Menikam setiap rasa takut dan menghimpitku dalam dinding dingin dengan lengan besinya yang kokoh. Tak bisa kulukiskan lagi bagiamana relung ini tersiksa. Dalam gelap. Mencekam.
Aku ingin menyudahi semuanya.
“Tapi aku ingin menjadikan ini benar-benar sebagai malam terakhir, Pram!” bisikku sesaat setelah jiwa laki-laki itu mengembara dalam lelap. Aku yakin otakku tak lagi bekerja dengan jernih. Hanya bisik setan yang selalu berkawan denganku selama ini. Dan bisik itulah yang menguatkanku untuk menarik sebilah pisau yang sudah kusiapkan di bawah ranjang.
Dan malam ini, semua sudah tertunaikan.
*
Kubiarkan tubuhnya menggelepar dengan sisa darah yang masih mengalir dari celah atas tungkai kakinya. Sebagian tubuh itu tertutup selimut. Kaku dan pasrah. Seperti tubuhku yang menggigil di sampingnya. Pasrah. Kosong. Tak tahu apa lagi yang harus kulakukan
Mestinya aku bahagia, karena rasa sakit ini telah terbayar. Perih yang bersemanyam selama bertahun-tahun luruh perlahan. Sekerat daging bermandikan darah sebanding dengan Penghinaan yang selama ini  ia lakukan padaku. Ternyata semua itu adalah itulah obat mujarabku.
Butiran hujan masih mengguyur sekujur tubuhku. Dingin dan beku.Dalam sekejap dunia mendadak gelap. Tapi gelap ini jauh lebih indah dan sempurna dibanding kegelapan yang selama ini menyelemuti hidupku.
*


Baca kelanjutan kisahnya dalam Kumpulan Cerpen 'Jantung untuk Naya' bersama cerpen-cerpen lain yang sangat menyentuh.
Buku yang sangat bagus, mengiris hati, tetapi membuka hati dan pikiran untuk melakukan perbaikan dalam hidup ini. 
Membeli buku ini, berarti juga membantu saudara yang sedang didera musibah, karena royalti dari hasil penjualan ini akan disumbangkan untuk sebuah keluarga yang salah seorang anggotanya mengalami gagal ginjal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar