Muara Insyafku
Kamiluddin Azis
Mestinya
aku tidak pernah melakukan hal itu. Dengan alasan apapun, perbuatan itu tetap
saja salah. Dosa.
Sore
itu, langit tampak muram. Lembayung enggan singgah di ufuk barat karena mendung
menggelayut, seolah langit kan runtuh hanya dalam hitungan detik. Petir dan
badai tak sabar mengantar rintik hujan menerobos atmosfer bumi.
Aku
menengadahkan mukaku yang berlumur darah, berharap hujan akan menjilati perihku.
Membasuh noda-noda yang melekat di setiap jengkal tubuhku. Menyucikan kembali
setiap dosa yang teramat sulit kulepas.
Tuhan,
andai Kauberikan satu saja pilihan untukku, aku tidak ingin terus menerus berada dalam kubangan kotor ini. Kubangan
penuh lumpur dalam labirin hidup yang sulit kulalui. Selalu saja terjebak pada
jalan yang sama setelah aku berputar-putar putus asa. Lelah rasanya
menghabiskan sisa hidupku yang kelam ini. Lelah dan putus asa.
“Ini
malam terakhir. Aku janji, Sayang,” rayu laki-laki biadab itu. Rayu yang juga
identik dengan sebuah ancaman. Sebab jika tak kuturuti apa maunya maka sekujur
tubuhku bisa lebam tak karuan. Aku tahu, tak pernah ada malam terakhir. Selalu
kalimat itu yang terucap. Dan esok, lusa, juga
seterusnya selalu saja ia memperlakukanku seperti binatang tanpa belas
kasihan sedikitpun.
Laki-laki
itu terus menghantui malamku. Menikam setiap rasa takut dan menghimpitku dalam
dinding dingin dengan lengan besinya yang kokoh. Tak bisa kulukiskan lagi
bagiamana relung ini tersiksa. Dalam gelap. Mencekam.
Aku
ingin menyudahi semuanya.
“Tapi
aku ingin menjadikan ini benar-benar sebagai malam terakhir, Pram!” bisikku
sesaat setelah jiwa laki-laki itu mengembara dalam lelap. Aku yakin otakku tak
lagi bekerja dengan jernih. Hanya bisik setan yang selalu berkawan denganku
selama ini. Dan bisik itulah yang menguatkanku untuk menarik sebilah pisau yang
sudah kusiapkan di bawah ranjang.
Dan
malam ini, semua sudah tertunaikan.
*
Kubiarkan
tubuhnya menggelepar dengan sisa darah yang masih mengalir dari celah atas
tungkai kakinya. Sebagian tubuh itu tertutup selimut. Kaku dan pasrah. Seperti
tubuhku yang menggigil di sampingnya. Pasrah. Kosong. Tak tahu apa lagi yang
harus kulakukan
Mestinya
aku bahagia, karena rasa sakit ini telah terbayar. Perih yang bersemanyam
selama bertahun-tahun luruh perlahan. Sekerat daging bermandikan darah
sebanding dengan Penghinaan yang selama ini ia lakukan padaku. Ternyata semua itu adalah itulah
obat mujarabku.
Butiran
hujan masih mengguyur sekujur tubuhku. Dingin dan beku.Dalam sekejap dunia
mendadak gelap. Tapi gelap ini jauh lebih indah dan sempurna dibanding
kegelapan yang selama ini menyelemuti hidupku.
*
Baca kelanjutan kisahnya dalam Kumpulan Cerpen 'Jantung untuk Naya' bersama cerpen-cerpen lain yang sangat menyentuh.
Buku yang sangat bagus, mengiris hati, tetapi membuka hati dan pikiran untuk melakukan perbaikan dalam hidup ini.
Membeli buku ini, berarti juga membantu saudara yang sedang didera musibah, karena royalti dari hasil penjualan ini akan disumbangkan untuk sebuah keluarga yang salah seorang anggotanya mengalami gagal ginjal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar