Rabu, 23 Januari 2013

MEMEDI VESNING


MEMEDI VESNING

Kok ada ya cowok yang tergila-gila dengan warna kuning. Apa saja yang ia pakai mesti mengandung warna kuning. Tas, sepatu, topi, sampai geretan harus ada ornamen yang mengandung warna kuning. Entah berupa strip, buletan atau sekedar gambar-gambar tidak jelas pun tak masalah, yang penting ada unsur warna kuningnya.
            “Aturan ya, yang gue tahu, cowok itu sukanya warna hitam, biru atau coklat. Ini apaan kuning?”  Eko menggerutu saat Monti, cowok si penyuka warna kuning itu mengajaknya hunting motor bekas. Tentu saja Monti mencari motor dengan bodi berwarna kuning.
            “Lo tau, Ko, warna kuning itu seger, cerah, membuat mata melek. Membuat gue kelihatan awet muda dan full imajinasi,” bantah Monti sambil celingukan, menelusuri deretan motor bekas yang dipajang di areal Bursa Kendaraan Bekas di depan gedung TVRI Jogja, jalan Magelang, Yogyakarta.
            “Gue kalo masuk kamar lo yang kuning kaya di tengah sawah itu, nggak pernah tuh ngerasa dapat imajinasi apa-apa. Lo bilang kuning bisa meningkatkan konsentrasi, nggak ngepek tuh ke gue,” elak Eko tidak mau kalah.
            “Itu sih dasar elonya aja kali yang udah ilfil duluan dengan warna kuning. Jadi bawaannya males jadi otak lo lemot. Gue kasih tau, ya. IPK gue mana pernah anjlok coba, selalu di atas 3. Itu lo tau kenapa…”
            Karena warna kuning itu meningkatkan energi dan  mood belajar, bosen gue dengernya,” potong Eko menirukan kalimat yang sering sekali Monti ucapkan kalau mereka berdebat soal warna kuning. Eko memang kerap dibuat malu kalau jalan dengan sahabatnya ini. Bagaimana tidak, warna kuningnya itu loh yang selalu menjadi pusat perhatian orang-orang. Sudah berapa kali ia dicap sebagai pasangan gay Monti gara-gara ulah Monti yang narsis dan sok kepedean itu.
            “Horee… akhirnya ada juga motor kuning. Terereng….” Monti menunjuk sebuah motor tua dengan seluruh bodi nya berwana kuning mencolok.
            “Gila! Vespa? Ciuz, lo!” Ledek Eko tak percaya kalau temannya sudah semakin gila kuning itu. Ia tidak bisa membayangkan kalau Monti memakai vespa tua kuning itu ke kampus. Orang akan memicingkan matanya  karena silau melihat warna matahari yang terang benderang itu tiba-tiba berjejer diantara motor-motor keren di tempat parkir. Tidaaaak…. Jerit Eko sambil nginjak bumi tiga kali. Hiks.
*
            Jadilah vespa kuning itu pindah garasi ke rumah omnya Monti yang ia dan Eko tempati selama mereka kuliah di Jogja.
            Eko melirik sepeda kuning yang selama ini menjadi teman jalan-jalan sore Monti sudah digantung di pojokan. Padahal itu hadiah ultah dari Eko yang dengan susah payah ia cari di jalan Supeno beberapa bulan lalu.
            “Sori, Ko, sepeda dari lo pensiun dulu yak!”
             “Bodo amat! Hati-hati lo bawa vespa. Lo gowes aja masih sempoyongan. Nabrak truk sayur baru nyaho, lo.” Belum hilang gemetaran Eko saat Monti membawa vespa kuning itu dari TVRI sampai rumah kemarin siang.
            “Di sini aman, Ko, nggak ada geng motor,” kilahnya sambil ngutak-ngatik motor baru tapi bekasnya itu dengan gaya sok tahunya yang selangit itu.
            “Gue gak tanggung jawab kalau ada apa-apa dengan lo.” Eko cuek dengan diktat di tangannya. Besok hari terakhir UTS.
            “Tenang aja, kalau gue mati nyungseb got atau nubruk andong, gue bakalan pura-pura tetep hidup dan nemenin lo, deh. Dan kalo itu beneran kejadian, si Vesning gue warisin ke elo. Lo urus deh, ya, baik-baik!”
            “Sekate-kate, lo. Kualat tau!” Eko merinding membayangkan Monti nabrak becak atau andong, atau kendaran lain yang lebih gede. Amit-amit …. Ia mengetuk-ngetuk jarinya ke kepala.
            “Eh, Ko, anter gue yuk ke Beringharjo. Gue mau cari batik kuning, kan bentar lagi yayang tika gue ultah, gue mau pake batik baru nih,” Monti malah mengalihkan pembicaraan.
            “Ogaaahhh….” Eko buru-buru meraup semua diktatnya dan ngacir ke kamar. Tobat, gue… batinnya.
            Sore itu terpaksa Monti jalan-jalan ke pasar Beringharjo dengan vesning, alias vespa kuningnya sendirian. Dan, sayang sekali… apa yang Eko takutkan ternyata kejadian juga. Monti yang memang belum terlalu mahir mengendarai vespa bertabrakan dengan sebuah truk kuning pengangkut sayuran, saat ia meleng, gara-gara takjub melihat andong yang seluruh roda kayunya dicat warna kuning. Eko yang dihubungi pihak rumah sakit langsung datang dengan perasaan bersalah. Coba gue temani lo, Mon, kejadiannya nggak akan begini, sesal Eko.
            “Teman Anda meninggal di tempat,” jelas dokter dari pihak rumah sakit.    Tangis Eko pecah begitu melihat tubuh Monti yang sudah ditutupi kain putih dengan noda darah di mana-mana.
            “Monti, maafin gue. Gue nyesel nggak nemenin lo pergi…” raung Eko sambil menatap sahabatnya yang sudah terbujur kaku.
            “Ngapain lo nangis? Lo nyesel ya nggak nemenin gue nyari batik kuning?”
            Eko merasa ada suara Monti di belakangnya. Ia lalu menoleh dan seketika itu juga ia terperanjat. “Mon, elo…? Bukannya …?” Eko melihat jasad Eko lagi.
            “Sssttt… biasa aja, kali. Kan gue udah bilang kalau gue mati, gue bakalan pura-pura hidup. Terereng… sekarang gue bisa pura-pura hidup, seru kan?” sosok hantu Monti cengengesan di depan muka Eko.
            Eko yang masih tak percaya kalau sekarang ia bersahabat dengan hantu Monti. Sesuai permintaan Monti, Eko merahasiakan keberadaannya pada orangtua dan saudara-saudaranya. Hantu Monti selalu berada dekat Eko selama Eko mengurusi ini itu yang berkaitan dengan kematiannya. Bahkan saat upacara pemakamannya di Jakarta, hantu Monti berdiri di samping Eko dan menatap jenazahnya dimasukkan ke liang lahat.
            “Lo kok nggak nangis sih, Ko?” bisik Monti saat ia melihat raut wajah Eko tidak menampakkan kesedihan sama sekali, sedangkan saudara-saudara dan teman-temannya yang lain menitikkan air mata melihat tubuh Monti ditutupin tanah.
             Eko mendengus cuek.
            By the way, kok kain kafan gue nggak kuning sih, Ko?” celetuknya sambil nyengir.
            Gigi lo tuh kuning! Dengus Eko dalam hati.
            “Ko, suruh pelan-pelan dong nurunin badan guenya, ngilu gue takut jatoh!”  lanjut Eko. Ia menutup mata saat melihat jasadnya yang mulai ditimbun tanah merah.
            “Berisik!” Gertak Eko.
            Seorang cewek yang sedang menangis di sebelah Eko, berhenti terisak. Ia melotot kea rah Eko dengan heran. Menyadari hal itu, Eko buru-buru menyingkir dari kerumunan orang-orang di pemakaman. Dan tanpa dikomando Monti mengikutinya dari belakang.
            “Bisa nggak sih, lo nggak ngoceh terus, Mon! Gue bisa jadi pusat perhatian dan disangka nggak waras nih gara-gara elo!” Semprot Eko saat mereka sudah agak jauh dari para pelayat.
            “Iya, iya, sori… Tapi lo janji ya, temenin gue cari batik kuning sampe dapet?”
            “Iya, bawel. Dasar memedi vesning rese, bikin pal ague tambah pening aja, lo!”
            Monti ketawa terbahak mendengar julukan barunya. Memedi Vesning yang berarti hantu vesning, alias hantu vespa kuning. Dari mana coba Eko bisa tahu istilah memedi itu.
*
            Sejak kematian Monti akibat kecelakaan saat mengendarai vespa kuning itu, kehidupan Eko jadi berubah. Ia jadi sering kelihatan bicara sendiri, ketawa sendiri, malah kadang-kadang Eko bertingkah seperti kebiasaan Monti yang ngebet warna kuning. Dan yang lebih mencolok lagi, nilai-nilai ujian Eko selalu paling tinggi. Kamu pasti tahu kenapa…. Iya benar, itu ulah si hantu vesning.
            Memedi penggila warna kuning itu memang selalu membantu Eko mengerjakan soal ujiannya. Mula-mula sih Monti tidak mau membantu Eko berbuat curang dan lebih suka membantunya belajar, tapi karena si Eko yang super malas itu mengancam akan membocorkan keberadaan dirinya dan berhenti menemani Monti jalan-jalan dengan vesningnya, Monti kalah telak.
            “Tapi lo janji ya, nemenin gue ngapel ke yayang gue,” ucap Monti saat Eko minta Monti mengerjakan tugas makalahnya.
            “Iya, gue janji. Waktu itu aja gue mau-mauan  kasrak-kusruk masuk pasar cuma buat nemenin lo cari batik kuning yang langka itu. Gue rela dikatain wong gendeng  gara-gara ngeladenin lo yang bawel ampun,” balas Eko sambil berpikir bagaimana caranya supaya Monti sadar kalau dunianya kini sudah berbeda dengan dunianya dulu. Mana bisa dia pacaran dengan cewek di dunia nyata. Kasihan Tika, kalau sampai dia tahu Monti masih gentayangan, pasti dia tidak akan mau berteman dengan Eko lagi. Mahasiswi paling cantik sekampus itu pasti masih  waras, tidak mungkin ia mau ngobrol dengan bayangan Monti berbentuk casper itu. Meski ganteng-gantengnya masih ada, hantu tetap saja hantu. Tidak akan bisa disentuh apalagi diajak pacaran.
            Ahha… Eko menjentikkan jari. Ada gambar lampu menyala di ekor matanya.
            “Kenape lo?” lirik Monti.
            “Gue tau gimana caranya tuh batik kuning bisa lo pake ngapel ke rumah Tika!” Seru Eko. Ngeles, seperti biasa.
            “Gimana?” Monti antusias saat nama cewek gebetannya disebut.
            “Malam Minggu besok lo coba pake tuh batik kuning baru lo. Terus lo tunggu di Alkid deket pohon beringin,” usul Eko.
            “Terus? Lo mau nyuruh gue jalan lurus dengan mata tertutup lagi sambil berharap gue hidup kembali dan bisa pacaran sama yayang Tika gue, gitu?” ketus Monti. Ia masih ingat kejadian konyol saat awal-awal semester pertama mereka datang ke Jogja. Di Alun-alun Kidul alias Alkid, orang-orang percaya kalau bisa jalan lurus melewati dua pohon beringin kembar yang ada di sana, maka keinginannya akan terkabul. Dan atas saran Eko, Monti melakukan hal itu sambil berharap keinginannya untuk menjadi pacar ratu kampus itu terwujud. Dan Monti memang bisa berjalan lurus melewati kedua beringin itu, tetapi menjadi pacar Tika belum juga kesampaian. Baru saja tahap pedekate, eh keburu ajal menjemput. Padahal segala jurus nyaris meluluhkan hati Tika yang ternyata juga penyuka warna kuning itu.
            “Ya, itu juga kalau lo, mau. Udah waktunya lo sadar kalau lo ini udah nggak ada. Udah koit. Dunia kita udah berbeda. Dunia lo, dunia Tika. Rencananya sih nanti gue mau bilang ke Tika kalau selama ini lo masih gentayangan, gangguin gue, dan masih berharap bisa pacaran sama dia.”
            “Terus gue mesti bilang apa ke Tika nanti?”
            “Lo bilang aja Wow, sambil jumpalitan sana,” jawab Eko sambil berlalu meninggalkan Monti yang terpekur menyelami kenyataan hidup, eh, matinya ini.
            Diam-diam Monti menyesal karena tidak buru-buru menyatakan cintanya ke Tika. Semua ini gara-gara vespa kuning sialan itu. Gara-gara andong beroda kuning sialan itu. Gara-gara batik kuning aneh, gara-gara warna kuning taik itu! Setetes air hangat jatuh dari kelopak mata Monti. Air mata pertama sejak ia menjadi memedi.
            Monti lalu berdiri. Ia berjalan menyusuri jalanan beraspal. Malam itu udara sedang bagus. Langit Jogja sangat cerah. Bintang-bintang bertaburan dengan indahnya. Menghiasi cakrawala seolah seluruh penghuninya tengah berpesta pora.
            Langkah gontai Monti membawanya ke Alun-alun Kidul Jogja. Di sana ramai sekali wisatawan yang bolak-mandir. Ada yang berjalan dengan mata ditutup kain menuju beringin kembar, ada juga yang sudah sampai dan berfoto ria di sana. Ingin sekali Monti nimbrung dan menampakkan diri dengan seringai lima jari ala Indra Bekti-nya, tapi ia takut membuat panik dan kacau suasana. Nanti Alkid malah berubah jadi angker gara-gara ulahnya.
            Sambil bersenandung : Yesterday, all my troubles seemed so far away... Now it looks as though they’re here to stay…  Oh, I believe in yesterday. Monti melihat betapa riangnya pasangan muda-mudi yang sedang naik odong-odong dengan lampu kerlap-kerlip ceria. Ia cemburu dan merasa sangat sial dengan hidupnya. Ingin ia bunuh diri, ah tapi bukannya ia sudah mati duluan.
            Tanpa disadari ternyata Monti tengah berdiri lurus di hadapan pohon beringin kembar itu. Ingin ia melakukannya sekali lagi. Jadi sebenanya, beberapa hari setelah menjadi hantu,  Monti pernah jalan-jalan sendirian di Alkid. Malam itu kebetulan Jumat kliwon. Monti mencoba berjalan lurus melewati beringin itu dengan mata tertutup sambil berharap ia bisa hidup lagi. Ia memang berhasil melakukannya. Tapi saat membuka mata, ia terperanjat mendapati sesosok hantu berwajah kuning. Saat ditanya siapa dia, hantu berbentuk pocong itu malah menyeringai, memperlihatkan sederetan gigi yang juga berwarna kuning. Waktu ditanya lagi kenapa mukanya kuning, hantu itu bilang, ia mati ketindih truk pengangkut tinja yang terguling menimpa motor (bukan vespa kuning) yang dikendarainya. Seketika itu Monti ngacir dan tidak mau lagi keluyuran sendirian.
            Ia tidak menceritakan kejadian itu ke Eko. Ia malah bereksperimen menggunakan tubuh Eko sebagai media arwahnya, supaya ia bisa merasakan hidup dalam tubuh manusia lagi. Lalu menyampaikan perasaan suka ke Tika dan setelah itu terserah Tika mau menerima atau tidak. Untung percobaannya gagal. Coba kalau berhasil, enak saja si Eko yang akan menjadi pacar Tika., si bintang kampus itu.
            Tapi malam ini ia ingin melakukannya lagi. Mencoba keberuntungannya lagi. Mencari tahu apakah Tika akan menerima cintanya atau tidak. Ia ingin sekali saja berubah wujud menjadi manusia. Lalu ia akan memakai batik kuning itu, mengendarai vespa kuning, lalu menemui gadis pujaan hatinya, dan menyatakan cintanya itu dengan sungguh-sungguh. Oh alangkah indahnya hidup, eh mati ini…
            Monti mulai menutupi matanya dengan sebuah syal berwarna kuning. Lalu perlahan-lahan ia berjalan seolah takut tertabrak orang lain yang padahal tidak ada yang bisa melihatnya itu . Monti melangkah dengan penuh konsentrasi. Hingga tanpa terasa ia sudah hampir sampai. Tetapi tiba-tiba tubuhnya seolah menabrak sesuatu. Apakah ini artinya ia bisa merasakan benda-benda seperti saat ia masih hidup? Apakah ia memang sungguhan hidup lagi?  Monti membuka syalnya pelan-pelan. Dan seraut wajah Eko menyeringai nakal di hadapannya.
            “Sialan, lo!” bentaknya. Kedua alis Monti bertaut, heran kenapa Eko bisa berada di sini. Matanya yang sensi terhadap warna kuning mendapati si vesning sudah nangkring tidak jauh dari tempat parkir odong-odong heboh itu.
            “Gue udah ceritain semuanya ke Tika. Gue tunjukin batik kuning lo ke dia, gue kasiin kado ulang tahun lo ke dia, dan gue juga bawa dia ke sini. Dia lagi nangis di sana,” Eko menunjuk salah satu sudut taman. Di sana Tika sedang menangis sambil memegang sebuah buku agenda.
            “Lo, apa-apan sih, Ko? Itu kan diary gue?”
            “Sori, gue nggak sengaja nemuin diary lo. Udah deh, Mon, sekarang Tika udah tahu kok, lo sayang sama dia. Dan dia … mau pacaran sama lo!”
            “Cius? Wow… ” Monti koprol-koprol di lapangan saking girangnya.
            Eko menggaruk kepalanya bingung. Terserah deh, mau percaya atau tidak. Sepertinya memedi Vesning akan bikin ulah yang lebih heboh lagi.
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar