Sahabat Awan
Kulihat awan
seputih kapas ... Arak berarak di langit luas
... Andai kudapat kesana terbang...
Akan kuraih kubawa pulang ...
Hingga saat ini lagu itu masih sering kunyanyikan. Syairnya
yang indah selalu mampu membuaiku pada mimpi-mimpi yang kugantung tinggi di
angkasa. Mimpi-mimpi yang kurajut bersama Nia, yang lalu kandas karena
kecelakaan itu telah merenggut sebagian harapan terbesar kami. Kecelakaan yang
terjadi karena kebodohanku sendiri.
Langit membias warna biru muda dengan
gradasi putih dan abu-abu. Semilir angin mengayun anak-anak awan menjauh dari
induknya, membentuk sekawanan kapas putih yang menggantung ragu. Matahari tanpa
ampun menjilati punggung-punggung awan itu hingga lumat lalu lenyap, membaur
bersama atmosfer yang dingin. Bersiap
tumpah menyambut musim penghujan yang baru.
Andai kumampu, akan kupetik awan itu dan kupersembahkan untuk
Nia. Gadis itu mungkin masih memiliki mimpi yang sama seperti yang sering ia
teriakkan saat Ibu Guru kami tercinta bertanya tentang apa cita-cita kami. Nia
ingin sekali terbang ke angkasa, melintasi awan-awan putih itu dan tersenyum
bangga karena ternyata seorang anak tak mampu seperti kami pun bisa
mencapainya.
“Kalau
begitu aku harus jadi pilotnya, supaya kita
bisa selalu bersama,” ucapku saat Nia mengutarakan cita-citanya untuk menjadi
pramugari.
“Kita bisa terbang dan keliling dunia
setiap hari. Asyik kali ya, Zis...” timpal Nia dengan antusias. Kami semakin
bersemangat belajar dan mencetak
nilai-nilai
sempurna agar kami
bisa mencapai
cita-cita kami bersama.
Di akhir musim kemarau biasanya aku dan
Nia menghabiskan siang di atas rumput yang dinaungi pohon-pohon besar di sebuah bukit
tidak jauh dari yayasan tempat tinggal
kami. Kami menatap
arak-arakan awan itu sambil berceloteh tentang mimpi-mimpi yang ingin kami
raih. Mimpi-mimpi anak-anak panti asuhan untuk bisa hidup layak, memiliki
orangtua dan masa depan yang cerah. Mimpi yang sangat mahal yang mungkin hanya
bisa diraih oleh mereka yang sangat beruntung. Hingga senja merangkak dan
mengubah anak-anak awan itu menjadi jingga keemasan, aku dan Nia masih sibuk merajut asa.
*
Kisah selanjutnya bisa dibaca dalam buku A Moment To Feel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar