Willy tidak beringsut dari tempatnya duduk. Sudah
setengah jam lebih ia membolak-balik sebuah name card di tangannya.
Sebuah nama yang mungkin bisa mengubah hidupnya. Hidup yang ia jalani dengan
lumuran dosa dari keringat malam yang pengap. Keraguan yang masih bercokol
membuat Willy belum bisa memutuskan apakah ia perlu menghubungi contact
number yang ada
dalam kartu kecil itu atau
membiarkannya begitu saja. Toh nama yang tertera di situ tidak
memiliki arti khusus sama sekali untuknya. Hanya saja, entah mengapa Willy tidak bisa melupakan perempuan
yang telah memberinya kartu itu.
Talita
–nama yang tercetak dalam kertas kecil itu, adalah seorang excecutive officer sebuah perusahaan perbankan yang sudah menjomblo
bertahun-tahun. Di awal usia tiga puluh tahunan, perempuan ini sangat sibuk
mengejar karier. Tetapi pergaulannya di kalangan jetset yang luas membuat ia
tidak pernah bisa memiliki sebuah komitmen dalam setiap hubungannya dengan
seorang lelaki. Saat ia membutuhkan
kehangatan, maka ia lebih suka memilih laki-laki instant ketimbang menjalin
sebuah hubungan layaknya sepasang kekasih. Dengan mereka Talita bisa menentukan
long term hubungan mereka. Mungkin
hanya semalam atau malah bisa dikontrak berbulan-bulan. Tergantung service dari laki-laki penghangat kamar sepinya itu. Begitu yang
sempat Willy dengar dari obrolan santai beberapa teman di tempatnya bekerja.
Perempuan
itu menjentikkan jemari lentiknya, memberi isyarat agar pelayan bar itu
menghampiri dan melayani pesanannya. Willy merasa ialah yang perempuan bergaun minim itu panggil, karena hanya ia satu-satunya waiter yang berdiri tidak jauh dari table perempuan itu. Senyum mengembang dari bibir merah yang ranum
menyambut kedatangan Willy. Kedip matanya yang genit sempat membuat Willy
gelagapan tak menentu.
Malam
itu kali pertama Willy bertemu dengan Talita. Perempuan itu memberikan kesan
tersendiri di hati Willy. Perlakuannya
sangat berbeda dengan kebanyakan pengunjung lain yang berlagak sok raja dan menganggap
waiter itu tiada lain hanya sebagai pelayan
atau budak mereka. Tetapi Talita begitu sopan, dan dari caranya berbicara
-walaupun agak setengah mabuk- menunjukkan kalau dia adalah seorang perempuan
berkelas yang tahu bagaimana cara bergaul dan beretika. Saat berada di bawah
lampu disko dan alunan musik yang hingar pun, liuk tubuhnya tidak seronok,
tetapi kesexi-annya yang memikat
membuat para lelaki tidak betah duduk berdiam diri.
“Bisa ... bantu saya?” Talita
menyerahkan sebuah zippo bergambar
bendera negara adikuasa setelah beberapa kali gagal menyalakannya.
Ditatapnya pelayan bar itu dengan senyum menggoda. Dalam sekali hentak Willy berhasil mengeluarkan api, lalu menyalakan rokok yang
bertengger lemas di bibir
Talita.
Willy tidak
banyak bicara kala itu. Laki-laki
berusia duapuluh tiga tahun itu hanya menggangguk, membalas ucapan terima kasih yang
terlontar dari mulut Talita. Ia
tidak sanggup menatap gerak bibir itu terlalu lama. Hasrat
kelaki-lakiannya mulai terusik.
Ketika esok
malamnya datang lagi, Talita hanya mau dilayani oleh Willy. Dengan Willy ia
bisa menenggak Jack Daniel dicampur madu
arab dan sedikit coke dengan perasaan
gembira. Berkali-kali tawa renyahnya mengundang mata para pengunjung lain
beralih padanya. Hampir setiap malam kunjungannya, Talita tak pernah lupa memberi
tip yang lumayan besar untuk Willy yang baru bekerja beberapa bulan. Waiter lain kadang merasa iri atas
kedekatan Willy dengan Talita. Manager Willy sendiri malah pernah menegur agar
Willy tidak terlalu dekat dengan tamu barnya supaya tidak menimbulkan
pembicaraan yang tidak pantas.
Tapi Willy tidak
saja merasa sudah sangat dekat dengan Talita, ia bahkan merasa perempuan itu
seolah menginginkan pertemanan mereka tidak hanya berlangsung di dalam bar,
saat seorang waiter menjadi pelayan
untuk tamunya. Tetapi lebih daripada itu. Masih banyak tempat lain di luar sana
yang akan memberinya kebebasan.
Dan malam tadi,
Talita memberikan sebuah kartu nama berwarna pink, dengan tinta emas mengukir
namanya. Bagi Willy itu adalah sebuah undangan, ajakan untuk lebih mengenalnya
lebih jauh. Atau sebuah peluang yang bisa mengubah hidup dan kehidupannya.
Willy tahu
betul apa yang dicari perempuan itu. Dari obrolannya dengan beberapa temannya
sesama waiter, Talita kerap kali mengajak cowok-cowok ABG ke bar dan mabuk
bersama sambil saling rangkul. Tapi apakah Willy akan diperlakukan seperti
cowok-cowok itu? Hanya sebatas pemuas kebutuhan birahinya semata? Willy bukan
sekali ini melayani perempuan yang hanya membutuhkan seorang laki-laki dalam
satu malam. Tapi ia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana seandainya dirinya
berada bersama Talita dalam sebuah kamar. Semalam suntuk. Hanya berdua.
Akhirnya Willy
meraih kembali handphone-nya dan
menekan nomor Talita.
“Hai, Honey….. I’m waiting Your calling...” desah Talita di seberang sana.
Willy menelan
ludah dan segera meninggalkan kamar kostnya.
*
Willy
berdiri di depan pintu sebuah apartemen mungil di bilangan Jakarta Selatan. Kakinya
gemetar saat membuka pintu apartemen yang sengaja tidak dikunci pemiliknya.
Dalam pembicaraannya lewat telepon tadi, Talita menyuruh Willy langsung membuka
pintu apartemennya karena Talita akan membuka kuncinya tigapuluh menit setelah
pembicaraan terputus.
Dengan
perlahan Willy memasuki apartemen mungil dengan desain interior minimalis
tetapi memamerkan keanggunan dan selera tinggi penghuninya. Warna ungu muda
mendominasi wall paper bergambar
bunga tulip putih yang tengah mekar. Beberapa lukisan abstrak menggantung dalam
pelukan dinding dengan lampu ruangan yang remang.
Seorang
perempuan bertubuh tinggi, mengenakan gaun tipis berdiri di depan cermin dengan
rambut lurus menebar aroma bunga mawar yang membangkitkan gairah siapapun yang
mencium wanginya. Senyum manis kembali mengembang, menyambut kehadiran lelaki
yang sudah membuat gundah malam-malam sepinya. Membuat liar imajinasi dan
fantasi akan kehangatan dekapan tubuhnya.
Willy
masih tertegun di depan perempuan itu. Untuk apa ia berdiri dan memandang
Talita seperti itu? Bukankah ia hanya terpesona
dengan keindahan bahasa dan pribadinya yang menawan? Lalu untuk apa ia
menemui perempuan itu sementara ia sudah tahu betul sepak terjang perempuan
yang sudah lama menjomblo itu? Apakah Willy pun menginginkan dirinya dijadikan laki-laki
pemuasnya seperti yang sering menjadi gunjingan orang-orang? Ataukah ia hanya
menginginkan sekian rupiah saja untuk menutupi kebutuhan hidupnya yang masih
serba kurang?
“Ayolah,
nggak usah malu-malu,” Talita menarik lengan Willy dan mengajaknya duduk di
atas sofa yang empuk. Ditatapnya wajah laki-laki muda berkulit bersih yang
selalu menyunggingkan senyum lugu itu.
Willy
merebahkan punggungnya di atas sofa tepat di samping Talita. Dadanya bergemuruh
hebat. Ia tak kuasa melepaskan genggaman tangan Talita dan membiarkan jemarinya
dielus dengan penuh kelembutan.
Malam
itu berlalu begitu lambat, seolah bumi lupa harus terus berputar pada porosnya.
Desir dan wangi asmara bergelora memenuhi kamar yang ditata sedemikian hangat
agar siapapun bisa menikmati saat-saat melepas hasrat duniawinya dengan penuh
kebahagiaan.
Willy
terbangun di samping tubuh Talita yang lelah, tetapi masih tetap memancarkan
kehangatan malam yang indah. Ditatapnya lekat perempuan yang masih berbalut
selimut itu. Sungguh, setelah mereguk manisnya kebersamaan dengan Talita, Willy
semakin kagum dan sayang dengannya. Ia berharap ini bukan malam pertama yang
juga sekaligus malam terakhir baginya.
Sejak
kejadian malam itu Willy tidak bisa melupakan bayangan wajah Talita walaupun
hanya sekejap. Dalam setiap kedip matanya Talita berdiri seraya mengulurkan
tangan mengajaknya bermesraan. Setiap hela napasnya Willy seolah bisa mencium
wangi bibir Talita dan mengulumnya penuh gairah. Willy hampir kehilangan
dirinya yang dulu begitu polos dan lugu.
Ia
kini telah jatuh ke dalam dekapan buaian malam sang ratu. Ia jatuh cinta.
**
Bersama Willy, Talita merasakan kehangatan
berbeda bila dibanding dengan lelaki lain. Willy membuatnya merasa
menjadi seorang perempuan seutuhnya, yang dihargai dan dihormati. Bukan untuk
ditelanjangi dan direbut hak-haknya. Willy tidak pernah meminta kecuali Talita
memberinya kesempatan.
Lelaki
muda itu sudah membuat hidup Talita berubah. Tidak ada lelaki lain dalam
bayangan dan mimpi Talita. Tidak ada cowok-cowok ABG liar, yang hanya menukar
keringat malam mereka dengan materi. Tetapi sanggupkah Willy mengubah gaya
hidup Talita yang glamour dan penuh
hura-hura? Clubbing, mabuk dan bahkan
judi, serta kebiasaan buruk lain yang belum bisa dihilangkannya?
Kebersamaannya
malam itu telah menciptakan pertemuan-pertemuan berikutnya. Malam-malam dingin
telah berubah hangat dan penuh gairah. Willy semakin memperlihatkan sikap
dewasa dan penuh perhatian. Dan itu membuat Talita semakin jatuh, jauh ke dalam
perasaan yang sulit diselaminya. Ia tidak menyadari maknanya, tetapi kehadiran
Willy selalu membuatnya merasa nyaman dan terlindungi.
“Will,
kenapa kamu begitu baik padaku?” bisik Talita saat kepalanya bersandar pada
dada Willy yang kekar. “Kamu kan tahu bagaimana pergaulanku selama ini?”
Willy
meraih jemari Talita dan mengecupnya. “Asalkan setelah bersamaku kau mau
berubah, aku akan selalu bersamamu. Aku sangat bahagia, Tha. Aku mencintaimu.
Kamu tahu itu kan?”
Talita
mengangguk. Setitik kristal nyaris menetes dari kelopak matanya. Sudah sangat
lama ia tidak mendengar seseorang mengungkapkan perasaan cinta padanya. Dan
kini seorang laki-laki muda yang dengan kesungguhan hatinya mengutarakan
perasaan terdalamnya. Perasaan cinta yang begitu murni.
“Aku
juga mencintaimu, Will...”
Talita
larut dalam manisnya cinta yang Willy taburkan. Ia tidak pernah sebahagia itu.
Saat ia menceritakan semuanya pada teman-teman clubbing-nya, dan mengutarakan niatnya untuk menyudahi petualangan
malamnya demi Willy, teman-teman clubbing
Talita memintanya untuk mengadakan pesta terakhir. Semacam pesta perpisahan
atau bachelor party seolah Talita
hendak mengakhiri masa lajangnya.
Saat
Willy sedang bekerja di club malam biasa, Talita berkumpul
bersama teman-temannya. Usai pesta minum-minum, ia lalu beralih pada permainan
lain. Permainan yang sudah lama menjadi hobi beratnya, pocker dengan taruhan uang puluhan juta bahkan kadang bisa mencapai
ratusan. Tapi tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Talita tampak tengah
kebingungan karena sudah kehabisan bekal di meja judi. Uang tunai ratusan juta
yang ia bawa kini sudah berpindah tangan ke pemain yang lain. Seorang perempuan
yang sama-sama memiliki kedudukan tinggi di sebuah perusahaan bergengsi,
sama-sama penggila judi, dan selalu berkeliaran malam mencari lelaki muda yang
bisa dibayar untuk memuaskan nafsu liarnya, kini menjadi ratu malam itu. Malam
yang Talita nobatkan sebagai malam terakhirnya di dunia gemerlap.
“Brengsek!”
Talita melempar kartu di tangannya ke atas meja. Ia pasrah menerima kekalahan
telak. Tapi wajah penasarannya masih tetap tertangkap oleh lawan mainnya. Dan
ini adalah umpan yang segar untuk menghancurkan Talita yang selama ini dianggap
sebagai perempuan sombong dan sok perkasa itu. Rival dalam dunia bisnis yang
mereka geluti.
“Don’t worry Baby…. Bukankah kamu masih
punya sesuatu yang berharga untuk dipertaruhkan?” pancing Merry, the winner malam itu dengan nada
mengejek.
“What is…?” balas Talita lemah. Alkohol
sudah membuat otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih.
“Your sweatheart, of course…”
Pening
di kepala Talita semakin menjadi.
***
Willy membuka
ikatan di kepalanya. Setelah lepas sudah kerinduan yang membuncah di dadanya,
Willy ingin mengecup kening Talita dan memeluknya erat agar perempuan itu tidak
pernah bisa jauh lagi dari sisinya. Matanya yang sedari tadi tertutup rapat,
perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar.
“Kamu siapa?”
Willy tersentak mendapati perempuan lain terkulai di sampingnya. Mana Talita? Kenapa perempuan ini tiba-tiba
berada dalam dekapannya, dan bahkan…. Oh Tuhan, tidak… apa maksud dari semua
ini? Mana Talita? Mana perempuan yang seharusnya merasakan betapa Willy
mencintai dan menginginkannya malam ini.
“Tenang,
ganteng…” goda perempuan itu sambil mencolek dagu Willy dan membuatnya merasa jijik
dan sangat kotor.
“Mana Talita?”
ulang Willy sambil bergegas
mengenakan pakaian dan mengemasi barang-barangnya.
“Dia ada di
kamar sebelah, “ jawab perempuan itu sambil menarik bed cover bergambar bunga mawar dan menyandarkan tubuhnya ke
dinding. Diraihnya sebatang rokok dan menyalakannya tanpa memedulikan betapa
Willy sangat shock setelah menyadari
dirinya tidur dengan perempuan lain yang sama sekali tidak dikenalnya.
Lalu
berkelebat di kepalanya bagaimana ia bisa menghabiskan segelas vodka dingin
dalam rayuan Talita yang terus menerus mengiang di telinganya. Karena bukan
kebiasaan Willy meminum minuman keras, segelas saja sudah membuatnya lupa
banyak hal. Ia bahkan meracau dan berkali-kali mengucapkan kata-kata di luar
kesadarannya. Tapi ia masih ingat kalau Talita menuntunnya ke dalam kamar,
membaringkannya, membuka kancing bajunya, dan mengikatkan syal lembut ke
kepalanya sehingga matanya tertutup dan ia berharap bisa merasakan sensasi lain
malam itu.
Willy tidak
memperhatikan lagi bagaimana perempuan itu menghembuskan asap rokok dengan
puasnya. Ia segera keluar dari kamar itu dan melangkahkan kakinya menuju kamar
sebelah yang ternyata tidak tertutup rapat. Sebuah desah napas dan rintihan
kecil bisa ia dengar dengan jelas dari luar kamar. Willy mematung cukup lama di
depan kamar itu tanpa bisa berbuat apapun.
Ingin sekali
Willy teriak dan menendang pintu kamar itu. Tapi yang bisa ia lakukan hanya
menyaksikan betapa Talita begitu bahagia di dalam sana. Talita menikmati
kebersamaannya dengan lelaki itu. Desah napasnya seperti sebuah irama yang
begitu syahdu. Memburu, seperti berlari dengan hasrat yang bergelora.
Tersengal-sengal kelelahan tetapi tampak puas dan bebas.
Lalu untuk apa
ia marah atas semua yang ia sudah alami malam ini.
Willy
meninggalkan kamar itu dengan hati remuk dan perasaan hancur. Berkelebat
berbagai kenangan yang Willy lalui bersama Talita dalam canda dan tawa. Berbagi
malam di bawah ribuan kerlip bintang, berbagi kecup, pagut, desah, rintih dalam
satu napas yang sama. Semua
berputar berulang-ulang menyisakan perih dan kecewa.
Kenapa ia
begitu berharap banyak bisa mendapatkan cinta Talita, sementara perempuan itu
sudah menjual harga dirinya dan membuatnya sangat terhina.
Dari dalam
kamar sepasang mata meneteskan penyesalan dan kepedihan yang dalam. Tapi kepedihan
buat apa? Kepedihan untuk siapa? Ini adalah sebuah kekalahan yang sangat besar
dalam hidupnya.
****
Rintik-rintik air
berlompatan di atas tanah, menari disapu angin malam yang menusuk, mengiringi
kepedihan hati Willy. Tapi Willy yakin, rintik hujan, bahkan badai sekalipun
tidak akan membuat Talita absen melantai. Tubuh perempuan itu akan tetap meliuk
meski gempa besar mengguncang tempatnya berdiri. Atau badai tsunami
memorakporandakan gedung tempatnya berjingkrak penuh sensasi.
“Come on, honey!” bisik Talita di telinga
Willy, suatu ketika, saat mereka berduaan di apatemen Talita. Alunan musik
lembut pengantar tidur menjadi latar yang membuat suasana terasa lebih romantis.
Willy masih
merasakan desah napas Talita, bisikan lembutnya yang membuat hasrat
kelelakiannya menggeliat. Tapi apakah masih ada hasrat di hatinya setelah
kejadian itu? Tubuhnya telah ditukar dengan tubuh lelaki lain yang lebih
memikat hati Talita. Atau mungkin Talita telah menjualnya dengan paksa?
Mendadak perut Willy terasa mual setiap kali mengingat hal itu.
Kebencian
semakin menggunung setiap kali Willy teringat bagaimana Talita tampak bahagia
bersama lelaki lain. Malam itu hatinya benar-benar telah hancur. Talita
berhasil meremukredamkan harapan dan impian yang selama ini Willy bangun. Terjawab
sudah keraguan hatinya selama ini. Ternyata memang benar, Talita tidak pernah
mencintainya dengan sepenuh hati?
Dan malam ini,
Willy kembali menanti kehadirannya. Tetapi penantiannya kali ini bukan untuk
menerima tip atau berharap mendapat undangan makan malam di atas ranjangnya
yang hangat, melainkan cukup beralasan jika malam ini Willy ingin menyudahi
hubungannya dengan perempuan yang sudah membuat dirinya menjadi seorang pelacur
yang nista. Dan mengubah hidupnya dalam satu malam yang paling sulit Willy
lupakan dalam hidupnya.
Seperti biasa,
malam itu Talita hanya ingin dilayani oleh Willy. Sebagai seorang waiter, Willy pun menghampiri dan
mencatat pesanannya. Tidak ada perbincangan sama sekali, seolah Willy tidak
pernah mengenal perempuan itu sebelumnya. Talita merasa sedih dan sangat
bersalah. Ingin sekali ia menjelaskan semua dan meminta maaf padanya. Daripada
ia harus kehilangan saham dan obligasinya, bukankah lebih mudah mengajak Willy
pada permainan yang menurutnya bisa memberikan sensasi lain dalam hidup Willy. Mempertaruhkan
Willy bukanlah keputusan yang mudah. DanTalita pikir ia tidak akan kalah dalam
taruhan itu. Kalaupun sampai kalah, ia sempat berpikir Willy tidak akan menolak
ajakan Merry atau perempuan lain yang lebih tajir daripada dirinya. Tapi
ternyata Willy memang berbeda dengan lelaki lain. Willy tidak pernah peduli
dengan harta dan kekayaan yang Talita miliki. Yang penting bagi Willy cinta dan
kesetiaan dirinya. Itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.
Seharusnya Talita tidak memperlakukan Willy
sekejam itu, setelah semua yang Willy lakukan untuknya. Willy yang telah mengelupas
rasa angkuh dalam diri Talita. Willy yang kemudian menanamkan benih cinta di
hati Talita. Dan Talita malah menghianati perasaannya sendiri tanpa memedulikan
bagaimana perasaan Willy sama sekali.
Willy berdiri tidak jauh dari tempat Talita
menghabiskan berbotol-botol alkohol. Perempuan itu terus mengoceh dan
memanggil-manggil nama Willy dalam penyesalan yang tidak berkesudahan. Ia tidak menyadari kalau racun sedang menjalar
dalam tubuhnya, dan dalam hitungan detik akan segera menghancurkan jantung dan
pembuluh darahnya. Bahkan seluruh hidup dan harapannya akan cinta Willy.
Tapi Willy
tidak peduli. Sejak malam itu, ia sudah tidak peduli lagi seberapa besar rasa
cinta, rindu yang membuncah dan hasrat untuk kembali memeluk Talita bergelora
di dadanya. Rasa sakit yang teramat dalam telah membunuh semua perasaan itu.
Telah membuatnya buta, sebagaimana Talita yang buta karena tidak bisa membaca
betapa Willy sangat mencintainya
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar