Jumat, 18 Januari 2013

BROKEN NIGHT



Willy tidak beringsut dari tempatnya duduk. Sudah setengah jam lebih ia membolak-balik sebuah name card di tangannya. Sebuah nama yang mungkin bisa mengubah hidupnya. Hidup yang ia jalani dengan lumuran dosa dari keringat malam yang pengap. Keraguan yang masih bercokol membuat Willy belum bisa memutuskan apakah ia perlu menghubungi contact number yang ada dalam kartu kecil itu atau membiarkannya begitu saja.  Toh nama yang tertera di situ tidak memiliki arti khusus sama sekali untuknya. Hanya saja, entah mengapa Willy tidak bisa melupakan perempuan yang telah memberinya kartu itu.
            Talita –nama yang tercetak dalam kertas kecil itu, adalah seorang excecutive officer sebuah perusahaan perbankan yang sudah menjomblo bertahun-tahun. Di awal usia tiga puluh tahunan, perempuan ini sangat sibuk mengejar karier. Tetapi pergaulannya di kalangan jetset yang luas membuat ia tidak pernah bisa memiliki sebuah komitmen dalam setiap hubungannya dengan seorang  lelaki. Saat ia membutuhkan kehangatan, maka ia lebih suka memilih laki-laki instant ketimbang menjalin sebuah hubungan layaknya sepasang kekasih. Dengan mereka Talita bisa menentukan long term hubungan mereka. Mungkin hanya semalam atau malah bisa dikontrak berbulan-bulan. Tergantung service dari laki-laki  penghangat kamar sepinya itu. Begitu yang sempat Willy dengar dari obrolan santai beberapa teman di tempatnya bekerja.
            Perempuan itu menjentikkan jemari lentiknya, memberi isyarat agar pelayan bar itu menghampiri dan melayani pesanannya. Willy merasa ialah yang perempuan bergaun minim itu panggil, karena hanya ia satu-satunya waiter yang berdiri tidak jauh dari table perempuan itu. Senyum mengembang dari bibir merah yang ranum menyambut kedatangan Willy. Kedip matanya yang genit sempat membuat Willy gelagapan tak menentu.
            Malam itu kali pertama Willy bertemu dengan Talita. Perempuan itu memberikan kesan tersendiri di hati Willy. Perlakuannya sangat berbeda dengan kebanyakan pengunjung lain yang berlagak sok raja dan menganggap waiter itu tiada lain hanya sebagai pelayan atau budak mereka. Tetapi Talita begitu sopan, dan dari caranya berbicara -walaupun agak setengah mabuk- menunjukkan kalau dia adalah seorang perempuan berkelas yang tahu bagaimana cara bergaul dan beretika. Saat berada di bawah lampu disko dan alunan musik yang hingar pun, liuk tubuhnya tidak seronok, tetapi kesexi-annya yang memikat membuat para lelaki tidak betah duduk berdiam diri.
“Bisa ... bantu saya?” Talita menyerahkan sebuah zippo bergambar bendera negara adikuasa setelah beberapa kali gagal menyalakannya. Ditatapnya pelayan bar itu dengan senyum menggoda. Dalam sekali hentak Willy berhasil mengeluarkan api, lalu menyalakan rokok yang bertengger lemas di bibir Talita.
Willy tidak banyak bicara kala itu. Laki-laki berusia duapuluh tiga tahun itu hanya menggangguk, membalas ucapan terima kasih yang terlontar dari mulut Talita. Ia tidak sanggup menatap gerak bibir itu terlalu lama.  Hasrat kelaki-lakiannya mulai terusik.
Ketika esok malamnya datang lagi, Talita hanya mau dilayani oleh Willy. Dengan Willy ia bisa menenggak Jack Daniel dicampur madu arab dan sedikit coke dengan perasaan gembira. Berkali-kali tawa renyahnya mengundang mata para pengunjung lain beralih padanya. Hampir setiap malam kunjungannya, Talita tak pernah lupa memberi tip yang lumayan besar untuk Willy yang baru bekerja beberapa bulan. Waiter lain kadang merasa iri atas kedekatan Willy dengan Talita. Manager Willy sendiri malah pernah menegur agar Willy tidak terlalu dekat dengan tamu barnya supaya tidak menimbulkan pembicaraan yang tidak pantas.
Tapi Willy tidak saja merasa sudah sangat dekat dengan Talita, ia bahkan merasa perempuan itu seolah menginginkan pertemanan mereka tidak hanya berlangsung di dalam bar, saat seorang waiter menjadi pelayan untuk tamunya. Tetapi lebih daripada itu. Masih banyak tempat lain di luar sana yang akan memberinya kebebasan.
Dan malam tadi, Talita memberikan sebuah kartu nama berwarna pink, dengan tinta emas mengukir namanya. Bagi Willy itu adalah sebuah undangan, ajakan untuk lebih mengenalnya lebih jauh. Atau sebuah peluang yang bisa mengubah hidup dan kehidupannya.
Willy tahu betul apa yang dicari perempuan itu. Dari obrolannya dengan beberapa temannya sesama waiter, Talita kerap kali mengajak cowok-cowok ABG ke bar dan mabuk bersama sambil saling rangkul. Tapi apakah Willy akan diperlakukan seperti cowok-cowok itu? Hanya sebatas pemuas kebutuhan birahinya semata? Willy bukan sekali ini melayani perempuan yang hanya membutuhkan seorang laki-laki dalam satu malam. Tapi ia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana seandainya dirinya berada bersama Talita dalam sebuah kamar. Semalam suntuk. Hanya berdua.
Akhirnya Willy meraih kembali handphone-nya dan menekan nomor Talita.
“Hai, Honey….. I’m waiting Your calling...” desah Talita di seberang sana.
Willy menelan ludah dan segera meninggalkan kamar kostnya.

*

            Willy berdiri di depan pintu sebuah apartemen mungil di bilangan Jakarta Selatan. Kakinya gemetar saat membuka pintu apartemen yang sengaja tidak dikunci pemiliknya. Dalam pembicaraannya lewat telepon tadi, Talita menyuruh Willy langsung membuka pintu apartemennya karena Talita akan membuka kuncinya tigapuluh menit setelah pembicaraan terputus.
            Dengan perlahan Willy memasuki apartemen mungil dengan desain interior minimalis tetapi memamerkan keanggunan dan selera tinggi penghuninya. Warna ungu muda mendominasi wall paper bergambar bunga tulip putih yang tengah mekar. Beberapa lukisan abstrak menggantung dalam pelukan dinding dengan lampu ruangan yang remang.
            Seorang perempuan bertubuh tinggi, mengenakan gaun tipis berdiri di depan cermin dengan rambut lurus menebar aroma bunga mawar yang membangkitkan gairah siapapun yang mencium wanginya. Senyum manis kembali mengembang, menyambut kehadiran lelaki yang sudah membuat gundah malam-malam sepinya. Membuat liar imajinasi dan fantasi akan kehangatan dekapan tubuhnya.
            Willy masih tertegun di depan perempuan itu. Untuk apa ia berdiri dan memandang Talita seperti itu? Bukankah ia hanya terpesona  dengan keindahan bahasa dan pribadinya yang menawan? Lalu untuk apa ia menemui perempuan itu sementara ia sudah tahu betul sepak terjang perempuan yang sudah lama menjomblo itu? Apakah Willy pun menginginkan dirinya dijadikan laki-laki pemuasnya seperti yang sering menjadi gunjingan orang-orang? Ataukah ia hanya menginginkan sekian rupiah saja untuk menutupi kebutuhan hidupnya yang masih serba kurang?
            “Ayolah, nggak usah malu-malu,” Talita menarik lengan Willy dan mengajaknya duduk di atas sofa yang empuk. Ditatapnya wajah laki-laki muda berkulit bersih yang selalu menyunggingkan senyum lugu itu.
            Willy merebahkan punggungnya di atas sofa tepat di samping Talita. Dadanya bergemuruh hebat. Ia tak kuasa melepaskan genggaman tangan Talita dan membiarkan jemarinya dielus dengan penuh kelembutan.
            Malam itu berlalu begitu lambat, seolah bumi lupa harus terus berputar pada porosnya. Desir dan wangi asmara bergelora memenuhi kamar yang ditata sedemikian hangat agar siapapun bisa menikmati saat-saat melepas hasrat duniawinya dengan penuh kebahagiaan.
            Willy terbangun di samping tubuh Talita yang lelah, tetapi masih tetap memancarkan kehangatan malam yang indah. Ditatapnya lekat perempuan yang masih berbalut selimut itu. Sungguh, setelah mereguk manisnya kebersamaan dengan Talita, Willy semakin kagum dan sayang dengannya. Ia berharap ini bukan malam pertama yang juga sekaligus malam terakhir baginya.
            Sejak kejadian malam itu Willy tidak bisa melupakan bayangan wajah Talita walaupun hanya sekejap. Dalam setiap kedip matanya Talita berdiri seraya mengulurkan tangan mengajaknya bermesraan. Setiap hela napasnya Willy seolah bisa mencium wangi bibir Talita dan mengulumnya penuh gairah. Willy hampir kehilangan dirinya yang dulu begitu polos dan lugu.
            Ia kini telah jatuh ke dalam dekapan buaian malam sang ratu. Ia jatuh cinta.

**

            Bersama Willy, Talita merasakan kehangatan berbeda bila dibanding dengan lelaki lain. Willy membuatnya merasa menjadi seorang perempuan seutuhnya, yang dihargai dan dihormati. Bukan untuk ditelanjangi dan direbut hak-haknya. Willy tidak pernah meminta kecuali Talita memberinya kesempatan.
            Lelaki muda itu sudah membuat hidup Talita berubah. Tidak ada lelaki lain dalam bayangan dan mimpi Talita. Tidak ada cowok-cowok ABG liar, yang hanya menukar keringat malam mereka dengan materi. Tetapi sanggupkah Willy mengubah gaya hidup Talita yang glamour dan penuh hura-hura? Clubbing, mabuk dan bahkan judi, serta kebiasaan buruk lain yang belum bisa dihilangkannya?
            Kebersamaannya malam itu telah menciptakan pertemuan-pertemuan berikutnya. Malam-malam dingin telah berubah hangat dan penuh gairah. Willy semakin memperlihatkan sikap dewasa dan penuh perhatian. Dan itu membuat Talita semakin jatuh, jauh ke dalam perasaan yang sulit diselaminya. Ia tidak menyadari maknanya, tetapi kehadiran Willy selalu membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.
            “Will, kenapa kamu begitu baik padaku?” bisik Talita saat kepalanya bersandar pada dada Willy yang kekar. “Kamu kan tahu bagaimana pergaulanku selama ini?”
            Willy meraih jemari Talita dan mengecupnya. “Asalkan setelah bersamaku kau mau berubah, aku akan selalu bersamamu. Aku sangat bahagia, Tha. Aku mencintaimu. Kamu tahu itu kan?”
            Talita mengangguk. Setitik kristal nyaris menetes dari kelopak matanya. Sudah sangat lama ia tidak mendengar seseorang mengungkapkan perasaan cinta padanya. Dan kini seorang laki-laki muda yang dengan kesungguhan hatinya mengutarakan perasaan terdalamnya. Perasaan cinta yang begitu murni.
            “Aku juga mencintaimu, Will...”
            Talita larut dalam manisnya cinta yang Willy taburkan. Ia tidak pernah sebahagia itu. Saat ia menceritakan semuanya pada teman-teman clubbing-nya, dan mengutarakan niatnya untuk menyudahi petualangan malamnya demi Willy, teman-teman clubbing Talita memintanya untuk mengadakan pesta terakhir. Semacam pesta perpisahan atau bachelor party seolah Talita hendak mengakhiri masa lajangnya.
            Saat Willy sedang bekerja di club malam biasa, Talita berkumpul bersama teman-temannya. Usai pesta minum-minum, ia lalu beralih pada permainan lain. Permainan yang sudah lama menjadi hobi beratnya, pocker dengan taruhan uang puluhan juta bahkan kadang bisa mencapai ratusan. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Talita tampak tengah kebingungan karena sudah kehabisan bekal di meja judi. Uang tunai ratusan juta yang ia bawa kini sudah berpindah tangan ke pemain yang lain. Seorang perempuan yang sama-sama memiliki kedudukan tinggi di sebuah perusahaan bergengsi, sama-sama penggila judi, dan selalu berkeliaran malam mencari lelaki muda yang bisa dibayar untuk memuaskan nafsu liarnya, kini menjadi ratu malam itu. Malam yang Talita nobatkan sebagai malam terakhirnya di dunia gemerlap.
            “Brengsek!” Talita melempar kartu di tangannya ke atas meja. Ia pasrah menerima kekalahan telak. Tapi wajah penasarannya masih tetap tertangkap oleh lawan mainnya. Dan ini adalah umpan yang segar untuk menghancurkan Talita yang selama ini dianggap sebagai perempuan sombong dan sok perkasa itu. Rival dalam dunia bisnis yang mereka geluti.
            Don’t worry Baby…. Bukankah kamu masih punya sesuatu yang berharga untuk dipertaruhkan?” pancing Merry, the winner malam itu dengan nada mengejek.
            What is…?” balas Talita lemah. Alkohol sudah membuat otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih.
            Your sweatheart, of course…”
            Pening di kepala Talita semakin menjadi.

***
           
Willy membuka ikatan di kepalanya. Setelah lepas sudah kerinduan yang membuncah di dadanya, Willy ingin mengecup kening Talita dan memeluknya erat agar perempuan itu tidak pernah bisa jauh lagi dari sisinya. Matanya yang sedari tadi tertutup rapat, perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar.
“Kamu siapa?” Willy tersentak mendapati perempuan lain terkulai di sampingnya. Mana Talita? Kenapa perempuan ini tiba-tiba berada dalam dekapannya, dan bahkan…. Oh Tuhan, tidak… apa maksud dari semua ini? Mana Talita? Mana perempuan yang seharusnya merasakan betapa Willy mencintai dan menginginkannya malam ini.
“Tenang, ganteng…” goda perempuan itu sambil mencolek dagu Willy dan membuatnya merasa jijik dan sangat kotor.
“Mana Talita?” ulang Willy sambil bergegas mengenakan pakaian dan mengemasi barang-barangnya.
“Dia ada di kamar sebelah, “ jawab perempuan itu sambil menarik bed cover bergambar bunga mawar dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Diraihnya sebatang rokok dan menyalakannya tanpa memedulikan betapa Willy sangat shock setelah menyadari dirinya tidur dengan perempuan lain yang sama sekali tidak dikenalnya.
Lalu berkelebat di kepalanya bagaimana ia bisa menghabiskan segelas vodka dingin dalam rayuan Talita yang terus menerus mengiang di telinganya. Karena bukan kebiasaan Willy meminum minuman keras, segelas saja sudah membuatnya lupa banyak hal. Ia bahkan meracau dan berkali-kali mengucapkan kata-kata di luar kesadarannya. Tapi ia masih ingat kalau Talita menuntunnya ke dalam kamar, membaringkannya, membuka kancing bajunya, dan mengikatkan syal lembut ke kepalanya sehingga matanya tertutup dan ia berharap bisa merasakan sensasi lain malam itu.
Willy tidak memperhatikan lagi bagaimana perempuan itu menghembuskan asap rokok dengan puasnya. Ia segera keluar dari kamar itu dan melangkahkan kakinya menuju kamar sebelah yang ternyata tidak tertutup rapat. Sebuah desah napas dan rintihan kecil bisa ia dengar dengan jelas dari luar kamar. Willy mematung cukup lama di depan kamar itu tanpa bisa berbuat apapun.
Ingin sekali Willy teriak dan menendang pintu kamar itu. Tapi yang bisa ia lakukan hanya menyaksikan betapa Talita begitu bahagia di dalam sana. Talita menikmati kebersamaannya dengan lelaki itu. Desah napasnya seperti sebuah irama yang begitu syahdu. Memburu, seperti berlari dengan hasrat yang bergelora. Tersengal-sengal kelelahan tetapi tampak puas dan bebas.
Lalu untuk apa ia marah atas semua yang ia sudah alami malam ini.
Willy meninggalkan kamar itu dengan hati remuk dan perasaan hancur. Berkelebat berbagai kenangan yang Willy lalui bersama Talita dalam canda dan tawa. Berbagi malam di bawah ribuan kerlip bintang, berbagi kecup, pagut, desah, rintih dalam satu napas yang sama. Semua berputar berulang-ulang menyisakan perih dan kecewa.
Kenapa ia begitu berharap banyak bisa mendapatkan cinta Talita, sementara perempuan itu sudah menjual harga dirinya dan membuatnya sangat terhina.
Dari dalam kamar sepasang mata meneteskan penyesalan dan kepedihan yang dalam. Tapi kepedihan buat apa? Kepedihan untuk siapa? Ini adalah sebuah kekalahan yang sangat besar dalam hidupnya.


****

Rintik-rintik air berlompatan di atas tanah, menari disapu angin malam yang menusuk, mengiringi kepedihan hati Willy. Tapi Willy yakin, rintik hujan, bahkan badai sekalipun tidak akan membuat Talita absen melantai. Tubuh perempuan itu akan tetap meliuk meski gempa besar mengguncang tempatnya berdiri. Atau badai tsunami memorakporandakan gedung tempatnya berjingkrak penuh sensasi.
Come on, honey!” bisik Talita di telinga Willy, suatu ketika, saat mereka berduaan di apatemen Talita. Alunan musik lembut pengantar tidur menjadi latar yang membuat suasana terasa lebih romantis.
Willy masih merasakan desah napas Talita, bisikan lembutnya yang membuat hasrat kelelakiannya menggeliat. Tapi apakah masih ada hasrat di hatinya setelah kejadian itu? Tubuhnya telah ditukar dengan tubuh lelaki lain yang lebih memikat hati Talita. Atau mungkin Talita telah menjualnya dengan paksa? Mendadak perut Willy terasa mual setiap kali mengingat hal itu.
Kebencian semakin menggunung setiap kali Willy teringat bagaimana Talita tampak bahagia bersama lelaki lain. Malam itu hatinya benar-benar telah hancur. Talita berhasil meremukredamkan harapan dan impian yang selama ini Willy bangun. Terjawab sudah keraguan hatinya selama ini. Ternyata memang benar, Talita tidak pernah mencintainya dengan sepenuh hati?
Dan malam ini, Willy kembali menanti kehadirannya. Tetapi penantiannya kali ini bukan untuk menerima tip atau berharap mendapat undangan makan malam di atas ranjangnya yang hangat, melainkan cukup beralasan jika malam ini Willy ingin menyudahi hubungannya dengan perempuan yang sudah membuat dirinya menjadi seorang pelacur yang nista. Dan mengubah hidupnya dalam satu malam yang paling sulit Willy lupakan dalam hidupnya.
Seperti biasa, malam itu Talita hanya ingin dilayani oleh Willy. Sebagai seorang waiter, Willy pun menghampiri dan mencatat pesanannya. Tidak ada perbincangan sama sekali, seolah Willy tidak pernah mengenal perempuan itu sebelumnya. Talita merasa sedih dan sangat bersalah. Ingin sekali ia menjelaskan semua dan meminta maaf padanya. Daripada ia harus kehilangan saham dan obligasinya, bukankah lebih mudah mengajak Willy pada permainan yang menurutnya bisa memberikan sensasi lain dalam hidup Willy. Mempertaruhkan Willy bukanlah keputusan yang mudah. DanTalita pikir ia tidak akan kalah dalam taruhan itu. Kalaupun sampai kalah, ia sempat berpikir Willy tidak akan menolak ajakan Merry atau perempuan lain yang lebih tajir daripada dirinya. Tapi ternyata Willy memang berbeda dengan lelaki lain. Willy tidak pernah peduli dengan harta dan kekayaan yang Talita miliki. Yang penting bagi Willy cinta dan kesetiaan dirinya. Itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.
Seharusnya Talita tidak memperlakukan Willy sekejam itu, setelah semua yang Willy lakukan untuknya. Willy yang telah mengelupas rasa angkuh dalam diri Talita. Willy yang kemudian menanamkan benih cinta di hati Talita. Dan Talita malah menghianati perasaannya sendiri tanpa memedulikan bagaimana perasaan Willy sama sekali.
Willy berdiri tidak jauh dari tempat Talita menghabiskan berbotol-botol alkohol. Perempuan itu terus mengoceh dan memanggil-manggil nama Willy dalam penyesalan yang tidak berkesudahan. Ia tidak menyadari kalau racun sedang menjalar dalam tubuhnya, dan dalam hitungan detik akan segera menghancurkan jantung dan pembuluh darahnya. Bahkan seluruh hidup dan harapannya akan cinta Willy.
Tapi Willy tidak peduli. Sejak malam itu, ia sudah tidak peduli lagi seberapa besar rasa cinta, rindu yang membuncah dan hasrat untuk kembali memeluk Talita bergelora di dadanya. Rasa sakit yang teramat dalam telah membunuh semua perasaan itu. Telah membuatnya buta, sebagaimana Talita yang buta karena tidak bisa membaca betapa Willy sangat mencintainya

*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar