Sesak
Rindu Membisu
Kamiluddin Azis
Nimas mengelus perutnya
yang kian hari terasa keras dan membesar. Sesekali ia meringis menahan sakit
yang selalu muncul tak terduga. Mukanya berubah pucat jika tiba-tiba sesuatu
seolah menohok dan memelintir dari dalam organ perutnya. Kalau sudah begitu,
perempuan tiga puluhtahunan itu hanya bisa menahannya sambil terus berdoa.
“Terasa lagi, Bu?” dengan cemas Radi, suami Nimas
menghampiri istrinya sambil membawakan segelas air putih.
Nimas mengangguk dengan raut kesakitan.
“Besok kita ke dokter Dian lagi ya, Bu.” Lalu ia menuntun
istrinya menuju kamar, yang di sana
sudah terbaring Aga, anak pertama mereka yang baru berusia empat tahun.
Sudah dua bulan terakhir ini Nimas divonis terkena
penyakit hepatitis C. Mungkin sebenarnya Nimas sudah terinfeksi virus ini sejak
lama, tetapi karena kesibukannya bekerja, kerapkali ia tidak merasakan adanya
hal aneh dalam tubuhnya. Baru pada suatu malam saat badannya demam tinggi, ulu
hatinya terasa sangat sakit.
Keesokan harinya Radi membawa Nimas berobat ke spesialis
penyakit dalam di luar kota. Dan sejak saat itulah Nimas mulai merasakan
berbagai keluhan sakit di sekujur tubuhnya.
“Istri Anda sudah hampir terkena sirosis. Jika dibiarkan
terlalu lama, pengerasan hati ini bisa memicu kanker,” ucap dokter Dani sambil
memberikan resep dan melanjutkan dengan wejangan agar Nimas mengikuti jadwal
pengobatannya secara berkala.
Radi terkulai lemas mendengar penjelasan dokter Dani. Ia
tahu betul betapa berbahayanya penyakit yang diderita Nimas. Ayah dan Kakak
perempuan Nimas juga meninggal karena penyakit yang hampir sama. Tapi Radi
berjanji akan memperjuangkan kesembuhan istrinya. Demi cintanya pada Nimas. Juga
pada Aga.
“Ibu harus kuat,” bisik Radi. Seulas senyum menenangkan
hati Nimas.
“Kalau nanti Ibu sembuh, jadi ya, Yah, bulan depan kita
pesta khitan Aga. Ibu ingin kita didandani seperti pengantin,” balas Nimas
sambil membayangkan dirinya duduk di pelaminan bersama suami dan anaknya. Saat
menikah dulu, mereka memang tidak mengadakan resepsi pernikahan seperti
kebanyakan pasangan pengantin baru lainnya. Tetapi, kalaupun saat itu mereka
memiliki cukup biaya, tentu Nimas akan menggunakan uang itu untuk biaya
kuliahnya, agar ia bisa segera diangkat menjadi PNS. Lebih dari sepuluh tahun
mengabdikan diri sebagai guru honor tidak lantas membuat Nimas dipertimbangkan
menjadi Pegawai Negeri Sipil. Meski begitu, Nimas tetap bekerja dengan
sungguh-sungguh, mengabdikan diri pada dunia pendidikan dan anak-anak. Dan
prestasi kerjanya selama ini sangat mengagumkan pihak sekolah, dan orangtua
murid.
Hari berjalan sangat lambat, merangkak minggu demi minggu
hingga bulan pun berganti dengan enggan. Penyakit Nimas semakin menjadi. Derita
yang dirasakan Nimas sudah memengaruhi emosi dan semangat hidupnya. Silih
berganti sahabat, rekan kerja, handai taulan, bahkan murid-murid dan
orangtuanya menengok dan memberikan semangat pada Nimas. Tetapi itu tidak
membuat Nimas semakin membaik. Tidak banyak makanan yang bisa masuk dan dicerna
menjadi tenaga. Semuanya keluar lagi dalam bentuk yang berbeda. Kondisi
kesehatan Nimas semakin memburuk.
Semua usaha telah dikerahkan untuk kesembuhan Nimas.
Selain berobat ke dokter Dani, Nimas juga dibantu terapi herbal dan
alternative. Radi, Mama Nimas juga kakak
dan adik-adik Nimas tidak henti-henti berdoa. Begitupun dengan Neneknya. Pada
suatu malam, sepulang berobat dari dokter Dani, Nimas terlihat sehat, bahkan ia
berceloteh tentang rencana pesta khitan Aga dan baju pengantin yang akan ia
kenakan nanti. Tentang dekorasi gedung, makanan, juga hiburan. Semua
menanggapinya dengan antusias. Tetapi selang beberapa jam ia kembali
mengeluhkan sakit di perutnya. Bahkan mukanya berubah pucat dan sangat mengkhawatirkan.
Radi langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.
Di sebuah rumah sakit umum, Nimas mendapat perawatan
intensif dari dokter senior.
“Yang kuat ya, Bu, nanti kan kita akan mengadakan
syukuran khitan Aga, juga mengusahakan pengangkatan Ibu jadi PNS. Ibu mau kan?”
Radi menggenggam tangan Nimas yang terkulai lemah. Diperhatikannya alat deteksi
jantung di samping brankar Nimas yang bergerak ritmik.
Dengan sisa tenaganya Nimas mengangguk sambil mengulas
senyum. Gerak bibirnya memanggil Aga dan mamanya.
“Ini Mama, Nimas. Nimas pasti sembuh kok. Besok Mama ajak
Aga ke sini ya,” derai air berguguran di pipi Mama Nimas. Ia tak bisa
menyembunyikan kesedihan dan rasa takut di hatinya. Nimas pasti sedang sangat kesakitan
sekarang, dan mama mana yang tidak ikut merasakan penderitaan anaknya.
Nimas tersenyum. Setitik air yang semula menggenang di
pelupuk matanya, kini luruh perlahan. Mata teduhnya begitu damai menatap suami
dan mama tercintanya berdiri di hadapannya. Kepalanya dengan lembut terkulai ke
arah kanan. Napasnya terlepas dalam sekali hentakan. Denyut nadinya berhenti
bersamaan dengan alat detak jantungnya yang membentuk satu garis lurus.
“Nimaaaaassss,” pekik Radi yang disusul jerit Mama Nimas.
Radi memeluk dan mengguncang tubuh Nimas yang sudah terbujur kaku. Derai air
mata tak mampu lagi dibendungnya. Tumpah semua bersama kesedihan dan perasaan
kehilangan. Separuh jiwanya seolah lepas, mengantar kepergian Nimas, istri
tercintanya. Tubuh Radi nyaris ambruk dalam pelukan Nimas kalau saja dokter dan
perawat tidak segera datang dan menenangkannya.
Mama mencium kening Nimas dengan perasaan teramat perih.
Ini adalah kehilangan yang ketiga kalinya setelah suami dan anak keduanya
meninggal di rumah sakit yang sama. Kepergian Nimas membuatnya sangat terpukul,
apalagi ia memiliki Aga, cucunya yang masih sangat kecil dan memerlukan
perhatian ibunya.
*
Baca kelanjutan kisahnya dalam buku Kumcer Surat Kecil untuk Ibu' yang bisa dibeli di Deka Publisher
beserta cerita-cerita lainnya yang sangat menyentuh.
Membeli buku ini sekalian mengisi kesempatan beramal karena royalti akan disumbangkan pada keluarga penderita gagal ginjal.
Ada 6 judul paket buku dalam Here After Saving part II, silakan dicek di sini
Kak Amink cerita almarhum teh Ipung Banget...
BalasHapusIya, kisah ini saya dedikasikan untuk almarhumah...
BalasHapus